Lizia, murid pindahan di SMA Nusa Bangsa, merasa sedikit gugup saat diperkenalkan kepada kelas barunya. Keputusan untuk pindah sekolah didorong oleh keinginan untuk menghindari perhatian yang berlebihan dari beberapa teman laki-laki di sekolah sebelumnya. Ia seorang gadis pendiam, cenderung pemalu, dan sering merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian, meskipun secara diam-diam ia menyadari dirinya memiliki daya tarik.
"Ini Lizia, siswa baru kita," kata Bu Widia, wali kelas, suaranya ramah. Lizia hanya mampu mengucapkan, "Halo," dengan suara pelan, sambil menundukkan kepala. Bisikan-bisikan kecil terdengar dari teman-teman sekelasnya, mengomentari kecantikan Lizia yang tetap terpancar meski tersembunyi di balik kacamata berbingkai sederhana. Bu Widia menunjuk sebuah kursi kosong di bagian belakang kelas. "Silakan duduk di sana, Lizia."
Saat berjalan menuju tempat duduknya, pandangan Lizia tertuju pada seorang siswa laki-laki tampan yang duduk di sana. Ia tampak tenang, dengan tangan terlipat di dada, mengeluarkan aura misterius yang sedikit membuat Lizia merasa tidak nyaman. "Permisi," bisik Lizia pelan, meminta izin untuk duduk. "Kamu ngomong sama siapa?" tanya Gea, salah satu teman sekelas yang duduk di depannya, menoleh ke belakang.
Lizia terkejut. Ia kembali memandang siswa laki-laki itu, memperhatikan seragamnya yang sedikit berbeda dari seragam siswa lainnya. Wajah Lizia memucat. Dengan gugup, ia membenarkan kacamatanya dan buru-buru membuka tasnya, berusaha mengabaikan kehadiran siswa tersebut dan juga pertanyaan Gea. Ada sesuatu yang terasa berbeda, yang tidak bisa ia jelaskan. Ia menyadari bahwa siswa itu bukan manusia biasa. Ini adalah pengalaman pertama Lizia berinteraksi dengan makhluk yang tampak nyata namun berbeda, sesuatu yang melampaui pemahamannya.
"Ini pertama kalinya seseorang bisa melihatku," bisik suara yang membuat bulu kuduk Lizia merinding. Meskipun ketakutan mulai menguasainya, ia berusaha untuk fokus pada pelajaran Fisika yang mulai disampaikan Bu Widia. "Jangan pura-pura," desis suara itu lagi, lebih dekat kali ini, hingga Lizia merasakan sentuhan yang tak terduga di tubuhnya, menimbulkan rasa terkejut dan panik. "Namaku Heksa," bisik suara itu, semakin dekat, membuat Lizia tersentak dan berdiri dari tempat duduknya, menjerit karena terkejut.
merasakan sentuhan hantu. Selama ini dia tidak bisa merasakan seketara itu. Biasanya hanya bagai tiupan angin.
Dan hantu itu tadi terlalu jauh dan nakal menyentuhnya.
“Ada apa?”
Lizia menelan ludah, mencoba bernafas normal saat semua mata tertuju ke arahnya. Menatap Lizia yang panik dan gugup.
***
“Gimana hari pertamanya?” Celine memeluk sekilas sang anak.
“Baik, ma.” jawab Lizia lembut, mencoba baik-baik saja padahal energinya sudah 0%.
Celine tersenyum. Lizia adalah jiplakan Abidzar. Berbeda dengan satu anaknya lagi yang laki-laki.
“Kalau aku ga suka, ma.” Lanon berjalan dengan seragamnya yang berantakan bagai berandalan. Melempar asal tas gandong yang isinya hanya satu buku, satu pulpen, dan bola plastik.
Celine menghela nafas panjang. Dan dia jiplakannya. Nakal sekali, pasti ada saja masalah yang dibuatnya.
“Kamu emang dasarnya ga suka sekolah,” Abidzar muncul, dia juga baru pulang dari kantor cabang mertuanya yang sementara dia ambil alih baru kelak Lanon yang menggantikannya.
“Nah, itu.” Celine setuju sekali, menatap Lanon gemas plus kesal. Kenapa tidak persis Abidzar semuanya.
“Lizia suka sekolahnya?” tanya Abidzar lembut, mengusap puncak kepala anak perempuannya.
Lizia tersenyum, tidak ingin merepotkan orang tua jika harus pindah lagi. Dia akan mencoba bertahan walau tidak suka dengan hantu nakal itu.
Lebih tepatnya hantu yang kini berdiri di belakangnya, mengekorinya sampai ke rumah. Lizia tidak tahu bagaimana cara mengusirnya di saat mantra ilmu hitam maupun putih yang dia tahu tetap tidak mempan.
“Suka, baba maksudnya papa.”
“Senyamannya aja, mau papa atau baba sama aja. Kamu selalu jadi putri kecilnya baba,” Abidzar mengusap kepala Lizia sekilas.
“Ga ada hantu, Li?” tanya Lanon acuh tak acuh, menatap lekat sang adik, tidak berkedip lama.
“Ada, tapi ya gitu, kak.” jawab Lizia pada kembarannya. Begitu pelan, lemah lembut khas Abidzar hanya Lizia persi perempuannya, sangat lembut sekali suaranya.
“Hm, hantu apa?” Lanon melepas seragam atasnya hingga hanya menyisakan kaos.
“Kamu baik-baik aja?” Celine menerobos rasa penasaran Lanon. Dia lebih khawatir dari pada penasaran.
“Apa hantu di sana ganggu kamu? Bilang ke baba, nanti baba bantu pindah, ga masalah keluar uang banyak asal anak baba nyaman, kalau udah ga kuat, home schooling aja ya,”
Lizia menggeleng. “Ga papa. Mereka ga ganggu,” balasnya.
“Jadi, gue ga ganggukan?” bisik Heksa seksi dengan suara pubernya yang berat. Jemarinya mengusap pantat Lizia usil.
“Aku ke kamar, ma, paba, kak.” pamitnya dengan agak berujar belepotan sampai typo.
Hanya di kamar Heksa tidak akan bisa masuk. Semua hantu tidak akan bisa masuk. Yakin Lizia.
Namun dugaannya salah.
Lizia sampai terduduk lemas saking terkejut melihat Heksa dengan santainya mengamati isi kamarnya yang penuh penangkal hantu.
Lizia memang sudah dibekali banyak ilmu putih dibanding ilmu hitam dari dia kecil, mengingat dia memiliki kelebihan yang bisa saja membuatnya celaka.
“Keluar!” pada akhirnya Lizia tidak bisa mengabaikannya, apalagi hantu di depannya nakal.
Berani menyentuh, mengintipnya di toilet sekolah dan kini ikut ke rumahnya.
“Nah, akhirnya ngaku kalau lo liat gue,” Heksa berjalan mendekat, menatap Lizia dengan teramat tertarik.
Selama ini hidupnya sebagai hantu yang tidak terlihat begitu membosankan. Mengintip, menyentuh beberapa perempuan yang tidak sadar dengan sentuhannya. Sungguh tidak seru.
Heksa melepas seragam di tubuhnya hingga menyisakan kaos hitam, dia menginginkan lawan yang bisa tahu dirinya dan merasakan sentuhannya.
Kalau bisa balas menyentuhnya.
Lizia membacakan bacaan pengusir hantu yang biasa dia gunakan. Dia terus terpejam, mencoba fokus namun gagal saat merasakan hembusan nafas ada di depan wajah, menerpanya.
“Ga hari ini.” Heksa memilih akan mendekatinya perlahan. Demi Lizia mau balas menyentuhnya. Dia harus mendekatinya dengan baik, demi tercapai keinginannya itu.
“Berhenti komat kamit, gue ga ngerasain apapun.” Heksa duduk di kursi belajar Lizia, memutarnya santai.
Bagi manusia biasa, kursi itu berputar tanpa ada siapa-siapa. Tapi bagi Lizia, di sana ada Heksa dengan tatapan tajam yang terus menatapnya tak terbaca. Tidak melepaskan tatapannya bagai pemangsa.
Lizia menatap seragamnya yang berbeda dengannya. Entah kapan dan dimana seragam itu di pakai.
Tapi dari tulisan yang ada di seragamnya, namanya sama dengan seragam yang dirinya pakai.
***
Heksa selalu mengganggu. Masalahnya bukan gangguan biasa seperti muncul tiba-tiba dengan wujud menyeramkan.
Tapi hantu satu itu berparas tampan dan kelakuannya sungguh gila. Menyentuh tubuhnya sesuka hati, mengintipnya saat mengganti seragam olah raga.
Lizia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
Lizia mulai gelisah. Dia tidak suka dengan sentuhannya yang terasa dan keterlaluan.
“Katanya murid baru itu indomie,” bisik Sion.
“Bukan indomie, indihome,” ralat Nimas.
“Kalian ck! Indigo,” Gea terlihat kesal pada dua temannya itu.
Lizia samar mendengar bisik-bisikan itu. Dengan terus merasa tidak nyaman merasakan usapan di paha kirinya yang terus saja usapan itu masuk ke dalam rok dan menyelinap masuk ke dalam celana dalamnya.
Lizia segera bangkit dengan terengah panik. Jemari dingin itu menyentuhnya semakin hilang batas.
Gea, Sion dan Nimas sontak terkejut dengan gerakan Lizia. Mereka pikir Lizia marah karena membicarakannya.
Di dalam kelas itu memang hanya berisi mereka yang memilih tidak pergi ke kantin.
“Kenapa, Lizia?” Gea mendekatinya yang pucat dan panik. Apa melihat hantu? Apa benar indigo?
Lizia segera menggeleng lalu tersenyum dan kembali duduk dengan gugup. Dia membuka buku, mulai membaca walau tidak fokus. Ngocoks.com
Gea pun memilih tidak mengganggu lagi.
Lizia melotot samar, menatap Heksa yang bergerak turun masuk ke kolong meja. Senyum bad boynya muncul.
Lizia mencoba merapatkan kakinya agar Heksa tidak bisa mengintip namun tenaganya kalah.
Lizia melirik sekitar dengan gelisah. Bagaimana bisa Heksa memasukan kepalanya ke dalam rok. Dengan segera Lizia berdiri dan berlari pergi.
Gea, Nimas dan Sion sontak menatap kepergiannya.
“Dia denger kita ngobrol kali ya?” Nimas jadi tidak enak hati, padahal maksud mereka tidak menjelekannya, membully atau apapun itu.
Heksa keluar dan berdiri santai, memasukan jemari ke saku celana seragamnya. Lalu tersenyum miring.
“Lizia cantik, gue mau dia.” gumamnya lalu bersiul.
Bersambung… Lizia menutup pintu kamar mandinya. Dan terkejut samar saat melihat Heksa menembus pintu. Kali ini dia bisa melihat bahwa dia sungguh hantu walau wujudnya sangat sempurna seperti manusia.
“Mau mandi?” Heksa berdiri di depan Lizia.
Lizia memalingkan wajahnya, mencoba tidak panik. “Aku emang bisa liat kamu, tapi bukan berarti kamu seenaknya. Aku bisa bantu kamu pulang, tenang di alam sana.. Jadi tolong, aku butuh privasi.” ujarnya panjang lebar namun dengan tatapan menunduk.
“Pulang? Tenang? Gue suka kayak gini, bebas tanpa ada yang liat.” Heksa membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Lizia.
Sungguh cantik. Lizia begitu terang, pantas saja banyak hantu yang penasaran. Ada aura penarik yang membuat banyak hantu tertarik.
Lizia tidak tahu harus bagaimana, berdoa, memakai ilmu yang diajarkan. Heksa tetap tidak bisa terusir.
“Gue bebas sentuh siapapun, ngintip siapa pun.” bisik Heksa di depan wajah pucat Lizia.
Heksa kecup bibirnya sekilas. Untuk pertama kalinya. Lizia jelas melotot kaget. Di dunia nyata belum pernah dan ciuman pertamanya dengan hantu
Lizia menggeleng, tidak. Itu tidak terhitung ciuman pertama karena dia hantu walau pun kecupannya terasa nyata.
Heksa menatap Lizia yang semakin pucat. Tidak lucu jika pingsan. Jika Lizia semakin takut, bukankah ingin melakukan banyak hal dengan Lizia akan terwujud lama?
“Oke, gue keluar.” Heksa tersenyum, dia usap kepala Lizia lalu pergi santai menembus pintu.
***
“Tolong antar ke ruang guru, mejanya Bu Ayun.”
Lizia dan Gea mengangguk lalu pergi bersama dengan kedua lengan memeluk buku yang sama banyaknya.
Heksa tentu menjadi terus mengekori Lizia. Hanya dia yang bisa melihatnya untuk pertama kalinya. Jelas tidak akan Heksa lepaskan.
Heksa yang posesif dengan apa yang menjadi miliknya jelas mengusir beberapa hantu yang ingin mendekati Lizia. Dia kini terlihat seperti pengawal Lizia dari dunia lain.
Lizia cukup lega dengan banyaknya makhluk yang langsung pergi karena diusir Heksa. Dia bisa sedikit mengangkat kepala, melihat beberapa hiasan di lorong sekolah barunya.
Biasanya Lizia tidak berani mengangkat wajahnya, takut bersitatap dengan para hantu dan mereka mendekatinya jika tahu dia bisa melihat mereka.
“Liz,”
“Ya?” cicitnya canggung.
Lizia selalu tidak bisa berteman, kadang penjaga dari alam lain setiap orang selalu seram-seram. Kadang juga membuatnya lelah karena energinya tersedot oleh penjaga yang memang kuat.
Tapi kali ini, Lizia menatap Gea. Dia tidak memiliki penjaga? Atau tidak terlihat ya? Aura Gea bagus, dia orang baik. Batin Lizia.
“Katanya kamu punya kelebihan, ya? Hari itu kita omongin kamu bukan ngejelekin kok, kita cuma penyuka horror. Jadi, waktu denger gosip kamu suka bicara sendiri di sekolah lama, katanya indigo, kita jadi pengen deket, temenan, ga lagi bully kok,” Gea jujur apa adanya.
Lizia menunduk gugup. Dia iyakan atau tidak ya?
“Jawab iya aja, sayang.” bisik Heksa dengan genitnya. Dia seperti playboy, tapi mungkin bedanya dia playboy di dunia hantu?
Lizia tersentak pelan mendengar bisikan itu, cukup kaget. Untung buku di pelukannya tidak jatuh.
“A-Aku.. Ga tahu, tapi bisa liat dan bicara sama mereka emang iya,” cicitnya gelisah, takut menjadi masalah dan semua orang malah menjauhinya.
Tapi Lizia yakin, aura Gea baik.
“Pergi ga lo!” Heksa terus mengusir para hantu dengan banyak rupa aneh itu. Lebih banyak korban kecelakaan karena di depan sekolah memang sering banyak kecelakaan.
Lizia melirik Heksa yang lumayan membantunya. Ternyata ada gunanya walau tetap saja takut dengan tingkah m*sumnya.
“Wah.. Di sini banyak ga?” bisik Gea.
Lizia mengangguk.
“Serius? Siang gini?”
Lizia mengangguk lagi, dia agak gugup saat Gea memepetnya takut. Padahal masih cukup ramai kelas lain yang sedang berolah raga.
“Mau ke meja siapa?” tanya guru yang berpapasan.
“Bu Ayun, bu.” jawab Gea. “Di ujung sanakan bu?” tanyanya.
“Iya, kirain kamu dua murid baru,”
“Ini yang murid baru, bu.”
Lizia tersenyum tipis nan canggung.
“Yaudah masuk aja,”
“Makasih, bu.”
“Murid baru yang akan jadi kesayangan gue,” ujar Heksa sambil memeluk Lizia.
Lizia melotot samar, manahan nafasnya juga karena merasakan kedekatan itu. Hembusan nafas Heksa bahkan di pipi kirinya terasa.
Gea menatap kekakuan Lizia. Apa dia melihat hantu? Bantinnya.
Gea melihat seragam Lizia yang mengkerut. Alis Gea sontak menyatu. “Liz, ada hantu ya?” tanyanya.
Gea melihat seragam Lizia yang mulai seperti semula. “Apa hantunya belit kamu?” tanyanya serius. Dipikirannya hantu siluman gurita.
“Ka-kamu liat?” cicit Lizia.
“Engga, ini seragam kamu mengkerut terus perlahan normal.” jelasnya.
“A-ayo simpen bukunya dulu.” Lizia memilih melangkah duluan. Gea pun menyusul dan menyimpan semua bukunya.
Lizia menatap sebuah brosur lusuh di ujung ruangan yang tertumpuk dengan buku bekas di dalam kardus.
Lizia meraihnya. “Gea, apa ini seragam lama di sekolah ini?” tanyanya pelan masih malu karena belum akrab.
“Iya, udah 5 tahun yang lalu kita ganti jadi seragam ala Korea gini,” jelas Gea.
Lizia melirik Heksa yang tersenyum. “Apa, sayang?” ujarnya dengan tatapan yang tajam, membuat senyumnya jadi menyeramkan. Lizia belum terbiasa melihatnya. Tapi, Heksa tampan.
Gea menatap arah pandang Lizia, tidak ada apapun. Apa ada hantu? Membuatnya merinding.
“Liz, ada apa?”
Lizia menatap Heksa. “Kamu di sini dari kapan?” tanyanya.
Heksa membungkuk sampai hidungnya hampir bersentuhan dengan hidung Lizia. Dengan segera Lizia mundur.
“Eh, kenapa?” panik Gea merinding.
Mana guru semuanya sedang mengajar ke kelas. Ada beberapa guru pun hanya hilir mudik.
“Ini, ada hantu yang pakai seragam ini,”
“Bilang juga, sayang. Hantunya tampan, nakal juga..” Heksa mengusap pantat Lizia.
Lizia sontak menepisnya.
“Ah kamu! Ayo keluar,” seret Gea panik.
Heksa mendengus kesal karena Lizianya diseret keluar tanpa menunggunya.
***
Lizia menatap Gea, Nimas dan Sion lalu melirik Heksa yang duduk di kursi sebelah Lizia yang kosong lalu tiba-tiba kepalanya rebahan di paha Lizia.
Lizia jelas kaku, dia panik dengan setiap pergerakan Heksa yang bisa saja merabanya lagi dengan kurang ajar.
“Jadi, ada laki-laki pake seragam ini selalu ngikutin kamu?” tanya Nimas sangat tertarik.
Lizia mengangguk. “Dia kayak seumuran kita.” jelasnya pelan masih agak canggung.
“Di mana?”
“Bilang aja lagi ndus vagin—” Heksa melotot melihat Lizia yang berhasil membungkam mulutnya.
Lizia juga kaget, kenapa dia bisa menyentuhnya.
“Ada apa? Ada sesuatu di bawah meja?” tanya Sion segera mengintip.
Heksa menatapnya kesal karena tanpa Sion sadari, wajahnya hampir berdekatan dengan Heksa yang masih rebahan di paha Lizia. Ngocoks.com
Mereka terus berbincang, mulai akrab. Dan Lizia sangat senang. Gea baik, tidak ada penjaga di tubuhnya, entah belum terlihat mungkin. Sion hanya ada leluhurnya yang baik, tidak membuat Lizia takut, dan Nimas ada perempuan cantik berkebaya, sepertinya warisan dari leluhurnya juga.
Ini pertama kalinya Lizia bisa mendapatkan teman dalam jumlah banyak dan langsung cocok.
***
Lizia merasa aneh. Ada sesuatu yang merayap di dalam selimutnya. Menyentuh pahanya yang memang hanya tertutup oleh celana pendek kain.
Lizia masih lelap, memilih mengabaikannya. Hingga tanpa disadari, celananya terlepas di dalam selimut itu.
Heksa mengendusnya, menjilatinya sampai Lizia menggeliat dan membuka matanya. Nafas Lizia terasa memberat.
Rasa apa ini?
Lizia gelisah saat merasakan sesuatu yang mendesak di bawah sana. Hingga rasanya melayang.
Lizia terpejam dan terengah. Apa dia tengah bermimpi. Tapi tunggu, ini bukan mimpi!
Lizia membuka selimut dan melotot kaget. Heksa tengah menyeka mulutnya. Terlihat puas dengan apa yang dia lakukan.
Bersambung… Lizia memakai pakaian serba tertutup, memastikan tidak akan mudah di lepas oleh hantu kriminal itu! Nakal sekali dan lebih nakal dari hantu yang selalu muncul tiba-tiba.
Heksa yang duduk di Sofa Lizia hanya memandangnya datar, dia sudah tidak bisa melihat kaki jenjang mulus Lizia dan perutnya yang selalu terlihat karena kaos yang dipakainya di rumah selalu crop top.
Lizia melirik Heksa yang hanya duduk menatap ke arahnya itu. Entah kapan dia bisa pergi, tapi jika pergi maka semua hantu akan tertarik lagi padanya.
Jujur saja, dengan adanya Heksa, semua hantu menyeramkan tidak berani mengganggunya. Heksa bagai penangkal.
“Gue kayaknya udah lama berkeliaran di dunia hantu, entah gimana kehidupan gue sebelumnya. Gue tiba-tiba aja ada di dunia yang penuh hal aneh, manusia kepala kuda, ular kepala manusia dan masih banyak lagi. Gue merasa paling normal, gue kayak manusia, lo merasa gitukan?”
Lizia duduk di ujung kasur, mencoba berani menatap Heksa yang wujudnya memang terlalu sempurna untuk ukuran hantu.
“Apa lo tahu alasannya? Lo punya hal spesial, apa lo ga bisa korek masa lalu gue?” Heksa terlihat lebih santai, aura playboy dan m*sumnya cukup tidak terlihat.
Usilnya Heksa memang agak lain. Bukan membuat orang jatuh, kaget atau hal lain yang dilakukan para hantu.
Usilnya Heksa memang nakal di jalur lain. Dasar m*sum!
Lizia menatap wajah tampannya lekat, mencoba menyerap energinya dengan harapan tertarik ke masa Heksa masih hidup.
Tidak ada.
Lebih tepatnya tidak bisa. Pandangan Lizia gelap seperti ada yang menghalangi. Energi Lizia bahkan tersedot banyak sampai mimisan.
Heksa segera beranjak, dia meraih tissue dan menyerahkannya. Lizia menerima dan segera menyeka darahnya.
“Gimana? Lo dapet?” Heksa usap kepala Lizia, rambutnya halus sekali. Dia sungguh senang bisa bertemu Lizia, menyentuhnya dan kelak dia akan mengajak Lizia tidur bersama.
Dia sungguh ingin merasakan itu, melakukan yang belum dia lakukan. Sepertinya dia mati muda? Entahlah.
Heksa sungguh tidak akan melepaskan Lizia.
Lizia menggeleng dengan masih sibuk pada darah yang keluar dari hidungnya. Tubuhnya lemas seketika.
“Gelap, ini pertama kalinya aku ga bisa.” ujar Lizia pelan.
Heksa memasukan kedua jemari tangannya ke setiap sisi saku seragamnya. Berdiri santai menunggu Lizia selesai dengan darah di hidungnya.
“A-aku butuh tidur. Aku mohon, jangan lakuin hal kayak waktu itu. Aku mau diajak kerja sama buat cari apa yang terjadi sama kamu, tapi jaga batas. Kita beda alam.” tatapan Lizia tetap menunduk tidak percaya diri.
“Hm.” gumam Heksa malas.
Heksa menatap hantu yang mengintip di jendela, dia segera mengusirnya. “Cewek gue mau tidur, pergi!” usirnya galak.
“Ga bisa masuk, bang. Kok abang bisa masuk?”
“Gue cowoknya, bawa temen lo jauh-jauh, jangan berisik!”
Lizia melirik sekilas dengan agak salah tingkah. Apa katanya? Cewek gue? Lizia melirik semua mantra, jimat dan hal lain yang mengisi kamarnya. Semua hal yang katanya bisa mengusir hantu, sungguh tidak ada efeknya pada Heksa.
Hantu yang lain tetap tidak bisa masuk. Lizia jadi penasaran.
Lizia pun mulai bersiap tidur. Dia akan kembali nyenyak. Akhirnya bisa tidur dengan normal tanpa suara bising dari para hantu.
Semua berkat Heksa?
Lizia mulai terlelap. Sedangkan Heksa menatap sosok yang tidak asing. Dia menembus pintu, dia keluar dari rumah Lizia dan berhenti di taman.
“Lo boleh deket, tapi tahu batas bajingan!”
Bug!
Bug!
Bug!
Heksa mencoba melawan, menepis tanpa mau kalah. Para hantu menonton perkelahian itu. Bahkan Lizia dalam mimpinya pun ikut menonton.
***
“Demam, dasar nakal!” Celine menjitak kening Lanon yang panas.
“Akh! Mama!” pekiknya agak merengek kesal. “Katanya demam, bukannya di sayang!” rajuknya.
“Ga usah sekolah.” Celine memasangkan pereda panas di kening Lanon dengan kesal. “Makanya dengerin kata orang tua! Jangan lewatin makan malam! Tidur terus kerjaannya!” omelnya.
Abidzar yang belum berangkat bekerja hanya berdiri sambil tersenyum melihat Celine yang mengomeli Lanon. Tingkah keduanya, keras kepalanya sungguh mirip.
Lizia yang mendengar keributan di kamar kakaknya jelas menghampiri mereka, menatap Lanon.
“Kakak kenapa memar? Berantem ya?” tanya Lizia lembut penuh perhatian.
“Memar?” Celine menatap anaknya. “Kakak cuma demam, ga ada memar, sayang.” Celine usap lengan Lizia sekilas.
Lizia sontak terdiam.
“Ekhem! Kakak ga sekolah, kamu berangkat sana..”
“Iya, ini mau.” Lizia berpamitan, menerima pelukan dan kecupan di pipi dari kedua orang tua dan kakaknya.
Lizia melirik sekilas Lanon yang memalingkan wajahnya. Lizia yakin, dia melihat memar tapi orang tuanya tidak?
Selain Heksa, Lizia juga penasaran dengan kakaknya itu. Apa dia sama seperti dirinya setelah bertambah umur? Mata batin yang kembali terbuka dengan sendirinya.
“Aw! Sakit, mama!” keluh Lanon saat omelan Celine di sertai pukulan kesal saking cemas.
Celine memang paling tidak bisa melihat anak-anaknya sakit. Dulu Lizia sakit sampai hampir meninggal akibat hal mistis. Sejak saat itu, sakit seringan apapun selalu membuat Celine takut dan cemas berlebihan.
“Baba! Bawa mama, malah bikin makin sakit,” dumelnya.
“Jadi kamu ga butuh mama?” amuk Celine semakin gemas. Dasar tidak pernah akur, sekalinya akur romantis sekali.
Abidzar segera membawa Celine ke kamar. Mendudukannya di ujung kasur.
“Anak kita sakit wajar, kamu terlalu berlebihan, sayang.” suara Abidzar tetap lembut, penuh kasih sayang.
Celine menghela nafas panjang. “Hal spesial yang Lizia dapat waktu kecil, buat aku trauma, Abi. Lizia hampir jadi mayat, aku ga mau kehilangan mereka.” lirihnya.
“Aku juga ga mau, kita berdoa ya, semua baik-baik aja. Lizia sama Lanon di jaga, terkhusus Lizia. Dia udah dibekali ilmu,” Abidzar menarik Celine, memeluk dan mengusapnya sampai tenang.
“Lizia liat Lanon memar, kita ga liat. Apa hal mistis yang buat Lanon demam?”
Abidzar menggeleng. “Aku ga tahu, sekarang fokus sembuhin Lanon dulu. Kalau ga kunjung sembuh, kita bawa ke guru spiritual mereka.” bisiknya.
Celine mengangguk, mendongak dan mencium Abidzar. “Jangan kerja, tiba-tiba kangen dan mau kamu.” bisiknya.
“Mau liburan? Kita rencanain, hm?” Abidzar tahu, betapa mumet Celine yang selalu di rumah.
***
Lizia melirik Heksa yang nemplok di punggungnya dengan dagu di bahu Lizia. Mereka begitu intim.
Lizia menggeliat tidak nyaman. Dia sedang olah raga. Hari ini jadwalnya olah raga. Bersama kelas sebelah yang jadwalnya di tarik ke jam yang sama.
“Lizia ya, salam kenal. Aku Hengky,” senyumnya begitu manis, tatapannya lembut bagai laki-laki baik.
“O-oh.. Iya,” cicitnya sambil menerima sekilas uluran tangan itu. Lizia berdebar, bukan karena dia tampan. Tapi ini pertama kalinya ada laki-laki mengajaknya berkenalan.
Biasanya di sekolah terdahulu, laki-laki usil yang mendekatinya, membuatnya tidak nyaman karena bullyan mereka.
Tapi kali ini terlihat berbeda.
Heksa menatap tajam wajah Hengky dengan penuh permusuhan. Berani sekali dia mendekati Lizia.
“Kamu pindah kenapa? Dari sekolah bagus ke sekolah umum begini,”
“I-itu, aku kurang nyaman aja.” Lizia tertunduk malu.
“Kita sekelas, tapi baru kenalan sekarang. Kamu selalu keliatan sibuk soalnya, jadi ragu buat ajak kenalan.”
“Lebih baik ga usah ajak kenalan,” sewot Heksa.
Entah kenapa, pertemuannya dengan Lizia yang singkat rasanya tidak singkat. Dia bagai sudah kenal Lizia dari lama.
“Anak-anak, setelah pemanasan, kita akan bermain bola volly,”
***
Lizia menatap Heksa yang masuk ke ruang gantinya. Lizia sontak memeluk tubuh atasnyaa yang hanya tertutup bra. Ngocoks.com
“Ka-Kamu!” suaranya begitu pelan dan panik. Di luar banyak temannya.
“Aku lagi jaga, banyak hantu yang mau ke sini.” datar Heksa seolah tidak tertarik berbuat m*sum lagi padahal mati-matian menahan untuk tidak mendaratkan bibir ke dua boba mungil yang menyembul di bra.
Lizia terhenyak saat melihat makhluk besar yang mengintip, Heksa jelas segera mengusir mereka.
Lizia merasa terpojok saat Heksa tidak sadar terus menghimpitnya di dinding toilet. Jika begitu, bagaimana Lizia bisa mengganti pakaian.
Heksa menunduk, mengendus leher Lizia yang begitu menegang kaku.
“Ck! Lucu, semakin takut semakin lucu,” bisiknya.
Dengan usil, Heksa melepaskan ikatan bra Lizia lalu menjauh dan memunggunginya dengan senyum miring terbit begitu tampan.
Lizia yang panik jelas memeluk dirinya sendiri lalu melirik kesal Heksa. Itu pertama kalinya Lizia bisa berekspresi kesal. Biasanya dia hanya akan mengalah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Lizia jadi terlihat lucu. Abidzar persi perempuan memang menggemaskan.
Bersambung… Pagi hari di hari libur, Lizia menggeliat dari tidurnya. Dia menghirup udara yang sejuk dengan nikmat, barulah membuka matanya. Ada suara gemericik air di kamar mandinya.
“Hm? Siapa yang man- oh kak Lanon mungkin.” gumam Lizia serak lalu menggeliat nikmat.
Lizia diam mengerjap, tidurnya sungguh pulas dan nyaman. Tidak ada drama pusing karena banyak terbangun oleh gangguan hantu di luar kamar.
Tapi tunggu! Di mana Heksa?
Lizia menatap pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Dia masih telungkup dengan wajah menghadap kamar mandi.
Heksa menggelengkan kepalanya hingga cepretan air dari rambut basahnya membentuk seni yang indah, tubuhnya pun terpahat dengan sempurna, Vline yang pria sekali.
Dan tongkat bisbol itu-
Lizia melotot sampai rasanya kedua mata akan melompat jatuh keluar dari tempatnya. Bagaimana bisa kelamin sebesar itu.
Heksa tertawa pelan melihat wajah pucat Lizia yang nyawanya seperti tercabut saking syok itu.
“Gue tahu lo ga polos, di laptop lo isinya cerita 21++..” Heksa melenggang santai dengan tongkat yang bergerak bagai belalai gajah.
Lizia semakin pucat. Dia segera memalingkan wajah dan membenamkannya di bantal. Wajah Lizia bagai kepiting rebus kini.
Dan apa katanya? Laptop?
“Kamu buka laptop itu?!” seru Lizia sampai tubuhnya bangun saking panik, malu dan campur aduk.
Dia menunduk menuju tempat laptop berada. Dia segera memeluk laptopnya. Dia merasa tidak memiliki privasi kini.
Lizia gelisah, terus memunggungi Heksa yang memakai seragamnya lagi.
“Lo bisa bikin gue ganti pakaian? Dengan ilmu yang lo punya?” Heksa urung memakai pakaiannya.
Lizia mengerjap gugup. Mungkin bisa? Entahlah, seingatnya belum pernah.
“Gue jaga rahasia tenang aja, asal lo juga bisa di ajak kerja sama.” bisik Heksa yang sudah nemplok di tubuh belakang Lizia.
Lizia melotot merasakan tongkat bisbol itu. Gila!
Lizia menyimpan laptop dan berlari keluar kamar. Dia tidak akan banyak berpikir, dia akan mencuri pakaian Lanon untuk menutup belalai itu.
Heksa tersenyum melihat Lizia yang terbirit-birit. Dia menatap miliknya yang keras lalu membelainya.
“Keras di waktu yang tepat, dia pasti ngiler.” gumamnya.
Heksa jadi ingat cerita dewasa yang Lizia buat di draf rahasianya dan ternyata dia seorang penulis. Lebih tepatnya penulis dewasa.
Heksa sungguh tertipu dengan kepolosan, kelemah lembutannya, dia yang pemalu, ternyata Lizia hanya bisa mengekspresikannya lewat tulisan.
Dia tidak pernah ciuman tapi cukup ahli jika membuat cerita dewasa. Bahkan Heksa sampai menganga setiap membaca perpartnya.
Imajinasi Lizia sungguh liar. Cocok dengannya yang memang m*sum.
***
“Hm.. Ga buruk,” Heksa menatap celana santai yang di pakainya.
Lizia menelan ludah dan segera memalingkan wajahnya yang seketika terbias warna pink. Dia menyesal memilih celana itu. Ternyata malah membuat anunya Heksa semakin menonjol besar.
Lizia panas dingin dan segera ke kamar mandi. Dia harus menyegarkan pikiran.
“Apa Heksa itu wujud dari imajinasi aku ya? Dia m*sum kayak tokoh pria yang aku buat,” gumam Lizia.
Lizia kembali terbayang tongkat Heksa, seketika menggeleng cepat.
“Lebih baik mandi,” Lizia melepas semuanya dengan cepat, dia ingin segera turun dari kamar dan sarapan.
Lebih baik kumpul bersama keluarga agar Heksa diam tak bertingkah.
“Sejumbo itu ternyata,” Heksa tidak berkedip melihat bulatan yang sangat besar. Tidak normal di tubuh Lizia.
Lizia sungguh baik menyembunyikannya.
Lizia menoleh cepat dan mematung. Heksa memilih meraih satu cincin yang selalu dia pakai itu, tertinggal tidak maksud mengintip.
Walau sebenarnya memang mencari kesempatan dalam kesempitan sih.
“Mau ambil ini, sayang. Lanjut,” Heksa pun berbalik dan menembus tembok lagi.
Lizia baru menghembuskan nafasnya. Dia tidak sadar menahan nafas saat melihat Heksa kembali masuk sembarangan.
“Bener-bener ga ada privasi,” lirih Lizia dengan wajah memerah malu. Padahal Heksa hantu, kenapa juga dia malu.
Bukan sekali dua kali ada hantu di toilet, melihatnya pipis dan sebagainya tapi kenapa dia malu pada Heksa?
Jangan bilang dia mulai terbiasa dengan kehadiran Heksa yang seperti manusia normal?
***
“Wah, gede banget. Enak di remas,” Heksa meremas angin sambil terus mengingat yang dia lihat dengan terpesona.
Heksa sangat suka dengan bentuk dan besarnya. Lizia sungguh tipenya sekali. Heksa jadi ingin menjadi manusia, tapi belum waktunya.
Heksa menatap langit cerah dengan bibir terangkat membentuk senyum misterius.
Heksa tiba-tiba ingat tulisan Lizia.
“Hisap, ya di situ. Tolong hisap, ohh..”
Jemari besar pria itu masuk satu persatu, hingga terbenam tiga jari. Wanita itu meringis, antara sakit dan nikmat.
