Sodok Tante Bahenol Dari Belakang Ketika Sedang Memasak di Dapur
Pagi itu dimulai seperti hari-hari biasa. Aku, Deni, pria kepala tiga, bangun di samping istri yang masih tidur. Rutinitas pagiku: kopi, baca berita, siap kerja. Tapi ada rasa bosan yang kuat. Aku ingin sesuatu yang beda.
Sebelum berangkat, aku lihat Tante Sarah, bibiku dari istri, di dapur. Dia pakai daster pendek yang sedikit transparan. Pinggulnya yang padat berisi bergerak saat dia sibuk. Aku terdiam melihatnya. Ada yang aneh, atau mungkin cuma perasaanku.
Motor Mogok
Siang di kantor terasa lambat. Pikiranku beberapa kali ke Tante Sarah. Saat makan siang, ponselku bunyi. Pesan dari Tante Sarah: "Den, bisa bantu aku?"
Aku kaget. Dia jarang kontak langsung. Katanya motornya mogok di jalan, jauh dari pasar. Istriku lagi ngajar, enggak bisa dihubungi. Aku langsung izin kantor dan jemput dia.
Aku sampai di lokasi, Tante Sarah sudah nunggu. Wajahnya agak cemas. Dia pakai baju santai yang ketat, nunjukkin tubuhnya yang berisi.
"Astaga, Den," sapanya lega. "Untung Deni bisa jemput. Aku bingung mau minta tolong siapa lagi."
"Enggak apa-apa, Tan. Kebetulan lagi kosong," jawabku. Dia bonceng, badannya nempel erat. Tiap lewat jalan jelek atau ngerem, badannya makin nekan punggungku. Bau parfumnya kecampur bau badannya. Sepanjang jalan, kami ngobrol biasa, tapi ada ketegangan di antara kami. Tiap sentuhan kecil atau napasnya di leherku bikin gairahku muncul. Motor mogok ini jadi awal.
Malam Hari Di Dapur
Malamnya, setelah semua beres dan aku pulang, rumah tenang. Istriku sudah tidur. Aku sendiri masih mikirin Tante Sarah dari siang tadi. Bayangan tubuhnya, sentuhannya, dan baunya terus terbayang. Rasa bosan yang tadi pagi ada, sekarang jadi hasrat yang kuat.
Aku jalan pelan ke dapur, mau ambil minum. Lampu dapur redup. Aku lihat dia lagi: Tante Sarah. Dia beresin sisa masakan, membelakangiku. Gerakannya cekatan, pinggulnya yang padat berisi goyang pelan. Pemandangan itu, di tengah malam sepi, benar-benar membakar naluriku. Kontolku yang tegang sejak siang, kini berdiri tegak.
Momen di Dapur
Tante Sarah menoleh, seolah sadar aku ada. Senyum tipis. Matanya bukan lagi mata bibi biasa. Ada kilatan memesona, nakal, dan nafsu di sana. Tatapan itu ngunci aku, jantungku deg-degan. Gelombang nafsu menghantamku. Aku pengen lebih dekat sama dia, melewati batas keluarga. Kami diam, saling tatap. Udara di dapur jadi lebih panas.
"Den... bisa bantu aku sebentar?" bisiknya, pelan. "Aku mau buat minuman hangat, tapi agak susah menjangkau cangkir di rak atas."
"Tentu saja, Tan," jawabku, suaraku serak. Ini kesempatan bagus. Aku deketin dia, berdiri tepat di belakangnya. Tangan kananku melingkar melewati pinggangnya untuk ambil cangkir. Punggungku kena pantatnya yang lembut. Dia sedikit kaget, badannya tegang sebentar, lalu rileks. Dia enggak menjauh. Bahkan, saat aku ambil cangkir, tangannya nutupin tanganku di pinggangnya, seolah enggak sengaja. Sentuhan itu terasa disengaja.
