Tante Sange Berat Melihat Kemaluanku Yang Sudah Tegang Dibalik Celana

Cerita Tante Sange Berat

Pagi itu, aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Sudah pukul delapan tepat, dan aku harus segera berangkat. Ponselku berdering. Kulihat layarnya, ada panggilan dari Tante Maya, saudara ibuku yang tinggal di kota sebelah. Aku mengangkatnya.

"Halo, Nak... kamu sibuk nggak pagi ini? Tante butuh bantuan banget nih," katanya. Suaranya terdengar sedikit cemas. Tante Maya menjelaskan laptopnya bermasalah, ada aplikasi penting yang harus diinstal untuk pekerjaannya, dan dia tidak mengerti caranya. "Bisa mampir sebentar ke rumah Tante? Nggak akan lama kok, cuma butuh bantu sebentar," bujuknya, nadanya terdengar memohon.

Aku menghela napas. Sebenarnya aku sudah merencanakan untuk tiba lebih awal di kampus demi presentasi. Tapi, ini Tante Maya. Dia selalu baik padaku dan sering memberiku uang saku. Aku tidak tega menolak. Lagipula, kuliahku baru dimulai agak siang, pukul 10.00. "Baik, Tante. Aku ke sana sekarang," jawabku. Aku memeriksa kembali penampilanku dan segera bergegas.

Pertemuan yang Menghangatkan

Perjalanan dengan motor menuju rumah Tante Maya hanya sekitar dua puluh menit. Aku tiba di sana sekitar pukul 08.30. Aku memarkirkan motor dan melangkah ke pintu utama. Pintu rumahnya sudah terbuka setengah. Aku mengetuk dan melangkah masuk sambil memanggil namanya. "Tante Maya...?"

Tak lama, Tante Maya muncul dari dapur, membawa nampan berisi dua gelas. Dia mengenakan daster rumahan berwarna pastel. Rambutnya hitam sebahu dan wajahnya tanpa riasan tebal. Senyumnya yang manis menyambutku. "Wah, cepat banget sampai! Masuk, masuk," serunya. Dia mengajakku duduk di ruang tamu yang bersih dan nyaman, menyuguhkan segelas air putih dingin. Aku meminumnya dan menyeka keringat di dahiku.

"Duduk sini, Nak," kata tante Maya sambil menunjuk sofa. "Kamu udah sarapan? Tante siapin kopi?"

"Sudah, Tante. Terima kasih," jawabku. Kami berbincang ringan. Tante Maya bertanya tentang kuliahku dan bagaimana kabarku. Aku mulai mengerjakan laptopnya yang tergeletak di meja kopi. Proses instalasi berjalan lancar.

Di tengah kesibukanku, Tante Maya meraih ponselku yang tergeletak di sofa. Dia mulai melihat-lihat foto-foto terbaru yang kusimpan, sesekali bergumam. "Oh, ini di mana? Bagus sekali!" Lalu, matanya terpaku pada beberapa foto yang kuambil saat liburan di pantai. Aku sedikit gugup, terutama karena ada beberapa foto saat aku berenang yang hanya memakai celana pendek.

"Wow, kamu terlihat ganteng sekali di sini, sayang dia tertutup oleh celana kamu," kata Tante Maya sambil tersenyum genit. Suaranya terdengar lebih rendah dan intim. Aku mencoba menutupi rasa maluku dengan tertawa kecil.

"Ah, biasa aja, Tante," kataku, sedikit salah tingkah.

"Nggak biasa ini, Nak," balas Tante Maya, tatapannya lekat. "Tante nggak nyangka kamu bisa seganteng ini." Dia terkekeh pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya, seolah ada gairah tersembunyi. Namun, apa yang terjadi selanjutnya membuatku terkejut.

Godaan yang Sulit Ditolak

Tante Maya mulai beringsut mendekat. Dia bergeser dan duduk tepat di sebelahku di sofa. Jarak kami kini begitu dekat. Wangi parfum samar darinya terasa kuat. Matanya tidak lagi tertuju pada ponsel, melainkan lurus ke arah paha dan area pribadiku yang tertutup celana jeans. Tatapannya intens. Aku merasakan detak jantungku semakin cepat, dan tubuhku mulai menegang. Sebuah berat tak kasat mata menjalar di antara kedua kakiku. Aku menelan ludah.

Belum sempat aku bereaksi, Tante Maya meraih pinggangku. Sentuhannya lembut tapi kuat, menarikku sedikit lebih dekat. "Kamu wangi sekali, Nak," bisiknya. Sebelum aku bisa menghindar, bibirnya sudah mendarat di bibirku, menciumku dengan nafsu. Ciuman itu dalam dan menuntut. Mmuacch! Lidahnya mencoba menyusup masuk, dan tangannya di punggungku semakin intens, meremas pelan.

