Ibu Kandungku Dipuaskan Oleh Tetanggaku
Rumah ini, enggak terlalu besar, tapi nyaman banget. Khas rumah di Bandung. Setelah Bapak meninggal beberapa tahun lalu, rasanya sepi sekali. Tinggal saya sama Ibu saja sekarang. Ibu kandungku, Imas namanya. Beliau ini ibu rumah tangga biasa, yang hidupnya sederhana, mengurus saya sama Bapak dulu. Setelah Bapak enggak ada, Ibu jualan kue-kue kecil terus kadang bantu jahit baju tetangga buat nyambung hidup.
Saya sendiri, anaknya yang satu-satunya. Setelah lulus sekolah, saya memilih tetap tinggal di rumah ini. Saya kerja serabutan, kadang jadi kuli bangunan, kadang bantu di kebun orang. Sebisa mungkin saya ingin meringankan beban Ibu. Hidup kami memang enggak bergelimang harta, tapi kami selalu berusaha bersyukur saja.
Di kampung ini, kami kenal semua tetangga, termasuk Pak Budi, tetangga di sebelah rumah kami. Orangnya ramah, suka bantu kalau ada kesulitan. Umurnya sekitar empat puluhan, badannya kekar, suka kelihatan bantu di kebun atau membetulkan genteng. Istrinya Pak Budi kerja di kota, jadi suka pulang seminggu sekali atau dua minggu sekali. Pak Budi suka kelihatan sendirian saja di rumah.
"Ih, Pak Budi ini sendirian terus di rumah," kadang saya suka bergumam sendiri.
Hari-hari Ibu biasanya diisi sama bikin kue atau jahit. Rutinitasnya ya itu-itu saja. Saya tahu, meskipun Ibu enggak pernah mengeluh, kadang ada sorot mata yang kosong, kayak lagi mencari sesuatu yang hilang atau belum terisi dalam hidupnya. Mungkin bosan? Atau sepi? Saya enggak tahu pasti.
"Ibu kenapa ya, kelihatannya melamun terus?" saya pernah bertanya.
Ibu cuma senyum tipis sambil menjawab, "Enggak apa-apa, Nak, Ibu cuma capek."
Sore itu, sekitar jam setengah lima sore, cahaya senja sudah mulai kuning keemasan. Saya baru pulang dari kebun, badan sudah lengket penuh keringat. Rasanya enak banget bisa duduk santai di teras depan.
"Syukurlah, tehnya sudah siap, Nak," kata Ibu sambil menyodorkan segelas teh hangat pas saya duduk.
Saya pun menikmati teh hangat buatan Ibu, pandangan saya mengarah ke halaman belakang rumah Pak Budi. Biasanya halaman itu sepi banget, enggak ada aktivitas mencolok. Tapi sore itu ada yang beda. Saya liat Ibu lagi menyiram tanaman bunga di dekat pagar pembatas antara rumah kami sama rumah Pak Budi. Beliau cuma pakai daster tipis warna biru muda yang kelihatan agak lusuh, tapi tetap saja anggun. Rambut panjangnya digelung asal, tapi tetap rapi.
Enggak lama kemudian, pas Ibu masih sibuk dengan tanamannya, Pak Budi keluar dari pintu belakang rumahnya, bawa beberapa pot tanaman baru. Dia liat Ibu terus menghampiri di batas pagar.
"Wah, Bu Imas, bunganya makin subur saja!" sapa Pak Budi ramah, sambil senyum.
Ibu membalas senyumnya, "Ah, Pak Budi bisa saja. Ini kan berkat pupuk dari Bapak juga."
Mereka mulai mengobrol sambil tertawa kecil. Suara mereka memang enggak begitu jelas dari tempat saya, tapi kelihatannya akrab banget, dan saya merasa ada yang aneh, kok bisa seakrab ini ya?