Bibirnya terus menghisap, menjilat dengan jemari memutar atau menarik dan mendorong seirama.
Heksa menatap jemarinya. Jemarinya juga besar, uratnya timbul dan seksi tentu saja. “Si cantik mau coba ga ya? Tiga masuk,” gumamnya lalu tersenyum samar.
Heksa memilih bersantai di sofa. Dia bersiul, kadang tertawa geli mengingat semua novel yang Lizia buat.
Sungguh sisi Lizia yang satu itu membuat mood Heksa sangat baik.
Lizia yang lupa membawa pakaian jelas memakai jubah mandi. Dia tidak bisa memakai handuk dengan santai lagi. Dan kebiasaannya yang memakai celana pendek dan kaos crop top pun tidak bisa.
Ada hantu nakal di sisinya sekarang.
“Hi, udah selesai?”
Lizia menguatkan pegangannya pada jubah. “Udah, aku lapar jadi jangan ganggu.” cicit Lizia tersipu malu. Dia malu soal isi laptopnya.
“Oke, sayang.” Heksa tersenyum manis.
Lizia mengerjap, menatap Heksa terheran. Kenapa dengan senyumnya yang tidak biasa itu? Lizia segera meraih pakaian dan lainnya lalu kembali ke kamar mandi.
Tak lama Lizia keluar.
“Mau coba ga?”
Lizia urung mengambil pengering rambut. “Ha? Co-coba apa?” cicitnya tanpa berani menatap lama Heksa.
Heksa selalu gemas dengan suara lembutnya. “Coba, tiga jari besar.” Heksa gerakan ketiga jemarinya.
Lizia melotot samar lalu memilih segera keluar kamar tanpa peduli dengan rambutnya yang masih basah dan belum di sisir.
Heksa tertawa geli melihat kepanikan itu. “Kamu tertangkap basah sayang, ga kalah m*sumnya,” gumamnya begitu puas.
***
Heksa mengunci kedua tangan Lizia, terus menekan satu persatu jemarinya ke dalam pusat Lizia.
Heksa rebahan menyamping menatap lekat Lizia yang menggeliat, mengernyit dan mendesah halus.
Wajahnya memerah cantik, membuat Heksa mengecupinya lembut dengan terus membuat pusat Lizia nyaman oleh jemarinya. Ngocoks.com
“Ah.. Sakit,” lirih Lizia.
“Nanti juga enak,” Heksa menekan jari ketiga, Lizia begitu sempit.
“Ah..” Lizia tersentak saat Heksa menghisap lehernya lalu menggerakan ketiga jemarinya cepat.
Heksa tidak puas di sana saja, dia merobek pusat Lizia dengan tongkatnya hingga tenggelam dalam.
Lizia menjerit dalam nikmatnya dan Heksa menggeram di leher jenjang itu.
“Ahh..” Lizia meliuk dan-
Heksa terengah, menatap jemarinya yang penuh cairan kental. Dia terlihat lega, terpejam lalu tersenyum.
Hanya membayangkan Lizia dengan cerita yang gadis itu buat sungguh membuat Heksa puas.
“Dasar, cantik. Di imajinasi aja enak,”
Bersambung… Heksa berjalan santai menuruni anak tangga. Dia melirik ke arah meja makan. Di sana Lanon tengah mengeringkan rambut adiknya.
“Cih, kakak yang romantis.” Heksa menyentuh bekas lukanya sekilas lalu terus melangkah mendekati Lizia.
Lizia hanya melirik sekilas dan pura-pura acuh lagi. Dia hanya makan sarapannya saat rambutnya di gosok Lanon.
Heksa menatap Lanon yang berdiri tepat di sampingnya, meliriknya tajam lalu menghantamkan sisi tubuhnya pada Heksa sampai Heksa terpental dan duduk di lantai.
Lizia tersentak kaget dan refleks menoleh.
“Ada apa?” tanya Lanon.
“Ha? Engga, kak.” Lizia kembali memakan rotinya walau gugup.
Heksa menghembuskan nafas kesal. Jadi begitu cara main Lanon. Memang hebat dia, bisa mengelabui semua orang seolah dia tidak memiliki kelebihan yang sama seperti Lizia.
Dan setiap pukulan Lanon itu menyakitkan, tenaga dalam yang dia punya sungguh hebat. Heksa mengaku kalah.
Heksa berdiri dengan tertatih, membuat Lizia meliriknya lalu melirik Lanon yang bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa.
“Gue jaga adek lo! Lo malah sakitin gue bajingan kecil!” amuk Heksa.
Lizia kembali melirik keduanya dengan mulut penuh. Lanon terlihat masih asyik mengeringkan rambutnya.
Lizia menatap Heksa bingung, dia bicara dengan kakaknya?
Lizia berhenti mengunyah, membiarkan kedua pipinya kembung, dia menahan nafas saat Heksa mendekat lalu menempelkan bibirnya di bibir Lizia, menjilat sekilas sambil melirik Lanon dengan puas.
Heksa pun pergi dengan tertatih menuju kamarnya.
Lanon mengetatkan rahangnya. Dia kembali marah, hantu satu itu sungguh nakal. Lanon akan segera mengantarkannya ke neraka!
Dari awal datang hantu m*sum itu berani menyentuh adiknya. Dan barusan mencium bibir adiknya.
Memang minta di remukan!
“Ada apa?”
Lizia segera menggeleng. “E-engga,” jawabnya pelan nan lembut.
Lanon mengusap kepalanya sayang.
Celine menopang dagu dengan kedua telapak tangannya, tersenyum hangat melihat kasih sayang kakak dan adik di depannya.
Rasanya Celine maupun Abidzar tidak gagal membesarkan keduanya hingga seakur dan saling menyayangi.
Abidzar melirik Celine yang senyum-senyum senang bukannya sarapan itu. Tak hanya anak-anak, istrinya pun kini terlihat lucu. Padahal sudah tidak muda lagi.
Abidzar menghela nafas. Tidak menyangka waktu berlalu begitu cepat. Si kembar sudah besar sekarang.
***
Lizia memutuskan masuk ke kamar. Di luar banyak hantu dari luar rumah mengganggunya, tidak ada Heksa membuat mereka berani mengejutkannya dengan muncul tanpa lengan, kepala atau kedua mata yang menggantung penuh darah.
“Takut, hm?” Heksa tersenyum miring, dia yang menyuruh hantu-hantu itu mengganggu Lizia agar segera naik ke kamar.
Heksa bosan, dia ingin mengajak Lizia nonton film. Atau mengajaknya untuk kembali mengorek masa lalunya.
“Mau nonton?” Heksa tersenyum lembut, dia tidak ingkar dengan janjinya pada Lanon.
Dia akan memperlakukan Lizia dengan baik, tidak membuatnya terintimidasi dan ketakutan sampai cemas lagi.
Lawannya Lanon, dia terlalu hebat. Jika saja dia manusia, mungkin saat itu juga dia akan menjadi hantu.
“No-nonton?”
“Atau mau nulis cer—”
“Engga! Aku libur kalau hari libur!” potongnya cepat sebagai peralihan. Dia kembali merasa malu.
“Yaudah ayo nonton, film horror.” ajak Heksa.
Lizia pun mengalah, dia mulai menyalakan laptop.
“Padahal aku bisa jadi inspirasi, ga mau coba aku? Cari pengalaman nyata gitu, biar makin oke nulisnya..” bujuk rayunya.
Dengan wajah merah Lizia memilih fokus dengan judul-judul film horror.
“Kamu udah nemuin tokoh yang sesuai, punya tongkat bisbol.” Heksa mengusap celananya.
Dia dulu mengeluh karena miliknya besar dan panjang sampai kadang kepala tongkatnya tidak tertutup celana saking panjang. Jika begitu, dia akan melipat miliknya ke bawah dan itu lebih mengganjal.
Kini Heksa merasa senang memilikinya. Siapa tahu itu daya terik untuk Lizia mau bersamanya, menemani hidupnya yang membosankan sebagai hantu.
Lizia terbatuk pelan, salah tingkah dengan paniknya. Lucu. Jemarinya sampai bergetar gugup dan terus mencoba memilih judul.
“Itu, terkunci di dunia lain,” tunjuk Heksa.
Lizia juga agak tertarik. Melihat posternya para remaja SMA. Mungkin saja di dalamnya tidak ada hal begituan.
“I-iya, ini aja.”
Keduanya duduk bersandarkan kepala ranjang dengan laptop di pangkuan Lizia sesuai maunya Heksa.
Heksa sendiri asyik bersandar di bahu Lizia tanpa peduli gugupnya gadis itu yang walau kini mulai rileks karena film mulai seru.
Ada 5 sekawan. Mereka pencinta hantu, mulai berencana untuk mengisi kekosongan selama libur sekolah 2 minggu.
Dari ke gunung, laut dan wisata lainnya sudah mereka kunjungi dengan bahagia, penuh kenangan.
Hingga suatu hari, Rivalda mengusulkan untuk berburu hantu. Dia mengajak teman-temannya untuk ke sebuah sekolah terbengkalai.
“Dia omongannya agak sompral,” tunjuk Heksa pada pemeran Mikael.
“Hm, dia jadi kayak nantangin hantu,” balas Lizia begitu pelan dengan suara lembutnya yang khas.
Heksa sontak meliriknya yang terlihat tidak gugup lagi saking serius pada film mungkin. Cantiknya.
“Dia juga, terlalu sombong.” tunjuk Lizia.
Heksa malah asyik melihat bibir Lizia yang bergerak saat dia bicara.
“Di poster, Mikael sama Amad yang berdarah parahkan, Mikael lengannya kayak putus, terus—”
“Aku cium boleh?” potong Heksa.
Lizia sontak menoleh agak terkejut. Dia mematung saat bibir bawahnya Heksa usap-usap.
Heksa membenarkan duduknya lalu memiringkan wajah dan menempelkan bibirnya walau sekilas karena Lizia segera menjauh panik.
“Kita bikin kesepakatan,” Lizia akan memanfaatkan kesempatan.
“Hm?” Heksa terlihat tertarik.
“Aku kasih kamu cium, tapi tolong jangan ganggu waktu aku nulis, ada pembaca yang nunggu aku, jangan sentuh sembarangan isi laptop aku juga,” jelas Lizia agak sedikit gugup.
Heksa tersenyum. “Ciumnya setiap mau, deal?” tatapannya begitu lekat. Ini langkah yang bagus, penawaran yang sangat menarik.
Lizia panik di duduknya.
“Janji juga jangan sembarangan sentuh—”
“Kesepakatannya banyak dong, aku bisa minta lebih?”
***
Heksa mendongak, melenguh nikmat saat Lizia menghisap tongkatnya walau hanya bisa masuk setengah.
Mulut kecilnya yang hangat, sungguh memanjakannya.
“Kamu terbaik,” puji Heksa sambil menekan miliknya sampai Lizia memerah lalu terbatuk hampir muntah setelahnya.
Lizia terlihat sayu, dia terengah dan lalu membiarkan atasannya di buka, Heksa hisap setiap Kulitnya dan tak lupa dia remas.
Lizia sepertinya mulai menikmati. Apalagi saat mulut Heksa menghisap bagai bayi haus.
“Ah.. Haa..”
Lizia menutup laptopnya cepat dengan wajah semerah kepiting. Nafasnya memberat samar. Kenapa dalam Imajinasinya kini selalu Heksa yang muncul. Ngocoks.com
Sudah 3 hari sejak ciuman saat itu. Lizia selalu merasakan perasaan aneh. Jantungnya berdebar juga.
Heksa mengusap wajah gugup Lizia. Dia sungguh senang bisa melangkah selangkah lebih jauh.
Heksa kembali mendekatkan bibirnya. Mengecupnya ringan dua kali kemudian mulai melumatnya.
Lizia bisa merasakan, dingin dari mulut Heksa yang basah. Sapuannya begitu terasa, nafas dan semuanya. Getaran yang Lizia rasakan kenapa terasa nyata.
Lizia semakin penasaran, kenapa Heksa terjebak di dunia hantu. Kenapa dia terasa begitu nyata bagai manusia.
Ciuman ternyata begini ya rasanya. Batin Lizia.
Keduanya saling berjauhan dan memandang. Heksa tersenyum puas.
“Saatnya kita nonton lagi, cantik.” Heksa menjilat bibirnya sendiri. Terlihat menyukai apa yang dirinya lakukan.
Melihat itu Lizia berdebar. Heksa begitu seksi. Dia cocok menjadi tokoh yang sedang dirinya buat.
Bersambung… Heksa berjalan mendekati Lizia yang masih tertidur. “Udah cukup tidurnya,” dia guncang pelan lengan Lizia. “Saatnya bangun, sekolah.” lanjutnya.
Heksa melirik jadwal Lizia yang begitu manis dengan tulisannya cantik seperti orangnya itu.
“Pagi ini upacara, sebelum itu jadwal piket,”
Lizia sontak membuka matanya. Lagi-lagi Heksa berguna. Lizia menepis pemikiran itu dan memilih bergegas untuk bersiap dan berangkat sekolah.
Heksa jelas santai, dia bisa menghilang lalu muncul di sekolah, tepat di samping Lizia. Heksa begitu sibuk mengusir para hantu hingga mereka hanya bisa mengintip Lizia.
Lizia sudah tidak terlalu memikirkan hantu semenjak ada Heksa, semua perhantuan sudah diurus olehnya.
“Pagi, Liz.. Kesiangan ya?” sambut Gea yang tengah menyapu dalam kelas.
Maafkan Lizia yang belum terbiasa piket pagi. Di sekolahnya yang cukup mewah dulu, semua kebersihan sudah diatur OB. Tapi kali ini, dia sekolah di sekolah yang sederhana. Dia harus bekerja sama dengan beberapa siswa sesuai jadwal untuk menyapu dan merapihkan ruang kelas.
“Maaf ya..” cicitnya lembut, begitu pemalu sambil membenarkan kaca matanya.
“Santai aja, bagian sana belum.” tunjuk Gea seraya memberikan sapunya. “Eh, Liz.. Pagi ini ada hantu ga?” bisiknya penasaran.
Lizia menatap Heksa yang duduk di samping kursi tempat duduknya. Terlihat asyik menatapnya. Lizia jadi salah tingkah.
“Ada ya?” panik Gea saat melihat Lizia yang berpaling dan gugup itu, tidak berpikir Lizia tengah salah tingkah.
“I-iya..”
“Ihh sereeem! Kayak gimana bentuknya?” Gea terlihat takut tapi sungguh penasaran juga.
Sion muncul, terlihat sama tertarik melihat tingkah keduanya.
“Hantu-hantu?” bisiknya sambil mendekati dua perempun yang saling merapat itu.
“Iya, ada katanya, Yon.” bisik Gea.
Lizia melirik lagi Heksa yang terlihat rebahan di meja. “Dia kakak kelas kita yang waktu itu, seragamnya yang dulu,” jelasnya pelan.
“Dia jahat ga sih?”
“Bilang aja nakal, sayang.. Kalau mereka berani macam-macam, terutama cowok itu, liat aja!” Heksa kembali mengangkat wajahnya lalu tersenyum genit.
Lizia merona, kembali salah tingkah, membuat Gea dan Sion menautkan alis.
“Wajahnya jelas ga? Penasaran nih, kita minjem buku tahunan sekolah yuk? Kita cari sosoknya ada engga,” Sion berseru semangat.
Lizia terkejut senang mendengar ide itu, Heksa pun sama. Kenapa tidak terpikirkan soal itu? Oh iya, otaknya hanya berisi hal m*sum.
“Dia mau ga?” tanya Sion.
Lizia mengangguk senang. Gea dan Sion juga senang.
“Bilangin sama kamu. Ajak kakak itu ketemuan nanti pulang sekolah di perpustakaan.” ujar Gea.
“Dia denger kok,” Lizia melirik Heksa yang mendekat lalu mengecup pipinya. “Usir dulu dia,” bisiknya lalu Heksa menghilang dan saat muncul lagi sudah ada di ambang pintu, tengah menghantam makhluk jahat.
“Itu angin kenapa mendadak besar sampai pintu ke banting gitu,” panik Sion. “Apa hari secerah ini bakalan hujan?” beonya.
Lizia mengabaikan celotehan Sion, dia menatap Heksa dengan kerennya membuat para hantu seram itu terbirit-birit, ada yang menghilang juga.
Lizia merasakan jantungnya berdebar. Dia merasa dilindungi, selama ini tidak ada yang bisa membuatnya terlindungi bahkan guru spiritualnya sekali pun.
Heksa begitu terengah beradu energi dengan mereka yang tertarik pada Lizia. Keposesifan Heksa membuat Lizia tidak muak sama sekali.
Hidupnya perlahan mulai normal.
Walau Heksa m*sum, membuat Lizia takut tapi dia juga membantunya untuk hidup. Bahkan membantu untuk menjadi inspirasi cerita novelnya tanpa disadari.
Heksa dengan terengah, berkeringat dan memar menghampiri Lizia. “Aman, cantik. Kamu duduk sana, guru bentar lagi masuk.” Heksa lebih dulu duduk dan istirahat mengumpulkan energi lagi.
Lizia duduk dengan tidak lepas memandang Heksa. Ada sisi baiknya ternyata, perasaan Lizia menghangat.
“Liz, denger ga?” Gea mengguncang lengan Lizia. “Malah ngelamun, ada hantu ya?” bisiknya.
“Ha? Iya ada apa? Kamu bilang apa?” tanyanya pelan.
Heksa tersenyum tanpa mengubah posisinya. Lizia tengah terpesonakan? Itu pasti, selama hidup juga dia pasti sangat digilai. Narsisnya.
***
Lizia melirik Heksa yang berdiri di sampingnya, ikut mencari wajah yang serupa dengannya dibuku tahunan siswa itu.
“Ga ada,” Lizia berujar pelan.
“Coba tahun lain,” Heksa terlihat ingin tahu, apa benar namanya Heksa. Entah bagaimana awalnya, dia menamai dirinya sendiri menjadi Heksa.
“Kamu udah tua ternyata,” gumam Lizia yang masih Heksa bisa dengar.
“Baru beda 3 tahun, lebay!” Heksa mencubit pipinya sekilas.
“Aduh,” lirihnya lalu mengusap pipi.
Sion, Nimas dan Gea saling lirik bukannya fokus ikut mencari di tahun lain.
“Bener bisa ngobrol sama hantu,” bisik Sion begitu senang. “Akhirnya, kita bisa jalan-jalan ke tempat angker tanpa takut nginjek atau ga sengaja ganggu mereka. Lizia bisa bantu kita,” bisiknya.
Nimas juga mengangguk senang. “YouTube kita bisa jalan, seneng pisan gini aduh,” bisiknya riang.
Gea malah merinding, dia paling penakut.
“Ngapain?”
“Akh!” jerit Gea refleks, Padahal mereka sedang di perpustakaan.
Gea menoleh lalu pandangannya naik pada sosok tinggi yang begitu tampan. Astaga, dia siapa? Gea diam terpesona pada laki-laki yang berdiri di belakangnya.
Lanon tersenyum memikat, sampai Gea mematung pada pesona buayanya. Manis juga ni anak. Batin Lanon.
Gea kembali menghadap depan dengan jantung berdebar. Dia bisa merasakan punggungnya hangat karena Lanon serapat itu memepetnya yang berdiri di rak buku.
Lanon mengintip sebrangnya, membuatnya berhadapan dengan Lizia. “Ngapain? Lagi cari orang?” tanyanya pelan.
Lizia mengangguk lalu melirik Gea yang bagai kepiting rebus wajahnya, mana tubuh kecilnya terhimpit tubuh babon kembarannya.
“Iya.”
Heksa melirik Lanon dan Lanon pun sama. Keduanya saling berbicara lewat tatapan.
Begini kira-kira :
“Gue emang udah bilang, lo bukan koma atau meninggal, tapi jangan susahin adek gue!”
“Bukan ide gue! Noh cewek yang lo himpit sampai kayak mau mati.”
Lanon sontak menatap puncak kepala seorang gadis yang dia buat terhimpit itu lalu melirik dua temannya yang melongo bodoh.
Sion dan Nimas bagai anak kembar, keduanya melebarkan senyum sebagai sapaan.
Lanon segera berpindah ke sisi Lizia. “Gue bantu,” putusnya.
Heksa memilih masa bodoh saja.
“Kamu, murid baru barengan Liziakan?” Nimas menyuarakan rasa penasarannya.
“Hm, kita kembar ga identik,” jelasnya lalu tersenyum buaya.
Penampilan berantakan Lanon sialnya membuat Nimas dan Gea memerah. Aura bad boy dan playboynya mulai membius. Bukannya jijik, keduanya malah berdebar.
Mungkin karena ganteng. Kulit Lanon yang putih, wajahnya bule agak ke arab-araban membuat dia sungguh menggiurkan.
Heksa menarik Lizia ke pelukannya saat melihat satu buku hampir jatuh menyentuh kepalanya.
Lizia kaget, Lanon pun sama. Hanya ketiga manusia di sebrangnya yang tidak ngeh, hanya mendengar suara buku jatuh saja.
Heksa menatap hantu usil itu. Berani sekali mencoba menyakiti Lizia.
Heksa bergerak cepat terbang ke rak atas, mencekik tubuh anak kecil berwajah dewasa itu. Dia hempas sampai menghilang ketakutan.
Lanon tersenyum samar. Adiknya kini ada yang menjaga, lebih baik ke depannya dia tidak usil pada Heksa.
“Ciri-cirinya sesuai sama ini,” Gea menunjuk satu foto di angkatan ke 5 dari semenjak seragam ganti.
Lizia sontak mendekat dan matanya membola. “Iya, ini dia.” gumamnya. Namanya sama, Heksa.
“Serius?!” pekik ketiganya begitu senang, ternyata hantunya seganteng itu.
Heksa memepet Lizia sampai seperti posisi dipeluk dari belakang. Membuat Lizia kembali berdebar.
“Iya, ini gue.” gumamnya.
Lanon menatap alamat yang tertera. “Ini rumah dia, kalau aja keluarganya ga pindah.” ujarnya.
***
Lizia menarik selimut, melirik Heksa yang terlihat diam. Dia rebahan di sofa panjang yang ada di kamarnya.
“Udah tidur belum, sayang?” suara ketukan dan suara Celine terdengar.
“Belum, mama.”
“Mama sama baba masuk ya?”
“Iya,”
Keduanya pun masuk. Abidzar tersenyum hangat menatap anak gadisnya yang semakin cantik.
“Ikut,” suara Lanon mengudara dan mengekor di belakang Celine dan Abidzar.
“Keluar! Mama lagi marah sama kamu!” Celine mendelik marah.
“Tawuran itu wajar, ma.”
“APANYA YANG WAJAR?! EMANG MAU DIHAJAR AJA KAMU!” amuk Celine lalu mencoba mengatur nafas. Dia harus sabar, kenakalannya sungguh pindah pada Lanon.
Abidzar tersenyum sambil mengusap bahu Celine yang dia rangkul. Pertengkaran keduanya selalu terlihat lucu.
Lanon hanya kecikikikan, memang hobby membuat Celine darah tinggi saja. Marah Celine lucu di mata Lanon. Memang anak durhaka.
Lanon mendatarkan wajahnya saat melihat Heksa yang murung, dia hendak mengejeknya namun lebih baik jangan.
Lizia belum tahu kalau selama ini dia juga melihat apa yang dia lihat, sesekali membantu menjaga Lizia walau banyaknya dia main dengan perempuan.
“Seperti biasa, setiap seminggu sekali kita akan ngobrol semua hal yang bikin gelisah, apa sekolah baru sekarang nyaman?” tanya Abidzar yang langsung memeluk anak gadisnya. Ngocoks.com
Heksa menatap kehangatan itu, tersenyum melihatnya. Lizia berada di keluarga yang hangat.
***
Lizia terpejam menerima setiap lumatan di bibirnya tanpa menolak dan tanpa membalas juga.
Lizia tengah meresapi rasanya untuk bahan tulisannya nanti. Ternyata rasa kupu-kupu di perut itu seperti ini.
Lizia merasa gelisah di duduknya, di bawah sana agak berkedut saat jemari Heksa mengusap sisi pinggangnya dan terus menyesap, melumat bahkan menggelitik lidahnya.
Lizia meremas setiap lengan Heksa, menjaga agar tidak terlalu jauh walau dia mulai hilang akal.
“Ah..”
Heksa melepas ciuman basahnya lalu tersenyum. “Desahan yang merdu, cantik.” bisiknya.
Lizia mengerjap lalu segera membuat jarak dengan gugup. Dia sudah gila dan terlalu dalam meresapi rasanya.
Heksa kembali menarik Lizia dan mulai membuat bibirnya bengkak sebelum tidur.
Bersambung… Lizia terengah, dia tahan bahu Heksa. Entah bagaimana kini tubuhnya rebahan di atas kasur dengan Heksa menindihnya.
Ciuman Heksa membiusnya. Rasa baru yang menggelitik itu sungguh membiusnya.
“Lagi,” Heksa menekan bibirnya, mulai menghisap, mencecap rasa dari Lizia yang sungguh lebih nikmat dari sekedar mengintip, menyentuh mereka yang tidak sadar dengan sentuhannya.
Lizia hanya bisa menerima. Dia akan membuka mulut jika Heksa menjejalkan lidahnya. Jika sudah begitu, Lizia merasa hilang akal. Geli sekali perutnya.
“Keluarin lidahnya,” bisik Heksa.
Lizia membuka mata agak tidak paham tapi anehnya dia menurutinya, menjulurkan lidah yang langsung Heksa tabrakan dengan lidahnya, dia belaikan lidahnya lalu menghisapnya.
Lizia mulai merangkai kata di otaknya dengan rasa yang dia rasakan. Novelnya yang sempat tidak lanjut sepertinya akan terus lanjut jika mendapat inspirasi bahkan tahu rasanya.
Lizia merasa bibirnya kebas, kesemutan dan entah rasa apa lagi. Yang jelas dia terengah dan merasa kupu-kupu di perutnya masih menggelitik.
“Enak?” tanya Heksa dengan menahan diri untuk tidak lebih jauh lagi.
Lizia memalingkan wajahnya malu.
“Percaya diri, Lizia. Setiap orang punya sisi kotor, punya pikiran m*sum karena mereka memiliki nafsu, gairah.. Penulis novel dewasa juga manusia. Mereka pemberani, ga semua bisa mengeluarkan imajinasi kotor menjadi sebuah karya yang cukup banyak peminatnya..”
Lizia merasa Heksa pandai membacanya tanpa perlu dia jelaskan. Dia menjadi tidak percaya diri bukan karena soal kecantikan saja.
Dia merasa malu dengan dirinya sendiri. Dia yang dicap pemalu, suaranya yang lembut tidak bisa marah, ternyata bisa dan sudah memiliki banyak karya novel dewasa yang banyak penggemarnya.
Dia takut semua orang tahu dengan apa yang dia buat. Dia takut dengan penilaian orang setelah tahu apa yang dia buat.
Heksa mengecup kening Lizia lalu mengunci tubuhnya dengan pelukan erat, tak hanya tangan, kaki Heksa juga membelit Lizia sampai susah bergerak.
“Tidur, besok saatnya lanjut nulis. Aku ga akan ganggu kamu.” janji Heksa yang entah sejak kapan mulai aku-kamu.
Lizia berdebar. Ini pertama kalinya ada yang mendukungnya. Selama ini tidak ada yang tahu soal dia yang menjadi penulis novel dewasa.
“Aku akan bantu kamu.”
Lizia dibuat tidak bisa berkutik. Dia cukup tergiur, terharu. Heksa juga cukup membantunya hidup normal dengan menjaganya dari para hantu itu.
Lizia merasa, dirinya sudah gila karena mulai menerima Heksa di sampingnya.
“Tapi kamu juga bantu aku,” Heksa tersenyum hangat, dia belai wajah cantik Lizia.
***
“Kayaknya sih di sini,” Gea menatap rumah di depannya.
Nimas dan Sion masih asyik membaca GPS. Takutnya salah rumah, kalau sesuai GPS sih rumah bak istana ini memang benar. Mereka tidak salah memasukan alamat.
“Kita tanya dulu,” Lanon yang ikut untuk menemani kembarannya, memimpin mereka. Dia lebih aktif.
Heksa tersenyum samar. Lanon tidak ingkar janji soal akan membantunya mengorek masa lalu asal jangan sentuh adiknya sembarangan.
Lanon ternyata melihat saat Heksa menyentuh bokong adiknya saat pertama mereka bertemu. Pantas saja Lanon sampai astral projection untuk memukulinya membabi buta hingga perjanjian terjalin di antara keduanya.
“Ada apa?” tanya penjaga di sana dengan seramnya.
“A-anu.. Lo yang ngomong!” Nimas mendorong Sion yang seperti pengecut itu. Gayanya saja ingin berburu hantu, tapi aslinya cukup penakut.
“Gue aja.” Lanon maju dengan tidak takut sama sekali. “Saya mau tanya pak, apa ini rumah dia?” tanyanya sambil menunjukan sobekan foto Heksa.
“Kalian siapa tuan muda?” tanyanya penuh selidik lalu meraih ponsel dan mengirimkan sebuah pesan pada seseorang.
Gea, Nimas dan Sion saling melirik. Ternyata orang yang dipanggil tuan muda ada ya. Mereka jadi semakin penasaran.
“Kami temannya,” jawab Lanon.
Lizia menatap Heksa, mencoba berbicara lewat batinnya. “Kamu ga inget soal rumah ini?” tanyanya.
Heksa menoleh, jelas dia tidak membalas dengan batin karena mereka pasti tidak akan mendengarnya.
“Ga, belum inget apapun.” Heksa kembali meliarkan mata di rumah yang cukup aneh itu. Ada energi pelindung yang kuat.
Heksa baru pertama kali melihatnya.
“Dan ternyata aku tuan muda, kalau aja bukan hantu.. Apapun yang kamu mau, aku kabulin.” Heksa mengecup lembut kepala Lizia.
Belum lama bertemu padahal, tapi rasanya takdir mengikat kuat dirinya dan Lizia.
Lizia bersemu dan segera menatap Lanon yang masih menghadap penjaga berbadan besar itu.
Lizia menatap energi kuat yang mengelilingi istana megah itu. Kenapa bisa sekuat itu? Lizia tidak yakin dia kuat jika harus masuk.
“Anehkan, cantik. Energi apa itu, kayaknya aku ga bisa masuk.” celetuk Heksa dengan masih serius melihat sekeliling.
Lanon mendengar ujaran Heksa segera mengamati sekeliling lagi. Energinya semakin kuat.
“Kalian tidak bisa masuk, tuan muda sedang tidak di sini.”
“Kami perlu bicara dengan orang tuanya, pak. Kita butuh cerita kenapa bisa meninggal,”
“Sembarangan! Tuan muda tidak meninggal! Kalian lebih baik pergi!”
Lizia terkejut lalu menatap Heksa yang santai saja lalu melempar cengiran menyebalkan.
“Senengkan?” godanya.
“Kamu serius ga inget apapun?” tanya Lizia lewat batinnya lagi.
“Lebih baik kita pulang.” ajak Heksa seolah tidak penasaran lagi dengan yang terjadi di hidupnya.
Padahal baru menginjakan kaki di tempat ini pertama kali. Semua gambaran begitu datang dengan hebat.
Kehidupannya yang tidak mudah.
Kini Heksa tahu kenapa dia menjadi hantu dan memilih ingin terus menjadi hantu.
“Adik saya bisa—”
“Kak, ayo pulang sekarang.” Lizia melihat sosok yang bagai nenek sihir di lantai dua rumah itu. Entah kenapa firasatnya mereka akan tersakiti jika terus di sini.
Melihat kepanikan Lizia jelas mereka ikut pergi tanpa membantah. Lizia terlihat tidak biasa.
Heksa menoleh, menatap satu energi yang diarahkan perempuan seram itu ke arah mereka yang hendak naik mobil.
“Aku yang urus.” Heksa segera mendorong pelan Lizia agar masuk ke dalam mobil tanpa menunggu lagi.
Heksa menatap bola energi gelap itu, dia memanggil beberapa hantu yang akan membantunya menjadi tameng.
Ternyata energi aneh itu muncul dari hantu perempuan bagai nenek sihir itu. Heksa tiba-tiba merasa aneh.
Apa keluarganya baik-baik saja? Energi kuat di rumah itu begitu gelap pekat, rumahnya panas penuh energi hitam.
“Argh!” Heksa batuk darah saat energi itu bertabrakan. Untungnya ada hantu baik yang mau membantu menjadi tameng.
Mereka sama terluka dan melemah.
“Pergi dari sini.” perintah Heksa yang kemudian segera menghilang.
Yang terpenting energi itu tidak menyentuh mobil yang mereka tumpangi. Jika saja kena, pasti akan ada kecelakaan di jalan.
Heksa yang menghilang kini muncul di jok belakang, tepat di samping Lizia. Dia terkulai dengan mulut berdarah. Tubuhnya yang dingin semakin dingin.
Lizia melotot panik, mencoba menyingkirkan energi gelap yang tertinggal di tubuh Heksa. Melakukan itu sebisanya.
Lanon melirik Heksa sekilas lalu mulai fokus dan membantunya perlahan tanpa Lizia tahu. Ternyata energi yang di hadapi Heksa melukainya cukup parah.
Rumah itu tidak baik dihuni pikir Lanon, sepertinya Heksa juga korban dari penghuni gaib rumah itu?
“Kamu belum nulis, jangan peduliin aku, cantik.” lalu tersenyum lemas. Dia memilih menghilang dulu untuk mengisi energi disuatu tempat.
***
Lizia menatap Heksa yang terlihat menyeramkan, mengintimidasi. Apa dia cemburu karena dirinya dengan dengan pria lain?
Lizia melotot saat dengan secepat kilat Heksa mengunci kedua lengannya, mengikatnya dengan dasi yang dipakainya.
Lizia meronta, dia mulai menangis dan menggigil ketakutan. Dia panik dengan apa yang Heksa lakukan kini.
Pakain tidurnya di robek, tubuhnya berubah polos dan Heksa menghisap kulit lehernya, berpindah mengulum rakus dadanya bergiliran.
Lizia sudah menjerit dan menangis, dia kesakitan saat Heksa menekan masuk miliknya yang tidak normal besarnya itu..
“Sakit.. Ahh..”
Heksa menatap miliknya yang tenggelam dalam ke dalam Lizia. Pasti Lizia merasakan sakit yang nikmat. Pikirnya dengan semakin dalam menenggelamkannya.
“Ah.. Sakit..” lirihnya lalu menggelinjang dan bergetar hebat.
Lizia berhenti mengetik. Dia lepaskan kaca matanya dan menatap keluar. Bulan begitu bulat dan terang.
Heksa tidak ada dan di luar sana hantu mulai berisik mencari perhatiannya.
Di mana Heksa berada sekarang?
Lizia sudah perlahan mengabaikan tentang imajinasinya yang selalu saja Heksa dan dirinya yang memainkan peran di novelnya.
Dan anehnya, semenjak ada Heksa dia menulis dengan lancar seolah berpengalaman. Apa Heksa mengiriminya energi m*sum?
“Lagi apa?” kepala Lanon muncul di ambang pintu. “Mau ngobrol bisa?” tanyanya.
“Bisa.” Lizia menutup laptopnya. “Ada apa, kak?” suara lembutnya mengalun, membuat siapa yang mendengarnya ingin memperlakukan Lizia dengan sayang. Ngocoks.com
“Gea udah punya pacar?”
“Ga tahu.” Lizia memicing sesaat. “Kakak suka nyakitin perempuan, jangan Gea, dia temen yang baik,”
“Engga, kakak ga gitu, kalau sama Gea pasti baik,” lalu cengengesan. Padahal tujuannya bukan itu.
Lanon melirik jendela. Di sana ada sosok hitam yang mencincar Lizia. Namun untungnya di dalam kamar Lizia banyak mantra dan sebagainya yang menyulitkan dia.
Sosok itu kiriman dari nenek sihir yang mereka temui di rumah itu. Benar kata Heksa, Lizia harus dijaga selama Heksa mengumpulkan energi dan menyembuhkan luka dalamnya.
“Kamarnya enak, nginep di sini ah udah lama,”
Lizia terlihat ingin protes tapi jika ada Lanon dia juga senang. Biasanya jika tidak sendiri, hantu tidak akan gencar mengganggunya.
Bersambung… “Kalau Lanon tidur di sofa kamar adiknya itu tanda Lizia mungkin butuh perlindungan, atau ketemu hantu seram..” Celine melipat lengannya di perut.
Abidzar tersenyum melihat Lanon yang begitu baik pada adiknya, begitu sayang dan tidak gengsi mengungkapkan rasa sayangnya.
“Kamar anak gadis kita ga kayak gadis lain, kasihan Lizia.”
Abidzar tersenyum tipis sambil mengusap pinggang Celine. “Tuhan bikin Lizia spesial, pasti ada alasannya.” bisiknya lalu mengecup pelipis Celine.
Keharmonisan Abidzar dan Celine sungguh tidak lekang oleh waktu. Jika kedua pasangan suami istri merasa cukup memiliki satu sama lain ya begitu gambarannya.
Setiap hari mereka selalu tetap bisa merasakan jatuh cinta.
“Apa Lizia baik-baik aja?” Celine selalu saja cemas terhadap anak gadisnya itu. Berbeda dengan Lanon yang nakal namun bisa menjaga dirinya. Masih ada sisi Abidzar di dalam Lanon.
“Lebih baik dari biasanya. Kamu sadar ga, Lizia biasanya selalu nunduk takut, ga percaya diri, tapi beberapa hari ini dia bisa liat kita, liat keadaan sekitarnya, aku ga tahu apa yang bikin dia berubah, tapi aku seneng sebagai babanya,”
Abidzar tidak akan mengeluh soal panggilan papa yang menjadi baba karena kebiasaan itu. Keduanya tetap panggilan sayang yang sopan.
“Iya ya,” seru Celine saat sadar soal itu.
Lanon yang tidur memunggungi keduanya tersenyum samar. Lizia memang jadi lebih bisa melihat dunia yang dia takuti semenjak ada Heksa.
Lanon akan mencari tahu, kenapa Heksa bisa menjadi hantu yang berbeda dengan yang lainnya.
Lanon merasa Heksa malah jadi seperti dirinya yang sering melakukan Astral projection.
“Saatnya kita tidur, sayang.”
Celine mengangguk, perlahan menutup pintu dan berjalan dengan di rangkul mesra oleh Abidzar.
“Mau olah raga malem?” tawar Celine.
“Boleh?”
***
Lizia membuka matanya, kepalanya terasa diusap dan paginya begitu hangat dipeluk selimut yang tebal.
Tidurnya kembali nyenyak semalam. Padahal tidak ada Heksa. Ternyata Lanon juga cukup membantu.
“Ga sekolah?”
Lizia sontak membuka matanya. Membuat bersitatap dengan Heksa.
“Aku udah sembuh,” ujar Heksa yang bisa membaca Lizia. “Udah bisa cium dan jaga kamu.” genitnya.
Dan sialnya tampan sekali. Bagai anggota kerajaan vampire.
Lizia yang aneh karena salah tingkah dan wajahnya panas merona dengan segera menggeliat keluar dari selimut.
“Kakak dari mana?”
“Jadi gadis cantik ini udah mulai kepo?” godanya. Sepertinya Heksa memang sudah sangat pulih sekarang.
Lizia memilih bergerak turun dan segera membawa seragam lalu keperluan lainnya. Dia memilih akan mandi saja.
“Nanti aku ajak ke tempat itu, ajak juga temen-temen kamu yang mau berburu hantu itu,”
***
“Makasih kak Heksa,” Sion berseru riang.
“Bukan di sana, di sini kata Lizia.” kesal Nimas menunjuk posisi Heksa berada.
Heksa menatap ketiganya, mereka baik untuk Lizia makanya dia tidak melarang Lizia untuk tidak bergaul dengan mereka yang hanya manusia penuh penasaran tentang dunia hantu.
Mereka percaya mitos dan petuah nenek moyang.
“Oh iya, makasih kak.” ulang Sion walau tidak bisa melihat sosok Heksa.
“Youtube kita namanya apa ya?” Gea mulai melirik Lizia, berharap Lizia bisa membaca masa depan?
Oh astaga keren!
Tidak tahu saja kesulitannya.
Lizia terdiam, menatap ketiganya dan mulai fokus dengan bayangan yang terlintas, kode alam yang berbisik, dia rangkai dan mulai melihat jelas.
Lizia tersenyum tipis.
“GNS penelusuran.. Nama buat fansnya Genis,”
“Kamu terawang ya?” riang Nimas.
Lizia tersenyum malu dan mengangguk. Dia senang saat mereka peluk kecuali Sion karena Nimas langsung menariknya.
Heksa yang hendak marah pada Sion pun urung lalu tersenyum melihat ketiganya.
“Kamu harusnya jangan terawang jauh, energi kamu terkuras dan—”
“Mimisan!” pekik Sion.
“Yaampun, Lizia.”
“Pakai ini,”
Heksa hanya diam menatap. “Jangan terawang masa depan lagi, kamu yang akan sakit, Lizia.” ujarnya.
Lizia melirik Heksa. Dia hanya ingin menyenangkan teman-temannya. Teman nyaman pertamanya.
***
Lizia menoleh kaget saat Heksa masuk ke dalam kamar mandi. Dengan tongkat di celananya yang mengacung keras.
“Celana aku sobek karena dia keras keluar, ga tahan lagi,” desisnya sambil mengurut miliknya.
“Tapikan—”
Lizia terkesiap saat bahunya di tarik ke bawah hingga berjongkok lalu mulutnya seketika penuh, bahkan itu beru setengahnya.
Lizia terpaksa menghisapnya, memaju mundurkan kepalanya. Keras sekali, bagai kayu.
“Imajinasi kamu yang isinya kita itu lebay, itu pentingnya pengalaman,” celetuk Heksa membuat Lizia berhenti menulis dan terkejut karena Heksa di belakangnya entah sejak kapan.
Lizia merona, wajahnya terasa panas. Apa Heksa tahu dengan isi imajinasinya yang berbeda dengan nama tokoh ditulisannya?
“Mau coba? Buat pengalaman aja,” hasut Heksa dengan penuh harap. Bukankah akan sama-sama untung?
Lizia menelan ludah.
“Dia ga akan sekeras kayu, terlalu lebay.” Heksa mengeluarkan miliknya dengan mudah. “Nih, dia udah keras karena baca tulisan kamu.” lanjutnya.
Lizia melotot dan segera berpaling dengan jantung berdebar. Tongkat itu lagi. Kenapa rasanya terlihat semakin panjang.
“Ka-katanya kita,” Lizia panik, gugup dan campur aduk.
“Ga paksa ko, cuma mau kasih kamu ilmu biar tulisannya makin keren,”
Lizia diam dengan mulai gila karena tertarik, jika menyentuhkan bukan berarti hilang perawan.
Heksa juga memberikan izin dengan suka rela.
Lizia menoleh perlahan lalu bersitatap dengan Heksa yang tersenyum hangat. “Kamu bisa pakai aku, bebas maunya kamu buat tulisan kamu yang keren,” pujinya.
Lizia menghangat, senang mendengarnya sampai rasanya kupu-kupu menggelitik perut.
Heksa yang berdiri mendekati Lizia yang duduk, terlihat menatap miliknya tertarik.
Lizia menyentuhnya ragu dan agak geli ternyata. Dia mengamati bentuknya, kerasnya memang tidak sekeras kayu. Benar kata Heksa, dia berlebihan.
Heksa menahan nafas merasakan genggaman jemari Lizia, dia agak tersiksa dengan tingkah Lizia yang bagai ilmuan itu.
Ujung kepala tongkatnya sudah berair, ini pertama kalinya membuat Heksa akan cepat meledak bahkan mungkin jika hanya sebentar berada di mulut Lizia.
“Ini lubang keluar pipis,” gumamnya dengan serius, di usap pelan sampai Heksa menahan nafas kegelian.
Lizia melirik Heksa yang tersiksa, gelisah dengan tampannya. Jantung Lizia berdebar. Nafasnya jadi memberat melihat reaksi Heksa akibat ulahnya.
Lizia menelan ludah lalu mulai menerapkan apa yang dia baca dan tulis. Dia mulai menggunakan selain kedua jemari tangannya.
Begitu kaku. Ini pengalaman pertama. Yang seharusnya masih tidak boleh. Namun Lizia terlalu ingin tahu rasanya, benar kata Heksa. Dia butuh pengalaman.
“Kalau bener aku masih hidup, aku mau balik ke raga aku, Lizia. Aku nikahin kamu setelah kamu lulus tanpa tunda-tunda lagi.”
***
Lizia memakan sarapannya dengan telinga memerah. Dia ingat saat melihat Heksa mengerang panjang, bahkan cairannya menyemprot deras ke wajah dan lehernya. Ngocoks.com
Lizia terkejut, mengingat Heksa hantu tapi ternyata bisa begitu. Dia merasa aneh, otaknya kenapa sem*sum ini.
“Kamu demam?” Celine menyentuh kening Lizia.
“Ga kok, ma.” Lizia tersenyum.
“Nanti pulang sekolah mau belanja sama mama?” ajaknya.
Lizia mengangguk. “Boleh.” jawabnya.
Celine tersenyum senang.
“Aku ga mau, mau nongkrong.”
“Ga ada yang ajak kamu! Awas ya kalau mama harus di panggil ke sekolah lagi!” kesal Celine.
Lanon tertawa pelan. “Ga janji,” jawabnya yang membuat Celine mendengus namun tetap memberikan satu sosis lagi pada piring Lanon.
Heksa menatap kehangatan pagi itu. Dia iri. Setelah mengingat semuanya dia kini sangat iri.
Bersambung… Lizia selalu bersemu dan tidak berani melihat Heksa lama. Dia selalu salah tingkah dan malu dengan tingkah dirinya sendiri. Lizia merasa sangat malu juga saat itu Heksa meremas-remas dadanya.
Lizia masih merasakan apa yang dia genggam dan kulum, bahkan wangi dari cairan itu. Terasa begitu nyata. Membuat Lizia semakin penasaran dengan apa yang terjadi dengan Heksa.
“Gila kamu!” gumamnya pada diri sendiri saat kembali terlintas apa yang dia lakukan.
Heksa menautkan alis melihat Lizia yang sibuk sendiri itu. Namun dia tahu alasannya apa. Heksa bersiul membuat Lizia berhenti dengan kesibukannya.
“Kak.. Apa kita ga usah selidikin soal kakak lagi?” Lizia memberanikan diri menatap Heksa.
“Kamu hampir celaka, jangan ambil resiko.” Heksa mengusap kepala Lizia sekilas.
Heksa duduk memepet Lizia. “Mau cium dong.” godanya.
Lizia menggeleng dan segera berdiri. “Kak Lanon maksudnya Gea mau ke sini, aku ke bawah dulu.” ujarnya cepat dan segera pergi meninggalkan kamar.
Heksa tersenyum geli melihat kepanikan dan kesaltingan Lizia. Lalu senyumnya lenyap. Berani mengganggu Lizia, kini akan menjadi urusannya.
Heksa pun menghilang untuk menyingkirkan hantu kiriman nenek sihir itu.
Lizia menghentikan langkahnya, dia menoleh ke belakang. Tiba-tiba sekelebat bayangan Heksa berkelahi muncul.
Lizia hendak kembali ke kamar namun Lanon menghadang.
“Mana, Gea?”
Lizia gelisah, dia cemas dengan keadaan Heksa. “Itu, di bawah.” jawabnya pelan.
“Yaudah sana, jangan sampai calon kakak nunggu,” Lanon mendorong manja tubuh adiknya yang kepalanya terus menoleh ke kamar dengan gelisah.
Lizia menghela nafas pasrah, dia akan mencoba membantunya dari jauh.
Lanon segera berbuat sesuatu, dia akan ikut membantu tapi dia harus mengurus Lizia dulu. Agar tidak bisa menerawang lagi.
Lizia menatap Gea yang duduk di ruang tamu bersama Celine, keduanya langsung akrab. Celine terlihat sangat senang karena ini pertama kalinya Lizia membawa teman ke rumah.
Lizia terlihat tidak fokus dan semakin cemas saat tiba-tiba tidak bisa menerawang Heksa. Dia jadi tidak bisa membantu.
“Ada apa sayang?” Celine jelas peka.
Lizia segera menggeleng. “Engga, ma.” lalu tersenyum menenangkannya.
***
“Woah..” Gea memotret kamar unik Lizia. Dia mengirimkannya ke grup GNS yang kini berisi Lizia dan Lanon. “Kan liat, mereka langsung mau ke sini,” lalu tertawa.
Lizia tersenyum, mencoba menepis gelisahnya tentang Heksa.
Lizia tidak masalah, dia tidak tahu kenapa percaya pada mereka semua.
“Bolehkan, Liz?”
Lizia mengangguk. “Makin banyakan makin seru sambil ngerjain tugas kelompoknya.” jawabnya.
Tak lama dari itu mereka ngumpul. Lizia sesekali tetap menunggu Heksa, bahkan Lanon juga hilang.
Katanya ingin mendekati Gea.
***
“Gini aja, dah bagus.” Gea mengakhiri kerja kelompoknya bersama Lizia. Nimas dan Sion juga berhenti di waktu bersamaan karena mereka saling bantu.
“Untung kelompoknya kita boleh pilih sendiri.” Gea berseru senang dan rebahan sejenak untuk meluruskan punggung.
“Iya, kalau sama yang lain males,” Sion sudah terbiasa bersama dua manusia yang anehnya sama dengan dirinya— Gea dan Nimas.
Mereka takut hantu tapi semangat membahas hantu, bahkan mencari rumah kosong untuk konten, padahal mereka semua penakut.
“Liz, soal kak Heksa.. Dia ada ga sekarang?” Sion baru ingat soal informasi yang dia dapat.
“Ga ada, ga tahu kemana.” jawab Lizia.”Info apa?” lanjutnya.
“Apa nih infonya?” Gea mendudukan tubuhnya penasaran.
“Terjamin ga?” Nimas ikut masuk ke dalam topik.
“Dia alumni yang seangkatan sama kak Heksa..”
“Wah, seru atuh!” Nimas jadi bersemangat.
“Udah di jamin, ada juga di buku tahunan kok,” Sion memang meminjam buku tahunan itu dari perpustakaan.
“Wah, emang terbaik! Jadi detektif lebih cocok,” Gea mengacungi dua jempol pada Sion..
“Detektif yang berhubungan sama hantu gue mau,” Sion mulai membuka Instagram. “Nih, nakal ternyata kak Heksa.” tunjuknya.
Semua menatap ponsel Sion.
Di dalamnya berisi foto Heksa yang sedang bersama gengnya. Geng motor, terlihat urakan dan nakal.
Lizia tidak heran. Pertama kali bertemu Heksa memang nakal.
“Apa kita temuin geng ini? Sampai sekarang gengnya ada kok,” Sion menatap semuanya bergantian.
Meminta pendapat.
Lizia terdiam, mencoba menerawang takutnya ada kejadian yang membahayakan akibat geng itu.
Lizia berakhir mimisan. Dia tidak bisa jauh menerawangnya. Mereka ternyata menggunakan ilmu hitam untuk melindungi gengnya?
Bertepatan Heksa datang, dia segera mendekat, duduk dan memeluk Lizia yang menegang agak terkejut karena begitu berdekatan, dipeluk dari belakang.
“Mimisan, kamu nerawang apa lagi?” omelnya. Memperhatikan Lizia yang dibantu teman-temanya menghentikan mimisan.
“Kenapa kaget? Ada hantu?” tanya Gea.
“Di sini hantunya,” bisik Lanon di belakang telinga Gea.
Gea sontak menjerit kaget sampai tidak sengaja membenturkan kepalanya yang keras ke dagu Lanon.
“Argh!” Lanon menyentuh bibirnya yang tergigit kencang dan dagunya yang sakit.
“Astaga! Mentang-mentang kembar, berdarah pun barengan.” celetuk Nimas sambil meraih tissue.
“Aduh, maaf.” Gea hendak menyentuh bibir Lanon namun urung.
Lanon tersenyum dengan bibir berdarah. “Cuma maaf? Obatin dong,” dia meraih tissue di Nimas. “Makasih, Mas.” ucapnya.
Nimas mendelik sebal. Kenapa dia jadi seperti mas-mas. Menyebalkan! Untung tampangnya ganteng. Dia jadi urung marah.
***
“Geng?” Heksa menatap Lizia yang menunjukan Instagramnya. “Woah, keren juga.” Padahal Heksa tahu.
Lanon pun tahu soal geng itu.
“Aku ga bisa terawang mereka,” Lizia melepaskan belitan Heksa di pinggang hingga perutnya itu. Geli jika terus diusap-usap.
Lizia tetap duduk di kursi kamarnya, bahkan lengan Heksa juga masih berada di belakang tubuhnya, hanya berhenti mengusap saja.
“Jangan, aku bilang jangan! Kamu yang sakit nanti, cantik.” perhatiannya. Heksa terlihat cukup berbeda dengan Heksa yang pertama kali Lizia temui.
Tumben tidak nakal ngintip dan sebagainya. Apa karena sering diberi ciuman ya? Ternyata ciuman juga cukup untuk hantu nakal sepertinya?
Itu bagus.
“Kadang, nerawang juga butuh. Apalagi kita penasaran dan mau bantu—”
“Udah ga usah, aku nyaman gini.” potong Heksa yang jelas saja berbohong. Dia juga ingin menjadi manusia.
Ingin menjadikan Lizia kekasihnya. Heksa merasakan keinginan memiliki yang menggebu-gebu.
“Tapi—” Lizia berhenti. Kenapa dia kesannya ingin sekali Heksa jadi manusia.
“Sini cium.”
Heksa menarik dagu Lizia dan mulai bermain-main dengan bibirnya. Tidak lama karena Heksa butuh mengumpulkan energi lagi.
Tubuhnya kembali terluka saat melawan hantu jahat.
Tapi..
“Sekali lagi.” Heksa mulai kecanduan dengan rasanya, apalagi Lizia sedikit demi sedikit mulai membalas walau kaku.
Tidak bisa Lizia pungkiri. Selain rasanya yang baru, dia juga ingin bisa agar saat menulis cerita bisa tahu rasa nyatanya dan tidak lebay lagi. Ngocoks.com
“Emh..” Lizia membuka matanya saat tidak sadar bersuara seperti itu. Dia tahan lengan Heksa yang jemarinya bahkan kini masuk ke dalam kaosnya.
Jemarinya meremas dan menyentuh bulatan kecil. Rasanya membuat Lizia meremang dan bernafas berat.
“Kak..” lirihnya saat bibir Heksa menjauh dan menyasar lehernya.
Lizia tidak polos. Dia tahu adegan ini akan kemana lanjutannya. Lizia mulai sadar dan tidak sadar.
Penasaran juga rasanya, tapi di sisi lain menyuruhnya sadar.
Part 10 ada di karyakarsa, kalau gk mau lanjut baca.
Bersambung… Lizia memalingkan wajahnya, tetap mogok bicara dan marah pada Lanon. Dia masih merasa kecewa, kenapa juga Lanon merahasiakannya.
Kenapa harus dirinya yang menderita sendirian.
Heksa mengusap sekilas pipi Lizia lalu tersenyum. “Lanon niatnya baik, udah hampir seminggu, baikan gih..” dia cubit pelan pipinya.
Lizia menatap Heksa, melirik Lanon lalu menggeleng. “Ga mau, masih marah.” balasnya pelan sambil melanjutkan langkahnya dari dapur ke lantai atas— ke kamarnya.
Lanon menghela nafas jengkel, menatap punggung adiknya yang tersayang itu. Dia akan selalu tidak nyaman jika bertengkar dengan Lizia. Kesayangan di keluarganya.
Lanon tidak iri sama sekali soal betapa sangat dimanja Lizia dan dia bagai anak tiri yang selalu menjadi pihak di salahkan.
Lanon tahu, dia laki-laki. Sudah sepantasnya dididik keras. Dia tahu orang tuanya begitu juga tetap sayang, jika sakit mereka sama paniknya seperti pada Lizia.
Lanon juga sadar, dia memang nakal makanya mereka sering memarahinya.
“Baikan, kak.”
“ANJING!” pekik Lanon kaget sambil loncat kecil lalu menoleh pada Abidzar yang langsung memasang tatapan tajam walau senyumnya ramah.
“Apa, kak? Baba mau denger sekali lagi?”
***
Lanon merapihkan beberapa jimat yang jatuh dari tempatnya. Dia melirik Lizia yang membiarkannya begitu saja. Biasanya dia akan memperlakukan mereka semua bagai bayi.
Mentang-mentang ada Heksa. Membuat Lanon kesal saat melihat hantu banyak gaya itu tengah membuka lembar majalah.
“Dek, maaf.”
Lizia tetap memunggunginya, sedang membuka majalah juga.
“Kakak ga kasih tahu karena biar semua fokus ke kamu, kakak ga takut hantu, sedangkan kamu takut. Kamu yang lebih butuh di tanganin,”
Deg!
Lizia jadi terharu mendengarnya.
“Kakak jaga kamu kok, sesekali sih emang tapi jaga kok, bantu juga kalau ada waktu luang. Namanya juga manusia, ga bisa selalu bareng 24 jam..”
Lizia menatap Heksa. Jika dia manusia, mungkin akan sama seperti Lanon. Tidak bisa menjaganya 24 jam.
“Dengerin ga?”
Lizia mengerjap. Sejak kapan dia melamun sambil menikmati wajah tampannya Heksa?
Lizia berdehem. “Iya, denger.” cicitnya.
“Maaf, hm?”
Lizia pun menoleh. “Jangan bohong lagi,” lirihnya lembut, begitu manja.
Suara Lizia memang suara paling lembut yang Lanon dengar.
“Hm, kamu juga. Jangan bohong, bilang kalau dia macem-macem.” sindirnya pada Heksa yang tetap asyik membuka majalah, memilihkan pakaian yang cocok untuk Lizia.
Lizia balas memeluk Lanon. Menikmati kehangatan dan usapan kembarannya itu.
“Heksa pilih apa?” bisiknya pada Lizia.
“Baju buat aku,” jawabnya sambil melepaskan pelukan, membiarkan Lanon mendekati Heksa yang asyik sendiri.
“Ngapain lo?” ketusnya lalu melirik yang sedang Heksa tandai.
Pakaian yang mempertontonkan belahan dada, pokonya pakaian seksi.
“Kurang ajar lo pilihin adik gue itu!” amuknya.
Heksa mengaduh walau berakhir diselipi tawa geli karena berhasil menggoda Lanon si tukang ngamuk.
“Kak soal Gea, dia gimana? Geng itu—”
“Tenang aja, izinin kakak pacaran aja sama dia, semua aman.” potong Lanon dengan senyum buayanya.
“Ga mau!”
“Harus mau, tenang aja, kakak ga gigit kok. Dia aman aja, yakin.”
“Ga mau! Dia temen terbaik aku sekarang,” lirihnya sebal. Suara lembutnya selalu terdengar pelan.
***
Gea menatap laki-laki yang berada di motor besar itu. “Hengky? Ada apa?” tanyanya lalu menoleh kaget saat pinggangnya di belit oleh sosok yang baru datang dari belakang.
“Hai, bro. Gue ambil cewek gue ya, udah sore harus dianterin pulang,” Lanon menatap jam di lengannya.
“Oh, ok.” singkatnya ramah.
Lanon membawa Gea yang berjalan kaku, dia tegang karena pertama kali pinggangnya di sentuh lawan jenis. Begitu geli menggelitik.
“Polos, ramah, dia itu racun.” celetuknya pelan sambil terus menyeret Gea menuju mobilnya.
Gea menatap keringat di tubuh Lanon, dia sepertinya sedang main basket, atau baru selesai? Setelannya juga setelan basket.
Gea terpesona melihatnya. Apa dekat dengan Lizia bisa membuatnya dekat dengan Lanon? Sungguh beruntung.
“Lan!”
Gea tersentak kaget dan berhenti melangkah karena Lanon juga berhenti.
“Wih, cewek baru? Yang kemarin kayaknya bukan ini,”
Lanon berdehem. “Apaan sih lo, sana-sana. Gue cabut, jan lupa tas gue bawa, ntar gue kasih yang lo mau,” ujarnya sambil berlalu.
“Serius? Oke, Lan!”
Gea terdiam, mulai tersadar kalau Lanon itu spesies binatang yaitu buaya!
“Masuk, aku anter.” Lanon tersenyum.
Gea sampai linglung melihat senyum manisnya. Dia menelan ludah dan bagai robot begitu patuh masuk ke dalam mobil.
Lanon melirik Hengky yang kini tidak sendirian, dia bersama temannya yang menggunakan tiga motor besar yang sama, hanya beda warna.
Lanon melihat ada yang tidak beres dengan Hengky. Dia tidak bisa menerawangnya, Hengky sangat beraura gelap walau sosoknya bagai kutu buku yang baik hati, keren dan cukup digilai.
Ternyata dia salah satu anggota geng yang dulunya geng Heksa. Dia orang kiriman itu, kenapa mereka harus kirim mata-mata.
Lanon semakin penasaran, kenapa Heksa menjadi hantu dan apa hubungannya dengan geng, rumah dan lainnya.
Gea melirik Lanon yang diam serius, bahkan terlihat menakutkan auranya. Sungguh tidak ramah.
Cepat sekali mood Lanon berubah. Pikir Gea.
“Kak— maksudnya, Lanon.” Gea jadi terbawa panggilan Lizia, diakan tetap seumuran. “Tadi, itu— eum, kata kamu—”
“Pacaran yuk?”
Gea menganga kaget. “Ha-Hah?” beonya merasa salah dengar.
“Kamu pacar aku mulai hari ini,” Lanon mencubit pipi Gea sekilas lalu fokus ke jalanan lagi.
Gea mengerjap, mematung dengan masih syok. Dia dan Lanon memang cukup dekat semenjak berteman bersama Lizia.
Tapi—
Gea tidak bisa berpikir dan berkata-kata lagi.
***
“Lucu yang ini, cantik.” Heksa menunjuk foto yang Lizia ambil di ponselnya.
Di mata Heksa dan Lizia foto itu jelas berdua. Lucu, konyol dan romantis. Fotonya dan Heksa.
Keduanya tertawa bersama, bersentuhan tanpa ragu lagi. Haha hihi di atas kasur dengan sesekali kadang berciuman.
Lizia sudah benar-benar terbius.
Heksa mengusir dulu hantu, baru kembali ke kamar Lizia. Menindih Lizia yang telungkup bermain ponsel itu.
“Eh, Lanon bawa Gea.” Heksa berbisik lalu mengendus leher Lizia.
“Ke sini? Ngapain?” Lizia hendak menggeliat.
“Ga usah ganggu, biarin mereka PDKT, demi kebaikan Gea. Lanon pasti jagain dia, karena dia temen adiknya.”
Lizia urung menggeliat, dia pun mengangguk. Demi kebaikan Gea. Jika kakaknya itu selingkuh atau menyakiti Gea, Lizia cincang anunya!
“Nenen kamu besar, cantik.” pujinya berbisik serak.
Lizia merasakan jemari yang ditindih tubuhnya mulai meremas-remas.
“Ihh..” Lizia tertawa pelan kegelian saat terus diremas dan lehernya di hisap. Lizia juga bisa merasakan tusukan di sana.
Lizia tertawa pelan, begitu lucu. Lemah lembutnya yang khas. Heksa sungguh jatuh hati.
“Aku mau jadi manusia, aku mau nikahin kamu, Lizia. Aku mau kamu,”
Hening, hanya saling bertatapan hingga… Keduanya berciuman, mulai sama polos lagi dan Lizia kembali dibuat gila lagi.
***
Gea duduk di pinggiran kasur Lanon. Di rumah ini tidak ada orang tua Lanon, ingin ke Lizia tapi pesan dan panggilannya tidak di jawab.
Lizia memang tengah sibuk. Sibuk mendesah nakal. Lizia sudah mulai nakal tanpa sepengetahuan orang.
Gea melirik gugup Lanon yang memakai kaos di depannya. Ngocoks.com
“Udah makan belum?” Lanon kembali sibuk meraih dan menyimpan ini itu.
“Be-belum.”
“Mau pesen apa?” Lanon meraih ponsel lalu duduk di samping Gea.
Gea semakin kaku. Dia berada di kamar laki-laki pecinta basket, berduaan. Gea takut tergoda karena tampangnya.
Yang dia takutkan bukan Lanon lagi, tapi dirinya sendiri.
“Mau pesen apa, hm?” Lanon bertanya lembut sampai Gea meleleh di tempat. Pantes buaya.
“Apa aja,” cicitnya.
Lanon merapatkan duduknya, dia ingin Gea memilihnya bersama. Walau nyatanya Gea malah asyik menatap tampannya Lanon.
“Mau aku cium?” Lanon menoleh, menatap Gea yang melotot kaget. “Kalau belum mau, liatnya ke sini dulu.”
Gea masih kaku, dia begitu berdebar lalu terpejam sekilas saat bibirnya di kecup sangat ringan.
“Kita resmi jadian,” lalu tersenyum. “Jadi pesen apa?”
Gea semakin kaku, membuat Lanon tertawa pelan cukup gemas.
Bersambung… Lizia kembali demam karena gilanya hari ini dengan Heksa. Yang terjadi saat itu kembali terulang.
Lizia terlalu menghayati. Terlalu membiarkan Heksa mengulangnya lagi. Rasanya dia sungguh terbius.
Dia terhasut oleh bisikan Heksa. Dia hilang akal saking menggiurkannya rasa yang diberikan Heksa.
Ide jelas membanjiri otak.
Lizia menggeliat dari pelukan Heksa. Sudah tahu demamnya akibat bersentuhan lama dengan Heksa, malah di peluk terus.
Lizia menyentuh keningnya yang semakin panas, tubuhnya juga lemas.
Heksa sontak ikut bangun, dia meraih semua pakaiannya dan Lizia.
“Kamu belum pake apapun,”
Lizia menatap tubuhnya kaget, sampai tidak terasa. Heksa membantunya walau Lizia sempat menolak, Heksa tetap memaksanya.
Heksa menatap wajah sayu Lizia. Dia mencoba sedikit demi sedikit menyembuhkan Lizia. Besok pasti sembuh.
Lizia urung untuk menulis. Maaf aku ga bisa update hari ini. Batinnya merasa sedih karena banyak pembaca yang menunggunya.
Lizia memilih tidur. Membiarkan Heksa mengobatinya, entah bagaimana. Lizia yang merasa tubuhnya perlahan ringan.
“Wah, gue jago juga sekarang. Berkat diajarin si babeh waktu sadar jadi hantu,” gumam Heksa.
Si babeh itu juga hantu bukan manusia.
Heksa menoleh pada jendela. Ada sosok perempuan berwajah rata, rambutnya gimbal, melayang-layang.
“Ck! Ganggu!” kesal Heksa lalu menghilang dan berpindah ikut melayang, bahkan menjambak rambutnya lalu menariknya jauh sampai trauma kembali lagi.
“Wah, bawa temen ya lo!” Heksa meninggalkannya lalu menjambak satunya lagi.
“Aww.. Aww.. Abang jahat,” lalu cekikikan khasnya.
“Pergi!” usirnya pada keduanya dengan jengkel. “Kalian lesbi? Ngapain tertarik ke cewek gue! Cari cowok sana, kakaknya kek!” oceh Heksa lalu menghilang dan kembali ke kamar Lizia.
Heksa menyelimutinya, dia akan menjaganya dari luar. Lizia butuh istirahat. Makanya Heksa menjaganya dari hantu lain dengan ketat agar besok sembuh.
***
Lanon tersentak kaget, bahkan Gea pun sampai sumpitnya terlempar. Lanon menatap kesal gangguan di jendelanya itu, sedangkan Gea kaget biasa, menganggap angin menghantam jendela.
Padahal ada sosok perempuan yang di usir Heksa tengah nemplok cantik dengan wajahnya yang buruk rupa.
“Ck! Hantu jelek!” gumam Lanon seraya beranjak.
Gea membeku. Hantu jelek? Kakak Lizia juga bisa lihat hantu?
Gea menelan ludah lalu terbatuk-batuk saat sadar di dalam mulutnya masih ada makanan yang sedang dia kunyah.
Gea tersedak sampai wajahnya memerah. Dia meneguk air dengan melirik menatap Lanon yang hanya berdiri dengan jendela kini terbuka.
“Yaelah, bang.. Di sana diusir, disini juga!” lalu tertawa khasnya.
“Benerin dulu muka lo, sisir rambut lo, baru ke sini. Sana-sana!” ujar Lanon lewat batinnya.
Lanon menutup jendelanya. “Angin ternyata, kenapa sampe batuk?” ujarnya begitu perhatian, suaranya lembut.
Gea kembali dibuat meleleh. Pantas banyak perempuan yang baper. Senyumnya manis, suaranya lembut, perhatian, peka, pokoknya impian para gadis.
Walau minusnya nakal, suka tawuran dan balap liar.
“Ekhem.. Ga papa.” balasnya dengan berusaha menahan batuk. Dia kembali minum, walau tenggorokan rasanya panas bahkan kedua matanya berair.
Mienya terlalu pedas.
“Kak.. Maksudnya Lanon, kenapa bawa aku ke sini?” Gea lega akhirnya bisa lancar menyuarakan pertanyaannya.
“Emang ga boleh bawa pacar?” lalu tersenyum.
Gea sontak merona. Jika begini terus, Gea yakin. Dia juga akan menjadi salah satu korban Lanon.
Gea jadi tidak bisa berkutik. Menolak apalagi karena pada dasarnya dia sangat mau Lanon. Apalagi dia dikecup di bibir.
Gea ingin ngereog rasanya. Dia ingin cepat pulang dan menjerit di kamarnya, menggigit bantal atau menendang angin dengan bahagia.
“Makan lagi,” Lanon meraih sumpit Gea, menyimpannya di telapak tangan Gea. “Lembutnya tangan pacar aku,” lalu tersenyum.
Astaga.. Gea tidak bisa berkata-kata.
“Lizia kayaknya tidur, mau langsung pulang?” padahal Lanon belum siap saja Lizia tahu temannya sudah berada di genggamannya.
***
“Nimas, Gea ngapain?” heran Sion sambil menunjukan grup yang berisi mereka. “Dia ngetik ga jelas, apa lagi dalam keadaan terancam?” cemasnya.
Nimas menautkan alis, dengan serius membaca tulisan random yang dikirim Gea. “Salah makan apa gimana? Ga jelas.” gumamnya lalu mendial nomor Gea.
“Hal—”
“Iya, sekarang pulang. Udah dulu ya?”
Nimas dan Sion bertatapan.
“Apa dia lagi ketemuan?”
“Sama cowok?” seru Nimas menambahi. “Tapi ga mungkin ga ajak kita, dari dulu kita selalu ikut,” lanjutnya.
“Udahlah, lanjut aja pilih-pilih kamera, gue mau cepet-cepet youtube kita rame. Kita rencanain tempat lagi, kita bikin jadwal ngumpul minggu depan,” putus Sion.
Nimas mengangguk. “Gue juga ga sabar. Ga nyangka dan beruntung bisa kenal Lizia.” balasnya senang.
“Kita masih perlu banyak pikirin banyak hal, terutama harus punya guru spiritual yang bisa jaga kita, Lizia juga bisa tapi tetep aja kita butuh, kalau ada apa-apa biar disembuhinnya gampang,”
Keduanya berbincang sambil memilih beberapa kamera dan lainnya.
“Soal kak Heksa, gue masih penasaran,”
“Kita harus bantu dia,”
Tak lama Gea menelpon keduanya. Meminta di jemput. Gea terlihat berbunga-bunga membuat keduanya bertanya-tanya.
“Lanon pacar aku,” cicitnya tersipu.
“Halu!”
“Ck! Orang beneran!”
“Serius? Jangan dulu seneng, dia itu buaya. Siapa tahu lo daging ayam selanjutnya yang jadi korban,” ujar Nimas yang di angguki Sion.
Gea sontak berubah gelisah.
***
Lizia sudah tidak kuat, dia nemplok di dinding dengan terus mendesah. Bahkam kesakitan karena rasanya baru.
Heksa terlalu kasar namun anehnya nikmat. Miliknya masuk begitu dalam, menghantam keras ke titik terujung..
“Ah..” desahan Lizia terus mengisi kekosongan, suara tabrakan antar kulit memanaskan suasana.
Heksa jilat lengan bahkan ketiaknya tanpa jijik, dia kecupi pinggiran dadanya dan menghisapnya kuat, mengulum puncak pinknya.
Lizia pun berhenti menulis padahal baru beberapa puluh kata. Perasaannya tidak enak, begitu tiba-tiba.
“Kak Heksa, apa Lanon di rumah?”
Heksa menutup majalah pakaian Lizia. Dia beranjak mendekati Lizia yang duduk gelisah. Heksa mulai mencoba mencari keberadaan Lanon lewat penerawangannya.
“Ga ada.”
Lizia menutup laptopnya. Perasaannya tidak enak. “Aku harus terawang kakak—”
“Jangan, aku aja.” Heksa menghilang secepat kilat.
Lizia memilih keluar dari kamar, menuju Celine yang tengah menonton televisi bersama Abidzar. Bagai remaja di mabuk cinta.
“Baba, mama.” panik Lizia. “Kak Lanon mana?” tanyanya.
“Hm? Katanya keluar sebentar, ngumpul sama temen-temen.” Celine jadi ikut cemas. “Ada apa? Kamu liat sesuatu?” tanyanya.
“Engga tahu, ga enak aja.” Lizia menunggu Heksa.
“Gimana, Kak Heksa?”
Heksa? Siapa Heksa?
Abidzar dan Celine menatap Lizia yang tengah berbincang sendirian itu. Mereka selalu tidak bisa percaya dengan apa yang terjadi pada Lizia. Lizia yang spesial. Ngocoks.com
“Dia di keroyok, udah ada polisi. Tenang aja, ke rumah sakit Harapan,”
Mereka pun pergi.
Heksa menemani Lizia yang menangis di pelukan Abidzar. Bibir Heksa tersenyum, dia ikut membelai kepala Lizia.
Gadisnya itu sungguh lahir di keluarga yang sempurna.
“Katanya karena guna-guna,”
Heksa menoleh pada dua perawat yang melintas di belakangnya, hilang di belokan.
“Kasian dek Heksa, dokter Helena kayak mau nyerah,”
Heksa merasa tertarik dan penasaran. Apa namanya sama atau memang dirinya.
“Kita ikutin,”
Heksa menatap kaget Lanon yang menyeretnya.
“Loh, lo MATI?!” kaget Heksa yang langsung kena tinjuan karena berujar sembarangan.
“Aishh.. Sialan,” gumamnya sambil merasakan pipinya sakit.
“Tubuh gue lagi sakit, mending mereka anggap gue tidur,”
Lizia menoleh menatap kepergian Heksa dan kembarannya. Dia bernafas lega. Dokter juga menjelaskan kalau Lanon sedang tidur.
Bersambung… Keduanya bersandar sambil mendengarkan celotehan dua perawat itu. Terkhusus Heksa yang begitu serius tanpa peduli dengan celotehan Lanon.
“Jadwalnya jadi ketat, mungkin dengan dia kerja bisa ngobatin bebannya,”
“Anaknya masuk geng, nakalkan dia..”
“Iya, nakal. Semasa sadarnya juga bikin Helena kesulitan, tapi ya namanya juga ibu. Seburuk apapun kayaknya akan terus menganggap anak, buktinya dokter Helena sekarang terpuruk soal anaknya yang ga kunjung pulang,”
“Untungnya suami dokter Helena selalu baik, dia selalu jemput, nemenin kalau terpuruk,”
“Kamu kok tahu betul ceritanya?”
“Tahu dari mba Hilna, dia perawat deketnya dokter Helena, dia sepupu aku,”
Heksa diam merenung. Dia merasa aneh dengan ingatan yang hinggap dijiwanya. Apa sungguh itu ingatannya?
Ingatan betapa hancur keluarganya sampai Heksa enggan untuk kembali menjadi manusia. Dia nyaman menjadi hantu. Tapi, jika begitu kenapa ingatannya harus hilang dulu?
Heksa masih merasa ada yang aneh. Semua kunci ada pada nenek sihir yang cukup sulit ditaklukan.
Apa benar dirinya diguna-guna?
“Dokter Helena yang mana ya?”
Heksa tersadar dari pemikirannya. “Mana gue tahu. Mungkin aja—”
“Coba dulu, gue mau lo cepet jadi manusia biar ga sembarangan sentuh adik gue!” oceh Lanon sambil mulai mencari tanpa peduli Heksa lagi.
Heksa pun memilih menerawang, namun tidak bisa. Keanehan lagi. Dia pun terpaksa mengikuti Lanon.
“Selamat siang, dokter Helena.”
Langkah Lanon dan Heksa sontak terhenti. Keduanya tersentak senang. Akhirnya bertemu dengan mudahnya.
“Bagaimana keadaan pasien Lanon?”
“Hanya tidur, dok.”
Helena mangut-mangut. “Dia anak dari salah satu rekan kerja suamiku, mereka orang-orang baik,” ungkapnya. “Jadi kangen, Heksa.” lanjutnya lalu menghela nafas panjang.
“Sabar ya, dok.”
“Udah coba ke orang pintar dari yang jauh sampai deket, mereka ga ada yang sanggup. Katanya Heksa ga bisa pulang, ga mau pulang,” Helena terlihat berkaca-kaca.
Heksa menelan ludah. Apa sungguh itu dirinya? Jantungnya berdebar hebat.
“Gue yakin, dia ibu lo.” Lanon terlihat serius. Dia sudah masuk ke dalam kenangan Helena dan memang Heksa yang bersamanya yang ada didalamnya.
Heksa hanya diam, dia tidak tahu harus apa.
Lanon menatap Heksa serius. “Masalah ada di lo sekarang.” ujarnya.
***
Lizia menatap Lanon yang sedang makan, sudah bangun. Lizia melirik Heksa yang begitu pendiam.
Heksa beranjak, menghempas hantu tanpa kepala itu agar menjauh dari ruangan Lanon lalu duduk lagi dan diam.
Lizia sungguh penasaran, apa yang terjadi? Kembarannya juga bertingkah aneh dengan diam saja. Biasanya sangat bawel jika bersama keluarga.
Lizia memilih nekad dengan menerawang. Dia terpejam dan fokus hingga darah segar mengalir deras dari hidungnya.
“Ck! Ma, Baba.. Lizia mimisan,” tatapan Lanon menajam menatap Lizia yang dia tahu, pasti begitu karena mencoba menerawang.
Suster yang menemani Helena sontak membantu menanganinya, sedangkan Helena mulai memeriksa Lanon.
“Bagaimana sekarang?” tanyanya sambil memeriksa denyut jantung Lanon.
“Baik, dok. Heksa bagaimana keadaannya? Apa aku boleh tahu dia ada di mana?”
Helena membeku, Heksa yang tengah menatap Lizia cemas pun menoleh kaget. Lanon memang sat set sat set.
“Kamu—”
“Heksa, ada apa dengan Heksa?” Abidzar hanya tahu rekannya dalam bisnis pertanian itu memiliki anak. “Kamu kenal?” tanyanya.
Tapi tunggu, Heksa?
Abidzar merasa tidak asing. Dimana dia mendengarnya.
“Boleh aku tahu?” Lanon menatap Helena, kedua matanya merah menahan air mata kerinduan.
“Hm, boleh. Dia lagi di rawat di rumah,”
“Rumah yang besar dengan tujuh pilar?”
“Kamu tahu?” kaget Helena. “Apa kamu teman, Heksa?”
“Bisa dibilang gitu, dok.” Lanon melirik Heksa malas. Tapi ya sudahlah. “Cuma mau kasih saran, jangan terus rawat Heksa di sana. Heksa pasti sembuh, tolong pindahin dia, dok.”
“Lanon, kamu ngawur soal apa sih, nak?” Celine kebingungan dibuatnya.
“Kak Lanon sama kayak aku, ma, ba. Dia bohong selama ini, dia bisa liat hantu dan lainnya.” jelas Lizia dengan sebelah hidung disumbat kapas.
Lanon melempar cengiran. “Ada alasannya kok, biar mama, baba, fokus ke Lizia.” ungkapnya.
Celine dibuat cemas. Bagaimana bisa Lanon berjuang sendirian? Apa sesakti itu turunan yang diberikan oleh keluarga terdahulu?
“Aku ga papa,”
“Jadi, kamu memiliki hal yang spesial?” Helena berdebar.
“Bisa dibilang begitu, dok.” lalu tersenyum genit.
Heksa mendengus ingin meninjunya. Tapi, apakah dia sungguh ibunya?
“Rumah dokter gelap banget, lebih baik pindah, dok. Heksa kesulitan buat pulang,”
Helena menyeka air matanya yang akan jatuh.
“Dia ada di sini, selama ini Heksa terjebak di sekolah, memakai seragam lama dari sekolah yang sekarang jadi tempat aku dan kembaranku sekolah.” jelasnya.
“He-Heksa di sini?” dokter Helena ingin tidak percaya tapi kenapa rasanya ucapan anak remaja itu benar adanya.
“Dia masih kebingungan. Ingatannya belum pulih, semoga dokter mau denger saranku, untuk pindahin Heksa, dan satu lagi, izinin kita ketemu ya, dok.”
***
Gea menatap ponselnya. Tidak ada pesan dari Lanon. Apakah buaya satu itu sudah memiliki mangsa lain? Apa dengannya sungguh hanya main-main?
“Pulang naik taksi aja,” Gea menatap satu motor yang tidak asing. “Hengky?” gumamnya.
“Hai, Ge..” sapanya setelah membuka kaca helm. “Ngapain?” tanyanya.
Gea urung mencari taksi. Dia akan selalu mengingat apa yang Lanon bilang padanya. Soal jangan dekat atau berurusan dengan Hengky.
Dia salah satu mata-mata geng.
“Lagi nunggu jemputan, Lanon.” Gea mencoba biasa saja, tersenyum ramah dan untungnya dia kembali mendengarkan Lanon untuk selalu berada di tempat ramai.
“Lanon siapanya—”
“Pacar, dia pacar aku.” potongnya agar segera cepat dia pergi.
“Dia buaya—”
“Dia jadi kadal kalau sama aku,” potong Gea asal ceplos. Sungguh ingin Hengky pergi.
“Hahaha, dasar. Yaudah, aku pergi kalau kamu ga mau nebeng.”
Gea tersenyum saja sambil mengangguk dan lalu menghela nafas lega. Hingga panggilan muncul dari Lanon.
Panjang umur.
“Ha—”
“Sini pacar, ke rumah sakit Harapan. Aku di rawat,”
“APA?!” Gea segera menghentikan taksi untuk meluncur ke rumah sakit.
Lanon tersenyum samar. Untung saja saat itu Gea ketiduran di kamarnya.
Lanon membuka dua kancing seragam paling bawah Gea. Perut mulus putihnya terpangpang.
Dia menghisap daging dekat pusar Gea. Menandai Gea menggunakan hal mistis agar jika ada rasa takut dari Gea, dia akan tahu apa yang terjadi dan dimana posisinya.
Lanon menjilat bekasnya. Dia melirik Gea yang pulas. Dia kancingkan lagi.
“Cakepnya cewek dadakan gue.” gumam Lanon.
***
“Aku takut, aku mau Lanon atau Lizia ga berurusan sama hal tak kasat mata.” Celine begitu cemas. Dia sungguh trauma. Ngocoks.com
Abidzar memeluknya, mengusapnya untuk menenangkannya. “Anak kita anak baik, mereka ga akan bisa diem aja kalau memang mereka bisa bantu, sayang.”
“Mereka kayak kamu! Tapi tetep aja! Yang mereka urus itu dunia lain yang bisa aja sakitin mereka lagi,” Celine menangis tak tenang.
“Kita berdoa aja, hm?”
Abidzar kecupi wajah basah Celine. Mereka memang sudah tidak muda, tapi terlihat masih segar.
Keduanya berakhir bermesraan. Abidzar membujuk dengan hal yang sangat disukai Celine.
Di satu sisi Abidzar pun khawatir. Dia akan meminta bantuan pada guru spiritual mereka. Tanpa Celine tahu.
Abidzar hanya tidak ingin Celine banyak berpikiran buruk jika saja gurunya menjelaskan yang bisa saja Lanon atau Lizia dalam bahaya.
Abidzar membiarkan lehernya digigit vampire tercantik di hidupnya.
Bersambung… Lizia senang, dia dan kakaknya akan bisa membantu Heksa. Tapi, entah kenapa perasaannya selalu tidak enak.
Lizia tersenyum pada Heksa yang mengusap kepalanya.
“Apa aku ga usah kembali aja?” lirihnya sendu. “Aku ga akan bisa sentuh kamu sesuka hati, nanti susah kalau kangen.” keluhnya bagai bocah.
Lizia melotot samar. “Ih! Kok gitu, aku ga mau sama hantu.” lirihnya. “Kamu lupa? Aku demam kalau pelukan lama, apalagi kalau—” Lizia tidak melanjutkan suara lembutnya.
“Kalau apa?” Goda Heksa sambil memepet Lizia. “Apa, cantik? Kalau aku jilat kamu sebadan-badan?” bisiknya usil di depan wajah Lizia yang merona.
“Ih! Kamu ke sana terus!” Lizia mendorong pelan wajah Heksa dengan tersipu.
“Ya udah, ke sini aja.” Heksa menyentuh dalam rok Lizia.
Keduanya sontak bertengkar manis, tertawa bersama lalu berpelukan. Lizia senang namun tetap cemas tanpa alasan.
“Aku mau jaga kamu, mau nikah sama kamu,” bisik Heksa terdengar tulus dan bersungguh-sungguh. “Aku harus jadi manusia kayaknya, aku akan berjuang. Tunggu aku ya,” bisiknya.
Lizia tersipu lalu mengangguk. Lulus sekolah nikah muda? Eum, boleh sih. Lizia entah kenapa mau jika itu Heksa.
Lizia merasa dirinya sudah gila.
“Cium dulu,”
“Ti-tiba-tiba?” Lizia pun terpejam dan pasrah saja.
***
“Gea pacaran sama kakak?” Lizia menatap Lanon penuh selidik. “Gea baik, kak. Dia satu-satunya temen aku,” lirihnya.
“Emang kakak sakitin dia? Engga loh,” Lanon merangkul Lizia lalu menatap Heksa. “Apa? Ga usah rangul-rangkul, cuma gue yang boleh!” tegasnya.
Heksa hanya berdecih malas. Tidak tahu saja jika berdua mereka sudah sangat jauh dari batas seharusnya.
Lizia mengabaikan Lanon dan Heksa. Tatapannya berfokus pada sosok hitam bermata merah yang mengintip itu.
“Kak.. Itu—”
Heksa dan Lanon langsung menuju kearah makhluk itu berada. Senyum miring terbit di bibir keduanya.
“Mau cari gara-gara ternyata,” ujar Lanon sambil melepaskan rangkulannya dari Lizia.
Lanon dan Heksa saling mengkode lewat tatapan lalu mulai mengejarnya yang menghilang, jelas hanya Heksa yang bisa menyusul makhluk itu.
Lanon mencoba membantunya lewat mengirim energi pada Heksa.
Lizia sibuk menerawang dan berusaha menghentikan pendarahan di hidungnya. Dia tidak berenti walau merintih merasakan sakit di kepalanya.
Lizia merasa ada yang tidak beres dengan Helena juga. Entah kenapa Lizia merasa ada bisikan bahwa Helena juga yang menghalangi Heksa untuk pulang ke raganya.
Lizia terengah, terus mencoba menerawang keras tanpa peduli dengan darah yang mengalir dari hidungnya.
Lizia merintih sakit, hingga pada akhirnya jatuh pingsan.
***
“Siapa yang suruh nerawang sejauh itu?! Kamu mau mati?” amuk Lanon pertama kali membentaknya cukup kasar.
Lizia terpejam lemas. Dia jatuh sakit karena terlalu mengorek masa lalu sejauh itu.
“Kamu pikir aku seneng bisa balik ke raga aku walau ngorbanin kamu?” kini Heksa yang ngamuk. “Kamu pikir aku seneng kalau aku jadi manusia dan kamu jadi hantu?” ocehnya.
Keduanya jadi terlihat mirip jika sedang ngamuk begitu.
“Ada apa?” Celine menyimpan tasnya, tergesa menghampiri Lizia yang rebahan di kasur. Celine terlihat cemas.
“Dia— ga makan, ma. Bandel,” bohong Lanon demi kebaikan. Dia tidak ingin Celine cemas karena masalah permistisan.
“Bukannya mama udah siapin makan? Kamu tinggal angetin,” omel Celine dengan tetap perhatian.
“Emang bandel aja,”
“Kamu yang bandel, kenapa ga angetin terus paksa adiknya buat makan,”
“Loh, malah aku yang di marahin,” keluh Lanon yang sama sekali tidak marah, hanya pura-pura kesal.
“Mau baba panggilin dokter ke sini?” Abidzar mendekat dan duduk di pinggiran kasur Lizia.
“Ga usah, ba, ma. Ditidurin aja udah cukup,”
“Oke, aku tidurin ya, sayang.” suara yang terdengar oleh Lanon dan Lizia itu mengudara. Membuat Lizia merona samar.
Dan
BUGH!
Heksa terpental oleh tenaga dalam Lanon lalu meringis kesakitan. Punggungnya menghantam lantai.
Lizia tersentak samar dan mencoba biasa saja, mendengarkan perhatian dari Celine dan Abidzar.
“Gue pites pen*s lo kalau berani jauh sentuh adik gue!” ancam Lanon lewat batinnya.
“Dasar kakak ipar, galak.”
Lanon semakin melotot tidak suka. Apa katanya tadi, kakak ipar?
***
“Emh..” Lizia melenguh merasakan lehernya dikecup dan dijilati Heksa. Jemarinya juga menari di setiap sisi pinggangnya, mengusap dengan begitu lembut menggelitik.
Heksa turunkan celana dalamnya membuat Lizia tidak memakai apapun lagi. Jemari besar dari lengan berurat itu mulai mengusap paha dalam, melebarkan kaki lalu meraba pusatnya.
Heksa tidak melepaskan kecupan di leher Lizia yang wanginya membuat Heksa gila, ingin terus mengendusnya.
“Ahh..” Lizia merem melek merasakan satu jari masuk. “Ahh..” lenguhnya lembut, kini jari kedua yang masuk, memutar dan mulai mengocok perlahan.
“Eng.. Ah.. Heuk..” Lizia gelisah tak karuan saat kocokannya kian cepat. Rasanya dia akan segera sampai.
Di tambah ciuman Heksa dari leher berpindah ke puncak dadanya, menghisap kuat keduanya bergantian.
“Ah.. Ahh.. Udah,” Lizia meliuk lembut lalu bergetar halus merasakan pelepasannya dan melenguh saat jemari itu terlepas.
Heksa meremas kedua bukitnya, terus menghisapnya tanpa peduli cairan dari jemarinya berpindah ke dada Lizia.
Heksa hisap, jilat semuanya bahkan kini berpindah untuk menghisap madu di bawah sana.
“Shh.. Ohh..” Lizia meliuk gelisah, meremas dadanya sendiri dengan begitu panasnya.
Mulut Heksa menari di bawah sana, membuat Lizia gelisah dan menggeliat tak tahan dengan aktifnya mulut
“Jadi mau coba, Cantik.”
Lizia menoleh pada Heksa, sudah tidak kaget lagi jika Heksa mengintip. Ngocoks.com
“Mau coba dong,” bujuk Heksa sambil membelit Lizia dari belakang dan meremas dadanya dari luar pakaian.
Lizia menggeliat, terlihat malu-malu tapi mau. “Kak Heksa,” lirihnya gelisah saat dadanya terus diremas-remas dan lehernya diendus geli.
“Nulisnya lanjut nanti,” Heksa memposisikan diri bersimpuh di dalam meja belajar Lizia, melebarkan kaki Lizia.
Lizia terengah samar melihat posisi panas itu. Harusnya dia mulai mempersiapkan untuk ujian semester, malah melakukan hal gila.
Setelah 17 tahun lebih, Lizia merasa dia semakin mesum. Memang alangkah bagusnya nikah muda saja.
Lizia tidak ingin melakukan kesalahan lebih berat lagi. Cukup dengan hantu Heksa dia begini.
Lizia memilih mengetik sambil mendesah halus, merasakan mulut Heksa mulai jauh.
Bersambung… “Dia ketahuan bikin video begituan sama pacar, terus videonya ke sebar,” jelas Sion.
“Udah liat pasti kamu mah ya?” Nimas memicingkan matanya.
Sion sontak salah tingkah. “Ya namanya juga ke sebar, ga sengaja masuk di grup temen cowok,” jelasnya sambil kembali memakan mie ayamnya dengan lahap.
Lizia hanya diam dengan jantung berdebar. Dia sangat takut ketahuan soal novel dewasa yang dirinya buat. Itu juga kenakalan, bersama Heksa pun kenakalan walau tidak ada yang bisa membuktikannya.
“D.O ya langsung, udah rame parah sih. Dua-duanya di keluarin, mana mainnya di belakang perpustakaan, di rekam pula. Gila emang zaman,” Gea menggeleng samar.
“Kamu juga hati-hati, Gea.” Lizia bersuara pelan malu-malu khasnya. Lizia akan sangat pemalu jika berada di keramaian.
“Ha? Kenapa?” Gea panik.
“Di terawangkah?” ujar Sion dengan mulut penuh. Terlihat sangat penasaran.
“Bukan, kak Lanon nakal, hati-hati.”
“Ohh.. Kirain teh apa, kaget.” cekikik Nimas.
“Yang ada suka diapa-apain dia kalau sama Lanon,” balas Sion sambil kembali mengunyah.
“ENGGA!” seru Gea tidak terima dengan wajah merona. “Pacaran kita itu sehat!” walau pernah dicium Lanon. Ke depannya Gea akan mencoba menahan untuk tidak pasrah dan segera menolak.
“Oh ya?” Lanon merangkul Gea yang sontak mematung. Membuat bibir Lanon berkedut, lucu sekali. “Nafas, Gea.” bisiknya lalu melepas rangkulannya karena Lizia singkirkan.
“Iya, dasar temen posesif.” goda Lanon sambil mengusap sayang kepala adiknya dan segera duduk di sampingnya setelah berhasil menyingkirkan Heksa yang duduk adem ayem.
Heksa yang terpental jelas menggeram kesal.
***
Gea menelan mie ayamnya agak kesusahan. Kini di sampingnya bukan Lizia, tapi Lanon yang begitu ramah dan mudah bergaul dengan Sion, Nimas.
Gea merasa Lanon banyak kepribadiannya. Dia bagai buku yang isinya banyak kejutan dan banyak misteri.
“Minta dikit, Lizia pelit.” ledek Lanon.
“Ga gitu, kakak juga harus beli dan makan,” omel Lizia dengan lemah lembut yang membuat siapa pun tidak akan takut.
“Kamu belum makan?” tanya Gea yang membuat cek cok lucu si kembar berhenti.
“Belum, ga nafsu. Minta dikit aja,” Lanon meraih sendok di tangan Gea dan memakannya.
Gea merona. Gadis itu berdebar menatap sendoknya yang di pakai Lanon. Mereka bisa dibilang ciuman secara tidak langsungkan?
“Aa.. Buka mulutnya,”
Gea yang terkejut sampai tidak sadar begitu cepat sendok itu masuk dan mie ayam berpindah ke mulutnya.
“Ciee.. Bener loh, pacaran.” heboh Nimas sambil memukuli lengan Sion yang sudah kebal.
Gea mengunyah gugup, pandangannya tidak bisa diam salah tingkah. Wajahnya sudah semerah tomat.
Begini nih resiko pertama pacaran langsung sama buaya yang ahli mendebarkan jantung perempuan.
“Kak Lanon, Gea baru makan sedikit.”
“Ini juga di suapin, Lizia.”
“Tapi—”
“Sstt.. Fokus sama Heksa aja. Tuh liat manyun gitu,” potongnya yang langsung membuat Nimas, Sion dan Gea diam.
Lanon ternyata benar-benar bisa melihat hantu. Nimas dan Sion bertatapan dengan senyum bahagia.
Sepertinya YouTube mereka memang akan benar-benar sukses.
“Kita mulai YouTube setelah Heksa beres.” celetuk Lanon dengan santainya dan begitu tiba-tiba.
Senyum Sion dan Nimas lenyap. Lanon bisa membaca pikiran? Keren banget.
Lanon mengunyah dengan terheran. “Ngapain lo liat kayak terpesona gitu? Mending Nimas, lo kenapa kayak Gay! Jijik lo, berhenti ga!” kesalnya pada Sion.
***
Lanon bermain game, membiarkan yang lainnya menikmati waktu istirahat yang sebentar lagi itu.
Gea tertawa pelan, mendengar cerita lucu Sion dan Nimas saat belanja untuk keperluan YouTube.
Lanon melirik sisi wajah Gea yang manis. Gosip sudah menyebar, apa gadisnya tidak terkena dampak?
“Gea..” panggil Lanon setelah mematikan gamenya.
“Ya?” dia menoleh, membiarkan teman-temannya tetap berhaha hihi. Lizia juga terlihat lebih lepas dan nyaman. Tentu saja karena Heksa menjadi pagar sehingga hantu tidak ada yang berani mengganggunya.
“Punya media sosial?”
“Sempet, tapi ga pake lagi udah lama. Kenapa?” Gea agak salah tingkah ditatap Lanon selekat itu.
Padahal tatapan Lanon memang begitu, menyorot apapun dengan lekat sambil sesekali jika tidak sedang lelah dan memang sedang ingin dia akan menerawang.
“Bagus, terus selama ini mainnya apa?”
“Ga ada media sosial, drama atau film sesekali. Selebihnya main sama Nimas,” jawabnya. “Soalnya lumayan deket rumahnya.” tambahnya.
“Eum, nanti main sama aku ya.” Lanon tersenyum manis nan memikat.
Pipi Gea sontak merona lagi. “Iya.” cicitnya.
Lanon meraih jemari Gea, menggenggamnya di bawah meja. “Ngobrol lagi aja,” perintahnya.
Gea pun memulai gabung lagi, membiarkan jemarinya dimainkan Lanon yang hanya menatap mereka yang asyik ngobrol lalu pada Heksa.
Heksa mendengus. “Gue tahu lo cuma main-main sama diakan?” oloknya.
Lizia terlihat sibuk dengan tawanya sampai tidak sadar dengan ucapan Heksa.
“Terserah lo setan!” jawab Lanon lewat batin.
“Sialan!”
“Heksa. Ibu lo kayaknya ada yang ga beres. Gue ragu sama terawangan gue,” Lanon mendadak serius. Duduk diam dan hanya berbicara lewat batin.
“Gue juga ragu sama ingatan gue.”
Keduanya diam dengan serius.
“Sampai hari ini, dokter Helena ga pindahin lo. Lo pikir kenapa?” tanya Lanon.
Heksa terdiam beberapa saat. “Ada yang ga mau gue bangun.” yakinnya.
“Bawa ke tempat kakek, nak.” bisik seorang kakek-kakek pada Lanon.
Lanon tersentak pelan karena terkejut merasakan hembusan panas di telinganya. Gea sontak menoleh sama kaget.
“Siapa dia, Lan?” Heksa celingukan. Tidak ada sosoknya.
Lanon tahu siapa dia. “Kita harus kirim doa buat dia. Kita ke makamnya.” putusnya.
“Makam?” Lizia kini menoleh saat mendengar obrolan Lanon.
“Hm, mendiang kakek yang nyuruh.”
“Makan apa?” Sion mengerjap bingung.
“Makam! Itu kuburan!” Nimas menjitak keningnya kesal.
“Kuburan? Ikutlah!”
Lanon terdiam sejenak. “Sebelum ujian, gimana kalau kita liburan?” ajaknya.
Gea menggeleng. “Ga bisa, kita harus belajarkan.” cicitnya.
Lanon mengusap kepala Gea. “Pacar pinter, tapi sambil belajar bisa kok. Kita nginep sehari di desa. Di sana enak lo buat healing.” bujuknya.
Nimas dan Sion sontak berseru mau. Belajar sambil liburan siapa yang menolak coba.
“Biaya semua tenang aja, di tanggung—” Lanon menunjuk dirinya sendiri. Lanon beranjak lalu mengendus sekilas rambut Gea. “Pergi duluan,” bisiknya.
***
“Ke desa?” Celine menyimpan bunga yang sedang dia rangkai. “Tumben? Ada apa?” tanyanya.
“Kalian mau kabur belajar? Harusnya siap buat ulangan semester!” omel Celine.
“Belajar sambil liburan, ma, ba.” Lanon bersandar malas di sofa.
“Jujur, ada apa?” Abidzar menyimpan tabnya.
“Mau ke kuburan kakek, sekalian mau ke nenek sama kakek kedua..” jelasnya setengah mengantuk.
Celine menghela nafas penuh rindu. Mimah sudah meninggalkannya 10 tahun lalu ternyata. Masih saja tidak percaya kini di desa tidak ada mertua yang baik menunggunya.
“Tumben.” Abidzar tersenyum dengan tenang dan senang.
“Di kota polusi banyak, sesekali mau ke tempat yang sejuk banyak sawah,”
“Siapa aja?”
“Banyakan,”
Di tempat lain satu anak Celine begitu nakal. Berada di atas hantu tampan yang sama nakalnya.
Lizia tengah maju mundur menggesekan miliknya dan Heksa. Dia tengah mendesah halus, menggeliat begitu lemah lembut namun panas. Ngocoks.com
Heksa sudah keluar sekali, dan ini mereka melakukan yang kedua kalinya setelah Lizia selesai makan malam.
Heksa lagi-lagi berhasil mengelabui Lanon yang kelelahan di bawah sana, banyak hantu yang Heksa kirim untuk membuatnya kehabisan energi.
Demi malam yang enak bersama Lizia.
Sungguh, Hantu tampan nakal.
“Ahh..” Lizia bergetar dan ambruk. Rasanya nikmat sekali. Karena besok akan demam, Lizia pasrah saja saat Heksa berkali-kali melakukannya.
Bahkan dimana-mana.
Lizia sungguh sudah tidak bisa mengendalikan rasa nikmat yang menjeratnya. Dia tidak bisa berhenti jika sudah di mulai.
Lizia merasa dirinya semakin mesum saja.
Bersambung… Heksa menatap Lizia yang menggeliat, membuka matanya perlahan. Terdiam mengumpulkan nyawa lalu tersenyum tipis, tersipu cantik. Muka bantalnya begitu menggemaskan.
“Putri malu,” bisik Heksa sambil mengecup keningnya sekilas dengan gemas.
Lizia menatap Heksa yang jelas tidak akan tidur, dia hantu. Jika pun tidur, paling hanya tidur ayam.
“Kita berangkat siang ini,” Lizia tersenyum sambil mengamati wajah Heksa. Tampan sekali. “Kamu seneng?” tanyanya pelan.
Heksa mengangguk. “Seneng, karena kamu seneng.” godanya lalu mencolek hidung Lizia dan beranjak setelahnya.
Heksa membuka tirai kamar Lizia. Matahari mulai mengintip. Heksa berdebar, apa yang akan terjadi ke depannya?
Kenapa bisa Lanon curiga dengan yang katanya ibunya itu. Heksa menjadi aneh saat ini. Ingatannya begitu berantakan. Sampai kesulitan merangkainya.
Heksa terpejam sekilas, menahan sakit di kepalanya. Dia menutupi semua itu dari Lizia.
“Bangun cantiknya aku, jangan males. Kecuali kalau kamu mau demam lagi,” Heksa berdiri di samping Lizia.
Dengan usil Heksa meraih jemari Lizia, meletakannya di pusatnya. Lizia melotot dan seketika merona. Tapi, tidak menarik jemarinya.
“Nakal.” kekeh Heksa geli.
Lizia tersipu lucu. Dasar pemalu. Tapi entah kenapa, Lizia kini malah terlihat seperti remaja kasmaran.
***
Heksa menatap kaki jenjang Lizia. Indah sekali kaki yang selalu dia jilati dan kecupi itu. Hari ini Lizia cantik dengan kaos crop top dan rok jeans di atas lutut.
Lizia meraih tas selempangnya, memakainya, mengisinya dengan beberapa keperluan bahkan beberapa bahan pengusir hantu.
“Bawa secukupnya. Ada aku sama Lanon, ga usah khawatir.” Heksa mengacak pelan rambut Lizia lalu tersenyum manis.
“Iya.” Lizia berhenti memasukan barang. Dia meraih ponsel, dompet barulah dia turun ke bawah.
Di sana sudah ada Sion dan Nimas.
“Gea mana?” tanya pelan Lizia.
“Kak— maksudnya, Lanon yang jemput.” jawab Nimas.
Celine dengan riang gembira menyuguhkan beberapa cemilan. “Loh, anaknya mama udah turun, coba cek dulu suhu tubuhnya.” dia sentuh kening anaknya.
“Udah engga, ma.” Lizia tersenyum.
“Iya, udah sembuh.” Celine kecup gemas pipi Lizia. “Mama seneng kamu berubah,” bisiknya dengan tulus.
“Mama seneng kamu jadi banyak teman,” tambah Celine dengan berbisik.
Lizia tersenyum semakin lebar.
“Ayo, dimakan ga usah sungkan. Anggap rumah sendiri, makasih udah mau jadi temennya Lizia,” haru Celine.
“Lizia baik, tan. Dia keren,” seru Sion dengan mengacungi dua jempol baru mulai memakan cemilan.
Heksa menatapnya sinis. Ada rasa cemburu menyeruak mendengar pujian dari laki-laki lain untuk Lizianya.
Sion menelan kunyahannya lalu celingukan. Kenapa rasanya dia sedang ditatap sesuatu yang menyeramkan.
Dekat dengan Lizia memang rasanya dia jadi sensitif walau tidak bisa melihat secara jelas sosok hantu.
“Apa mama boleh tahu? Kenapa kalian ramai-ramai mau ke desa?” Celine mematap ketiganya.
Lizia terlihat gugup.
“Itu, tan. Kita teh mau liburan singkat aja. Mumet, katanya banyak sawah, udaranya sejuk. Sambil belajar buat ujian semester kayaknya enak.” jelas Nimas.
“Oh iya.. Tante udah siapin tempat di sana, kalian pasti betah. Dan satu lagi, Lanon sama Gea. Tante denger mereka pacaran?” selidiknya.
Nimas Melirik Sion, keduanya melirik Lizia yang gugup lucu sampai berhenti mengunyah dan mulai panik.
Apa Celine melarang pacaran? Selama ini Lanon memang buaya tapi tidak pernah sekali pun mengenalkan perempuannya pada orang tua dan Lizia.
Lanon sungguh hanya bermain, jalan dan sudah sebatas itu lalu mereka mulai drama tidak ingin di tinggalkan karena jika tidak ada Lanon, tidak akan ada yang mentraktirnya belanja atau makan dengan royal.
“Kak Lanon—”
“Mobil udah siap.”
Lizia, Sion, dan Nimas menoleh dan merasa lega. Akhirnya ada penyelamat. Lizia takut salah jawab.
“Siang, tante.” Gea tersenyum ramah. Manis sekali, terlihat lugu.
Celine menatapnya lekat dengan senyuman sama ramahnya. Ternyata begini selera Lanon? Astaga, kenapa anaknya itu cepat sekali besar.
“Kalau Lanon nakal, berani remas-remas, bilang ke tante biar disunat lagi,”
Gea, Nimas, Sion, saling lirik dan tertawa canggung. Gea merasa wajahnya sangat panas sekali.
“Remas sekali boleh dong, ma. Hiburan,” celetuk Lanon.
Celine langsung naik darah. Membuat keadaan agak canggung walau pertengkaran Lanon dan Celine terlihat menggemaskan.
“Ma, satu lagi anaknya nakal nih.. Suka di jilat-jilat,” ujar Heksa di telinga Lizia.
Lizia menelan ludah dengan wajah segera memerah.
Nimas melirik Gea sambil cekikikan. “Yon, udah di remes kayaknya, merah gitu.” bisiknya.
“Tapi, kenapa Lizia juga merah ya? Lucu banget mereka,” Sion ikut cekikikan.
Heksa mengecup pipi merah itu, membuatnya semakin merah.
***
Lanon memainkan telunjuk Gea, dia tengah diam saja menikmati perjalanan dengan sesekali melihat dunia lain yang tak sengaja dia lihat.
Lanon memasang wajahnya datar. Semua orang tidur kecuali Heksa tentu saja. Dia menjaga Lizia dari gangguan tak kasat mata dengan mudahnya.
Baguslah, Lanon jadi tidak lelah harus mengeluarkan energi untuk mengusir mereka.
Lanon menatap Gea yang tidur dengan mulut terbuka, tidak sadar dan begitu lelap. Dia tutup mulutnya lalu tersenyum.
Gadisnya manis sekali. Tapi, bukan waktunya untuk cinta-cintaan. Dia ingin membantu adiknya dulu.
Berinteraksi dengan Heksa jelas akan tidak baik untuk Lizia. Jika terus menerus berdekatan dan lama.
Lanon mengusap rambut Gea, membuatnya semakin tidak sadarkan diri. Tidurnya bagai pingsan.
Hingga mobil pun berhenti di jalan desa yang tidak bisa di masuki mobil. Sinyal masih belum bisa menyentuh desa yang katanya dari dia bayi itu tidak pernah berubah.
“Udah nyampe ya?” Sion menyugar rambutnya, mengguncang Nimas yang terlelap dengan mulut terbuka di bahunya. “Ahss.. Ngiler lagi,” keluhnya kesal.
Sion sibuk misuh-misuh dan adu mulut dengan Nimas yang masih setengah sadar itu.
Lizia juga bangun, dia hanya diam dengan menggemaskan seperti bayi, mengerjap dan memandang sekeliling.
Heksa tersenyum, membenarkan pakaian dan rambutnya. Keinginan menjadi manusia jadi menggebu tiba-tiba.
Gea menggeliat, menyecap lalu menatap Lanon yang tersenyum manis sekali. Menatapnya yang masih linglung dan mengerjap.
“Basah.” tunjuk Lanon ke bahu dan dada bidangnya.
Gea sontak tersentak kaget, malu juga. “Maaf, maaf.” paniknya.
Lanon menahan jemari Gea yang mengusap dadanya. “Ga papa, bahaya kalau diusap. Nanti ada remes-remes part 2 gimana?” bisiknya.
Gea menahan nafas dengan jantung berdebar. Jadi ingat saat baru dijemput Lanon di pertigaan dekat rumahnya.
Gea masuk ke dalam mobil, di perjalanan agak terjebak macet sampai 30 menit lamanya. Entah bagaimana akhirnya, Lanon menciumnya di bibir. Ngocoks.com
“Kak— maksdnya, Lanon. Ini di tempat umum.” paniknya sambil mendorong bahu Lanon.
“Kacanya gelap, ga papa kok sebentar.” bisiknya lirih lalu kembali melumatnya walau tidak dibalas Gea.
Lanon juga tidak tahu kenapa begitu tertarik dengan bibir Gea semenjak gadis itu masuk ke dalam mobil.
Gea membuka matanya, mengerjap gugup saat merasakan jemari Lanon meremas dadanya. Dia panik dan segera mendorong Lanon.
“Hey, ayo turun. Itu Lizia manggil-manggil,” Lanon tertawa geli, apa Gea tengah mengingat remas-remas part 1?
“Ha?” Gea panik. “Iya, Liz. Ini turun,” dia segera memepet Lizia, mencoba menjauhi sosok yang membuatnya salah tingkah.
Heksa menggenggam tangan Lizia yang nganggur. Keduanya saling tersenyum sesaat bak remaja kasmaran.
Mereka mulai menikmati keindahan.
Gea mengerjap menatap Lizia yang menatap ke satu titik, di atas batu nisan. Mereka sedang berjongkok dan berdoa.
Gea melirik Lanon yang menatap ke titik yang sama. Bagi Gea tidak ada apa-apa, tapi Lanon dan Lizia menatap bagaimana Heksa di pukuli habis-habisan oleh mendiang kakeknya— ayah kandung Abidzar.
“Beraninya sentuh-sentuh cucuku! Resikonya besar! Hantu bodoh!”
“Aku bukan hantu, aduh kek..”
“Apa? Bukan hantu? Minta di pukul!”
Lanon tersenyum samar. Dasar Heksa bodoh! Walau sekali pun dia belum meninggal, tetap saja dia jadi roh saat ini.
“Sudah dari lama kakek ingin mendisiplinkan anak ini! Cucu kakek sampai terbawa arus gairahnya, itu juga salahmu! Bukan soal gen dan sebagainya! Aura mesummu kuat,” ocehnya begitu marah pada Heksa yang menciut sambil mengusap bekas pukulannya.
“Dan Lizia, cucuku tercinta.”
Lizia menelan ludah. Apa semua yang dia dan Heksa lakukan kakeknya itu tahu?
“Sepertinya kakek harus bantu anak ini untuk segera kembali. Kakek akan berusaha membantu, kalian harus menikah!” tegasnya. “Jika tidak, calonmu kelak yang akan sial, cucuku.” jelasnya.
Heksa tersenyum senang, tandanya Lizia hanya untuknyakan? “Aduh.. Ampun kek,” ringisnya.
Melihatnya senang membuat kakek marah.
“Terima kasih atas doa kalian, kita bertemu malam, kakek yang datang.” beliau pun menghilang.
Lizia tahu, beliau hanya jin yang menyerupai kakeknya. Tapi beliau baik, selalu membantunya bahkan tanpa disadari Abidzar.
***
Lanon meraih koper kecil Gea tanpa kata. Dia membawanya ke kamarnya, kamar utama yang selalu dia tempati di rumah sederhana ini.
“Kak Lanon, bukannya lebih baik perempuan sekamar di kamar aku? Masa kakak sama Gea sekamar,” ujarnya pelan.
Lanon tersenyum geli, mengacak poni adiknya gemas. “Kalian di sini, lebih luas. Kakak di sana, Sion ajakan. Kalian bertiga,” jelasnya.
Lizia menghela nafas lega. Lucu sekali, membuat Lanon mengacak poninya lagi. “Titip pacar kakak, kalau di ponselnya ada cowok lain, aduin ok?”
Lizia melirik Gea yang tersipu lalu tersenyum dan mengangguk. Kali ini dia akan percaya pada Lanon. Semoga dia tidak menyakiti Gea.
Lizia yang diapit Gea dan Nimas hanya pasrah saat ditarik keduanya untuk masuk ke kamar.
“Sumpah indah banget di sini, udaranya beuhhh!” Gea terlihat gembira.
“Eitss jangan ngalihin topik ya! Cerita, kamu udah di remes—”
Gea membekap Nimas keras sampai terpental ke kasur. Mereka melotot kaget walau berakhir tertawa. Lizia pun tertawa lepas walau tawanya tetap saja pemalu.
Nimas misuh-misuh tapi jadi ikut tertawa. Mereka pun berakhir perang bantal.
Heksa mengintip di jendela luar kamar yang akan Lizia tempati. Dia baru selesai membuat pagar agar tidak ada yang berani mendekati Lizia apalagi mengganggunya.
Lizia terlihat bagai anak kecil tanpa beban. Biasanya gadis itu hanya akan menunduk tidak percaya diri, bahkan hampir mirip hantu karena tertutup rambut.
Heksa menghangat, senyumnya semakin lebar melihat cantiknya Lizia dengan tawa manjanya yang begitu pemalu. Bahkan tidak berani melayangkan pukulan bantal dengan kelas.
Lizia memang sangat lembut, walau otak dan imajinasinya mesum. Heksa terkekeh memikirkannya.
Sisi Lizia yang satu itu membuat Heksa ingin menculiknya sekarang, tapi kakek Lizia pasti akan habis memukulnya.
Heksa tidak ingin buruk di mata keluarga Lizia, sekali pun kakek itu sudah beda alam.
Heksa semakin bertekad. Kini banyak yang ingin dirinya kembali menjadi manusia. Jadi hantu memang enak, bisa berbuat nakal tanpa diketahui. Menyentuh dada perempuan sesuka hati.
Tapi, kini hanya Lizia yang dia inginkan. Heksa jatuh cinta padanya. Tidak ada alasan lagi untuk berada di dunia ini.
Semoga semua cepat selesai.
***
Sion merekam semua keindahan, sore di desa memang luar biasa indah. Banyak petani yang akan pulang.
Kesederhanaan yang tidak pernah dilihat mereka saat di kota.
“Apa di sini ada tempat angker?” tanya Sion pada Lanon.
“Ada, banyak. Tapi desa sebelah sama sebrang. Hantu di sana kuat dan bisa nunjukin diri,” jelas Lanon sambil mengupas pisang kecil lalu menekannya ke mulut Gea.
Gea yang tengah menatap lurus pemandangan sontak tersentak kaget.
“Makan. Belum masuk apapun dari pertama sampe. Jangan nakal, harus ada yang masuk ke perut.” Lanon beralih pada Lizia yang asyik menjawab obrolan Nimas.
“Udah makan belum?”
“Udah, sama roti.” jawab Lizia lembut. Mereka bisa dibilang adik kakak yang bisa dihitung jari berantemnya.
“Nasi belum, mau minta masakin ke bu Jasmin,” Lanon beranjak, mengulurkan tangannya pada Gea. “Mau ikut? Sambil liat pemandangan.” tawarnya.
Gea berdebar menatap uluran tangan itu. Dia menyambutnya dan beranjak.
“Ciee.. Emang ya, dunia terasa berdua kalau pacaran,” ledek Nimas.
Lizia hanya tersenyum menatap kepergian keduanya.
“Makanya pacaran,” ledek Sion sambil menjejalkan pisang bekas gigitannya ke mulut Nimas.
Untungnya mereka sudah biasa satu makanan berdua. Tidak jijik lagi.
Heksa yang berdiri di belakang Lizia kini duduk, memeluknya dari belakang. Dia tidak tahan lagi, tak apa nanti di pukul kakek.
Lizia menatap Heksa lalu tersenyum.
“Kita berjuang ya, makasih udah pindah dan datang ke sekolah. Seandainya ga dateng, selamanya aku mungkin betah jadi hantu nakal, ga tahu masih ada raganya di dunia ini.”
Lizia tersenyum. “Kalau nanti berhasil pulang, kak Heksa masih mau jaga akukan?” tanyanya lewat batin.
“Aku jadi manusia karena kamu, mau kamu,” Heksa tersenyum tulus.
Lizia tersipu, menggemaskan dengan kedua mata menyipit karena silau dari matahari yang akan berpulang.
“Makasih, Lizia.” Heksa mengecup bahu Lizia lama lalu ndusel di bahunya, memeluknya erat.
“Mau cium kak Heksa.”
Heksa sontak mengangkat wajahnya mendengar suara batin Lizia. Kali ini Lizia yang mau duluan?
Sayangnya, tempat tidak mendukung. Tapikan dia hantu.
“Buka aja mulutnya, aku yang kerja.” bisik Heksa semangat.
Lizia mengerjap, melirik Nimas dan Sion yang asyik merekam atau memotretnya. Sedangkan Heksa sudah asyik mengulum bibir bawah dan atasnya, menjejalkan lidah, mengabsen giginya.
Lizia menelan ludah. Rasanya nakal sekali. Pasti akan demam sedikit, tapi rasanya senang. Lizia suka.
Heksa menyesap, mencecap berkali-kali. Hingga sosoknya menghilang. Tentu saja di tarik sang kakek dan dipukulinya.
“Aduh… Ampun, cuma cium kek, aduhh!”
***
Lanon tersenyum ramah menyambut candaan anak-anak kecil maupun remaja yang dia kenal bahkan ada yang seusianya.
Mereka kenal Lanon karena selama penyembuhan Lizia di desa sebrang, membuat Lanon cukup lama tinggal di desa. Bermain permainan baru bersama mereka.
Lanon sebenarnya ingin terus hidup di sini, tapi cabang bisnis Abidzar di kota melesat setelah berasnya yang murah berkualitas mewah mulai beredar di pasaran. Ngocoks.com
“Ini sawahnya baba,” tunjuk Lanon. “Nanti kalau urusan penting selesai, kita ikut panen.” ajaknya.
Gea mengangguk senang. “Kayaknya tomatnya manis.” lalu menelan ludah. Tomat memang kesukan Gea.
“Mau petik satu?”
Gea menatap Lanon lalu tersenyum, haruskah dia mengangguk? Dan pada akhirnya mengangguk.
Lanon melepaskan genggaman tangannya dari Gea lalu melompat ke jalan setapak, meraih satu tomat merah dan mendekat lagi pada Gea.
“Cuci dulu, cobainnya di rumah.” Lanon melap tangannya ke celana lalu menggenggam sebelah jemari Gea lagi.
Rasanya nyaman, hangat dan pas saja. Lanon baru pertama kali merasakan perasaan nyaman dan dengan mudahnya menggenggam duluan jemari seorang gadis..
Perempuan yang menjadi korbannya pasti agresif, mereka yang memulai hal apapun.
Bersambung… Gea, Nimas dan Sion hanya menatap, mengikuti gerak Lanon dan Lizia. Ketiganya seperti anak hilang yang kebingungan.
Semua lampu di rumah dimatikan. Hanya beberapa lilin yang menyala.
Gea merasa perutnya mulas, saking takut. Bahkan semua makanan enak yang baru masuk rasanya akan keluar lagi. Dia duduk dengan gelisah.
“Kakek minta gini, ngobrolnya biar nyaman.” jelas Lanon dengan sebelah jemari merayap menggenggam jemari Gea yang dingin sekali.
Bukti ketakutan.
Heksa jelas duduk di tengah-tengah si kembar dengan sesekali membantu Lanon memagari sekitar mereka.
Sion dan Nimas memucat, Gea pun sama. Bagaimana tidak, percaya tidak percaya semua lilin melingkar di belakang mereka menyala sendiri.
Gea ingin berteriak saking takut tapi dia memilih terpejam kuat, tanpa sadar meremas jemari Lanon yang menggenggamnya.
Lanon membiarkannya, dia sedang fokus. Banyak sekali makhluk dari kuburan penasaran karena kakeknya ke sini.
Lizia terpejam, mencoba tenang walau takut karena mereka begitu banyak mengelilingi.
“Jangan membuat cucuku takut, menjauh!” tegasnya.
Nimas dan Sion saling menggenggam dan berkeringat. Masih takut soal masalah lilin yang serentak menyala.
Mereka sedang berurusan dengan yang benar-benar hantu. Sion yang percaya diri ingin merekam memilih urung.
“Kayak di depan api unggun,” bisik Sion saking panasnya dan langsung berkeringat deras. Padahal hanya beberapa lilin.
Nimas mengangguk setuju. Dia juga begitu kegerahan.
Heksa menatap sosok kakek tua yang tepat berada di tengah-tengah lingkaran. Menatap Heksa lekat.
“Kakek hilangkan sedikit penghalang, agar memudahkanmu untuk menemui jalan,”
Heksa terpejam, membiarkan tangan keriput itu bergerak mengusap wajah Heksa tanpa menyentuhnya.
“Jelas itu ingatan yang dibuat oleh hantu suruhan,” gumamnya.
Heksa hanya terpejam pasrah. Dia ingin semua selesai. Jika memang dia masih bisa hidup menjadi manusia.
“Ternyata.”
Lanon menatap sang kakek, Lizia juga serius. Nimas, Gea dan Sion hanya diam dengan ketakutan.
Ketiganya merasa ruangan ini begitu panas, sesak. Beruntungnya Lanon tidak melepaskan jemari Gea. Itu juga sebagai bentuk perlindungannya.
Karena Gea sangat penakut, membuat para makhluk halus ingin mendekatinya.
“Kamu menyimpan rahasia besar.” kakek tersenyum misterius. “Sangat berbahaya,” lanjutnya.
Lizia berdebar. “Aku ga bisa masuk terawang, kek. Hebat banget energinya,” jelasnya pelan nan pemalu.
“Tentu, cucuku. Mereka menggunakan ilmu hitam yang cukup kuat, sedangkan yang kalian kuasai ilmu putih.”
Lanon hanya diam.
“Akan kakek bantu, kakek tidak ingin kalian terkena dampaknya seperti anak ini,” tunjuknya pada Heksa masih agak kesal.
“Ibunya kan, kek?” tanya Lanon memastikan.
“Ya.. Salah satunya,”
“Kalau gengnya? Hubungannya apa?”
“Kita buat ingatan anak ini pulih.” putusnya. “Jangan tidur sampai pagi, kalian harus saling jaga. Kita di sini bekerja, di sana pun sama.” jelasnya.
Lizia pun mengangguk, menjelaskan semuanya pada Nimas, Sion, Gea.
“Urusan Heksa kakek yang urus, kalian hanya perlu saling jaga.” perintahnya pada Lanon dan Lizia.
“Buat lingkaran, kita ga boleh sampai ada yang tidur.” perintah Lanon serius.
Gea, Nimas dan Sion jadi terbawa panik. Mana bisa mereka tidur. Namun anehnya, mereka tiba-tiba ngantuk.
“Mas, bangun!” Sion menampar pipinya pelan.
Nimas urung terpejam, hampir saja. Kenapa bisa sampai sengantuk itu.
“Hey, jangan tidur.” bisik Lanon sambil membelai sekilas pipi Gea.
Gea mengerjap, dia tidak sanggup menahan berat dikedua matanya.
“Gea..” Lanon kembali memanggilnya namun mata menatap tajam sosok hitam kerempeng bermata merah.
Lanon mencoba menyingkirkan kiriman itu.
PRANG!
Suara gelas pecah membuat ketiga manusia biasa itu menjerit dan saling menggenggam erat.
Itu dampak dari diadunya energi yang Lanon kirim untuk menyingkirkan hantu itu.
Semua hantu dari kuburan entah kemana. Di sini hanya gelap. Auranya bagai berada di tengah hutan.
Tidak ada suara manusia. Mereka sedang di serang ilmu hitam yang kuat.
Lanon menatap Lizia yang mimisan. “Kenapa? Jangan nerawang, jangan lawan mereka sendiri, kamu ga akan kuat. Kakak aja.” Lanon mengusap kepalanya khawatir.
Lanon meraih Lizia ke pelukannya, Gea pun sama. Gea tidak berdebar dan memperdulikannya. Dia hanya bersembunyi ketakutan di ketiak Lanon.
Nimas dan Sion juga sudah berakhir saling memeluk.
“Berdoa sebisa kalian.” perintah Lanon.
Lanon begitu serius menatap lingkaran energi hitam di atas kepalanya. Itu energi yang kakek buat untuk menyedot makhluk kiriman.
Lanon tidak habis pikir. Dokter yang terlihat menyedihkan bagai kehilangan anak ternyata yang melakukan semua ini.
“Argh!” pekik Heksa sampai terpental lalu pingsan.
Lanon menoleh, Lizia pun sama. Lizia hendak bergerak.
“Diam, jangan bergerak.” kakek terlihat serius melawan semua energi jahat.
Guru spiritual Lanon dan Lizia pun ternyata membantu menjaga keduanya dari jauh. Dia sudah dibayar mahal. Dan Lanon maupun Lizia sudah seperti anaknya.
“Gea.. Jangan tidur!” bentak Lanon yang sempat hilang fokus karena menatap tabrakan energi yang kuat.
Gea kembali sadar. Dia tidak bisa menghentikan ngantuknya. Dia mencubit lengannya sendiri, pipinya juga. Berharap sakit bisa membuatnya tidak tidur.
Lanon ingin membuatnya berhenti tapi tidak bisa. Dia harus fokus melindungi mereka semua.
Hingga perlahan pagi tiba. Semua energi hitam yang bagai angin puyuh sudah hilang. Kakek tersenyum.
“Kalian berhasil, biarkan dia sadar dengan sendirinya. Kakek pamit,”
“Kakek,” panggil si kembar bersamaan.
“Tidak usah berterima kasih, kakek hanya ingin melindungi cucu kakek. Jangan lupa sering mampir ke tempat kakek, ajak baba kalian.”
Keduanya mengangguk dan tersenyum dengan wajah lelahnya. Keduanya jelas paling lelah karena bertabrakan dengan energi-energi buruk.
“Ga papa?” tanya Lanon pada Lizia.
Lizia menggeleng lemas. Dia bergerak mendekati Heksa yang sama menggeliat, sadar dari pingsannya.
Heksa menatap langit-langit dengan terkepal. “Ternyata itu alasannya.” gumamnya dipenuhi amarah.
Lizia menghela nafas lega. Heksa tidak terluka, lalu menatap ketiga temannya yang pucat.
“Kalian gimana?”
Nimas dan Sion begitu kacau.
Lanon menatap pipi merah Gea, lengan lebamnya juga. “Mau tidur? Aku temenin, agh! Lizia.” dia mengusap lengannya yang dipukul manja Lizia lalu terkekeh, mencoba mencairkan suasana. Ngocoks.com
“Semalem dingin parah ya kan? Angin besar di dalam ruangan? Ga masuk akal,” Sion mulai bawel, menjelaskan semua yang dia rasakan, Nimas juga.
Gea juga sama semangatnya, sampai tidak sadar lengan lebamnya sedang diusap-usap Lanon sampai sembuh tidak berdenyut lagi.
“Lilinnya, bikin mau nangis,” Gea sama rempongnya.
Lanon memilih mendekati Heksa dan meminta kejelasan tentang ingatannya sekarang.
“Ternyata jual beli organ, geng itu yang cari orang khususnya tanpa identitas, orang gila dan bahkan culik anak. Gue kira awalnya geng biasa, nongkrong, balap liar, party, ternyata di dalemnya ada perdagangan manusia, dan lebih mengejutkannya lagi. Ibu terlibat. Gue mau lapor polisi tapi gagal.”
“Ternyata bukan masalah sepele, berarti kita semua dalam bahaya. Mereka udah endus kalau kita tahu soal lo.” Lanon menatap Lizia, Gea dan semuanya.
Kini mereka diincar demi menutup sebuah kejahatan.
“Gue hari itu bisa astral projection, gue cari bukti dan ketemu. Tapi ternyata itu jebakan. Gue di kunci di alam ini.”
“Kayaknya harus ada kepolisian yang acak-acak rumah lo, terus kita bisa bawa lo pergi dari rumah itu.”
Heksa sangat terkejut dengan apa yang dia ingat. Ternyata bukan soal broken home dan sebagainya. Semua ingatan palsunya membuatnya hampir ingin terus menetap di dunia lain.
“Masalahnya bahaya, kalian lebih baik mundur.”
Lizia sontak menoleh mendengarnya.
Bersambung… Semenjak saat itu, Heksa tidak menampakan sosoknya. Entah kemana, bahkan Lanon dan Lizia tidak bisa menerawangnya.
Kakek hanya bilang. Anak itu juga sedang berjuang. Kalian lebih baik pulang dan belajar yang benar.
Ujian berlalu, Lizia mulai kembali banyak dihantui. Beruntungnya Lanon tidak sibuk dengan para selirnya lagi. Dia yang menggantikan Heksa.
Ujian berlalu, kelulusan pun menyapa hingga sampai di hari perpisahan sekolah. Hampir tiga bulan Heksa tidak ada.
Lizia jelas tidak bisa melanjutkan novelnya. Dia hanya bisa menangis merindukannya. Dia tahu, Heksa melakukan itu karena tidak ingin melibatkannya ke dalam masalah besar.
Dan kalian tahu? Tidak ada jejak Heksa sampai bertahun-tahun lamanya.
Bahkan GNS sampai menjadi youtube horror, misteri, penelusuran, yang populer.
“Lizia, kita minggu depan harusnya pergi ke Bandung, penelusuran ke pabrik terbengkalai, tapi kayaknya bisa kemungkinan di undur soal masalah izin.. Kita tunggu kabarnya lagi nanti,” Gea menatap tabnya, mengabaikan Lanon yang memeluknya dari belakang.
Hubungannya dengan Lanon sungguh bagai keajaiban. Mereka bersama hampir 5 tahun lamanya. Kuliah pun di kampus yang sama.
Mereka semua bahkan kini sudah lulus. Lanon bekerja melanjutkan bisnis keluarga, sedangkan Lizia, Gea, Nimas dan Sion masih terus menjadi youtuber.
Heksa benar-benar hilang. Dia hanya cerita bagi mereka kini. Tidak ada sosoknya, bahkan tidak ada perpisahan. Lizia sampai mati rasa dibuatnya.
Lizia menyetujui gabung dengan youtube GNS pun berharap Heksa muncul, bahkan membantunya.
Tapi nyatanya tidak ada.
Kakek juga tutup mulut. Mungkin karena tidak mau juga para cucunya terjerat kasus yang membahayakan.
Rumah besar itu bahkan sudah dijual, kini dipakai untuk keperluan shooting.
Lanon menatap Lizia yang hanya diam, semakin pendiam. Bawel jika di depan kamera saja. Kasihan dia, Heksa menghilang mungkin menjadi patah hati pertamanya.
“Mau ikut ga?” Gea menoleh menatap Lanon membuat Lanon mengalihkan pandang ke Gea.
“Boleh.” Lanon mengecup sekilas pipi Gea lalu melepaskan pelukannya, dia ingin mengajak Lizia ngobrol.
***
Heksa menatap lurus kumpulan manusia di markas serba gelap itu. Dia berjalan dengan dingin, melewati lautan manusia yang tengah berpesta minuman.
Pakaian Heksa yang serba hitam, sungguh sangat mencolok di antara lautan manusia yang memakai pakaian berwarna, seksi atau keren.
Heksa menyugar poninya yang agak panjang itu. Gaya rambut Mullet membuatnya terlihat bad boy.
“Sa, sini.”
Heksa menatap ke arah teriakan teman-temannya itu. Mereka sudah tidak muda, mulai memasuki kepala 3 tapi gayanya bagai usia 20han.
Heksa duduk yang langsung dirangkul Tera. Dia yang paling dekat memang setelah dia bangun dari koma.
Heksa menatap lurus pria lebih muda di depannya. Terlihat santai dan tersenyum tipis.
“Si Hengky menang balap, makanya kita mendadak party. Lo pasti sibuk,”
Heksa tidak menjawab, dia memilih merokok dan mengambil segelas alkohol untuknya itu. Dia akan duduk menghabiskan satu botol minuman, beberapa rokok dan barulah akan pulang.
“Anak-anak kecil yang di ruang bawah tanah udah mulai diambil beberapa, organnya lagi dibutuhin,”
Heksa mendengarnya tanpa ikut masuk ke dalam percakapan mereka. Dia menikmati minumannya dengan menahan mual.
“Bisnis kita makin maju, uang makin banyak.” Tera berseru bahagia, meminum rakus alkoholnya.
Semakin malam semakin panas. Para wanita mulai menggila, mulai melepas pakaian dan sebagainya.
Kesenangan bagi Tere sebagai salah satu orang terpenting di dalam bisnis gelap ini.
Semua orang bagai binatang kini. Hanya Heksa yang tetap diam di tempatnya walau kini musik menyatu dengan desahan.
Heksa menatap Hengky yang menatapnya lurus. Keduanya saling menatap tajam.
“Kak, jangan gegabah lagi. Jangan sampai kakak balik jadi hantu lagi, bahkan mungkin beneran jadi hantu selamanya.”
Di sini Hengky bukan sedang mengancam, dia hanya mengingatkan Heksa. Dia berurusan dengan banyak orang yang berkuasa, Heksa akan kesulitan dan menghancurkan dirinya sendiri.
Hengky sempat berpikir mundur, tapi dia sadar. Yang dihadapinya tidaklah mudah. Mereka akan membuatnya mati dalam sekejap mata. Tanpa jejak.
Heksa hanya beruntung saja karena dia anak dokter Helena.
Sekejam-kejamnya Helena, dia tetap tidak akan bisa membunuh anak kandungnya sendiri.
***
Heksa melepas jaket kulitnya, melemparnya asal lalu rebahan. Dia terlihat frustasi karena teramat merindukan seseorang yang dia tinggalkan tanpa kesan yang baik.
Dia tidak ingin kebahagiaan Lizia hancur. Dia tidak ingin menjadi masalah di dalam keluarga hangat nan harmonis itu.
“Apa kamu masih buat novel dewasa, Lizia?” gumamnya dengan senyum getir.
Heksa mulai melepas resleting, memasukan jemarinya ke dalam celana dalamnya. Mulai memijat miliknya.
Heksa terpejam membayangkan semua yang pernah dia lewati bersama Lizia. Jika saja tidak mencari tahu, mungkin sampai sekarang dia akan berada di samping Lizia.
Tapi itu juga bukan pilihan baik. Lama di samping Lizia saat masih menjadi hantu hanya akan menyakitinya juga.
Lizia naik ke atas tubuh Heksa, menekan masuk miliknya yang mengeras dan semakin panjang berurat itu.
Hanya masuk setengah, Lizia begitu kesulitan merasakan penuhnya di sana. Dia bergerak pelan,
“Ahh.. Lizia..” Heksa terus membayangkan Lizia sampai rasanya dia gila dan di sana melumer basah.
Heksa terengah lemas nan lega. Walau pada akhirnya tersiksa oleh rindu yang entah kapan bisa terobati.
Dia sudah mengumpulkan beberapa bukti yang beresiko. Entah kapan ajalnya akan datang. Heksa merasa tercekik berada di antara manusia gila yang haus kekayaan.
Bahkan ibu dan ayahnya sendiri.
Heksa merasa sial sekali terlahir dari orang tua yang ternyata menghidupinya dengan uang hasil melakukan kejahatan.
Bagaimana bisa mereka tega membunuh dan menjual organ-organ itu?
Jadi manusia ternyata lebih buruk dari pada saat menjadi hantu. Dan manusia lebih menakutkan dari pada hantu.
***
Lizia menatap perjalanan, cukup lama ternyata. Minggu ini full kerja lagi setelah seminggu libur.
“Surat izinnya jangan lupa lagi,” Nimas begitu bawel pada staff lain di ponsel sebrangnya. Dia memang si paling sempurna.
Selalu memastikan semuanya hingga berakhir baik dan memuaskan.
Lizia tersenyum samar. Mereka malah jadi dewasa bersama. Sungguh pertemanan yang indah. Lizia merasa beruntung.
Entah itu soal orang tua dan teman. Dia selalu dipertemukan dengan orang-orang baik.
“Ga mau, ga usah.” tolak Lanon saat hendak di pakaikan lipbalm karena bibirnya kering.
“Ini pecah-pecah, ga bikin merah kok,” bujuk Gea.
“Ga mau, sayangku!” gemasnya sambil menolak.
Gea pun menyerah, dasar Lanon keras kepala. Setelah kesal, dia tersenyum. Tidak menyangka si tampan Lanon terus menjadi pacarnya.
“Aku lagi cemburu,” bisik Lanon lalu menekuk wajahnya.
“Ih, mereka cuma fans..”
“Tapi ada artiskan?”
Gea mengulum senyum. Dasar scorpio!
“Aku temenan sama semuanya, ga usah cemburuan.” Gea memeluk Lanon dari samping.
Berarti benar ya, buaya itu setia. Buktinya Lanon.
“Cih, mereka keliatan tertarik, temenan apaan.” dumelnya sambil berpaling melihat jalanan.
“Kamu raguin aku? Bukannya kamu tahu aku secinta apa sama kamu?” sendu Gea.
Lanon menghela nafas panjang. Sudahlah, dia mengalah saja. “Hari ini bintang tamunya siapa?” tanyanya.
“Dalfa..”
“Ck! Si genit lagi?”
“Haha.. Apanya yang lagi? Dia tahun lalu loh, kamu cemburuan ih, lucu..” Gea memeluknya erat.
Lizia menggeleng samar melihat Lanon dan Gea. Siapa sangka mereka malah langgeng. Lizia pikir Lanon hanya pura-pura.
Lalu bagaimana nasibnya dan Heksa?
***
“Kamu ga tahu kangennya aku gimana? Aku kayak orang gila asal kamu tahu?!” Heksa terengah dengan berderai air mata. “Aku kayak terus mati, Lizia.” lirihnya. Ngocoks.com
Lizia terisak hebat. Dia juga tersiksa parah. Keduanya berpandangan, lalu dengan hebat dan menggebu saling berciuman.
Heksa begitu rakus. Dia membuat bibir Lizia bengkak, lehernya kini Heksa beri jejak merah dengan banyaknya.
Lizia pasrah, Heksa begitu menggebu sampai keduanya bertindihan. Saling menyatu dan bergerak begitu hebat.
Lizia meliuk menggila, namun Heksa tidak berhenti.
Heksa terus menyiksanya, entah oleh rindu atau bayangan panas yang tertinggal dijiwa Lizia.
Jemari lentik itu kembali mengetik, Lizia terisak sendirian di dalam hotel yang dia tempati bersama Nimas dan Gea.
Gea sedang jalan dengan Lanon dan Nimas sedang di kamar mandi.
Bertahun-tahun novelnya tidak bisa lanjut. Hanya beberapa kata sudah membuatnya menangis karena tokoh yang ada dalam imajinasinya itu Heksa.
Imajinasinya kini terasa menyakitkan. Semua tentang Heksa.
Sosok yang sangat dia rindukan.
“Lizia, kenapa?” panik Nimas lalu segera memeluk Lizia. Tanpa banyak tanya, Nimas sudah tahu.
Lizia akan tiba-tiba menangis jika teringat sosok Heksa.
Bersambung… “He-Heksa.. Kak Heksa.” Lizia beranjak dari duduknya yang lesehan. Restoran bertema Korea itu cukup sepi hari ini.
Sosok tak asing melintas dan mirip sekali dengan Heksa.
Nimas dan Gea segera beranjak menyusul, takutnya Lizia kembali berhalusinasi. Sudah tidak sekali dua kali begitu.
“Liz..”
Lizia menarik lengan berurat nan kekar itu. Membuatnya bertatapan dengan wajah yang tak asing itu.
“Kak Heksa..” panggilnya pelan dengan suara lembutnya yang tidak berubah. Tangisan pecahnya pun sama lembutnya.
“Siapa ya?” alisnya bertaut.
Lizia sontak berhenti menangis. Apa Heksa tidak mengenalnya setelah sadar. Lizia yakin, dia Heksa yang dikenalnya.
“Kak Heksa, ga lucu.” lirihnya.
“Saya memang Heksa, tapi—”
“Kak.. Jangan gitu,” lirihnya dengan terisak takut. Apa selama ini tidak menemuinya karena tidak mengingatnya?
Lizia kembali sedih.
“Liz,” panggil Nimas sambil merangkulnya.
Pegangan Lizia melemas. Ternyata sosok yang dia rindukan tidak merindukannya, bahkan mengingatnya.
Tapi tak apa, dia tetap ingin menemuinya.
“Kak, boleh minta nomornya? Siapa tahu hiks.. Nanti inget,” bibirnya begitu bergetar.
Nimas dan Gea terkejut. Lizia menjadi berani, sepertinya di depan mereka memang Heksa. Benar-benar tampan.
“Maaf sebelumnya, saya ga kasih—”
“Instagram, atau apapun.” mohon Lizia begitu menggebu. Jika pun tidak bisa mengingatnya, dia bisa kenalan lagi.
Lizia ingin Heksa.
“Maaf ya, kak.” Gea tersenyum tak enak hati melihat Lizia yang begitu putus asa, memaksanya.
“Ga papa, mari.” Heksa pun melanjutkan langkahnya dengan rahang mengetat.
Lebih baik Lizia sakit sekarang. Dia tidak ingin mengacaukan hidupnya yang harmonis bersama keluarganya.
Lizia menangis deras melihat Heksa menjauh dan hilang di belokan. Hubungannya berakhir begitu saja.
“Dia ingkar janji.” isak Lizia.
Nimas dan Gea membawa Lizia ke tempat semula lalu menenangkannya.
Heksa terkesiap saat kerahnya ditarik seseorang ke toilet laki-laki. Di sana Heksa di pukul membabi buta.
“Bajingan!” umpat Lanon.
Heksa tidak menangkis, menerimanya sampai sudut bibirnya berdarah. Lanon terengah menyudahinya.
Heksa terkekeh sinis. Lebih tepatnya sedang ingin membuat semua orang membencinya, melupakannya.
“Lo masih bisa bikin adek gue sesakit itu? Setelah kembali lo lupa sama yang tolong lo?!” murka Lanon.
“Bawa adek lo jauh, bikin dia lupain gue. Itu tugas lo!” dinginnya lalu meludahkan darah dari sudut bibirnya yang terluka.
Lanon mengepalkan tangannya. “Lo begini karena mereka pake ilmu hitam?” tanyanya masih penuh amarah.
“Bukan. Gue bisa hadang semuanya kalau soal ilmu hitam. Tapi bisnis gelap yang lo tahu pastinya. Gue bukan Heksa hantu saat itu lagi. Gue ga mau seret Lizia masuk ke dunia yang lebih gelap.”
Heksa memilih pergi. Dia harap Lanon bisa paham, toh dia tahu Lanon beberapa kali menerawang dan juga astral projection menemuinya setelah sadar.
Heksa hanya pura-pura tidak tahu saja. Padahal setelah bangun, dia menjaadi bisa melihat dan merasakan makhluk lain.
Bagai sosoknya yang masih menjadi hantu.
***
Heksa menatap Helena dan Heri. Orang tuanya yang tengah bahagia dengan uang hasil menjual organ dari anak-anak hasil penculikan itu.
Heksa terus melakukan yang terbaik untuk menghentikan kegilaan mereka bersama geng yang di pandangan orang baik, tapi aslinya buruk.
Heksa main sendirian. Dia tidak akan mengajak siapa pun untuk membantunya. Heksa tengah mengelabui nenek sihir di rumah ini, mencoba mengajak teman-teman hantunya dulu untuk membantunya.
Semua Heksa lakukan dengan perlahan dan penuh kehati-hatian. Jika misinya selesai, mungkin dia bisa membuat Lizia masuk ke dalam hidupnya lagi.
Tapi tidak untuk saat ini. Walau dia sangat teramat rindu ingin memeluknya dan menyatakan cintanya.
“Mama dan Papa mau liburan, ikut, Sa?” tanya Helena ramah.
Dia kini senang, anaknya itu tidak membangkang seperti dulu sampai membuatnya tega membuatnya koma lama.
Helena sampai bekerja sama dengan dukun agar Heksa tidak menghalangi jalannya untuk sukses.
Helena juga takut dibunuh petinggi dari bisnis gelapnya. Membuatnya terpaksa membuat Heksa terjebak di dunia lain.
“Masih ada urusan di markas, ada balapan beberapa hari lagi.” jelas Heksa dengan tenang.
“Oh iya, mama baru ingat.” Helena terus merapihkan uang itu ke dalam koper lagi.
Heksa menatap Heri yang sibuk berhitung dengan mesin khusus untuk uang itu. Heksa sangat tahu, dibelakang mamanya, papanya itu memiliki banyak wanita.
Heksa sungguh sial terlahir di keluarga ini.
“Kalau anak papa juara, nanti papa belikan satu mobil keluaran terbaru,” janjinya.
“Makasih, pa.” balasnya tetap tenang.
Heksa sudah tidak sabar ingin menghukum semua orang, apa bisa? Dia sungguh ingin membantu anak-anak tidak bersalah di ruang bawah tanah.
Mereka menangis, memohon dan ketakutan. Mereka dibunuh dengan keji hanya untuk diambil organnya saja.
Heksa terdiam saat mengingat wajah terluka Lizia. Wajah bayinya yang lembut tidak berubah, dia memohon begitu. Ingin rasanya dia peluk, dia cium.
Tapi sungguh belum saatnya.
***
“Ada balapan lagi kayaknya di jalan sana, di tutup soalnya.” Gea bersandar di bahu Lanon.
“Iya, kayaknya seru. Nonton yuk, pacar.” ajaknya sambil menghirup wangi rambutnya yang terawat.
“Bentar, Nimas nonton balap yuk?” ajaknya pada Nimas yang duduk di jok kedua lalu pada Lizia yang berada di jok depan. “Liz, yuk?” ajaknya.
Lanon menurunkan rok Gea yang tersingkap sampai mempertontonkan dalamannya itu. Dia melirik Lizia, berharap menolak.
Di sana akan ada Heksa. Dia akan patuh pada Heksa demi kebaikan Lizia. Bisnis gelap mereka memang bahaya.
Lanon juga menyesal karena spontan menjawab ucapan Gea dengan mengajaknya nonton.
Namun seolah takdir, Lizia mengiyakan ajakannya.
“Lebih baik nonton di rumah aja yuk, dingin kalau ke sana.” Lanon memeluk Gea manja.
“Ihhh kamu, mereka udah mau.” sebal Gea siap marah.
Lanon tersenyum, menghela nafas pasrah. “Yaudah, iya.” dan pasrah saja pipinya dikecup-kecup Gea.
***
Heksa tengah berjalan sambil memakai sarung tangan gayanya. Dia akan ke belakang dulu sebelum balapan di mulai.
Malam ini lebih ramai dari biasanya.
“Kemana, Sa?”
“Toilet dulu.” sahutnya tanpa menghentikan langkahnya melewati beberapa orang yang melintas.
Heksa mencoba mengabaikan pikirannya tentang Lizia.
Jika pun dia menemukan pria lain, maka mau tidak mau dia akan merelakannya saja. Mungkin memang itu yang terbaik.
Heksa terkesiap saat tubuhnya di dorong masuk ke dalam toilet lalu dikunci dengan cepat. Ngocoks.com
“Lizia?” kagetnya refleks dan segera Heksa rutuki.
Dia kan sedang pura-pura amnesia. Memang dasar bodoh!
Heksa terkesiap lagi saat Lizia naik ke closet duduk lalu membelit lehernya dan menciumnya rakus.
Lizianya kenapa begitu berani?
Heksa merasakan ciuman amatirnya. Tetap rasa yang sama. Tapi bedanya kini dia manusia, tidak akan membuatnya sakit.
Heksa begitu dilema tapi keinginan dan pilihan mendadaknya tidak bisa dicegah, hanya akan disesali kelak.
Heksa membalas tak kalah rakus. Dia balas memeluk, menggendong Lizia dan menyandarkannya di dinding.
Lizia menjatuhkan air mata disela ciumannya.
Sebuah energi pelindung membungkus mereka, menjamin agar tidak ada yang bisa menerawang apa yang mereka lakukan.
Heksa membuka mata, menatap energi itu yang membuatnya semakin rakus menciumnya. Bibir Lizia sampai bengkak. Keduanya terus melakukan lagi.
Lizia sampai terharu. Feelingnya benar. Heksa tidak melupakannya.
Bersambung… Keduanya masih belum berhenti, seolah rindu belum sembuh. Seolah tidak akan ada kesempatan lagi besok dan seterusnya.
Heksa melahap bibir bengkak Lizia lagi, mengajak lidahnya saling membelit. Membingkai wajahnya, terus memperdalam ciumannya.
Lizia meremas lengan Heksa, dia mulai kewalahan. Nafasnya menipis. Beruntungnya Heksa menjauhkan wajahnya.
Lizia langsung menghirup udara dengan rakus. Heksa tersenyum, dia kecupi lehernya, dia sasar tanpa terlewat.
Lizia merem melek, meremas bahu Heksa. Sudah lama sekali tidak merasakan sentuhannya dan kali ini nyata.
Sosok Heksa manusia bukan hantu tampannya yang nakal lagi.
Lizia mengecupi pipi Heksa dengan berani, malu hanya akan muncul di akhir. Lizia juga tidak peduli.
Dia tidak akan sakit lagi.
Heksa tersenyum menerima keagresifan Lizia. Dia menikmatinya. Membalasnya dengan kecupan lagi.
“Engh..” lenguh Lizia saat merasakan jemari Heksa meremas dadanya langsung, memelintir puncaknya.
Lizia kembali menabrakan bibirnya dan Heksa menyambut rakus tentu saja. Tidak melepaskan remasannya.
Heksa dudukan Lizia dicloset duduk, dia kembali lumat bibirnya dengan jemari membuka beberapa kancing pakaian Lizia.
Ciuman pun berpindah ke dua bukitnya, berpindah ke bibirnya lagi. Terus saja bolak-balik.
Lizia menggeliat gelisah dengan tak sabar. “Kak Heksa, mau.” lirihnya.
Heksa menghentikan hisapan di sebelah dada Lizia. “Mau apa?” tanyanya serak.
“Mau.” Lizia memeluk leher Heksa, pasti Heksa paham.
“Maaf, Lizia. Terpaksa aku pura—”
“Jangan di bahas, lagi mau kakak.” lirihnya serak, terlihat sudah sangat ingin.
Heksa menelan ludah. Tidak indah jika di sini. Dia harus membuat tempat khusus yang sulit di jangkau oleh ilmu hitam sekali pun.
“Nanti aku kasih kabar, sabar dulu.” Heksa kembali mencium Lizia, membelai bawahnya. Dia hanya akan membuat Lizia sampai pelepasan.
***
Heksa tersenyum samar, dia berdebar bahagia mengingat Lizia yang merengek tidak mau berpisah. Tapi, sayangnya toilet bau.
Mereka tentu saja harus berpisah.
Heksa mulai mengatur tempat. Dia ingin mempunyai privasi. Semoga saja tidak akan menjadi masalah.
“Ma, pa.”
“Ya?”
Helena dan Heri terlihat tengah bersiap untuk pergi liburan.
“Aku janji, aku ga akan buat masalah. Bisnis kalian aman, tapi izinin aku keluar.” Heksa berharap dikabulkan.
Untuk saat ini dia ingin bersama Lizia dulu, mengumpulkan bukti dengan pikiran terganggu malah tidak akan berakhir baik.
Siapa tahu Lanon bisa membantunya. Walau sebenarnya tidak ingin melibatkan mereka. Tapi mengingat Lanon spesial, sepertinya bisa diajak kerja sama tidak berjuang sendirian.
Tak hanya itu, mereka memaksa ingin membantu juga.
Sudah cukup dia menyakiti dan menyiksa Lizia dengan rindu. Dia pun sama tersiksa, sudah saatnya menepati janjinya yang terlambat.
“Mama ga percaya kamu,” Helena melipat tangan di perut dengan serius.
“Mama bisa kirim mata-mata. Aku cuma mau hidup normal. Aku mau kerja di bidang lain, selain kesehatan.”
Helena melirik Heri.
“Mama bisa kurung rohku kayak dulu kalau aja aku ingkar.”
Keduanya kembali saling melirik. Helena juga sudah muak melihat satu-satunya anak yang tidak sejalan dengannya dan sang suami.
Diberi kekayaan instan tidak mau. Heksa memang anak bodoh. Pikir Helena.
“Mama dan papa akan kirim beberapa orang, bahkan satu dukun. Kalian bertingkah, maka kamu selamanya akan jadi hantu,” Helena begitu tenang.
Heksa menatap ibunya dengan sedih. Dulu saat kecil, mereka hidup sederhana. Tapi setelah mengenal kemewahan, ibunya jadi terlihat seperti orang lain.
Mereka terlalu buta dan tuli.
Heksa mengepalkan tangannya, dia ingin menolong anak-anak di sana. Tapi entah kapan karena pergerakannya seperti siput.
Heksa harus mengubah rencana, setelah bertemu Lizia dan berbincang sebentar dia pun sadar. Dia tidak bisa melawan mereka sendirian. Dia butuh manusia lain. Bukankah hidup pun juga begitu?
Heksa mengaku tak bisa jika sendirian. Hanya akan banyak korban berjatuhan jika dia sangat lelet.
Dia hanya perlu membuat rencana, entah tertulis atau perhantuan. Dia akan bicarakan di pertemuan nanti.
“Aku juga mau nikah, ma, pa.”
“Nikah?” Helena menautkan alisnya.
“Kalian kenal. Dia anak tante Celine dan Om Abidzar.”
Heksa yakin, permintaannya terwujud dengan mudah. Tapi jangan senang dulu, mereka pasti punya rencana lain yang berbahaya.
Mereka akan tega tidak peduli pada anak atau tidak sepertinya.
Heksa melirik teman hantunya yang tertarik energi lain. Mereka mulai beraksi hanya karena permintaannya.
Heksa segera membantu mereka, menyembunyikannya dulu.
“Jangan ganggu mereka, ma, pa. Siapa pun yang ada di belakang kalian, jangan khawatir. Kalian bisa melanjutkan bisnis. Jika melanggar, kalian boleh ambil nyawaku.”
Heksa mencoba tidak takut, melindungi semua hantu baik yang menemaninya entah dari semenjak menjadi hantu bahkan setelah menjadi manusia kembali.
Heksa harus melindungi diri dulu saat ini. Berbohong pun tidak peduli. Dia ingin hidup bersama Lizia. Mereka baru bersama lagi.
“Aku mau nikah secepatnya.”
“Kita batalkan liburan.” putus Heri. Dia merasa ragu sebenarnya, tapi melihat Heksa yang tidak berguna di bisnis ini juga membuatnya muak.
Anaknya terlalu so suci. Seolah tidak butuh uang.
***
Lizia mesem-mesem. Satu jam yang lalu Heksa memintanya pada kedua orang tua. Lizia tidak menyangka mereka akan secepat itu datang tanpa pemberitahuan.
“Ck, manusia kasmaran.”
Lizia menatap hantu di jendela yang tidak bisa masuk itu. Dia hantu perempuan yang selalu menertawakannya jika sedang sedih.
Karena sering muncul, membuat Lizia sudah tidak takut lagi. Hantu itu membuat pertahanan juga sebenarnya, membuat jendela itu menjadi tempatnya.
“Aku mau nikah, jelek.” balasnya pelan dan tersipu. Jantungnya berdebar. Dia sepertinya sudah sangat jatuh cinta.
Lizia juga tidak tahu sejak kapan dia begini. Heksa membuatnya terus tersenyum sampai pegal pipi.
Suara ketawa yang melengking terdengar. Lizia mengabaikannya.
“Menikah? Tidak akan mudah,”
Lizia sontak melunturkan senyum. “Kenapa? Kenapa ga mudah?” tanyanya penasaran. Biasanya Lizia akan tidak peduli dengan omong kosong hantu, tapi kali ini dia penasaran.
Hantu jelek itu mulai serius. “24 jam menjaga rumah, bla-bla-bla..” bibirnya yang sobek begitu bawel.
Dari kekurangan hingga kelebihan di ceritakan.
Lizia menghela nafas panjang saat sadar, kenapa juga dia mendengarkan celotehan hantu.
“Lizia.”
Lizia menoleh sekilas dan hantu itu sudah menghilang. Semua hantu sepertinya takut pada Lanon.
“Ada apa, kak?”
“Serius mau nikah?”
Keduanya berpelukan sayang. Lanon begitu sayang kembarannya, adiknya.
“Hm, aku mau kak Heksa.” Lizia mengulum senyum senang.
Lanon tersenyum. “Kamu udah jatuh cinta parah ya ke hantu mesum itu,” kekehnya.
Lizia hanya tertawa pelan, mengulum senyum dan tersipu saat mengingat Heksa yang memintanya pada keluarga dan mengajaknya menikah.
“Di sini udah aman.” Lanon melepas pelukan. Menjelaskan ini itu soal hantu yang menjadi mata-mata.
Mereka harus hati-hati agar Heksa aman. Di sini dia akan mengorbankan nyawanya. Lizia mengangguk patuh mendengar penejelasannya. Terselip cemas.
***
“Ahh..” Lizia terus berisik, merasakan kedua bukitnya naik turun cepat dan di bawah sana di tumbuk hebat.
Lizia menatap sekeliling sebelum melanjutkan ketikannya. Ngocoks.com
Dia sedang tidur, tapi kenapa sekarang malah menulis novel dewasanya.
“Kita di dunia lain, Lizia.”
Lizia menatap siluet yang muncul di kegelapan lalu langkahnya terayun hingga wajah Heksa terpampang nyata.
“Aku mau kamu.” Heksa menerjangnya rakus, menggendong dan merebahkannya ke kasur. Terus menindih dan melahap rakus bibirnya.
Malam pun panas.
Lizia meringis merasakan dua jemari melonggarkannya di sana. Memutar lalu maju mundur dan terus terulang.
“Apa aku mimpi-” ucap Lizia.
“Bisa jadi.”
Heksa terus bermain di sana sini. Mendesah dan mengerang hingga rahim Lizia penuh oleh miliknya yang meleleh.
“Lagi.” Heksa begitu cepat, tidak menjeda lama. Membuat Lizia bagai busur panas dan bergetar nikmat.
“Apa ini imajinasi?”
“Bukan, sayangku.” gemas Heksa dan kembali mengguncangnya dengan hebat, cepat dan dalam.
Apapun itu, kenapa nikmatnya terasa dan Lizia terlelap dalam nikmat. Dia tidak sadar apa yang terjadi lagi.
Bersambung… Lizia membuka matanya cepat. Dia celingukan lagi. Bukan sekali dua kali, terus saja melakukan itu dengan Heksa di alam lain?
Rasanya nyata, sampai tidak menyangka pernikahan pun di laksanakan sederhana. Helena dan Heri beralasan tidak hadir karena ada operasi dadakan.
Celine dan Abidzar mencoba maklum. Walau Celine misuh-misuh karena bagaimana bisa di pernikahan anaknya tidak hadir, apa tidak bisa cuti dulu?
Pernikahannya memang tanpa resepsi, tapi tetap saja.
Abidzar tentu menenangkan Celinenya, mengajaknya untuk bisa maklum yang penting pernikahan anaknya berlangsung lancar.
“Sebenarnya baba berat lepas kamu, tapi Lanon yang yakinin baba..” Abdizar mengusap kepala sang anak dengan sayang dan terharu.
Anaknya sudah besar bahkan dipersunting pria pilihannya. Abidzar tidak menutupi bahagia dan harunya. Tugasnya kini berpindah, walau tidak sempurna, setidaknya Abidzar sudah berusaha membahagiakannya, sekali pun mungkin gagal.
Kelak semoga anaknya akan selalu bahagia, lebih bahagia bersama suaminya.
Abidzar pamit ke belakang dulu, dia takut membebani anaknya jika menangis di depannya.
Heksa mendekati Abidzar, mereka pun memutuskan untuk bicara antar pria. Heksa sangat maklum perasaannya. Kelak jika dia memiliki anak gadis mungkin akan sama.
Mengingat keluarga Lizia harmonis, jelas berpisah walau pun masih satu negara tetap saja akan sulit.
Lizia akan Heksa bawa ke apartemennya. Itu yang membuat Abidzar sedih, di rumah tidak akan ada Lizia lagi.
“Baba belum kenal kamu lama, tapi Lanon percaya kamu. Dia yakinin baba, katanya kamu sumber kebahagiaan Lizia. Baba harap selamanya ya, jaga Lizia..” Abdizar mengusap lengan Heksa.
Heksa mengangguk, hangat sekali sosok Abidzar. Dia lah sosok yang pantas di panggil ayah, papa, atau baba.
Jauh sekali dengan papanya yang hanya mencintai uang dan jabatan.
“Aku boleh anggap baba kayak ayahku sendiri?”
“Tentu, sangat boleh.” Abidzar memeluknya. “Sekarang baba orang tuamu juga, baba sungguh titip Lizia.. Dia anak yang baik, dia teramat baik.”
“Sebaik, baba.” Heksa mengeratkan pelukannya, jadi terbawa haru. Lizia sangat beruntung hidup di keluarga yang sangat harmonis dan sederhana walau harta melimpah.
Celine menarik Lizia ke tempat yang hanya ada dia berdua.
“Lingerie yang mama siapin dibawakan?” bisik Celine dengan rempongnya.
Lizia sampai merona, bahkan merah padam. Malu sekali membahas itu. Dia mengangguk pelan agak salah tingkah.
“Pinter, buku tipsnya jangan lupa baca,” Celine menganggap Lizia polos, padahal dengan ilmu yang dia punya selama menulis cerita dewasa dia cukup banyak ilmunya.
Bahkan mungkin bisa saja liar dari apa yang biasanya dia tulis. Apalagi Heksa juga sangat teramat mesum.
Celine begitu bawel. Tidak peka bahwa wajah anaknya sudah sangat merah. Lizia juga tidak menolak, mendengarkan dengan patuhnya.
Memang anak baik, walau imajinasinya agak lain.
***
Celine dan Abidzar melambai, menatap kepergian mobil Lizia dan Heksa yang melaju meninggalkan rumah.
“Hiks..” Celine baru berderai air mata tak tertahankan.
“Apartemennya deket, ma.. Ngapain nangis,” goda Lanon. “AHK!” pekiknya terkena pukulan Celine.
Abidzar segera merangkul dan menghentikan lengan Celine yang akan memukuli Lanon lagi. Anaknya itu memang suka sekali menggoda ibunya. Dasar nakal.
“Mama, lebay..”
“Apa?!” serunya kesal dengan terisak.
Niat Lanon hanya ingin menghiburnya, tidak sedih berlarut-larut. Mereka juga akan bisa sering berkunjung. Apalagi masih di kota yang sama.
Bahkan Lizia dan Heksa pastinya akan lebih sering menginap, mengingat bahaya mengintai mereka.
Lanon menatap kepergian mobil yang terus mengecil dan menghilang. Dia menjamin di perjalanan tidak ada yang mengganggu Lizia yang tengah bahagia.
Lanon tersenyum. Lizia begitu bahagia, perasaannya itu sampai bisa Lanon rasakan. Memberikannya pada Heksa walau membuatnya khawatir tetap pilihan yang baik.
Lizia yang selama ini kesulitan, berhak merasakan kebahagiaan bersama pilihannya. Heksa pun akan bisa membantunya.
Lanon juga senang, Heksa manusia tetap bisa melihat dan Berinteraksi dengan dunia hantu.
Bahagia ya kalian.
“Loh, mama, baba.. Lizia mana?” Gea terengah, dia terlambat karena harus mengikuti casting.
“Baru aja, telat banget.” Celine menyeka air matanya lalu merangkul kekasih anaknya. “Temenin mama, lagi sedih. Lanon biarin,” kesalnya.
Lanon tertawa pelan. “Ma, aku ga ketemu dia udah seminggu loh.. Kangen, siniin ga.” dia mengejar pelan.
“Engga mau!”
Gea tersenyum, Pertengkaran yang lucu. Dia direbutkan orang-orang baik.
“Aku marah ya, sayang.. Ma siniin ga,” goda Lanon sambil meraih Gea dari belakang, membelit lehernya.
“Aduh susah nafas,”
Celine sontak memukuli Lanon yang tertawa menikmati ocehan Celine. Dia senang, Gea begitu diterima.
Gea juga berhak bahagia. Gea selalu merasa dihargai, selalu merasa rasanya memiliki keluarga. Hidupnya juga berat. Sama seperti Heksa.
***
Heksa menggenggam jemari Lizia, mengecupinya sesekali. Keduanya begitu mesra di dalam mobil menuju hotel untuk malam pertama. Hadiah dari Lanon yang pastinya sudah Lanon buat agar tidak ada gangguan.
“Kakak ipar aku emang terbaik,” Heksa tertawa pelan, begitu bahagia.
“Soal Hotel ya, kak?”
“Iya, sayang. Dia emang baik ya,” pujinya yang tentu saja tidak akan pernah terucap jika ada Lanon.
Lizia mengulum senyum. “Baik banget, cuma ya emang agak ngeselin aja kadang.” curhatnya.
Heksa kembali mengecup jemari Lizia lalu berbisik. “Lingerienya cantik, pakai pokoknya.” lalu terkekeh.
“Kak Heksa tahu?” kagetnya lalu sadar, Heksakan punya kelebihan juga.
“Bukunya juga baca ya, tapi kayaknya kamu lebih ahli dari buku itu.” matanya memicing menggoda Lizia yang tersipu dan salah tingkah.
“Tapi, kak.. Pelan ya,” bisiknya.
“Siap, cantik.”
Keduanya saling menatap dan tersenyum lalu berpelukan. Begitu kasmaran. Heksa rasanya baru merasakan hidup kembali sekarang. Ngocoks.com
Bisakah dia bahagia walau sebentar? Tolong masalah jangan datang dulu. Dia ingin menikmati perannya sebagai suami Lizia.
Sesampainya di hotel.
Lizia kewalahan, dia juga sama aktif. Benar-benar mengandalkan jejak imajinasi yang dirinya buat.
Heksa begitu bersemangat, tergesa bagai tidak ada hari esok. Mungkin karena terlalu lama menahannya. Dia begitu tidak terkendali.
“Ahh..”
Heksa semakin semangat mendengarkan desahan Lizia. Dia sesap lehernya, dia bagai vampire haus darah.
“Engh..” Lizia merasa nafasnya memberat. Ternyata begini rasanya disentuh oleh sosok Heksa yang manusia.
Lebih membara, tubuhnya hangat. Sentuhannya membuatnya berkali-kali lipat meremang.
“Pelan-pelan.” pinta Lizia dengan suara lembutnya yang lirih.
“Aku lapar,”
“Tapi lingerienya..”
“Ga perlu.” balas Heksa dengan kelaparan, terus mencari kulit Lizia untuk dia kecup.
Bersambung… Lizia yang baru selesai mandi dan mengeringkan rambut menghampiri Heksa yang tengah menikmati film dan cemilan.
“Udah? Sini, yang.” Heksa tersenyum cerah, melempar cemilan itu hingga tergeletak di meja depan mereka.
Heksa merentangkan dua tangannya sebagai sambutan. Lizia tertawa pelan, tersipu malu nan lemah lembut khasnya.
Putri malu kesayangan Heksa yang akan Heksa pastikan menjadi putri pemberani dalam hal itu tentu saja.
“Wanginya kesayangan,” Heksa mengendus leher Lizia dan memeluknya erat.
“Geli,”
“Masa?” Heksa semakin sengaja menggesekan hidung ke lehernya, mulai menggelitik pinggang Lizia.
“Ah.. Hahaha.. Geli,” suaranya tetap saja terdengar lembut. Tawanya begitu menggemaskan di telinga Heksa.
“Ampun?”
“Iya hahahaha..” Lizia menggeliat mencoba menangkis, menahan lengan Heksa.
Heksa mengulum senyum setelah mengecup bibir dan pipinya lalu berhenti menggelitiknya. Dia menarik Lizia agar bersandar padanya.
“Kak Heksa.” panggilnya pelan saat sebelah jemari Heksa masuk ke dalam pakaiannya dan menyelipkan telapak tangan besarnya ke dalam bra.
Sepertinya akan menjadi kebiasaan. Telapak tangan itu hanya mendarat di sana, hanya meremas sesekali saja.
***
Lizia mengernyit merasakan silaunya matahari pagi. Lizia menoleh ke belakang lalu tersenyum saat tahu dia suaminya. Heksa.
Seperti biasa, satu telapak tangannya mendarat di dadanya. Bahkan piyamanya sampai berantakan akibat ulahnya.
Lizia perlahan melepaskan jemari besar itu. Dia merapihkan piyama dan keluar dari selimut. Dia akan mencoba memasak sarapan.
Ini hari pertama dia pindah ke apartemen Heksa. Dia harus cepat beradaptasi, kembali melihat semua isinya yang sudah lengkap.
Tentu saja. Lanon, Gea, Nimas dan Sion membantu menyiapkan semua barang. Mereka memang yang terbaik.
Lizia membuka kulkas. Dia mulai menimang, apa saja bahan yang harus dia keluarkan.
“Nasi goreng aja kali ya,” gumamnya.
Di kamar, Heksa tersenyum senang, tidak beranjak dari tidurnya agar bisa menikmati sarapan yang Lizia sedang siapkan.
“Diem aja bikin jatuh cinta, apalagi berusaha bikin sarapan. Kamu mau bikin aku tergila-gila segila apa, hm?” gumamnya dengan mood sangat baik.
Heksa menatap hantu mengganggu di jendela dengan senyuman, menyingkirkannya dengan tidak kesal. Malah tersenyum.
Sungguh mantan hantu yang kini semakin bucin.
Namun senyum Heksa perlahan luntur. Apa dia berhak sebahagia ini di saat bahaya tengah mengintainya dan Lizia?
Heksa menghela nafas berat. Suara derap langkah membuatnya segera terpejam dan pura-pura lelap.
“Untung belum bangun.” Lizia meraih ponsel dengan hati-hati. Namun langkahnya terhenti, dia ingin mencium Heksa.
Lizia mendekat, mengecup bibirnya lalu kembali keluar kamar. Heksa tersenyum dengan mata terpejam.
Ternyata hidup sebagai manusia memang yang terbaik. Bertemu dengan Lizia sungguh kado terindah.
Heksa akan lebih baik lagi memperlakukannya.
***
“Enak ga ya?” Lizia kembali mencicipi nasi goreng buatannya, dia merasa tidak percaya diri. Ini pertama kali dia membuatnya.
Lizia sampai tidak sadar dengan lamanya dia mencicipi, meragu dan terus hanya menimang gelisah.
Heksa juga sudah sangat tidak sabar sampai memutuskan untuk bangun sendiri tidak menunggu Lizia kembali ke kamar dan membangunkannya.
“Yang.”
Lizia tersentak pelan mendengar panggilan yang belum lama Heksa buat itu. Sejak malam pertama kalau tidak salah.
“Ya, kak?” sahutnya kaget dan berdebar. Dia masih belum percaya diri dengan buatannya.
“Ngapain?” Heksa menatap meja makan, ada dua piring berisi nasi goreng.
“Itu.” Lizia menunduk, terlihat sekali tidak percaya diri. “Aku ga tahu enak engganya, baru pertama bikin,” suaranya begitu pelan.
“Oh ya?” seru Heksa antusias. “Mana sini, senengnya dibuatin sarapan,” Heksa kecupi gemas pipi Lizia.
“Tapi ga tahu apa—”
“Udah ada niat mau bikin sarapan aja udah bagus, yang. Ga usah takut, aku suami kamu. Aku terima bahkan kekurangan kamu sekali pun.” potong Heksa sambil membingkai wajah Lizia. “Sini, ciuman dulu.” ajaknya.
Lizia berjinjit, bibirnya pun menempel dan Heksa menggendongnya agar leluasa menikmati bibirnya tanpa menyakiti leher Lizia.
Lizia membelit leher Heksa, mengusap tengkuk dan menyisir rambut belakangnya hingga berantakan.
Suara decap dari ciuman terdengar begitu nyaring, bukti ciuman keduanya semakin menuntut.
Heksa melepaskan bibirnya, menjauhkan sedikit wajahnya. “Sarapan dulu, bisa-bisa mau kamu kalau lanjut.” dia dudukan Lizia di kursinya.
Mereka mulai makan, Heksa begitu lahap.
“Kenapa kamu ga percaya diri? Seenak ini,” puji Heksa jujur.
Lizia tersipu, bagus kalau begitu. “Kalau gitu aku bikin sarapan ya, aku mau belajar banyak bikin makanan.” balas Lizia.
“Makasih, sayang.”
Lizia mengulum senyum senang. Seperti biasa, Lizia makan paling lambat dan seperti biasa, Heksa dengan hobby barunya.
Lizia mengunyah dengan sebelah dada di remas-remas. Apa seenak itu ya memainkannya?
Heksa dengan bucinnya terus menatap, membuat Lizia semakin lambat makannya.
***
Lizia terengah lega, dia telungkup di meja makan dengan kaki menopang lemas tubuhnya yang di serang Heksa.
Heksa memeluk perut Lizia, mengecupi bahunya. Membiarkan semua benihnya menyebar ke rahim istrinya.
“Haa.. Selalu luar biasa, kita lebih nakal dari saat itu ya, yang.”
Lizia tersenyum lemas dan mengangguk. Sungguh nakal. Selesai makan, dia yang di makan di meja makan.
“Enak posisinya?”
Lizia mengangguk, tidak sakit sama sekali walau Heksa agak cepat temponya tadi.
Heksa pun melepas belitannya, menatap miliknya yang tertanam seluruhnya itu. Perlahan menariknya.
“Kita ke kamar mandi.” Heksa segera menggendong Lizia dengan mudah menuju kamar utama dan sampailah di kamar mandi.
Keduanya membersihkan diri, memutuskan untuk bermalas-malasan di kasur. Bercanda manis, atau membahas tentang apapun.
“Aku anaknya mau dua,” Lizia menatap wajah tampan Heksa.
Heksa meremas sebelah dada Lizia, seperti biasa. Jemari sebelah tangan itu akan bertengger di dadanya. Lizia sudah lelah menghitungnya, saking sering.
“Aku sih, semaunya kamu karena kamu yang hamil.” lalu tersenyum, mengecup sekilas bibir Lizia.
“Tapi takut,”
“Takut Lahirannya?”
“Bukan, takut anak aku nanti tersiksa kayak aku. Katanya bisa turun ke anak. Walau ada sisi baiknya, tapi tetep aja. Sebelum ketemu kak Heksa, hidup aku ga kayak sekarang. Semua yang aku alami buat aku takut, jadi ga mudah deket sama orang,”
Heksa tersenyum, paham maksudnya. “Tapi kelebihan kamu itu bikin kita sama-sama. Tuhan kasih kamu kelebihan itu pasti ada alasannya..” balasnya.
Lizia mengangguk, setuju dengan ucapan Heksa. Ngocoks.com
“Kita jadi bisa terus kayak gini,” Heksa bergerak menindih Lizia.
“Kak, lagi?” Lizia mengerjap panik. Apa serius seharian mau diisi dengan bercinta?
Hingga sore tiba. Mereka baru tidur satu jam namun harus terpaksa bangun saat Lanon, Gea dan Nimas datang.
“Kalian ganti hobbykan? Tidur mulu! Nguap mulu,” goda Gea dengan bawelnya saking sudah akrab.
Lanon yang jadi lebih kalem sekarang.
“Kita terpaksa harus ganggu, soalnya Lizia masih bagian dari kita.” jelas Nimas membuka topik pembicaraan.
“Ada satu kebetulan di episode selanjutnya,” Lanon yang bersuara.
“Apa?” Heksa memicing, dia tidak ingin Lizia terkena masalah.
“Penjaga bekas pabrik yang waktu itu udah kasih izin, gue terawang di sana pernah jadi markas geng itu. Kita bisa terawang lebih jelas kalau di sana. Bisa aja ada bukti, mereka mungkin ga akan curiga. Karena Gea dan lainnya YouTuber terkenal,”
Heksa menatap Lanon lurus, dia tidak tahu apa yang sedang di rencanakan olehnya. Perasaannya tidak enak, padahal Lanon pun sama.
Nimas dan Gea mengangguk.
“Kita harus sama-sama,” Gea tersenyum.
Mereka semua kini tahu masalahnya. Mereka akan membantu, bukan soal Heksa saja tapi soal kemanusiaan.
Bersambung… Lizia menatap punggung suaminya. Semenjak Lanon dan yang lain pergi, Heksa memang jadi lebih diam.
Bahkan malam ini mereka langsung tidur, tidak ada sesi panas dulu. Lizia sampai tidak bisa tidur karena Heksa yang jadi murung.
“Kenapa belum tidur, hm?”
Lizia bergerak mendekat, ternyata Heksa juga belum tidur. “Karena aku cuma bisa liat punggung kak Heksa, jadi susah tidur.” jawabnya asal..
Heksa mengubah posisi, pelukan Lizia di belakang tubuhnya kini pindah ke depan tubuhnya.
“Maaf, aku lagi kepikiran soal kita pergi ke sana.” jujurnya.
“Kenapa? Apa kak Heksa liat sesuatu?”
Heksa menggeleng. “Karena ga bisa terawang makanya kepikiran. Aku jadi takut, apa yang akan terjadi nanti,” lirihnya terdengar gelisah.
Heksa menghela nafas berat, mengeratkan pelukannya. Dia sungguh dilema, satu sisi kemanusiaan tapi satu sisinya lagi dia takut melibatkan Lizia dan yang lainnya.
Heksa terpejam menerima pagutan di bibirnya. Dia membalas namun tak lama.
“Maaf, yang.” dia tidak bisa menikmatinya saat pikiran berisik.
Lizia mengusap punggung Heksa menenangkannya, meyakinkannya kalau kelak akan baik-baik saja.
“Tapi, kak. Apa kakak rela liat orang tua kakak ditangkap?”
Heksa tersenyum getir. Mereka melakukannya demi ego masing-masing, demi memuaskan keserakahan pada dirinya.
Mereka melakukannya dengan bahagia, tidak memikirkan masa depan anaknya. Mereka bagai akan selamanya selamat. Namanya rahasia, tidak selamanya akan menjadi rahasia.
“Justru karena mereka orang tua aku, yang. Aku mau mereka cepet sadar, aku sayang mereka. Aku mau mereka berhenti,”
***
Semalam hanya diisi percakapan ringan, lebih ke Heksa curhat. Tidak ada semangat untuk melakukan malam panjang seperti sebelumnya.
Tapi pagi ini Heksa butuh. Dia merasa pening jika tidak disalurkan.
Dan pada akhirnya Lizia berakhir nungging untuk Heksa. Posisi kesukaan Heksa. Katanya pantat Lizia sangat cantik di posisi itu dengan punggung merosot.
Lizia mendesah lirih, begitu lembut namun panas. Pagi-pagi langsung di lahap Heksa, enak sekali.
“Kita berangkat agak siangan, Lanon masih harus jemput Gea katanya,” jelas Heksa yang memang bangun duluan, dia sempat membuka grup pesan.
Lizia tidak merespon, dia sedang keenakan. Pergerakan Heksa cukup cepat, membuat suara penyatuan terdengar cukup nyaring.
“Gemes.” desisnya lalu mendesah sambil meremas pantat berisi yang bergetar akibat hantamannya.
Haa.. Hh..
Hh.. Ah.. Hhaa
Heksa merebahkan tubuhnya membuat Lizia tertarik dan duduk di atasnya, memunggunginya.
Tubuh belakang Lizia sungguh cantik sekali. Naik turun diiringi desah gelisahnya yang lembut menggoda.
Lizia bergerak tanpa di perintah, membuat Heksa mendesah dengan nikmat sambil mengusap tubuh cantiknya yang terus bergerak.
Semalam pikirannya terlalu penuh, bercinta paginya ternyata cukup membantu membuat tubuhnya rileks.
“Lizia.. Shh..” Heksa ikut bergerak, membuat Lizia naik turun semakin cepat.
Heksa tersenyum. “Kamu lagi berkuda, yang?” godanya diakhiri desah halus. Lizia sungguh rapat.
Lizia tersenyum disela desah gelisahnya. Dia memang terlihat seperti berkuda. Tapi ini berkuda yang nikmat.
Kudanya enak.
Heksa merem melek, geli sekali sampai rasanya hampir sampai namun dia tahan dulu.
Plak!
Heksa gemas sekali sampai menampar sisi pantatnya yang bergetar itu pelan.
Lizia semakin terengah. “Harusnya aku yang gitu, kan lagi berkuda, kak.” lirihnya dengan terengah.
Heksa tertawa pelan. Dia mengangkat Lizia, merebahkannya. Dia akan mengakhirinya sekarang, jika ada waktu dia akan melakukannya sekali lagi.
***
“Iya, kita siap-siap terus ke tempat itu.” Heksa mematikan panggilan dari Lanon. Kembali menggerakan miliknya.
“Udah, ayo. Mereka udah nunggu,” lirihnya gelisah saat Heksa terus bergerak cepat.
Lizia yang telungkup begitu gelisah, berkali-kali dihantam gelombang nikmat. Pasti di perjalanan dia akan tidur karena kelelahan.
“Pertama kalinya kerja ke luar kota sama kak Heksa,” ujar Lizia disela desahnya.
Heksa tersenyum, mendekatkan wajahnya untuk mengajaknya berciuman.
“Aku keluarin sekarang, terus kita mandi.”
Lizia mengangguk, semakin berisik karena Heksa liar sekali. Apakah novelnya akan lanjut? Pasti, Lizia akan lanjutkan setelah selesai bekerja.
Keduanya melenguh bersama, lemas dan terengah lega. Berciuman sesaat lalu bergegas mandi dan bersiap.
“Ga dandan?”
Lizia menggeleng. “Nanti sampai di sana kita didandanin, ada khusus penata rias, bersponsor.” jawabnya dengan lembut.
Suara Lizia sungguh suara yang sangat Heksa sukai saking lembutnya.
“Pasti cantik, jangan cantik-cantik ya, yang. Aku lagi males berantem.”
Lizia hanya tertawa geli.
“Masih mau kamu, tapi kita udah harus berangkat. Kasih nenen di sana nanti ya? Sini pegang dulu bentar,”
“Kak, udah telat.”
Heksa memilih meremasnya dari luar dengan gemas.
“Ih! Ga hantu ga manusia, mesum!” canda Lizia.
“Harus, sama kamu bawaannya gitu. Ayo, kita harus cepet sampe, aku mau cepet-cepet nenen,”
“Ih!” Lizia memukulnya lemah lembut lalu tertawa pelan, malu sendiri.
Pengantin baru itu begitu romantis, menikmati setiap detik yang begitu berharga dengan baik. Tidak ada yang tahu ke depannya.
Makanya Heksa sangat teramat menikmatinya.
***
Lanon tersentak kaget mendengarnya, lalu berdecak saat tidak sengaja menerawang Heksa yang tengah meminta nenen.
“Dasar pengantin baru!” dumelnya.
Padahal dia sedang ingin menerawang apakah di sana ada energi kiriman atau tidak. Ternyata aman..
“Kemana ya mereka? Lama banget.” gelisah Nimas.
“Baru berangkat,” ceplos Lanon refleks.
Mereka pun mulai misuh-misuh walau di satu sisi senang. Pengantin baru itu bahagia sekarang setelah badai menerpa.
“Maklum, pengantin baru.” ujar Gea menenangkan yang lain.
Lanon tersenyum menatap Gea yang semakin dewasa semakin bersinar cantik itu. Sudah bisa merawat diri dengan sangat baik.
“Kita kapan nikah?” bisik Lanon.
Sayangnya Gea selalu menolak. Mungkin karena takut seperti orang tuanya. Ada trauma di hidup Gea.
“Nanti.” singkat Gea tanpa ingin membahas lagi, dia langsung mengajak ngobrol Nimas.
Lanon tersenyum, mengusap punggung Gea sayang. Dia tidak akan memaksanya dan hanya akan sabar. Entah sampai kapan. Ngocoks.com
Lanon tersenyum geli. Dia jadi sangat bucin, padahal dulu menjadikannya pacar hanya main-main. Sekarang malah cintanya yang tidak main-main.
Mereka asyik berbincang sambil menunggu. Suasana mulai hangat lagi.
“Maaf ya, telat.” suara lembut Lizia menyapa dengan tidak enak hati.
“Kerja dulu, biasa.” ujar Heksa sambil menepuk lengan Lanon.
Lanon hanya mendengus.
“Dasar pengantin baru!”
Lizia tersipu malu. Kelak dia akan menolak, tidak mau Kesiangan lagi mana lutut lemas.
Bersambung… “Temenin Lizia dulu,” Lanon mengecup pelipis Gea dan mengusap kepala Lizia setelahnya lalu pergi bersama Heksa.
Mereka akan duluan melihat keadaan di sana. Jika membahayakan lebih baik ditunda lagi saja dan mencari tempat lain demi keselamatan.
“Gue coba bikin pagar, gelap banget energi di sini.” Lanon terpihat fokus memasang energi penangkal, bahkan memanggil mendiang kakek dan lainnya.
Lanon sudah meminta sejak lama, mereka pasti akan senang hati membantunya. Apalagi mereka memang selalu menjaganya dari dunia lain.
Mereka yang menangkal serangan-serangan gaib. Tentu atas izin sang pencipta alam semesta.
Heksa menatap sekitar, padahal masih siang menuju sore tapi aura di sini sungguh gelap bagai malam hari.
Heksa mulai mencari celah, apakah bisa dia menerawang jauh tanpa ketahuan. Di sini dukun dan pemimpin bisnis tidak akan diam.
“Ga ada celah,” gumam Heksa.
Lanon tersenyum samar. “Ada, baru dapet.” balasnya.
“Serius? Banyak pagar gaib, kita ga bisa terawang,” Heksa menatap Lanon yang kalem.
“Kakek kasih jalan,”
Heksa terkejut di duduknya. Di belakang tiba-tiba ada sosok kakek yang dulu memukulinya dan selalu membencinya.
“Kamu suami cucuku!” di pukul lengan Heksa, dia tetap kesal.
Heksa hanya tersenyum menanggapinya.
“Tapi, kek. Mereka juga kerja di sana. Apa kita ga akan ketahuan?”
“Entahlah. Di dunia kita, rumput saja bisa bicara. Angin menyampaikan kabar.” kakek mulai serius membuka energi gelap itu hingga perlahan terang. “Tapi kakek usahakan, tidak akan ada yang menyakiti cucu kakek.” lanjutnya.
“Kita harus musnahkan mereka dulu.” tambah sang kakek.
Heksa dan Lanon sontak melihat hantu bagai zombie itu.
“Buset, banyak banget.” gumam Lanon kaget melihat manusia hitam itu mulai berjalan hendak mengeroyoknya.
***
“Yang, nenen.” bisik Heksa sambil ndusel di bahu wangi Lizia.
“Besok aku shooting, kak Heksa ga lelah abis berantem?” Lizia mengusap kepala Heksa..
“Ga kok, nenen dong.” Heksa menusuk-nusuk sebelah dada Lizia dengan telunjuknya.
Lizia menahannya, menghentikannya. “Sebentar ya? Besok kerja, rekaman masa mukanya layu kelelahan.” lalu melepas satu kancing piyamanya.
“Oke, bentar.” Heksa melanjutkannya, membuka kancing hingga atasan Lizia semuanya terlepas.
“Enaknya jadi manusia, ga bikin kamu demam kalau ketempelan aku,” kekeh Heksa lalu merebahkan Lizia dan segera menghisap sebelahnya.
Lizia menggigit bibir bawahnya. Mulut hangat, lidah nakal dan hisapannya. Hmm.. Lizia menggeliat gelisah dibuatnya.
Setelah menjadi manusia, Heksa sepertinya sangat kecanduan dengan bobanya. Bangun tidur pasti sebelah jemarinya sudah bertengger di bobanya. Di mana pun pasti ingin menyentuh atau meremas.
Bisa-bisa miliknya semakin besar.
“Gemes banget, lembut, nyoy-nyoy.” ceplos Heksa sambil mengecupi keduanya.
“Shh.. Moy-moy?”
“Nyoy-nyoy,” ralatnya lalu tertawa pelan. “Aku panggil kamu moymoy ah..” candanya. “Kalau orang tanya, kenapa moymoy, bobanya nyoy-nyoy.” lanjutnya dengan tertawa geli.
Lizia ikut tertawa.
“Sini, aku kulum lagi ya, Moy-moy.”
Lizia mengangguk dengan mengulum senyum lalu perlahan mendesah merasakan mulut Heksa begitu rakus.
“Basah.” komentar Heksa sambil mengusap puncaknya yang belepotan basah, mengeras dan menonjol karena dihisap, ditarik dan dicubit.
“Ahh.. Geli, kak.”
“Geli tapi enakan,” bisik Heksa.
“Kak,”
“Kita kerja sambil bulan madu, yuk? Main sebentar ya? Kamu lelah ga?”
“Engga.”
“Tadi larang, sekarang kayaknya udah terangsang.” goda Heksa.
Lizia mengulum senyum. Seolah dia memang sudah begitu.
BRAK!
Keduanya tersentak kaget melihat sesuatu menabrak kaca, asap hitam tebal. Belum berwujud.
Heksa segera beranjak dari atas Lizia, dia menyelimutinya. “Tunggu, jangan turun.” biar dia yang maju.
Heksa memicingkan mata, beruntungnya asap hitam itu menghilang. Hingga bisikan menyapa keduanya.
“Bermainlah di bawah selimut anak muda, kalian itu pengantin baru dan wangi. Tapi, tenang. Kakek jaga kalian, teruslah berdoa. Lakukan apapun dengan di awali do’a..”
***
Lanon menatap Gea yang duduk di pangkuannya, dia duduk perlahan menekan miliknya hingga sepenuhnya masuk.
“Ahh..” lenguh Gea.
“Ngapain di masukin?” Lanon bertanya tenang, menatap Gea yang selalu cantik itu dengan lekat.
“Lagi mau kamu,” Gea mengecupi rahang Lanon begitu perlahan nan menggoda.
“Pake pengaman dulu,” bisik Lanon memperingatkannya. “Kamu masih belum mau diajak nikah.” lanjutnya.
“Oh iya..” Gea terkekeh pelan. Segera melepasnya lalu berlari kecil menuju laci.
“Kalau kakek tahu, aku bisa digantung dia,”
“Tapi kata kamu sekarang kakek fokus jaga Lizia, diakan lebih lemah kamu kuat,” bisik Gea menggodanya di akhir.
Lanon menggigit bibirnya sekilas. “Ayo nikah, kita udah 10 kali lakuin ini sejak tahun baru,” bisiknya sambil memasangkan pelindung di miliknya.
“Nanti.”
“Nanti itu kapan?” bisiknya dengan suara serak yang memberat rendah.
“AKH!” kaget Gea antara nikmat dan sakit. Saat tiba-tiba didudukan Lanon hingga tertancap sepenuhnya. “Ihh! Kasar!” kesalnya.
Lanon tidak membahas lagi, dia membuka pakaian Gea hanya bagian depannya saja lalu mulai mengajaknya bergerak.
Lanon tidak mau sebenarnya, tapi malam tahun baru saat itu membuatnya terpaksa hilang kendali.
Gea terhasut oleh pergaulannya di pertemanan antar artis, Di luar Nimas, Sion dan Lizia. Entah bagaimana dia berteman.
Tapi sekarang Lanon sudah melarangnya bergaul dengan mereka lagi. Bisa saja dampak buruk lainnya membuat Gea berubah.
“Pelan,” lirih Gea sambil terdongak menikmati lehernya yang dikecupi, hingga ke bobanya.
Gea selalu merasa melayang saking nikmatnya. Kesalahan yang terus terulang, Gea tidak tahu akan sampai kapan.
Dia tidak ingin— tidak, maksudnya dia belum siap menikah. Entah sampai kapan.
***
Lanon melepaskan pelukan Gea. Dia turun dari kasur, dia mengamati keadaan di luar sana. Asap hitam itu. Lanon bisa melihat, energi kakeknya sedang bertarung.
Lanon terpejam, dia mulai membantu. Untung Gea sudah lelap kelelahan.
Di tempat Heksa Lizia pun sama. Kedua manusia yang baru selesai bercinta beberapa puluh menit lalu, bahkan baru tidur 20 menit sudah harus terbangun. Ngocoks.com
Membantu sang kakek melawan energi kiriman itu. Benar, mereka sangat kuat. Sampai pergerakan selembut apapun ketahuan.
Nimas tersentak kaget melihat petir dan hujan tiba-tiba datang dengan teramat deras. Petirnya begitu kencang.
Nimas mendial nomor Gea namun tidak aktif.
“Ga mungkin minta temenin Lizia, dia bisa aja sibuk ngelonin suaminya. Sion aja? Iya, dia buat gue bukan cowok.”
Bersambung… “Apa? Gila ya lo!” Sion menjitak kepala Nimas.
“Atuh, yon. Liat keluar, petir sama suasananya serem tahu!” kesalnya sambil masuk ke dalam lagi.
Sion menghela nafas berat. “Gue cowok, udah gede juga. Lo kata gue masih Sion yang dulu!” omelnya.
Nimas mencebik pelan. “Ga ada bedanya juga.” dumelnya.
JEDAAAR!
“Anjing! Eh,” Sion menimpuk mulutnya lalu mengelus dada. “Gede banget,” kagetnya.
Nimas memepet. “Kan, ngeri aja gitu.” lalu membelit lengan Sion.
Keduanya berakhir di sofa. Sesekali tersentak kaget karena petir yang menyambar. Suasana horor kini bertambah agak canggung.
Benar kata Sion, dia bukan Sion yang dulu. Entah sejak kapan dia menjadi lakik begitu. Nimas menelan ludah.
Lengan Sion yang dia belit bahkan berurat. Kekar sekali. Dia sungguh Sionkan.
“Yon, ini teh beneran.” Nimas mengusap lengan Sion.
Sion sontak tersentak, dia merasakan desiran itu lagi. Dasar Nimas! Mengusapnya begitu bagai menggodanya.
“Ck!”
“Lo sejak kapan kayak lakik?”
Bahkan gaya bicara pun lo-gue yang makin gaul karena pergaulan. Mereka sungguh berubah.
Nimas menelan ludah saat bersitatap dengan Sion. Kenapa suasananya jadi aneh. Seolah ada yang menghasut untuk melakukan kesalahan.
Perlahan, begitu pelan. Entah siapa yang mulai. Wajah satu sama lain saling mendekat, nafas terasa satu sama lain hingga bibir menempel.
Jantung keduanya sama berdebar. Tidak ada yang berusaha menarik diri. Malah Sion membelit Nimas, membuat jarak menghilang.
Bibir keduanya bergerak pelan, mulai saling merasakan satu sama lain. Kaku namun dinikmati.
***
Lizia terlihat layu, agak demam. Mungkin semalam bekerja keras, antara ranjang dan ilmu hitam itu.
“Nimas, Gea dan Lizia kompak sakit.” Sion tengah berbicara dengan staff lain. Sepertinya akan ada penundaan jadwal tayang juga. “Mereka demam, cuaca mungkin buruk.” tambah Sion.
Mereka rapat mendadak, kecuali Nimas, Gea. Mereka tetap di kamar, khusus Nimas dia tidak bisa berjalan.
Dan mereka pun memutuskan. Menunda dulu. Entah sampai kapan. Diusahakan hanya 3 hari. Jika lebih, mereka akan membatalkannya.
“Semalam ada energi besar bertabrakan, mungkin mereka terkena energinya, tapi tenang mereka akan baik-baik saja.” ujar guru spiritual yang selalu menemani mereka.
Mereka pun bubar. Guru spiritual itu mendekati Lanon dan Heksa.
“Kalian tidak akan mampu mengalahkannya, mereka tidak akan pernah terbasmi dengan mudah, akarnya sangat dalam susah di jangkau. Biarkan karma alam semesta yang menghukum mereka, kalian hanya akan celaka.”
Lanon dan Heksa diam. Masalahnya semalam kakek juga memperingatkan mereka untuk berhenti. Atau akan berakhir ada yang mati.
“Jika pun di buktikan, mereka tetap bisa lepas dari hukuman jika bukan akarnya yang tertangkap. Bisnis itu sudah lama, akarnya kuat, bahkan orang hebat juga banyak terlibat.”
Lanon melirik Heksa.
“Putuskan hubungan kalian dengan mereka. Sulit memang, kita manusia normal yang tidak tega melihatnya. Tapi di sini hanya kekuatan Tuhan yang bisa menghentikan mereka, mengalahkan mereka.”
Heksa melemas. Dia akan benar-benar menyerah saja.
“Istrimu akan terus melemah, mereka tidak akan mengambilmu,” tunjuknya pada Heksa.
Lanon mengepalkan tangannya. Dia pun merasa begitu, Lizia semalam terlihat lemah tak seperti biasanya.
“Berhenti. Fokus ke masa depan kalian, anak-anak tak berdosa itu akan selamat tapi bukan lewat kalian.. Kalian hanya akan mati sia-sia.. Mereka akan tetap berjaya.. Walau begitu, mereka akan terkalahkan kelak.”
Heksa sungguh memutuskan akan menyerah. Menyerahkan semuanya pada pemilik semesta untuk mengadili mereka.
“Jauhi orang tuamu, walau berat.”
Lanon mengusap lengan Heksa, menguatkannya. Lanon juga sudah bilang soal itu. Dia melihat jahatnya mereka yang kini rela kehilangan Heksa.
Mereka sudah terhasut iblis.
***
Lizia berkaca-kaca sambil mengusap kepala Heksa. Heksa menangis didadanya setelah menceritakan yang mereka obrolkan.
“Ada mama, baba.. Mereka orang tua kamu, ga usah takut sendiri. Sedihnya jangan lama,” bibir Lizia bergetar sedih.
Heksa menangis. Lizia tidak pernah membayangkannya. Membuatnya tertular.
Di tempat lain. Lanon bersama Gea terlihat diam, murung. Dia juga sedih. Tapi memilih untuk berhenti. Rumitnya mereka ternyata tidak seperti bayangannya yang mudah.
Dia tidak ingin adiknya menjadi korban.
“Kenapa?” Gea memeluk Lanon yang duduk bersandar di kepala ranjang.
“Kita nyerah. Bahaya buat Lizia.” singkatnya.
Gea paham, dia tidak banyak bertanya. Hanya memeluk, mengusapnya, menenangkannya.
“Pilihan bagus, serahin semuanya sama Tuhan, jangan bahayain Lizia, nanti kamu makin sedih.” Gea usap wajahnya.
Lanon mengangguk. Dia sandarkan kepala di bahu Gea, memeluknya sambil menikmati wanginya.
“Kamu masih anget, tidur.” Lanon mengurai pelukan.
“Engga, udah turun kok,” Gea kembali memeluk Lanon.
Keduanya terus begitu, sesekali berciuman. Cukup menghibur Lanon.
***
“Gue pikir lo lepas tanggung jawab,” Nimas tengah duduk bersandar di kepala ranjang sambil bermain game di tab.
“Mana bisa.” balas Sion sekenanya, dia fokus ke ponsel. “Jadwal di undur, nunggu kalian sembuh. Sakit barengan, ck.. Ck.. Gue pikir kembar tiga!” dia merampas tab di tangan Nimas.
“Ih! Lagi main game juga!” kesalnya.
“Ga denger? Kita nunggu kalian sembuh, mau uang ga sih? Pengennya banyak, kerja ga mau,”
Nimas menekuk kesal wajahnya. “Gue demam bisa aja semalem—” dia memilih bungkam. Membalasnya membuat suasana jadi aneh.
Sion menatap Nimas yang salah tingkah, dengan jutek memilih rebahan lagi.
“Apa? Gara-gara gue genj*t?” goda Sion lalu terbahak kencang dengan berusaha menangkis pukulan bantal ke arahnya.
“Lo bisa juga ternyata ya,” Nimas mulai berhenti memukul dan serius.
“Ha? Bisa apa?” tanyanya setelah tawa reda.
Nimas merapatkan kedua tangannya. “Begituan,” ujarnya sambil menggerakan telapak tangannya bertabrakan.
“Waa.. Lo ngejek?”
“Bukan-bukan!”
“Guekan udah bilang, gue bukan Sion yang dulu.” kedua kaki Nimas di tarik hingga serambi lempitik dan rebahan.
“L-lo mau ngapain? Sakit, masih sakit! Punya lo teh gede tahu!”
“Ah masa,” Sion menindihnya dan
BUGH!
“ARGH!” jeritnya kesakitan saat lutut Nimas menghantam pusatnya.
Nimas pun panik.
***
Lizia ingin di lap karena berkeringat karena demam. Membuat badannya agak lengket. Heksa mengabulkannya, itu hal mudah sambil mengambil kesempatan.
Heksa tetap untung karena bisa melihat setiap jengkal kulit Lizia.
“Emh.” lenguh Lizia saat bibir Heksa kembali mendarat, sungguh mengambil kesempatan dalam kesempitan.
“Bantu bersihin,” kekeh Heksa.
Bantu bersihin katanya. Dadanya dijilat-jilat bukannya bersih malah penuh liur. Heksa sungguh doyan boba.
“Enh, geli.” Lizia menggeliat geli.
Heksa mengenyotnya gemas.
“Ah kak Heksa!” Lizia memukul manja lengan Heksa lalu tertawa pelan kegelian. Ngocoks.com
Heksa pun menyudahinya. Tersenyum sambil mengusap Lizia. Maafkan dia yang egois. Dia tidak ingin kehilangan Lizia lagi.
Dia akan mengakhiri hubungannya dengan kedua orang tua walau berat. Tapi dia sungguh tidak ingin terlibat. Mereka bukan orang tuanya yang dulu.
Heksa terisak lagi.
Lizia segera memeluknya. Heksa memang mengajaknya bercanda, tapi tetap dia sedang tidak baik-baik saja.
Yang di pikir mudah ternyata tidak mudah.
Bersambung… “Gea kenapa ya?” Lizia berbisik pada Heksa.
Hari ini mereka memang sudah memulai shooting. Kondisi Gea, Lizia dan Nimas juga sudah sehat.
“Emangnya kenapa?” Heksa asyik merangkul sambil mengusap lengan Lizia.
“Kayak gak fokus aja, berapa kali take.”
“Mungkin masih ga enak badan,” balas Heksa sekenanya. Dia melirik Lanon yang duduk dan asyik dengan ponselnya.
“Apa mereka berantem ya?”
“Mungkin, wajar namanya juga hubungan. Kita juga berantem semalem karena posisinya bikin kamu sakit,” bisiknya jenaka.
Lizia memilih diam, dasar mantan hantu mesum. Ujung-ujungnya, entah apapun pasti ke sana.
“Bintang tamunya ga jadi dateng?”
“Hm, karena jadwal diundur dan dia punya kerjaan lain jadi ya udah, kita jalanin aja tanpa bintang tamu.”
Saat ini Nimas dan Gea tengah menjelaskan beberapa ruangan yang penuh debu, bekas gudang dulunya.
“Astaga!” kaget Lizia.
“Besar ya, dari jauh aku udah liat dia.”
Sosok besar, hitam. Hanya kakinya saja yang terlihat. Wajahnya hanya ada mata merah.
Lanon beranjak, dia dengan sigap mengusir hantu lain yang hendak menempel pada Gea yang jelas dia tidak peka soal begitu.
Hingga penelusuran terus berlanjut, jam 3 pagi baru selesai. Banyak sekali gangguan, kru sampai ada yang kerasukan. Harusnya jam 5 pagi selesai, diundur jadi jam 3 saking keosnya keadaan.
***
Gea menyimpan semua barangnya, mengabaikan Lanon.
“Apa aku salah ajak kamu nikah? Kita udah lama dan bukan anak kecil lagi,” Lanon mencekal lengan Gea.
“Aku udah bilang! Aku ga siap!” balas Gea marah.
Kenapa Lanon tidak kunjung paham. Dia tidak bisa, belum bisa entah sampai kapan. Dia tidak ingin ada perubahan di status mereka.
“Kamu ga pernah mimpiin tentang masa depan kita?”
Keduanya terlihat sama tersulut. Satu sudah lelah menunggu, yang satu frustasi karena tidak bisa memberikan keputusan.
“Kita putus aja! Hubungan kita ga akan ada akhirnya!” Gea segera berkemas.
Mereka memang sering bertengkar, putus nyambung tapi sepertinya kali ini Gea benar-benar ingin mengakhirinya.
“Gea!”
“Kita putus! Minggir!” Gea menyingkirkan Lanon.
“Bertahun-tahun aku sabar nunggu, apa aku salah minta kita nikah?”
“Kamu ga salah! Aku yang salah di sini! Harusnya dari awal aku ga boleh buka hati, aku punya trauma yang bikin aku rumit,” Gea terisak dengan emosi, emosi pada dirinya sendiri.
Dia sungguh ketakutan tanpa bisa dijelaskan.
“Lebih baik kita sendiri-sendiri dulu, aku juga mau fokus ke bisnis kecantikan,” Gea benar-benar pergi.
Dia bahkan mengundurkan diri dari youtube yang mengangkat namanya. Dia sungguh menjauhi sahabatnya, meminta mereka untuk membiarkannya sembuh sendiri.
***
Nimas melirik Sion yang terlihat lunglai. Dia yang mengurus semua hal tentang Gea. Dan sudah selesai.
Kini mereka akan tampil tanpa ada Gea untuk sementara waktu entah sampai kapan.
“Gea butuh istirahat, biarin aja. Dia mau fokus ke bisnisnya dulu.” Sion duduk di samping Nimas.
Nimas menghela nafas panjang. “Diajak nikah malah ga mau, tapi emang trauma itu susah ya.” dia tidak akan tahu bagaimana rasanya. Hanya Gea yang tahu.
“Emangnya lo mau di ajak nikah?” Sion memepetnya.
Nimas menoyor Sion. “Minggir sana! Kerja, cari uang yang banyak terus baru boleh bahas nikah!” ketusnya.
“Loh, ga tahu serius? Saldo gue mau liat?”
“Ck! Kamu mah bercanda terus! Jadi gimana ini? Fans agak kecewa Gea keluar, udah ada gosip miring soal Gea..”
Sion pun mulai serius. “Resikonya. Perlahan kita tunjukin aja kalau hubungan kita baik-baik aja, nanti makan bareng..” balasnya.
“Masalahnya dia sama Lanon putus, aduh ribetnya! Alasan ga mau pacaran sama sahabat sendiri tuh gini, canggung ke semua!” cerocosnya.
“Tapi enak tahu pacaran sama sahabat itu,” Sion ndusel di bahu Nimas, menggodanya yang langsung mendapat respon jambakan.
“Pengen liat yang pink lagi, ayolah sekali.”
Nimas melotot, semakin menjambaknya sampai Sion mengaduh disela tawanya. Nimas kesal karena Sion selalu membahas miliknya yang katanya pink.
Nimas penasaran jadinya, apa benar pink? Dia tidak bisa melihatnya secara jelas, dia hanya bisa merawatnya tanpa melihatnya.
“Udah, sakit serius!”
Nimas pun melepaskan jambakannya. Sion bergerak membelit tubuhnya, menyandarkan wajahnya di dada Nimas.
“Capek banget, kena semprot pimpinan karena sebagai laeder gue ga becus jaga kalian.” bisiknya.
Nimas membiarkannya, biasanya Sion hanya akan meminjam bahu, sekarang sudah berani meminjam dadanya.
Ck! Namun Nimas memilih membiarkannya.
Sion mengangkat wajahnya, mendekatkan wajahnya lalu mengecup bibir Nimas sekali. Saat tidak ada penolakan, barulah kembali menciumnya. Lebih intens.
Nimas hanya membalas sekenanya, meremas sisi lengannya. Ciuman terasa semakin menggebu.
“Gue mau nyapa si pink, hm?”
Nimas bersemu. Ingin menjambaknya lagi namun segera Sion tahan. Dan pada akhirnya mereka melakukannya lagi.
Sion benar-benar menyapa si pink yang membuatnya selalu tidak fokus saat bekerja itu.
***
Lizia melepaskan pagutannya. “Aku ke kak Lanon dulu, mau hibur dia.” putusnya.
Heksa mengangguk. “Aku mau tidur, bangunin sore ya.” balasnya.
Lizia mengangguk, membenarkan pakaiannya, rambutnya lalu lipstiknya. Dia keluar kamar, menuju tempat Lanon berada.
Heksa yang hendak tidur memilih memainkan ponsel, membaca pesan dari Hengky. Semua orang tengah mengawasinya, tapi Heksa tidak peduli.
Dia tidak akan banyak tingkah karena dia memilih untuk menyerah dari pada mengorbankan Lizia yang tidak memiliki salah apapun.
Heksa memilih merokok, dia tidak bisa tidur jika pikirannya kembali berisik. Dia harus menenangkan jiwanya dulu.
Heksa melihat, makhluk tak kasat mata yang mungkin mengawasinya. Sungguh mereka menggunakan ilmu hitam dalam bisnisnya.
Heksa lumayan penasaran, siapa yang menjadi pemimpinnya. Koneksi yang begitu kuat, kata Hengky dulu pernah terendus sampai di tangkap namun entah apa yang terjadi semua bebas lagi.
Lizia masuk ke dalam kamar Lanon. Dia bisa merasakan patah hati yang kakak. Lanon jelas sangat mencintai Gea, mengingat mereka bertahun-tahun bersama.
“Kak,”
Lanon hanya bergumam tanpa mengubah posisi, meringkuk rebahan.
“Soal nikah lagi?”
“Hm.”
“Mungkin Gea masih butuh waktu buat sembuh, kak.”
“Sampai kapan? Dia kayaknya ga pernah pikirin masa depan sama kakak,”
“Coba sabar sedikit lagi,”
“Ga bisa, kakak ga bisa terus ngalah. Mau sampai kapan? Kakak mau punya keturunan, mau hubungan serius, selama ini udah ngalah, sabar nunggu,”
Lizia pun tidak bisa memaksa lagi. Entah hubungan kali ini memang berakhir atau kembali bersama. Lizia juga tidak bisa dan tidak ingin membaca masa depan.
Biarkan Lanon dan Gea dengan pilihannya.
***
Lizia menahan bahu Heksa. “Kak, berhenti dulu itu ga berhenti panggilannya.” lirihnya gelisah keenakan.
Ponselnya terus berdering, takutnya penting.
“Ck!” Heksa mencabut miliknya lalu merangkak meraih ponsel Lizia di nakas. “Nimas.” ujarnya.
“Hallo?”
“Liz, Gea butuh kita kayaknya, dia galau nih, mau nyerah mau nyerah, takutnya nekad dia,”
Lizia menatap Heksa yang menekan miliknya hingga tenggelam, hampir membuatnya melenguh namun bisa dia tahan. Ngocoks.com
“Iya, nanti ke sana.”
“Hm, ke apart dia.”
“Iya.”
“Kak— ahh..”
“Pergi aja ga papa, nginep juga. Tapi beresin dulu, ya ga enak kalau gantung.”
“Ahh.. Iya,”
Keduanya mulai menggila, Lizia membiarkan Heksa sepuasnya dulu baru dia bersiap pergi ke apartemen Gea dengan diantar Heksa tentunya.
“Lanon ke club, kak. Ga biasa banget, udah lama ga ke sana baru ke sana lagi, apa kakak bisa jemput dia?”
“Bisa, kamu tenang aja.” Heksa mencium bibir Lizia dua kali lalu membiarkannya turun dari mobil..
Bersambung… Heksa menolak beberapa wanita malam yang menyapanya, dia mencari keberadaan si galau yang membuat istrinya cemas. Ternyata ada bersama para sahabatnya, ada beberapa orang yang cukup terkenal.
Dia hanya diam di antara orang yang riang gembira bersama para wanita malam itu. Heksa menggeleng samar.
Untuk apa datang ke tempat ini kalau hanya diam saja. Lebih baik minum sendiri di kamar.
“Oh astaga!” Heksa refleks menjambak rambut panjang yang melayang di depannya lalu menghempasnya jauh.
Ternyata ada juga hantu yang suka dugem. Bikin kaget saja.
Heksa melanjutkan langkahnya, Lanon menatap kedatangan Heksa lalu berdecak. Kenapa harus disusul-susul sih.
“Ngapain ke sini elah,” malas Lanon seraya menyimpan botol alkohol di tangannya ke meja di depannya.
Heksa menyapa yang lainnya, bertos ria walau hanya kenal sepintas. Dia segera menarik Lanon.
“Saatnya pulang, mau diaduin ke mama, baba?” ancamnya.
Lanon menggeram kesal, misuh-misuh namun tetap saja pasrah. Dia masuk ke dalam mobil Heksa dan berakhir duduk santai di pinggir pantai.
“Lumayan tenangkan di sini? Hantunya ga banyak, udah gue suruh nonton dari jauh, tuh pada ngumpul.” Heksa meminum minuman hangat yang dia beli.
Tanpa alkohol tentu saja, bisa diamuk Lizia dan lagi pula dia tidak suka. Hanya menyelesaikan masalah sedikit, lupa sesaat dan bisa saja malah menimbulkan masalah lain.
Hidup dengan terlibat bersama para hantu saja sudah rumit.
“Kali ini kayaknya putus serius,” tiba-tiba Lanon bersuara setelah sekian lama.
“Cewek lo lagi galau juga, kalian sama-sama ga baik-baik aja. Bisa aja balikan,”
Lanon menghela nafas panjang. “Buat apa? Dia ga mau diajak serius.” balasnya malas.
“Katanya dia ada trauma,”
“Iya, tapi mau sampai kapan? Gue selama ini udah sabar ya!”
“Ye, gue yang kena semprot!” untung lo kakak ipar gue!
Heksa meneguknya sambil menikmati deburan ombak malam, angin cukup sejuk tidak terlalu tertiup kencang. Cukup untuk menenangkan jiwa.
Lanon menunduk dalam. Dia agak mabuk sepertinya.
“Gue nyerah, kali ini nyerah.” gumamnya tidak jelas.
“Ck! Galau deh semuanya,” Heksa menangkap Lanon yang ambruk.
***
Mereka makan malam seperti biasanya. Sudah satu minggu sejak hari galau terparah Gea dan Lanon terjadi.
Mereka makan hanya untuk memotret kebersamaan agar fans tidak ribut. Putus Gea dan Lanon sampai masuk berita, tidak heran. Mereka memang tidak banyak mengumbar, tapi cukup digemari.
Duduk Gea dan Lanon sudah tidak bersisian, sangat berjarak. Gea sedih sebenarnya, tapi di sini dia berusaha tegar..
Dia memang belum siap, jika Lanon ingin menikah dengan yang lain mungkin memang sudah takdirnya.
“Non, ikut ke Solo ga?” tanya Nimas.
“Lian ntar, ada iklan moga aja ga bentrok,”
Gea hanya makan, mendengarkan tanpa banyak bicara. Dia tahu situasinya menjadi canggung, tapi memang begini adanya dia tidak bisa berbuat banyak.
Lizia hanya diam menatap semua situasi yang aneh itu. Mungkin ke depannya tidak akan secanggung ini.
“Terus kapan Lizia liburnya? Mau honeymoon yang serius, lama juga..” celetuk Heksa.
“Ye, kak Heksa pikirannya itu mulu setiap pertemuan,”
Lizia menggeleng samar, tersenyum malu. Dasar hantu ah tidak dasar mantan hantu nakal. Untung tampan.
“Jadwal kalian padat, pertemuan penggemar, terus penelusuran, kita itu pengantin baru,”
Lizia tertawa pelan menatap Heksa yang tengah protes.
“Ini malah ketawa,” Heksa mencubit sekilas pipi Lizia.
Canda tawa mereka sedikit cukup mengurangi kecanggungan yang ditimbulkan Gea dan Lanon.
***
Heksa tersenyum, menatap Lizia yang berada di pangkuannya. Mereka tengah melakukan hal nakal di mobil.
“Gelap kok, ketahuan pun ga masalah, kita udah nikah.” bisiknya nakal.
“Tetap aja ga boleh,” Lizia menggigit bibir bawah, merasakan hisapan di sebelah dadanya.
Pakaiannya jelas sudah naik, tidak berada di tempatnya lagi.
“Shh.. Kak,” Lizia menatap sekitar, kenapa malah semakin memberat nafasnya. Enak sekali ternyata mewujudkan imajinasinya.
Heksa melepaskan kulumannya. “Kamu kapan nulis lagi?” tanyanya sambil memulai penyatuan tanpa saling melepas pakaian seluruhnya.
“Kayaknya beres honeymoon aku juga mau berhenti, kak. Sion pasti bisa cari anggota baru, asal jangan mendadak.”
“Ide bagus, aku yang kerja.” Heksa menekannya hingga keduanya melenguh.
“Mobilnya goyang ga, kak?” bisik Lizia merem melek merasakan tubuhnya yang meremang terus disentuh.
“Dikit, kamunya gerak pelan, jangan naik turun,”
Lizia merem melek, menggoyangkan miliknya yang penuh. Nakal sekali, Heksa menatap wajah mengernyit keenakan dengan desah halus itu.
“Di mobil enak ya, menantang.” bisik Heksa di depan bibir yang begitu berisik terus mendesah.
“Kak Heksa nakal,”
“Kamu yang geol-geol, kamu juga nakal.” godanya sambil menghisap sebelah bobanya yang menyembul keluar dari tempatnya.
Oh enaknya. Lizia bergerak dengan semangat, tidak peduli dengan mobil bergoyang. Heksa tertawa pelan dibuatnya..
“Pelan, goyang mobilnya, yang.” Heksa mengubah posisi.
***
Dengan bukti surat nikah, dan sogokan uang masalah pun selesai. Mereka ketahuan setelah main untuk sesi kedua. Dasar pengantin baru yang tidak pernah puas.
“Malu,” Lizia menutup wajahnya lalu cekikikan mengingat nakal dirinya.
Heksa memeluk Lizia, menyembunyikannya di ketek kiri. “Malu ya, hm? Kenapa? Bukannya enak?” godanya sama cekikikan.
Mereka terlihat bahagia, tidak peduli dengan para hantu kiriman dari bisnis gelap orang tua Heksa.
Mereka sungguh memilih hidup normal saja.
“Jelek?” tunjuk Lizia pada hantu di jendela kamarnya di rumah orang tuanya.
“Dia ngapain?” Heksa mulai siap mengusirnya.
“Tahan dulu, ada apa?”
Suara tawanya yang khas melengking nyaring lalu dia menyampaikan pesan kalau rumah sedang tidak baik-baik saja.
Heksa yang fokus menikmati masa pengantin baru sampai tidak sadar, Lizia bahkan Lanon pun.
“Kalian asyik berkuda, ck.. Ck.. Ck..”
Heksa mendial nomor Lanon, mengabaikan sindiran hantu dengan bibir robek itu. Dia menjelaskan, meminta Lanon memeriksa rumah.
Lanon juga lumayan jarang pulang. Mereka sungguh sibuk dengan urusan masing-masing.
***
Nimas menatap Sion yang terlentang pasrah itu, menatapnya sayu dengan begitu mempesona. Panas sekali.
Nimas jadi semangat bergerak naik turun, menelan habis milik Sion sampai Sion mendesah keenakan.
“Nimas,”
Nimas menoleh pada Sion yang ada di ambang pintu. Lalu yang sedang dia tunggangi siapa?
“AHK!”
Nimas segera bangun dengan terengah dan berkeringat. Sion sampai ikut berteriak kaget dan terduduk di kursinya. Ngocoks.com
Mereka sedang di ruang tunggu sebuah acara talk show yang mengundangnya dan Nimas.
“Kenapa? Ck! Kaget,” Sion meraih tissue, menyeka keringat Nimas.
Nimas merampasnya, dia menyekanya sendiri. “Gila, serem.” gumamnya. Antara seram plus malu.
Kenapa juga bayangan malam kedua saat itu terlintas, mana jadi horor. Membuatnya merinding.
Sion menatap grup yang berisik. Katanya hati-hati, takutnya ada di antara mereka yang datang mengantar Lanon ke tempelan.
“Gue tadi mimpi buruk, apa gue ketempelan?” panik Nimas. Dia menceritakan semuanya, Sion malah tertawa usil.
“Lo ke pikiran? Mau lagi?”
Nimas pun ngamuk. Dia memilih menelpon Lizia dan menceritakannya. Bicara dengan Sion semakin hari semakin menyebalkan. Sungguh Sionnya berubah!
Bersambung… Lanon membiarkan guru spiritualnya yang membersihkan rumah dari kiriman orang-orang di belakang orang tua Heksa.
Heksa saat tahu sungguh emosi. Dia sungguh sudah menyerah, tidak akan ikut campur lagi walau hati tersiksa. Tapi, kenapa mereka mengganggu lagi.
“Udah, cuma peringatan aja kalau kita macem-macem mungkin mereka ngirim yang lebih dari itu.” kata Lanon.
Lizia mengusap Heksa yang merasa bersalah karena membawa mereka benar-benar terseret.
“Rumah udah aman, udah ga segelap tadi.” Lanon menghela nafas. “Gue ga ngeh, mungkin lelah kerja waktu datang ke sini sama Nimas, kru lain..” lanjutnya.
“Kakak ke sini emang di tutup aja, mungkin karena lelah juga.. Nimas juga ketempelan udah diatasi kok.. Yang lainnya juga..” ujar Lizia.
Semua masalah selesai, ternyata hantu jelek penjaga jendelanya cukup membantu walau suara tawanya kadang mengganggu.
Lizia mengusap lengan Heksa. “Ga papa, ga ada yang luka serius.” bisiknya menenangkan dengan lembutnya.
Heksa tersenyum, mengusap pipi Lizia sekilas.
“Ga ada yang ganggu?” tanya Lanon.
“Di apart aman, paling hantu yang lewat dari luar ada.” jawab Heksa.
Lanon pun mangut-mangut.
“Gea gimana? Kali ini kayaknya kalian serius pisah ya kak?” tanya Lizia.
“Itu yang terbaik, buat apa hubungan lama tapi ga nikah.” Lanon terlihat lebih tenang, sepertinya sudah menerima keadaan berpisah dengan Gea. “Kita temenan sekarang,” lanjutnya.
“Yang penting hubungan ga jadi renggang.” tambah Lanon.
“Itu yang penting, Gea juga udah mulai ga terlalu galau..” balas Lizia.
Mereka lanjut ngobrol hingga Celine dan Abidzar datang setelah dari desa, memastikan panen berjalan lancar.
“Baba,” Lizia tersenyum menyambut dan memeluknya.
“Kangennya baba sama kamu, nginep di sini hari ini?” tanyanya begitu lembut.
Heksa tersenyum melihat interaksi keduanya. Kelembutan Lizia sungguh turunan Abidzar.
“Engga kayaknya, baba.”
“Kenapa? Kita baru ketemu setelah seminggu lebih,” Abidzar merangkul sayang Lizia lalu memeluk sekilas Heksa dengan satu tangannya yang bebas.
“Makin kekar aja mantu baba,” pujinya.
“Baba makin seger aja,” balasnya.
“Ini mama ga diizinin peluk Lizia, ba?” sindir Celine yang menatap interaksi itu. Dia kini hanya bisa merangkul Lanon.
“Mama sama aku aja,” Lanon memeluk Celine.
“Ck! Ada maunya ya?” Celine menepuk gemas pipi Lanon.
“Aduh, sakit ma,”
“Bukannya nikah, malah diputusin!” omelnya. “Cuma Gea calon mantu yang mama mau, udah klop sama mama!” omelnya lagi.
“Haa.. Kayaknya aku harus berangkat,” Lanon segera mengalihkan topik.
“Ga sopan dasar!” Celine menampar manja pantat Lanon yang kini berdiri dari duduknya.
“Aduh, serius harus pergi, mau jemput Gea..”
“Loh, bukannya putus?”
“Salah, maksudnya Thea.. Gebetan baru,” goda Lanon, padahal bukan begitu. Thea sudah memiliki tunangan, berurusan dengan Lanon hanya untuk urusan bisnis.
Celine sontak semakin menyerang Lanon, bagaimana bisa dia move on secepat itu. Lanon memilih pamit.
Kini Lizia memeluk Celine, keduanya mulai berbincang tentang apapun. Mulai merencanakan hari untuk pergi belanja setelah sekian lama.
Heksa menatap kehangatan keluarga ini. Sungguh membuatnya iri. Dia pun yakin, tidak ingin membuat keluarga baik ini menerima dampak dari yang dirinya buat.
Setidaknya kelak, anaknya akan mendapatkan nenek dan kakek yang sangat baik. Heksa hanya perlu menjamin anaknya tidak merasakan apa yang dia rasakan.
***
Nimas menatap Sion yang basah kuyup, tiba-tiba muncul di depan pintu apartemennya. “Ngapain? Bukannya lagi sibuk?” tanyanya.
Nimas membiarkannya masuk, dia memilih segera membawa handuk baru.
“Berasa kayak punya 9 nyawa kamu teh ya, jadwal mulai sibuk, malah ujan-ujanan!” omelnya senewen.
Kalau sakit ribet, jadwal diubah lagi kan jadi malas. Rasanya tidak beres-beres pekerjaan.
“Udah lama ga denger logat sunda, denger lagi.” kekeh Sion.
Nimas mendengus, dia segera menyiapkan air hangat. Membiarkan Sion mandi dan berganti pakaian. Untung ada pakaiannya walau hanya 2 setelan santai bekas nginep dulu.
“Kali ini masalah apa lagi, jangan bilang nyokapnya atau bokapnya bikin dia marah,” gumam Nimas sambil menghangatkan makanan.
Rasanya tidak mungkin Sion hujan-hujanan dengan sengaja, dia akan membeli payung di minimarket jika pun ke pepet.
Nimas menyiapkan semuanya di meja ruang tengah, sambil menunggu dia memilih film yang cocok untuk mengisi kegabutan.
Baru jam 7 malam.
Sion pun keluar dengan lebih segar, rambutnya juga sudah di keringkan. Dia berjalan santai, duduk di samping Nimas sambil memepet dan mencium pipinya.
Nimas melotot kaget.
“Makin berani ya lo!” serunya kesal.
Sion hanya cekikikan sambil minum air hangatnya sedikit lalu memulai makan tanpa izin, dia tahu itu untuknya. Nimas mana mau makan berat malam-malam.
Sion memakannya, membiarkan suara televisi yang mengisi kekosongan, dan membiarkan hujan diluar sana menjadi suara tambahan.
Menenangkan, cukup membuatnya rileks. Pertengkarannya dengan sang ayah cukup menguras emosi.
“Aaaaaa! Apaan tuh?!” Nimas loncat sampai ke pangkuan Sion.
Sion merem merek kaget saat tidak sengaja rambutnya mengenai wajahnya. Dia segera menangkap Nimas yang belum seimbang.
“Apa?” Sion menatap yang ditunjuk Nimas.
“Ada yang lewat, item. Apa ya?” ngerinya. Begini nih resiko shooting di tempat-tempat angker, bergelung dengan indigo. Bawaannya parno kalau sampai rumah.
Hari ini saja Nimas belum menelpon teman-temannya untuk menginap, asistennya juga bahkan pulang tidak menginap. Mungkin karena Sion datang, jadi dia tidak terlalu ngeri sendirian.
“Belek kali, di mata.”
Nimas segera memeriksa matanya. “Ga ada juga!” kesalnya lalu bergerak hendak turun dari pangkuan Sion.
Sion menahannya. Nimas melotot.
“Lepas ga?!”
Sion membaliknya hingga rebahan, bahkan menindihnya. Dia menahan Nimas yang meronta.
“Gue Berantem sama bokap,”
Nimas pun berhenti meronta. “Biasanya juga lo abaiin, kenapa malah diladenin, orang tua kayak gitu harusnya biarin aja, mau ke ekspos ke media juga dia tetep bakalan jelek,” balasnya.
“Ga usah cium-cium leher!” Nimas mencubit pinggang Sion.
Sion hanya meringis tetap mengecupinya sampai Nimas kegelian.
“Lo ga pake BH ya?”
***
Lizia menahan Heksa yang hendak menciumnya lagi. Dia tidak bisa menahan, dengan segera ke kamar mandi.
Lizia memeluk pakaian di tubuhnya yang berantakan akibat dikoyak Heksa. Dia memuntahkan semua makan malamnya.
Kenapa mual sekali.
“Yang, muntah? Hamilkah?” Heksa begitu riang gembira.
Heksa mengusap tengkuk Lizia, membantunya yang terus muntah.
“Masa karena ciuman sama aku, masuk angin apa ya? Moga aja hamil,” Heksa memeluk Lizia yang lemas.
“Minum lemon kayaknya,” Ngocoks.com
“Oh iya, asam lambungnya naik ya? Tapi nanti coba cek ya, hamil atau engga.”
Lizia mengangguk. “Kak Heksa semangat banget,” kekehnya lembut agak lemas.
Heksa menyeka air di bibir Lizia. “Jelas, aku mau ada yang panggil aku ayah, terus panggil kamu bunda..” bisiknya.
Mereka kembali berciuman, selalu terlihat mesra sambil berpelukan. Bercanda ria lalu tiduran. Berbincang ringan sebelum mimpi menjemput.
Heksa membuka matanya cepat saat mendengar hantaman di jendela. Seperti benda besar namun tidak ada.
Lizia masih terlelap pulas. Hanya dirinya yang mendengar sepertinya. Tapi, tunggu. Dia sedang mimpi? Dia tengah berdiri melihat tubuhnya sendiri. Tubuhnya masih terlelap pulas di samping Lizia.
Suara tawa melengking nyaring. Itu suara nenek sihir di rumahnya. Tidak! Kenapa dia datang?
Bersambung… “Kak! KAK!” Lizia mengguncang tubuh Heksa yang tidak ada respon. Tubuhnya begitu berkeringat.
“HAA!” teriak Heksa sambil bangun dan duduk dengan terengah, dia menyentuh dadanya. Nafasnya begitu sesak.
“Bikin aku takut,” isak Lizia.
Heksa segera memeluknya, dia menelan ludah dan melihat sekitar. Ternyata hanya mimpi buruk. Dia pikir dia akan terjebak menjadi hantu lagi.
Untungnya semua itu mimpi.
Heksa menghela nafas dengan sangat lega. Dia memeluk erat Lizia yang terisak sama takut pastinya.
Sungguh mimpi yang mengganggu.
Hingga ponsel terus berdering nyaring, membuat keduanya sadar bahwa ponsel terus berisik.
“Ada apa ya?” Lizia semakin terisak takut.
Dia meraih ponsel Heksa dan Heksa segera mengangkat panggilan suara dari Lanon.
“Kemana aja sih kalian! Liat televisi!”
Heksa melirik Lizia, kenapa Lanon terdengar begitu bahagia. Keduanya pikir akan ada kabar buruk.
Heksa segera turun, meraih remot dan menyalakan televisi. Mencari berita dan seketika saling memandang dengan Lizia.
Lizia semakin terisak, kali ini tangis bahagia. Heksa tidak akan merasa bersalah lagi karena tidak mengusut masalah besar itu.
Kini media memviralkan semuanya, hingga semua akan diusut sampai ke akarnya. Kini satu negara yang turun.
Banyak masa yang demo, bahkan presiden turun memerintah semua yang bersangkutan untuk menyelesaikannya sampai tuntas.
“Kakek,” lirih Lizia.
Ternyata benar, alam yang akan menghukum mereka. Entah bagaimana awalnya praktek itu terendus sampai seramai ini dalam satu hari.
Heksa dan Lizia saling berpelukan haru, keduanya menangis dengan bahagia. Heksa tidak tahu arti dari mimpinya apa, tapi dia bahagia sungguh.
“Yang, aku pasti akan diselidiki juga,”
“Aku akan selalu temenin kak Heksa, aku tahu kakak ga pernah salah,” Lizia tersenyum haru sambil terus menenangkannya dan meyakinkannya.
“Keluarga aku juga akan temenin kak Heksa, pasti.”
Heksa mengangguk, sungguh berterima kasih dengan takdirnya yang berakhir indah di waktu yang sangat tepat.
Keduanya kembali berpelukan.
***
Lanon melirik Gea yang terlihat bahagia, dia melintasinya dan memeluk Lizia, begitu ikut bahagia.
Satu persatu mulai datang, kini mereka berkumpul di ruangan yang ada di agensi yang mereka buat bersama.
Gea duduk nyaman di samping Lanon, seolah tidak terjadi apa-apa, mereka sungguh bahagia dengan kabar tertangkapnya semua orang yang terlibat.
Hari ini hari ke 5 kasus berlangsung. Heksa juga sudah menghadap ke kepolisian, memberikan bukti yang dia punya dan dilindungi sebagai saksi.
Mereka baru bisa ngumpul setelah menyelesaikan jadwal dan kesibukan masing-masing.
“Masalah ini lama ya, kak Heksa waktu jadi hantu aja lama loh,” ujar Gea.
“Lama banget,” sahut Lanon yang mulai masuk percakapan setelah hanya diam melihat semua berbahagia.
“Iyakan, akhirnya.. Tuhan ga pernah tidur,” balas Gea dengan tanpa canggung lagi.
Lanon menukar minuman manis dengan yang asam, Gea tidak suka minuman manis.
Gea melihat itu, dia hanya menganggapnya normal antara teman lama yang wajar tahu segalanya. Mencoba tidak tersentuh lagi. Hubungan mereka kini hanya teman.
Bahkan Lanon membersihkan sumpit untuk Gea, bagai mereka masih pacaran dan Gea kembali menganggap hal wajar.
“Korbannya udah ribuan anak,” Nimas mengusap lengannya. “Sedih, merinding juga, kasihan banget mereka..” Nimas mengibas matanya yang siap berair agar kembali kering.
Mereka terus berbincang lalu tiba-tiba diam.
“Kemungkinan hukuman mati, kak Heksa..” Nimas tidak melanjutkan ucapannya.
“Ga papa, sesuai sama kejahatannya kok.. Sedih ya pasti, namanya anak ke orang tua, tapi selebihnya itu yang mereka pilih,” Heksa tersenyum dengan sungguh tidak keberatan.
Kasus ini berakhir tidak sampai turun menurun saja Heksa sudah sangat senang, Tuhan masih sayang orang tuanya.
Mereka pun memilih makan, mulai membicarakan pekerjaan dan berakhir pamit satu sama lain.
“Gea gue yang anter,” Lanon bersuara tiba-tiba.
“Oh ga usah, udah ada yang jemput kok,” Gea tersenyum.
Lanon pun tidak mendebat lagi. Dia melihat Gea mendekati mobil putih, isinya pria ramah yang membukakan pintu. Keduanya bercanda ria.
“Dia udah ada yang baru, lo jugakan, Thea.” sindir Heksa lalu merangkul Lizia untuk ke mobil mereka.
Lanon menghela nafas panjang. Mungkin memang hubungannya dan Gea hanya akan berakhir menjadi teman.
***
“Ngapain turun?” alis Nimas menyatu.
“Nginep lagi, di apart selalu diganggu adik gue.” kesal Sion dengan tetap turun dari mobil.
Nimas menghela nafas pasrah. Dia pun turun dan berjalan beriringan. “Adik lo kasihan, dia ga salah apa-apa.” lalu menekan angka lift.
“Ribet.” singkat Sion tanpa ingin membahas lagi. Dia menyandarkan keningnya di bahu Nimas.
“Lo tinggi! Nyender ke orang bogel, sakit nanti minggir!” dorongnya hingga Sion tidak dibahunya lagi.
“Heksa sama Lizia mau honeymoon beres kasusnya selesai, kita kapan?”
“Nikah aja belum!” seru Nimas kesal.
“Oh jadi akan,” cengenges Sion dengan menyebalkannya.
Nimas sontak mendatarkan wajahnya, dia salah terpancing. Sion memang suka sekali membuatnya darah tinggi.
“Jangan bikin gue pengen lo jadi kayak kak Heksa dulu ya!” kesalnya.
“Jadi hantu gitu? Bolehlah, dia katanya jadi hantu tampan nakal ya, enaknya bisa nete terus,” kekehnya.
Nimas menoyor Sion bertepatan dengan pintu lift terbuka. Dia memilih untuk segera membersihkan diri dan tidur, Sion masa bodolah!
Nimas masuk ke dalam kamar mandi, dia melepas semuanya dan mulai membersihkan kaki, naik ke paha lalu menoleh kaget saat mendengar pintu di buka.
“YON!” jeritnya kaget sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Malam waktu itu gagal karena lagi-lagi anunya tidak sengaja tertendang Nimas, hari ini Sion tidak tahan.
Sion memepet Nimas sampai pakaiannya ikut basah. Shower dia matikan dengan bibir masih memagut bibir Nimas yang hanya mingkem karena masih kaget dengan serangan tiba-tiba itu.
“Ah..” Nimas kaget saat tubuhnya di balik hingga kedua tangannya bertumpu di dinding. “Yon! Lo shh.. Geli,” lirihnya sambil menggeliat.
Nimas merasakan jemari Sion terus menari di perutnya, di pahanya sambil mengecupi leher dan bahu. Keduanya begitu merapat.
***
Heksa terkesiap saat Lizia menciumnya dengan rakus. Dia baru saja keluar dari kamar mandi, langsung di serang sang istri. Jelas senang. Ngocoks.com
“Shh.. Lagi mau ya? Apa masih sedih soal garis satu? Kita bisa usaha lagi,”
Lizia mengangguk. “Sekarang boleh? Sebentar aja, aku mau cepet hamil, kak.” bisiknya di depan bibir Heksa.
Keduanya merapat, kening saling bersentuhan.
“Boleh, mau di kasur? Sofa? Lantai? Atau berdiri?” godanya.
Keduanya mengulum senyum.
“Semuanya kalau boleh,”
“Boleh dong, yang.” Heksa segera menggendong Lizia lalu menciumnya lebih brutal. Keduanya mulai membara.
Malam ini Heksa akan fokus bercinta dulu, Lizia ingin hamil dan Heksa juga menginginkan yang sama. Mereka butuh berduaan setelah lama tidak karena kasus orang tuanya.
Suara percintaan mengisi ruangan, meninggalkan banyak jejak di setiap sudutnya.
Bersambung… Heksa menangis kencang hari ini. Hari di mana kedua orang tuanya di hukum mati. Wasiat yang diberikan membuat Heksa semakin sakit.
Permintaan maaf dan doa tulus terakhir dari mereka membuat Heksa tidak bisa menghentikan air matanya.
Nimas, Gea ikut menangis. Sangat sedih dan campur aduk jika menjadi Heksa. Satu sisi lega, tidak ada korban jiwa lagi, tapi sisi lainnya Heksa harus benar-benar kehilangan orang tuanya. Selamanya.
Sion hanya menatap langit-langit, mencoba menahannya. Lanon hanya menunduk dengan sesekali menyeka sudut matanya.
Mungkin perasaan yang dia rasakan kini sedang Lizia rasakan.
Pelajaran bagi Lanon, bahkan mungkin bagi Gea, Nimas, Sion, Lizia dan Heksa.
Sekuat apapun ilmu hitam melindungi bisnis, awal akhir tetap akan berdampak buruk. Tidak akan bisa menjadi selamanya. Apalagi bisnis mereka bisnis gelap.
Ada karma yang menanti diujung perjalanan. Tidak akan bahagia sampai kapan pun. Yang ada hidup tidak tenang, ada saja masalah yang datang.
Bahkan Heksa baru tahu, ibunya memiliki penyakit parah, uang yang banyak itu tidak bisa semua dinikmati. Habis oleh obat dan perawatan.
Ayahnya juga selingkuh, uang cepat habis oleh perempuan-perempuan itu. Oleh judi, pantas saja selalu merasa kurang.
Mereka tidak pernah puas karena memang uang panas itu cepat habis.
Heksa menatap televisi yang menunjukan wajah dari dalang yang membuat orang tuanya harus berakhir begitu.
Sosok yang sangat dihormati banyak orang ternyata menjalankan bisnis yang sangat mengerikan.
Negara ini sedang tidak baik-baik saja. Tapi untungnya media sangat berkembang sekarang, mereka akhirnya bisa diadili dengan viralnya sebuah kasus.
***
Heksa menatap cerahnya langit. Orang tuanya sedang apa ya? Apakah di sana mereka sedang di hukum sesuai apa yang mereka lakukan? Walau begitu, Heksa tetap berharap, terus berdoa juga, semoga dosa keduanya di ampuni dan diberikan tempat yang baik di sana.
“Papaaaahh!”
Heksa tersentak kaget. “Apa Dirly! Papah kaget loh,” sahutnya sambil mendekati si bogel kesayaangan dia dan Lizia.
Anak pertama mereka yang kini hampir berusia 5 tahun.
Heksa menggendongnya.
“Alya nangis dia cium-cium terus,” kini Lizia yang keluar dari rumah tetangga mereka.
Sudah dari Dirly bayi mereka pindah ke perumahan, katanya agar lebih berbaur saja. Di apartemen anak kecil memang agak susah untuk bermain.
Lihat, Dirly yang bule kini kulitnya mulai gelap karena sering bermain sepeda. Tapi Heksa dan Lizia senang, Dirly banyak temannya.
Dia sungguh mudah bergaul dan ramah seperti Heksa. Bahkan hal lainnya pun menurun pada Dirly.
Dirly suka memeluk gadis kecil yang cantik, suka mencium. Darah keturunan sungguh tidak bisa ditutupi.
“Ga papa, yang.” Heksa membiarkan Dirly turun dan masuk ke rumah duluan karena takut diomeli Lizia.
Lizia memang sangat lembut, tapi jika marah kalian pasti akan terkejut. Heksa juga tidak tahu Lizia memiliki sisi itu.
Semenjak Dirly nakal, sisi galak Lizia mulai muncul. Walau begitu, di mata Heksa Lizia tetap menggemaskan.
“Nakalnya itu cium-cium, siapa yang ajarin coba, kak Heksa juga ga pernah tuh cium aku di depan dia..” sebalnya.
“Asal jangan jadi hantu mesum aja, yang.” kekeh Heksa mencairkan suasana.
“Kalau itu kak Heksa,”
Heksa hanya tertawa. Dia rangkul Lizia untuk kembali ke dalam rumah, cuaca mulai panas.
Heksa jadi ingat saat pertama kali bertemu Lizia. Sosoknya hantu yang nakal karena seenaknya asal sentuh.
Jika tidak bertemu Lizia saat itu, mungkin sampai saat ini tidak akan ada Dirly. Dia akan menjadi hantu yang asyik mengintip para gadis SMA, menyentuh mereka yang tidak sadar dia sentuh hingga demam.
“Mantan, Hantu tampan nakal ini mau anak kedua, bisa acc, yang?” godanya sambil mengecupi puncak kepala Lizia.
“Ga sekarang, kak. Mau shooting dulu,” Lizia mengecup dagu Heksa lalu berlari masuk ke rumah duluan.
Heksa tersenyum tidak memaksa lalu melirik sosok yang tidak asing. Nenek sihir penuh dendam itu.
Heksa mengabaikannya, dia tidak akan bisa menyentuh keluarga kecilnya. Semua orang yang dia sayang sudah di pagari.
Kakek Lizia pun terus menjaga, bahkan keturunannya pun ikut dijaga. Mereka tidak akan bisa menembusnya. Apalagi mereka selalu berdoa setiap harinya.
Hidupnya sudah normal dan damai semenjak kasus selesai.
Saatnya menikmati setiap detiknya tanpa gangguan apapun. Semoga saja selalu begitu.
***
Dirly menatap banyaknya kamera dan sebagainya. Dia hanya mengikuti Heksa yang menuntunnya agar tidak mengacau.
“Mamah kerja, papah?”
“Iya, kerja dulu. Jangan nakal ya,”
Dirly mengangguk. Dia anteng melihat ini itu, ngemil dan minum. Dia memang sangat aktif, tapi patuh. Nakal namun masih bisa ditegur. Siapa pun akan sangat menyukainya. Ngocoks.com
Heksa melihat beberapa hantu yang tengah dijelaskan oleh Lizia dan Lanon. Penelurusan malam ini ke tempat yang tidak terlalu bahaya, makanya Heksa berani membawa Dirly ikut dengannya.
Heksa tersenyum menatap Lizia yang tidak berubah sama sekali walau sudah memiliki satu anak. Dia bahkan semakin bercahaya, aura wanitanya kian keluar.
Lizia tetap ingin bekerja, katanya dia bosan jika terus di rumah. Cukup selama hamil dia cuti dari layar kaca.
Penelusuran GNS yang awalnya hanya tayang di Youtube, kini tayang di TV. Sungguh pencapaian yang hebat.
Bahkan anggotanya mulai kembali lengkap. Gea yang awalnya keluar kembali karena mungkin merindukan nuansa kerjanya.
Lanon dan Gea tetap menjadi teman sedangkan Nimas dan Sion semakin lengket namun entah apa status mereka.
Yang jelas semua berjalan lancar. Tidak ada gangguan dari nenek sihir kiriman orang-orang itu lagi.
“Papah, nenek itu kenapa di sini.”
Heksa menatap Dirly agak kaget, setahu mereka Dirly tidak bisa melihat. “Kamu bisa liat neneknya?” tanyanya.
Dirly bergerak mendekati Heksa agak takut. “Papah, takut.” lalu ndusel dan bersembunyi.
Heksa memeluk Dirly di pangkuannya. Sesekali memang mungkin wajar ya, Dirly masih kecil juga. Masih bersih. Semoga tidak sampai besar bisa melihat.
“Ga papa, dia baik kok.”
***
Mereka semua berkumpul untuk sarapan setelah malamnya penelusuran dan berjalan dengan lancar walau ada kru yang kerasukan.
Itu wajar, tidak semua orang dalam kondisi baik saat itu.
“Makan buburnya ganteng,” Lanon Menggendong Dirly, mengambil alih dari Lizia.
“Ga mau!” Dirly menggeliat ingin kembali pada Lizia.
“Demam dia, semalem ketemu siapa?” tanya Lanon pada Heksa.
“Liat nenek-nenek, udah ga ngikut lagi tenang aja,” jawab Heksa yang tengah menikmati sarapannya.
“Lain kali jangan bawa walau tempatnya ga bahaya, masih kecil dia,”
“Kita mau liburan sekalian, kak. Makanya di bawa,” balas Lizia yang mulai menyuapi Dirly sedikit demi sedikit.
“Kita juga mau kayaknya,” sahut Gea. “Yakan, Nimas?” tanyanya.
Nimas mengangguk. “Pantainya cakep, cuma sejam dari sini. Udah lama juga ga kumpul lengkap gini.” jawabnya.
“Gue masih harus kerja,” Sion menatap tabnya.
“Ck! Sebentar aja,” Nimas menyeka nasi di bibir Sion sekilas.
“Iya, ayolah Yon,” kompor Gea.
Lanon hanya diam menatap Gea. Jujur, dia merindukan saat Gea bermanja padanya. Lanon terlalu gengsi ingin mengajaknya bersama lagi, begitu pun Gea.
Mereka hanya bisa terjebak di status jomblo selama ini walau beberapa kali mendapat kenalan namun selalu gagal.
Pagi pun diisi dengan obrolan ringan. Mereka sungguh sudah lama tidak kumpul selengkap pagi ini.
Lizia menatap Heksa penuh cinta. Suaminya itu tengah berbincang dengan Sion dan Lanon. Mereka sungguh sudah menjadi pria dewasa.
Tidak ada Heksa remaja mesum yang menjadi hantu. Kini hanya ada Heksa dewasa yang sosoknya nyata. Tidak membuatnya sakit.
Bahkan kini ada Dirly di antara mereka.
Lizia menatap ponselnya.
“Mamah, nenek telepon! Mau ketemu nenek, kakek juga.” Dirly begitu senang.
Heksa menoleh mendengarnya lalu berpindah duduk dekat mereka. Dia ingin menyapa Mertuanya juga.
Mertua yang sangat luar biasa. Nenek dan kakek yang sangat Dirly sayang saking baiknya.
“Hallo, cucu nenek!” sapa Celine.
“Nenek!”
“Pagi, mama..” sapa Heksa lalu Lizia juga.
“Pagi, kalian kapan pulang? Mama mau siapin makanan kesukaan Dirly,”
“Kayaknya kita lanjut liburan dua atau tiga hari deh, ma.” jawab Lizia.
“Mama ga telepon aku,” teriak Lanon.
“Ga! Mama masih kesel sama kamu!”
Lanon tertawa pelan sebagai balasan. Yang penting ibunya itu sehat, sudah cukup.
“Nenek, aku liat nenek serem,” adu Dirly.
“Oh ya? Mana? Nenek jewer karena udah ganggu cucu nenek!”
“Udah ga ada,”
“Siapa, ma?”
“Oh, anak-anak, ba.” balas Celine pada Abidzar yang baru gabung.
Abidzar memakai kacamatanya agar jelas melihat orang-orang yang dia cintai di layar tabnya itu.
“Kakek!” Dirly begitu riang.
“Cucu kakek makin semangat, makin ganteng, baik-baik di sana ya,” Abidzar mengulum senyum lembut.
“Dirly baik, baba..” Lizia mengusap rambut anaknya.
“Pasti, cucu baba pasti baik, nanti kakek belikan robot lagi..”
“Asyiik!”
Heksa tersenyum hangat. Semua kian baik-baik saja. Anaknya tidak akan merasakan apa yang dia rasakan. Anaknya harus kenyang kasih sayang. Dan Tuhan mengabulkan inginnya.
Kini dia memang sendirian di dunia ini, tapi memiliki Lizia dia tidak sendirian lagi. Dia bisa merasakan keluarga yang utuh.
Sungguh tidak ada alasan untuk mending jadi hantu lagi. Dia sangat bahagia dengan takdirnya kini.
“Selamat ya, sayang. Atas terbitnya novel Hantu Tampan Nakal, mama tidak tahu kamu memiliki jiwa seni, padahal mama sama baba ga bisa sama sekali..”
Lizia mengulum senyum, dia tidak malu lagi dengan karyanya yang dewasa. Keluarganya tahu, teman-temannya pun tahu. Mau bagaimana pun, tulisannya tetap sebuah karya kan?
“Makasih, mama.”
“Terus berkarya, baba bangga..” Abidzar mengacungi dua jempolnya, dia memang belum sempat membacanya mungkin nanti jika ada waktu luang yang cukup banyak.
“Makasih, baba.”
Memang dukungan yang terbaik itu datang dari keluarga. Saat itu Lizia hampir menyerah dengan karyanya.
Tapi benar kata Heksa. Yang Lizia buat, tetap sebuah karya yang lahir dari imajinasinya. Tidak semua orang bisa.
Lizia memutuskan melanjutkannya dan setelah menjadi buku, dengan dukungan Heksa dia berani memberikan karyanya pada keluarga, teman dan untungnya respon mereka baik.
Panggilan video pun berakhir. Mereka kembali fokus sarapan.
Lizia kini tidak takut lagi melihat semua hal yang bisa dia lihat di dunia ini. Mereka memang ada, hidup berdampingan. Percaya tidak percaya. Balik ke kepercayaan masing-masing. Selagi dia tidak mengganggu, mereka pun tidak akan terganggu. Bagai hubungan dengan antar manusia.
Cerita Sex Siksaan Nikmat
Heksa mengusap kepala Lizia, mengecup puncaknya dua kali lalu berbisik.
“Aku cinta kamu, sayang.”
Lizia mengulum senyum. “Aku juga cinta, kak Heksa.” bisiknya.
Keduanya saling melempar senyum dan lanjut menikmati suasana pagi yang hangat.
TAMAT