Tubuhku menegang, antara terkejut, takut, dan tergoda oleh kehangatan yang tiba-tiba mengalir. Aku mencoba menolak, namun lidahnya sudah menyusup masuk, melilit lidahku, dan sentuhan tangannya di punggungku semakin intens. Desahan halus keluar dari bibirnya, "Mmmhh...", merayu dan menggodaku, membuat bulu kudukku merinding. Aku merasa terperangkap, sulit menolak godaan itu. Pikiranku kalut, berteriak "jangan!", tapi tubuhku seolah tidak mematuhi. Pelan-pelan, Tante Maya menggeser tangannya ke bawah, meraba pahaku, lalu membuka kancing celanaku satu per satu. Rasa dingin di area itu membuatku tersentak, namun aku tak mampu bergerak. Tak lama, dia berhasil mengeluarkan kemaluanku yang sudah tegang.

"Astaga... kau sudah sangat tegang," bisik Tante Maya, suaranya parau penuh nafsu, matanya menatapku lekat-lekat. Bibirnya melengkung menggoda, "Aku sangat sange, Aku ingin merasakan kemaluan-mu di dalam sangkarku. Aku sudah tidak tahan."

"Tante... jangan..." bisikku, suaraku tercekat.

"Sssst... jangan menolak, Sayang," dia membelai pipiku. "Tante sangat menginginkannya. Kamu tahu kan, tante juga manusia biasa." Tiba-tiba, terlintas di benakku bahwa Tante Maya adalah kakak ipar ayahku, seorang figur yang seharusnya dihormati. Tapi pikiran itu sirna seketika. Kata-katanya membuatku tak bisa lagi menahan diri. Segala pertimbangan moral dan etika sirna. Dengan satu gerakan cepat, Tante Maya membuka dasternya, lalu melepaskan semua pakaiannya hingga telanjang bulat di depanku. Pemandangan itu, ditambah suasana yang memanas dan aroma tubuhnya yang menguar, melumpuhkanku.

Aku membalas aksinya dengan tak kalah ganas. Tanganku langsung menarik tubuhnya mendekat, mencium bibirnya lagi dengan lebih berani, melumatnya. Lidah kami saling beradu, bertautan, menciptakan suara basah, "Slurp! Slurp!" di tengah napas kami yang memburu. Tanganku merayap ke punggungnya, lalu meraih payudaranya yang kenyal, memijatnya lalu meremasnya dengan nafsu. Tante Maya mendesah panjang di sela ciuman kami, "Ahhh... kau tahu caranya...". Tangannya yang bebas menelusuri pinggangku, meremas pantatku, menarikku lebih rapat. Tubuh kami saling menempel, merasakan kehangatan kulit satu sama lain yang mulai berkeringat.

Desahan kami semakin intens, bercampur aduk memenuhi ruangan. Aku perlahan memosisikan diri. Tante Maya mengaitkan kakinya di pinggangku. Dengan dorongan lembut namun pasti, aku mulai memasukkan kemaluanku yang sudah keras ke dalam vaginanya yang terasa begitu basah, hangat, dan siap menerima. Sensasi panas dan ketat menyambutnya, membuatku mengerang tertahan, "Mmmph!". Tante Maya mendesah kencang, "Ahhh... masuk...", punggungnya sedikit melengkung, merasakan masuknya diriku.

Kami bercinta dengan gairah dan nafsu yang membara. Setiap dorongan pinggulku dibalas dengan renggutan pinggulnya yang aktif, menciptakan irama yang semakin cepat dan kuat. "Deg! Deg! Deg!" suara tubuh kami beradu. Keringat mulai membasahi tubuh kami. Tante Maya meremas rambutku, sesekali mendesah panjang dengan mata terpejam, "Ohh... ya... lagi...". Dia memelukku erat, menggesekkan panggulnya, mendorongku untuk bergerak lebih dalam. Aku berganti posisi, sesekali mengangkat tubuhnya agar bisa masuk lebih dalam, lalu menurunkannya lagi, mengubah ritme. Aku semakin mempercepat gerakan pinggulku. Tante Maya pun mulai mengejang, merasakan puncak kenikmatan, suaranya semakin melengking, memanggil namaku, "Aduhh... Sayang... Nakk...". Kuku-kukunya mencengkeram erat punggungku, meninggalkan jejak merah.

Dengan satu gerakan yang mendalam, aku akhirnya mencapai klimaks, melepaskan semua ketegangan dan gairah dalam diriku. Cairan hangat menyembur di dalam dirinya. Tante Maya juga ikut mengejang hebat, tubuhnya bergetar, merasakan ledakan kenikmatan dari dalam tubuhku, suaranya putus-putus, "Ahhh... ahhh... keluar!". Kami berdua terdiam sejenak, hanya suara napas yang memburu yang terdengar, memenuhi kesunyian. Aku merasa lega, namun seketika itu juga rasa bersalah menusuk, menelan semua kenikmatan. Apa yang baru saja terjadi? Ini Tante Maya, saudara ibuku. Bagaimana ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalaku, menggerogoti ketenangan yang baru kudapatkan.

Kenangan yang Menggoda

Setelah beberapa saat, kami berdua saling menatap, ada senyum canggung namun juga sedikit rasa puas. Keringat membasahi dahi kami, dan napas kami masih terengah-engah. Tante Maya sedikit terhuyung saat bangkit, merapikan dasternya. Aku segera berpakaian kembali, merapikan kemeja dan celanaku, mencoba mengembalikan semua ke tempatnya.

"Kamu hebat sekali, Nak," kata Tante Maya sambil mengelus lenganku. "Tante tidak menyangka... ini jauh lebih dari sekadar menginstal aplikasi."

Aku hanya mengangguk, sedikit malu. "Sudah selesai, Tante. Laptopnya juga."

Tante Maya, dengan tenang namun dengan tatapan penuh arti, mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam saku dasternya dan memberikannya kepadaku. "Terima kasih banyak ya, Nak, sudah mau bantu Tante," katanya dengan senyum berbeda dari biasanya. Dia meletakkan beberapa lembar uang di telapak tanganku, berat rasanya di tanganku.

"Tidak perlu, Tante," tolakku sopan, meskipun hatiku ragu.

"Ambil saja, ini sebagai ucapan terima kasih Tante," dia memaksa. Aku menerima uang itu dengan perasaan campur aduk, antara bingung, malu, dan tidak nyaman. Aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari sana. "Tante Maya, aku pamit dulu. Harus segera ke kampus."

"Hati-hati di jalan, Sayang," Tante Maya melambaikan tangan dari pintu. Aku segera pamit dan berlalu begitu saja.

Saat aku melangkah keluar dari rumah Tante Maya, udara pagi yang segar tidak mampu menghapus kekacauan di benakku. Pikiranku berkecamuk. Aku merasa campur aduk antara rasa bersalah yang luar biasa, rasa puas yang aneh, dan kebingungan atas apa yang baru kualami. Pengalaman intim dengan Tante Maya ini terasa surreal. Di satu sisi, ada sensasi kedewasaan yang tak terduga, sebuah pengalaman baru yang intens dan meninggalkan jejak yang dalam. Namun di sisi lain, ini adalah perbuatan yang tidak seharusnya, sebuah pengkhianatan kecil terhadap batasan keluarga. Keraguan dan pertanyaan memenuhi pikiranku sepanjang perjalanan pulang. Apakah ini salah? Haruskah aku merasa seburuk ini? Tapi rasanya... rasanya tidak bisa kulupakan.

Sesampainya di rumah, pukul 09.50, hal pertama yang kulakukan adalah segera mencuci diri. Aku berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin membasuh tubuhku, mencoba membersihkan semua ingatan dan perasaan yang mengganggu itu. Aku mencoba melupakan kejadian tadi pagi, membuangnya jauh-jauh dari benakku. Namun, sia-sia. Kenangan itu menempel erat.

Hingga saat ini, bahkan setelah beberapa waktu berlalu—hari berganti minggu, minggu berganti bulan—aku masih terbayang betapa nikmatnya hubungan intim yang kualami bersama Tante Maya. Setiap detailnya, dari sentuhan awal, bisikan sensualnya, hingga desahan kami yang memburu, semua terngiang jelas di telingaku, di benakku, dan di setiap serat tubuhku. Itu adalah kenangan yang menggoda, sekaligus menakutkan. Menggoda karena sensasi yang tak terlupakan, menakutkan karena konsekuensi dan implikasi moralnya. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, untuk menjaga agar tidak terjadi hubungan intim yang tidak seharusnya di antara kami lagi. Aku harus bisa mengendalikan diri, menempatkan batasan, dan memahami bahwa ada hal-hal yang tidak boleh dilampaui. Namun, dalam kesendirianku, di tengah malam yang sunyi, desahan Tante Maya masih terngiang jelas, sebuah rahasia yang akan kubawa sendiri, entah sampai kapan. Seolah itu adalah ujian terberat yang pernah kualami, sebuah cerita dewasa yang akan selalu membekas.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel