Skandal Istri Perjabat Bersama Pria Pengangguran

Malam itu, Jakarta terasa lebih lengang dari biasanya. Aku, seorang pengangguran sejati, baru saja keluar dari warung kopi pinggir jalan, menyesap sisa kopi sasetan yang rasanya lebih banyak gula daripada kafein. Tiba-tiba, suara jeritan perempuan memecah kesunyian malam. "Copet! Tolong!"

Istri Pejabat

Aku langsung menoleh, melihat seorang wanita dengan gaun malam yang elegan sedang bergelut dengan seorang pria berjaket gelap. Tanpa pikir panjang, instingku bergerak. Aku memang pengangguran, tapi bukan berarti aku penakut. Aku langsung berlari, menerjang si copet. Duel singkat tak terhindarkan, tapi akhirnya copet itu lari tunggang langgang, meninggalkan tas wanita itu tergeletak di aspal. Aku mengambil tas itu dan menyerahkannya pada pemiliknya.

"Terima kasih banyak, Mas. Saya Maya," ujarnya, "wajahnya masih pucat, napasnya tersengal."

"Sama-sama, Bu. Saya [namaku]. Nggak apa-apa kan?" kataku, "sedikit khawatir melihatnya."

Maya tersenyum tipis, senyum yang entah kenapa langsung membuat jantungku berdetak lebih cepat. "Tidak apa-apa. Untung ada Mas. Bagaimana kalau kita minum kopi? Sebagai tanda terima kasih."

Dan begitulah, dari insiden kecopetan, aku akhirnya duduk berdua dengan Maya, seorang istri pejabat, di sebuah kafe mewah yang belum pernah aku injak seumur hidupku. Kami bicara banyak hal, dari pekerjaanku yang entah sampai kapan akan jadi pengangguran, sampai cerita-cerita lucu yang keluar begitu saja. Aku mendapati diriku tertarik pada tatapan matanya yang hangat dan caranya tertawa yang membuatku ikut senang. Aku bahkan sempat nyeletuk, "Bu Maya ini, kalau nggak jadi istri pejabat, mungkin cocoknya jadi model sampul majalah ya. Kecopetan aja masih kelihatan glamor." "Maya tertawa, menutup mulutnya dengan tangan, 'Ada-ada saja, Mas ini.'"

Obrolan kami berlanjut hingga larut. Ada semacam koneksi aneh yang terjalin, padahal kami baru bertemu. Aku merasa nyaman di dekatnya, dan sepertinya dia juga begitu. Malam itu, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Senang karena bisa membantu, tapi juga bingung kenapa seorang istri pejabat mau menghabiskan waktu dengan seorang sepertiku.

Beberapa hari kemudian, Maya menghubungiku. Dia ingin bertemu lagi. Aku tentu saja tidak menolak. Pertemuan itu berlanjut, dari sekadar minum kopi hingga makan malam, lalu sesekali kami hanya duduk di mobil, mengobrol berjam-jam. Hubungan kami berkembang, perlahan tapi pasti, menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan. Ada daya tarik yang kuat di antara kami, magnet yang menarik kami berdua.

Suatu sore, hujan turun deras. Aku dan Maya terjebak di dalam mobilku yang reyot, terparkir di pinggir jalan sepi. Suasana di dalam mobil terasa hangat, berbanding terbalik dengan dinginnya udara di luar. Kami terdiam sejenak, hanya suara rintik hujan yang mengisi keheningan. Tiba-tiba, Maya menoleh padaku, tatapan matanya begitu intens.

"Mas," "ia memanggilku dengan suara pelan."

"Ya, Bu Maya?" "Aku menatapnya balik, jantungku berdegup kencang."

Dia tidak menjawab. Perlahan, tangannya terulur, menyentuh pipiku dengan lembut. Sentuhan itu seperti sengatan listrik, menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menahan napas. Dia mendekat, sangat dekat, hingga aku bisa merasakan napasnya yang hangat di wajahku. Aroma parfumnya memabukkan, memenuhi indra penciumanku.

Lalu, bibirnya menyentuh bibirku. Mulanya hanya sentuhan ringan, lalu berubah menjadi lumatan yang dalam. Aku membalas ciumannya, melupakan segalanya. Tanganku bergerak sendiri, melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat. Bibir kami saling melumat, seolah ingin menghabiskan seluruh udara di dalam mobil. Suara kecapan pelan terdengar di antara ciuman kami yang makin intens. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya merembes ke tubuhku. Maya mengerang pelan, "Mmmhh..." di sela-sela ciuman kami, "tangannya meremas lenganku dengan erat."