Aku merasakan napas Tante Sarah sedikit memburu. Bau badannya makin kuat. Aku sengaja pelanin gerakanku, biarin sentuhan ini lebih lama. Pas cangkir kudapat, aku enggak langsung lepas pelukan. Aku deketin wajahku ke lehernya.
"Terima kasih, Den," bisiknya, suaranya gemetar. Dia enggak gerak, biarin aku di situ. Itu tanda setuju tanpa kata.
"Sama-sama, Tan," gumamku. Aku nempelin bibirku ke lehernya, ngerasain kulitnya yang hangat.
"Den..." desahnya pelan, tapi tidak menolak. Dia malah sedikit memiringin kepala, kasih aku akses lebih.
Batasan Hilang
Enggak lama, Tante Sarah balik badan, tubuhnya nempel erat. Dia melukku erat, badannya hangat. Kontolku yang tegang langsung bereaksi sama tubuh Tante Sarah yang seksi. Aku udah sange berat, nafsu ini enggak bisa dibendung lagi. Tanpa pikir panjang, bibirku langsung nyium bibirnya, penuh gairah. Bibirnya lembut, bikin aku lupa diri. Dunia seakan mengecil, cuma ada kami berdua di dapur yang hening.
Tangan kami mulai meraba, menjelajahi lekuk tubuh di balik baju. Jariku enggak tahan belai payudaranya yang kenyal dan montok dari balik baju. Desahan kecil lolos dari bibirnya pas bibirku turun ke lehernya. Tanganku enggak berhenti mijit payudaranya. Desahannya bakar hasratku. Aku tahu, ini enggak bisa dihentikan. Puncak kenikmatan sudah di depan mata.
"Den... aku mau," bisik Tante Sarah, suaranya serak.
"Aku juga, Tan," jawabku, serak.
Aku buka baju Tante Sarah buru-buru, tanganku agak gemetar. Aku terpana lihat tubuhnya yang indah dan mulus di cahaya redup. Aku langsung nyerbu payudaranya, jilatin putingnya yang sudah keras. Tante Sarah mendesah dalam, tangannya remas rambutku kuat-kuat, narik kepalaku lebih dalam. Hasratku makin membara, pengen nyatu sama dia.
Aku juga lepas bajuku, kemeja dan celana kulempar sembarangan. Tante Sarah bantu lepas sisa pakaianku. Kami berdua bugil, kulit kami bersentuhan, panas. Aku nyiumin tubuhnya, dari leher sampai perut. Tiap jengkal kulitnya bikin mabuk. Nafsu ini enggak bisa ditahan. Aku harus nikmatin memek Tante Sarah yang basah, yang baunya bikin aku gila.
Aku berlutut, wajahku deketin selangkangannya. Lidahku jilatin memek Tante Sarah yang basah kuyup. Dia terkesiap, lalu mendesah makin kencang pas aku jilat klitorisnya penuh gairah. Tangannya pegang kepalaku, nekan lembut biar aku tetap di sana. Kontolku yang berdenyut enggak sabar masuk ke memeknya yang sempit banget. Tapi aku mau dia nikmatin tiap gerakanku. Aku mau dia orgasme duluan. Dia mulai ngerintih, badannya melengkung, desahannya jadi erangan panjang.
"Den... aku... ahh..." Dia nyebut namaku sambil napasnya terputus. Aku tahu dia sudah di ambang batas.
Puncak Kenikmatan di Dapur
Aku berdiri tegak. Kontolku yang keras maksimal siap masuk. Tante Sarah natap aku, matanya merah karena gairah. Aku masukin kontolku pelan ke memek Tante Sarah yang menggigit dan hangat. Dia ngerintih lagi, suaranya serak.
"Ahh... pelan, Den... pelan..." bisiknya, sambil goyangin pinggulnya dikit.
Aku mulai bergerak, ritmenya cepat, penuh gairah. Pinggul kami beradu, suara decakan basah memenuhi dapur. Kami berdua mendesah, tenggelam dalam kenikmatan luar biasa. Aku pegang pinggangnya erat, dorong lebih dalam. Dia cengkram bahuku, kukunya sedikit nusuk, tanda dia nikmatin.
"Lebih cepat, Den... ahh... lebih cepat!" desahnya, suaranya makin tinggi. Aku enggak bisa nahan diri, puncak sudah di ambang mata.
Kami saling tatap, mata penuh nafsu. Aku makin cepat gerakan kontolku di memeknya yang basah. Otot-ototnya ngejepit penisku kuat. Enggak lama, badanku gemetar hebat. Aku tahu mau orgasme. Dengan satu dorongan kuat terakhir, aku ngerasa letupan di dalam diri. Aku cabut kontolku dan semprotin air mani ke perut dan paha Tante Sarah yang lagi ngerintih keenakan. Napas kami ngos-ngosan, ninggalin jejak gairah di dapur yang sepi.
Pindah ke Meja Makan
Tapi hasrat kami belum reda. Kami istirahat sebentar, atur napas. Tante Sarah bangun, matanya nakal. "Belum selesai, Den," bisiknya serak, tapi penuh godaan. Dia narik tanganku, kami gerak dari area kompor yang redup, lewat lantai dapur yang dingin, ke meja makan kayu jati di tengah ruangan. Lampu gantung di atasnya agak terang. Tante Sarah langsung rebahan di meja itu, paha mulusnya terbuka lebar. Sebuah ajakan jelas.
"Di sini, Tan?" tanyaku, enggak percaya.
"Kenapa? Takut?" godanya, senyum tipis. Aku enggak perlu disuruh dua kali. Kontolku yang masih tegang kembali bersarang di antara selangkangannya. Posisi kami lebih terbuka, di bawah cahaya terang. Aku berdiri, dia di meja. Tiap dorongan itu pertarungan antara sadar dan nikmat murni. Tante Sarah ngelengkungin punggungnya, desahannya makin kencang, menggema di dapur. Tangannya cengkram tepi meja, tenaganya kuat, keringat ngalir di dahinya. Aku denger bunyi decak basah yang makin intens, suasana makin panas.
Menjelajah Sudut Lain
Tapi Tante Sarah kayaknya belum puas. Di tengah nikmat itu, dia lepasin cengkramannya dari meja. "Sini, Den," bisiknya lagi, suaranya serak karena nikmat, narik aku ke pojok dapur, deket kulkas besar. Dia balik badan, nunduk dikit, pantatnya yang montok nonjol ke arahku. Posisi doggy style ini ngundang banget. Aku bisa lihat jelas tiap dorongan penisku bikin bokongnya goyang sensual. Aku cengkram pinggulnya, makin dalam, makin cepat. Suara kulit kami bergesekan, diselingi rintihan dari Tante Sarah. Rambutnya nutupin muka, tapi aku tahu dia nikmatin tiap detik. Aku bayangin ekspresinya, mata merem, bibir terbuka.
"Tante, kamu gila," gumamku, enggak bisa nahan diri.
"Demi Deni..." desahnya. Aku hentak dengan kekuatan penuh, cuma mikirin nikmat yang makin puncak. Tante Sarah terus mendesah, nyebut namaku berkali-kali, "Ahh, Den... lagi, Den... lebih cepat!" Tiap hentakan bikin badannya gemetar, sensasinya luar biasa. Aku tahu puncak sudah dekat. Aku merem, biarin sensasi itu nguasain aku, enggak ada pikiran lain. Otot perut bawahku menegang, gelombang orgasme kedua membanjiri diriku, nyemprotin sisa air mani ke dalam dirinya.
Akhir yang Tak Terlupakan
Kami pun terdiam, napas ngos-ngosan, tubuh masih panas. Nikmat tak terlukiskan, tapi sekarang lega. Aku peluk Tante Sarah erat, hangat, penuh kasih.Dia nyenderin kepala di bahuku. Kami berdua puas dan senyum bahagia. Malam itu enggak bakal aku lupain. Ini adalah sebuah cerita dewasa yang terukir di sudut dapur itu.