Saya liat Pak Budi beberapa kali memuji bunga-bunga yang dirawat Ibu. Ibu senyum senang, pipinya rada merona, terlihat salah tingkah.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan minta bantuan saya ya, Bu," tawar Pak Budi, suaranya terdengar lebih dekat saat itu.
Terus, dia nawarin bantuan buat mindahin beberapa pot tanaman Ibu yang kelihatan agak berat.
"Enggak usah, Pak, saya bisa sendiri," tolak Ibu halus, tapi saya liat Pak Budi tetap maksa.
Dia jalan ke halaman kami terus bantuin Ibu mindahin pot-pot yang gede.
Pas Pak Budi lagi menunduk mau mengangkat pot terakhir, daster tipis Ibu rada tersingkap sama angin sore, menunjukkin sekilas bentuk kakinya. Saya yakin Pak Budi enggak sengaja liat, soalnya dia kelihatan rada salah tingkah pas berdiri lagi. Ibu juga kelihatan rada malu, buru-buru merapikan dasternya.
Setelah selesai mindahin pot, mereka balik lagi berdiri dekat di batas pagar. Suasana terasa rada beda, ada semacam ketegangan halus di udara. Pak Budi menatap mata Ibu lebih lama dari biasanya, dan Ibu enggak mengalihkan pandangannya, tatapannya membalas Pak Budi. Senyum di bibir mereka berdua kelihatan lebih dalam, menyimpan sesuatu yang enggak terucap.
Terus, Pak Budi mengulurkan tangannya, menyentuh lembut tangan Ibu yang lagi memegangi pagar. Ibu enggak narik tangannya. Malah, jari-jari mereka saling bertaut pelan-pelan, seperti enggan berpisah.
"Imas... kamu cantik sekali sore ini," bisik Pak Budi, suaranya pelan banget, tapi entah kenapa kedengeran sampai ke telinga saya.
Pandangan mereka makin dalam, kayak ada obrolan bisu yang cuma mereka berdua yang mengerti, dan saya merasa dada makin bergemuruh melihat kedekatan itu.
Tiba-tiba, Pak Budi narik tangan Ibu yang sudah ada di genggamannya, terus narik Ibu dekat. Ibu enggak menolak, malah badannya langsung nempel ke Pak Budi. Saya liat mereka saling peluk erat. Pelukan yang bukan cuma sapaan tetangga, tapi penuh keintiman yang bikin saya tercekat. Pak Budi menunduk, terus bibir mereka ketemu. Sebuah ciuman yang dalam, kelihatan jelas dari ekspresi Ibu yang memejamkan mata, seolah udah lama nunggu sentuhan itu.
"Ya ampun, apa ini?" batin saya, jantung saya deg-degan banget. Ini tetangga kami!
Saya bengong di tempat saya duduk, enggak percaya sama apa yang lagi saya liat. Ibu saya, wanita yang melahirkan saya, yang hidupnya sederhana, lagi bermesraan sama tetangga sebelah. Pikiran saya kalut. Ada rasa kaget, marah, cemburu, tapi juga penasaran yang luar biasa. Saya terus mengamati, nyoba mencari tahu apa yang sebenernya kejadian.
Pemandangan selanjutnya makin bikin saya shock. Saya liat tangan Pak Budi mulai menjelajahin badan Ibu. Tangannya yang kekar itu gerak dari pinggang, naik ke punggung Ibu, terus meremas bagian bokong Ibu dengan lembut tapi penuh gairah.
"Mmmhh..." Ibu mengedesah pelan, suara desahannya samar-samar kedengeran sama saya.
Saya liat Ibu makin ngerapetin pelukannya ke Pak Budi, nempelin badannya lebih dekat. Saya bisa merasakan aura hasrat yang kuat banget terpancar dari mereka berdua, dipicu sama obrolan dan sentuhan di batas pagar tadi.
Pak Budi mencium leher Ibu, terus turun ke pundak, sementara tangan yang lainnya pelan-pelan menyelip masuk ke balik daster tipis itu, mengelus paha dalam Ibu. Ibu mendongak, ngasih akses lebih. Daster tipis itu agak ngangkat, nunjukkin paha mulus Ibu.
"Ahhh..." Desahan Ibu makin dalam, kedengeran jelas meskipun samar.
Saya liat Pak Budi narik napas panjang, kayak lagi nikmatin aroma tubuh Ibu.
Enggak lama kemudian, Pak Budi nurunin tangannya lebih jauh, menyentuh area pribadi Ibu.
"Ehh..." Ibu kaget, tapi enggak menolak.
Malah, badannya agak melengkung, nunjukkin respons yang jelas. Pak Budi menggerakkan jari-jarinya di sana, dan Ibu memejamkan mata, bibirnya mengeluarkan erangan-erangan lirih yang bikin saya merinding.
Terus, enggak disangka-sangka, Pak Budi menggendong Ibu.
"Kita ke dalam saja, Bu," bisik Pak Budi, suaranya rada serak dan penuh gairah.
Ibu melingkarkan kakinya di pinggang Pak Budi, mukanya menyembunyikan diri di leher Pak Budi, mungkin karena malu atau karena kenikmatan yang udah memuncak. Pak Budi bawa Ibu melewati halaman belakangnya, menuju sebuah gudang kecil yang biasa dia pake nyimpen perkakas sama kayu bakar. Pintu gudang itu suka dibiarin agak kebuka, tapi sore itu Pak Budi menutupnya pelan-pelan, menyisakan celah yang tipis banget di antara daun pintunya.
Saya beranjak dari teras, diam-diam mendekati pagar pembatas. Jantung saya sudah enggak karuan detakannya. Dari celah tipis di pintu gudang itu, saya bisa liat jelas sebagian dari apa yang kejadian di dalamnya. Lampu di dalam gudang remang-remang, tapi cukup buat nunjukkin bayangan sama gerak-gerik mereka.
Di dalam gudang, Pak Budi nurunin Ibu ke tumpukan karung-karung kosong sama tumpukan kain usang yang ada di pojokan. Ibu langsung telentang di sana, daster birunya udah ngangkat sampai ke pinggang, nunjukkin seluruh area pribadinya yang udah basah. Pak Budi langsung buka celana pendeknya, nunjukkin penisnya yang udah tegak dan berurat.
"Kamu siap, Bu?" tanya Pak Budi, suaranya berat dan menggebu.
Ibu cuma mengangguk, napasnya tersengal, matanya menatap Pak Budi penuh harap.
Enggak pake lama, Pak Budi langsung menindih Ibu. Ibu ngangkat kedua kakinya, mengaitkan ke pinggang Pak Budi, seolah siap menerima semuanya. Pak Budi menunduk, terus dengan sekali dorongan kuat, penisnya melesak masuk ke dalam vagina Ibu.
"Ahhh... Pak Budi!" Ibu mengedesah panjang, sebuah erangan kepuasan yang tertahan, tapi jelas kedengeran sama saya.
Pak Budi mulai menggerakkan pinggulnya, maju mundur dengan tempo yang pelan tapi pasti. Tiap kali dia dorong, badan Ibu sedikit keangkat, dan suara "plok-plok" basah kedengeran jelas. Ibu memejamkan mata, bibirnya sedikit kebuka, dan sesekali ngeluarin rintihan halus.
"Lebih dalam, Pak... lebih dalam..."
Tangannya meremas kuat pundak Pak Budi, kuku-kuku jarinya sedikit memutih.
Saya liat Pak Budi mengubah gaya. Dia ngangkat satu kaki Ibu, terus naruh di pundaknya. Dengan posisi itu, dorongannya jadi lebih dalam dan kerasa lebih kuat, mencapai titik-titik sensitif. Ibu sekarang mengedesah lebih kencang, kepalanya geleng-geleng pelan, kayak enggak bisa nahan kenikmatan yang membanjirinya.
"Ohhh... luar biasa!"
Saya liat otot-otot di badan Pak Budi menegang tiap kali dia menghujamkan dirinya ke dalam Ibu, keringat mulai membasahi dahinya.
Ritme permainan mereka makin cepat. Desahan Ibu berubah jadi erangan yang putus-putus, menandakan dia sudah di ambang batas.
"Cepat... Pak Budi... cepat!"
Mereka berdua kelihatan saling mencengkeram erat. Napas mereka memburu, kedengeran jelas dari celah pintu. Saya liat Pak Budi sesekali membisikkan sesuatu di telinga Ibu.
"Ini yang kamu mau, Imas?"
yang bikin Ibu mengeluh panjang, membalas dengan napas terengah-engah.
"Mmmh... iya... iya..."
Tiba-tiba, Ibu mengejang kuat. Badannya melengkung, punggungnya sedikit keangkat dari tumpukan karung. Sebuah lenguhan panjang dan kencang keluar dari bibirnya.
"Aahh... saya keluar, Pak Budi!"
Badan Ibu gemetar hebat, kakinya lurus ke atas, mencengkeram erat pinggang Pak Budi, seluruh tubuhnya menegang. Enggak lama kemudian, Pak Budi juga menggeram kencang, melepaskan semua ketegangannya.
"Ahhh... Imas!"
mendorong penisnya buat terakhir kalinya dengan dalam banget, terus badannya ambruk menindih Ibu. Napas mereka berdua kedengeran berat dan memburu, mengisi kesunyian gudang yang tadinya penuh suara gairah.
Setelah itu, suasana gudang kembali sepi, hanya terdengar suara napas mereka yang masih berat, perlahan-lahan mereda. Saya bisa lihat Pak Budi bergerak, menarik tubuhnya dari Ibu, lalu dia beringsut duduk sambil bersandar di tumpukan karung. Ibu masih telentang di sana, daster birunya tersingkap tak beraturan, napasnya tersengal-sengal. Ada kelegaan yang terpancar dari wajahnya, tapi juga semacam kekosongan yang membingungkan.
Pak Budi kemudian merapikan celananya, lalu mengulurkan tangannya pada Ibu. Ibu meraihnya, dan dengan bantuan Pak Budi, dia duduk perlahan, mencoba menguasai dirinya. Ibu merapikan dasternya yang kusut, menariknya ke bawah, berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka. Mereka berdua tidak bicara, hanya saling pandang dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran rasa puas, malu, dan mungkin sedikit penyesalan.
Kemudian, Pak Budi bangkit berdiri, lalu berjalan mendekati pintu gudang. Dia mengintip keluar sebentar, memastikan keadaan sepi, enggak ada siapa-siapa di sekitar situ. Setelah itu, dia menoleh ke arah Ibu.
"Sampai ketemu lagi, Bu Imas," kata Pak Budi, suaranya pelan dan rendah, seperti ada janji tersembunyi.
Ibu cuma mengangguk, tatapannya masih kosong, seolah jiwanya masih melayang di tempat lain.
Pak Budi lalu keluar dari gudang, menutup pintu rapat-rapat. Saya masih terpaku di tempat, melihat Ibu bangkit perlahan, berjalan gontai keluar dari gudang, langkahnya terlihat berat. Dia terlihat sangat lelah, tapi juga... entah, ada semacam aura yang berbeda, aura seseorang yang baru saja mengalami hal yang luar biasa.
Ibu saya, wanita yang hidupnya sederhana, yang selama ini saya kira tidak punya apa-apa selain rutinitas, ternyata menyimpan hasrat yang begitu besar. Sebuah kenikmatan yang mungkin tersembunyi di balik kesepiannya, sebuah rahasia yang kini saya saksikan sendiri. Saya cuma bisa berdiri di sana, diam saja, dengan jutaan pertanyaan yang berputar di kepala saya. Apa yang akan terjadi setelah ini? Dan bagaimana saya harus menghadapi semua ini? Saya merasa dunia saya baru saja jungkir balik.