Tanganku turun, meremas pinggulnya, lalu perlahan naik menyentuh paha mulusnya. Kulitnya begitu halus, membuatku ingin terus menyentuhnya. Jemariku kemudian naik lagi, merayap di bawah gaunnya, mencari sesuatu yang lebih. Aku bisa merasakan napas Maya yang semakin memberat.

"Mas... ahh..." "Ia mendesah, kepalanya sedikit terangkat."

Aku tahu apa yang diinginkannya, dan aku pun menginginkannya. Aku menggeser dudukku, sedikit menjauh dari setir. Dengan satu gerakan cepat, aku menarik gaunnya sedikit ke atas, memperlihatkan pahanya yang jenjang. Tanganku bergerak lebih berani, mengelus paha bagian dalamnya, mendekati lubang intimnya yang terasa hangat di balik kain tipis.

Maya mendesah lagi, lebih keras. "Ahh... Mas..." Ia menekan kepalaku ke arah lehernya, "jemarinya menggenggam rambutku."

Aku mencium lehernya, memberikan gigitan-gigitan kecil yang membuatnya menggeliat. Tanganku kini sudah meraba gunung kembarnya. Aku mulai meremasnya pelan, lalu semakin kencang, merasakan isinya yang lembut namun padat. Jempolku mengusap putingnya yang sudah mengeras. Maya mendesah, "Mmmhh... enghh..." "dengan mata terpejam."

Aku menunduk, menjilat putingnya, lalu menghisapnya dengan lembut, sesekali menggigitnya pelan. Maya mengerang, "Ahh, Mas... iyaa... terus..." "punggungnya melengkung, merasakan kenikmatan."

Tiba-tiba, Maya mendorongku sedikit. Ia menatapku dengan mata sayu, lalu dengan gerakan sensual, ia menunduk. Aku tahu apa yang akan dia lakukan. Dengan bibirnya yang lembut, ia mulai mengulum batang kemaluanku yang sudah tegang. Sensasi itu luar biasa, membuatku mendesah tertahan. Ia melakukannya dengan pelan pada awalnya, lalu semakin cepat dan kencang, membuatku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Suara plup, plup, plup terdengar seiring gerakannya.

"Ahh... Maya..." "aku memejamkan mata, menikmati setiap sentuhannya."

Ia terus mengulumnya, memanjakanku dengan setiap gerakannya. Aku menekan kepalanya pelan, membimbingnya. Aku merasa akan segera mencapai puncaknya.

"Siap, Sayang?" "Maya bertanya dengan suara serak, sedikit terengah."

Aku mengangguk, tidak sanggup berkata-kata. Ia kemudian mengangkat kepalanya, tersenyum nakal. Aku membalikkan posisiku, memposisikan diriku di antara kedua kakinya. Aku melihat ke dalam matanya, lalu pelan, aku mulai memasukkan batang kemaluanku ke dalam lubang intimnya.

"Ahh..." "Maya mendesah pelan, meremas bahuku."

Aku memasukkannya pelan, merasakan setiap inchi tubuhku menyatu dengannya. Sensasi hangat dan rapat itu membuatku gila. Aku menariknya keluar sedikit, lalu memasukkannya lagi, kali ini sedikit lebih dalam. Maya mengerang lagi.

"Pelan, Mas... pelan..." "Ia memohon, napasnya tersengal."

Aku menurut, bergerak pelan, menikmati setiap gesekan. Aku mencium bibirnya, lehernya, mencicipi setiap inci kulitnya. Lalu, aku mulai bergerak lebih cepat dan kencang. Maya mendesah dan mengerang bersahutan, suaranya memenuhi mobil. Suara desahan dan erangan terdengar jelas.

Kami mencoba beberapa posisi, dari posisi standar hingga Maya duduk di atasku, menggoyangkan pinggulnya dengan sensual. Setiap gerakan terasa memabukkan, membuat kami berdua melayang. Keringat membasahi tubuh kami. Napas kami terengah-engah, berburu satu sama lain.

"Ahh! Mas! Ahhh!" "Maya menjerit, tubuhnya bergetar hebat." Aku merasakan ia mengejang di sekitarku, dan tak lama kemudian, aku pun menyusul. Dengan erangan keras, aku merasakan muncratku yang hangat membanjiri bagian dalamnya. Suara crot! terdengar jelas.

Kami tergeletak lemas setelahnya, napas terengah-engah. Kepala Maya bersandar di dadaku. Kami terdiam, hanya suara rintik hujan yang kini terasa menenangkan. Aku memeluknya erat, mencium keningnya.

"Aku nggak nyangka bakal jadi kayak gini, Mas," "ucapnya pelan."

"Aku juga," "jawabku, memejamkan mata, menikmati kehangatan tubuhnya."

Malam itu, di dalam mobil reyotku yang basah oleh hujan, kami menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan fisik. Kami menemukan kenyamanan, koneksi, dan mungkin... cinta.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel