Bunda Maya

Folder Bunda - Blog Cerita Dewasa Ngentot Yang Selalu Update Cerita Ngentot Terbaru Setiap Hari..

Istri Dokter yang Menantang Batas: Kisah Pernikahan yang Berantakan

Istri Dokter yang Menantang Batas: Kisah Pernikahan yang Berantakan

Celine menggelengkan kepalanya dengan kuat, tubuhnya menegang di jok mobil. Ia berupaya menahan tarikan dari ayahnya dan kakaknya, air mata berlinang di pipinya. "Apa setelah Ibu meninggal, kalian tak mau mengurusku?" isaknya. "Selama ini, kalian bahkan menitipkanku pada Nenek di California!" Ia hampir berhasil melepaskan diri dari cengkeraman mereka.

Ayahnya, Glen, mengusap dahinya, terlihat kelelahan dan frustrasi. "Celine, sayang," katanya dengan nada lembut namun tegas, "kamu terlalu... sulit diatur. Ayah sudah tak mampu lagi mengendalikanmu." Setahun terakhir ini telah menguras seluruh tenaga dan kesabarannya. Kelakuan Celine yang boros dan sering berurusan dengan pihak berwajib sungguh membuatnya pusing kepala.

Abidzar, suami Celine, mengamati istrinya dengan penuh keraguan. Ia mengerti mengapa ayah Celine menyerah. Melihat sikap Celine, Abidzar bertanya-tanya dalam hati, mampukah ia membimbing istrinya untuk menjadi lebih baik? Ia berasal dari desa kecil yang jauh dari hingar-bingar kota. Pengalamannya di kota dulu membuatnya menyadari perbedaan yang signifikan antara lingkungan hidupnya sebelumnya dan kehidupan yang kini dihadapi Celine.

Pandangan Abidzar tertuju pada pakaian Celine. Celana jeans panjang dipadukan dengan atasan yang memperlihatkan sebagian perut dan lengannya. "Aduh," gumamnya, sedikit terkejut melihat pakaian istrinya yang menurut pandangannya kurang sopan. Ia hanya bisa berharap Celine mau menerima bimbingannya.

"Tidak mau!" jerit Celine, berhasil turun dari mobil, dibantu oleh kakaknya, Gustav. "Aku tidak mau ikut kalian! Aku tidak mau mengenal mereka!" Ia terus berontak, berusaha melepaskan diri dari Gustav yang mencoba menahannya.

Glen memilih berbincang dengan ayah Celine, sementara Gustav berusaha menenangkan adiknya yang sedang mengamuk. Melihat Celine masih memberontak dan menjerat lengan kakaknya, Abidzar menghampiri mereka. Ia berusaha menenangkan Celine, namun istrinya itu terus memberontak, menolak untuk didekati. "Lepaskan aku!" teriak Celine, suaranya dipenuhi keputusasaan dan kemarahan. Abidzar mencoba membawanya dengan hati-hati, menyadari betapa sulitnya tugas yang ada di hadapannya.

uaminya itu sama kuat dengan ayah dan kakaknya.

“Ayahhhh!” jerit Celine saat ayahnya dan kakaknya segera masuk ke mobil dan menjius meninggalkannya.

Celine terus berteriak bagai bocah, disertai tangis tidak terima ditinggalkan di tempat asing yang begitu aneh baginya.

Tidak ada lantai kinclong, hanya tanah becek bekas hujan.

Mobil mereka benar-benar hilang.

Celine terus menangis tanpa peduli dilihat tetangga Abidzar.

“Bawa masuk, nak.”

“Baik, bu.”

Celine hanya menangis dengan lemas. Dia didudukan di kursi kayu yang keras. Membuat tangisnya semakin pecah.

“Sini, ibu—”

“GA!” bentak Celine dengan tidak sopan lalu memeluk tasnya. Semua barangnya tidak ingin disentuh orang asing.

“Yang sopan dia—”

Celine menatapnya begitu benci sampai Abidzar urung melanjutkan ucapannya. Bukan takut tapi karena melihat wajahnya pucat, pasti syok.

“Celine!” pekik Mimah— ibu Abidzar.

Abidzar segera menangkapnya, menggendongnya yang pingsan.

***

Celine terus terisak, duduk di pinggiran kasur di kamar yang katanya kamar suaminya itu. Begitu aneh, tempatnya seperti gubug tidak ada dinding marmer seperti rumahnya.

Dia merasa dibuang lagi.

Abidzar membelitkan jaket, cuaca di sini dingin dan Celine hanya memakai pakaian bagai bra itu. Entahlah, Abidzar kurang tahu apa yang di pakai istrinya. Yang jelas kurang bahan.

“Mau makan?”

“Ga!” ketusnya sambil menyeka air mata.

“Kalau mau makan bilang aja.” Abidzar menyimpan koper Celine ke samping lemari. Biar Celine yang menata sendiri, dia sepertinya tidak suka barangnya di sentuh orang lain.

“Gue maunya pulang!” ketus Celine. “Lo malah nahan gue di sini!” teriaknya marah.

“Suaranya kecilin, kita ga lagi di kota. Di sini rumah dempetan dan bu—”

“GUE GA PEDULI! LO ANTERIN GUE—mmpph!”

Abidzar membekapnya hingga Celine terdorong dan rebahan di kasur. “Tidur, di sini ada hantu kalau malem berisik.” lalu melepas bekapan dan menyelimutinya.

Celine terdiam. Hantu adalah kelemahannya.

Abidzar akhirnya tahu kelemahan istri dadakannya itu. Dia memilih keluar untuk menenangkan ibunya yang cukup terkejut dengan istri pilihan mendiang ayahnya.

“Kemana?!” teriak Celine yang membuat Abidzar urung membuka pintu kamarnya yang berbahan papan kayu tipis.

“Ke ibu—”

“Katanya ada hantu!” semprot Celine. “Lo harusnya juga diem!” tambahnya.

Celine mendudukan tubuhnya, menatap selimut tipis itu. “Ini selimut gue?” kagetnya.

Abidzar urung keluar, ibunya pasti maklum. Besok saja dia menenangkannya. Celine akan berisik, lebih baik utamakan dia agar tidak mengundang tetangga.

“Kenapa? Kurang tebel?”

“Iyalah! Dan kasur ini, kita berdua—” Celine meliriknya canggung.

“Iya, muat kok.” Abidzar sebenarnya bisa memodernkan rumah penuh sejarah ini.

Tapi dia memilih tidak mengubah apapun kecuali roboh atau rusak. Dia ingin menjaga tempatnya tanpa ingin mengubah.

Di desa ini sungguh masih serba tradisional. Membuatnya terasa hangat penuh kekeluargaan, anak kecil bermain bersama tidak sibuk dengan ponsel.

“Gue janji ga nakal, pulangin gue plis..” Celine turun dari kasur. “Jadi istri yang baik, kalau mau jatah di kasih deh.. Tapi kirim gue ke kota lagi.” mohonnya sambil mendekati Abidzar.

“Ga bisa, ayah udah titip kamu di sini. Tergantung perubahan kamu, kalau baik kita bisa pindah ke kota.”

Celine yang gagal membujuk kembali memasang wajah garangnya. “Liat aja, gue ga akan baik kayak mau kalian. Gue akan bikin kalian buang gue lagi!” suaranya bergetar lirih diakhir lalu kembali naik ke kasur dan menangis.

Celine akan mengacau di desa ini sampai ayah dan kakaknya itu malu dan membawanya lagi. Dia ingin kembali ke tempat neneknya saja.

***

Abidzar melotot saat melihat Celine hanya menggunakan celana dalam dan branya saja keluar dari kamar.

“Di mana tempat man—” Celine mengerjap kaget saat tubuhnya diseret kembali ke dalam kamar.

“Lo ap—”

“Di sini masih ada ibu! Kenapa ga pakai— Ha..” Abidzar menatap langit-langit kamarnya sejenak lalu menatap tepat dikedua matanya.

“Di pantai udah biasa kayak gini, kenapa heboh dan juga ibu lo juga punya ga akan iri!”

“Di sini bukan pantai. Jadi, jangan pakai bikini. Jangan mengundang kejahatan.” Abidzar meraih handuk dan membelitkannya.

“Ini bukan handuk gue!” Celine melepaskannya lagi.

Abidzar memejamkan mata sejenak. Dia harus melatih kesabaran. Dia harus lebih luluh agar Celine tidak semakin tantrum.

Abidzar menatap istrinya yang melenggang dengan celana dalam tipis yang hanya menutupi bagian depannya saja itu.

“Semakin kamu bikin masalah, semakin lama kamu di sini.”

“Bodo amat! Gue cuma nunggu dibuang lagi aja, gue ga akan turutin mau kalian!” tekad Celine lalu membawa kaos kebesaran dan memakainya.

***

“Celine kemana, bu?” panik Abidzar lalu menoleh pada pintu yang diketuk.

“Bu Mimah, nak Abi..” panggil tetangganya dari luar rumah.

Abidzar segera membukakan pintu. “Bu Dewi, ada apa?” tanyanya.

“Itu, nak.. Istrimu, mengacau di sawahnya pak Solihin.. Semua bawang daunnya dicabut, pokoknya berantakan.”

Abidzar segera menuju tempat Celine berada. Dia tengah meringis menatap lumpur yang penuh di kedua kaki, tangan bahkan muka juga terkena cipratan.

Tak hanya bawang daun, padi yang baru ditanam pun Celine cabut hingga berantakan. Para petani yang menjadi tetangga Abidzar di sini terlihat menahanbkesal.

Celine bodo amat. Dia sungguh penuh tekad untuk memberontak.

“Celine,” Abidzar begitu sabar, suaranya tidak meninggi sama sekali. Dia berjongkok di depan Celine, tidak peduli dengan kedua kakinya yang ikut kotor.

“Kamu rugiin banyak orang, mereka udah tua apa kamu ga kasihan? Mereka harus ngulang lagi,” suaranya begitu lembut. Abidzar mengusap lumpur di sudut mata Celine yang bisa saja masuk ke matanya.

“Ga! Ga ada yang kasihan sama gue juga! Gue mau pulang! Gue ga suka di sini!” bentaknya dengan keras kepala.

Yang melihat itu langsung berbisik-bisik, menyayangkan Abidzar kenapa harus berjodoh dengan istri seperti itu. Lebih baik dengan Jasmin yang lemah, lembut dan kembang desa yang baik.

“Ayo mandi, kotor.” Abidzar membantunya berdiri tapi Celine tidak mau berdiri.

Abidzar menghela nafas sabar. Dia gendong walau malu dengan tetangganya.

“Yang sabar ya, nak Abi.” Ngocoks.com

Semua memandang ke arah keduanya. Membuat Abidzar malu dan tak enak hati. Dia akan ganti rugi jelas saja.

“What? Fu*k!” ketus Celine saat melihat beberapa orang yang sedang bertani itu menatap kearahnya.

“Shhhtt..” tegur Abidzar.

***

Abidzar menatap Celine yang memakai celana pendek jeans bagai celana dalam itu, dengan atasan kaos lengan pendek dengan pusar terpampang nyata.

“Di sini banyak remaja laki-laki, banyak—”

“Terus urusannya sama gue apa?!” potong Celine kesal.

Mimah menatap menantunya dengan sedih. Entah apa yang dipikirkan oleh mendiang suaminya. Kasihan Abidzar hanya dipersulit sampai malu oleh tetangga dan harus keluar uang banyak untuk mengganti rugi apa yang dirusak Celine.

“Celine mau makan apa?” tanya Mimah mencoba sabar.

Celine melirik Mimah, dia mendadak bisu. Mungkin karena kangen dengan mendiang ibunya yang sering menanyakan pertanyaan itu.

Bersambung… Beberapa hari di sini untungnya Celine membawa makanan diet kesukaannya. Dia memang tidak bisa makan banyak.

Tak heran tubuhnya kurus dan kecil.

Dia tidak bisa memakan nasi dan lauk pauk yang penuh minyak itu. Dia belum mencobanya memang tapi rasanya salah.

Dia tidak mau gendut. Sungguh berada di sini beberapa hari membuatnya tersiksa. Tidak ada air hangat otomatis, tidak ada kolam renang.

Hingga semua persediaan makanannya habis. Dia terpaksa duduk di meja makan itu lagi dengan gugup karena ramahnya Mimah yang membuatnya merasa aneh itu.

Ini kedua kalinya dia duduk di kursi kayu agak sedikit lusuh itu. Membuatnya meringis tidak nyaman.

“Ini apa?” Celine menatap lauk pauk yang ada di atas meja yang baginya begitu tidak nyaman. Tidak ada kemewahan sedikit pun.

“Ini itu tempe, fermentasi kacang kedelai. Ini itu sayuran yang dioseng pakai irisan cabai, enak kok coba aja,” Mimah begitu ramah nan hangat.

Membuat Celine tidak berkutik, hanya menggigit sendok sambil menatapnya yang terus menjelaskan ini itu.

Keramahannya mirip seperti mendiang ibunya.

“Ini, cobain.”

Celine menatap piring yang penuh dengan nasi dan lauk pauk. “Gue ga bisa makan nasi.” gumamnya samar namun Mimah dan Abidzar bisa mendengarnya.

“Yaampun, ga makan nasi.” Mimah meraih sebelah jemari Celine. “Pantas saja kurus, nak. Kamu harus makan, terus olah raga kalau mau sehat. Abi juga sering lari keliling desa..” terangnya.

Celine terlihat gugup dan menarik tangannya. Dia merasa canggung dan aneh mendapat perhatian dari sosok ibu.

Neneknya saja galak bagai nenek sihir.

Dia nakal pun karena neneknya membuatnya mencari hiburan dengan hidup bebas di sana bukannya kuliah.

“Ga mau!” Celine kembali keras kepala dan mendorong piring itu lalu beranjak tak ingin makan.

“Biarin, bu. Nanti lapar juga di makan,” Abidzar mengusap lengan ibunya. “Sabar ya bu, maafin istri Abi,” lalu tersenyum menenangkan Mimah.

Beberapa hari Celine di sini, ibunya pasti kelelahan karena banyaknya tingkah Celine. Tak hanya merusak hasil pertanian, tapi juga bertengkar dengan anak kecil.

Sungguh menguras kesabaran. Jika sebulan ini Celine semakin parah, Abidzar akan membawanya pindah saja dari pada membuat ibunya sakit.

“Ibu ga marah, Celine begitu pasti ada alasannya. Ibu cuma berharap kamu bisa tuntun istri kamu jadi lebih baik,”

“Makasih karena selalu baik sama Celine, bu.”

“Kita bantu Celine menjadi lebih baik, dengan kasih sayang, perhatian dan kelembutan. Sekeras apapun suatu saat pasti akan luluh,”

***

Abidzar menggelar tikar di dekat kasur seperti biasa. Celine menolak satu kasur, katanya kasurnya sempit dia tidak akan tidur dengan leluasa.

Dan Celine tidak bohong, Abidzar melihat bagaimana dia tidur. Begitu aktif hingga berubah-ubah sampai jatuh menimpanya di bawah.

Untung Celine tidak bangun setelah jatuh menimpanya.

Abidzar telaten memindahkannya, mengeluarkan bantal dan menyimpannya di sekeliling kasur. Menjaga jika Celine jatuh seperti malam saat itu, tidak akan membuatnya sakit.

Setiap harinya Abidzar selalu melakukannya hingga hari ini Celine melihatnya langsung.

“Buat apa bantal gitu?!” tanya Celine sewot sekali, tidak ada sopan-sopannya.

“Kamu pernah jatuh waktu itu, untung ke sebelah sini,” tunjuknya ke arah di mana dia tidur. “Kalau ke sana pasti sakit.” lanjutnya.

Celine mendengus, mencoba mengabaikan perhatian darinya. Dia merasa risih, mungkin karena selama ini dia tidak pernah mendapatkannya.

“Besok pagi jangan langsung ke kebun, katanya ada ular besar belum ke tangkep.”

Celine memicing kesal. Pasti cuma akal-akalan agar dia tidak merusak hasil bertani para petani tua itu lagi kan?

Celine malah bersemangat akan kembali berulah lagi.

Beberapa hari di sini Celine merasa sedikit lega kasurnya empuk walau sekitarnya tidak nyaman. Ruangan yang tidak ada AC, agak kusam. Terkesan kotor walau Abidzar rajin bersih-bersih.

Celine memejamkan mata, berpikir kalau dia berada di istananya. Di kamar princessnya yang menenangkan.

“Gue mau lilin aroma terapi ga mau tahu! Kalau besok malem ga ada, liat aja!”

Abidzar terlihat diam belum memejamkan matanya. Tidak menjawab juga. Ke kota cukup jauh karena mengandalkan sepeda.

Liat besok saja.

***

Abidzar mendudukan tubuhnya. Menatap Celine yang masih tertidur itu dengan lega. Tapi khawatir juga karena dia belum makan.

Abidzar harus mengalah dan membeli bahan salad atau makanan lainnya yang istrinya mau, jika saat nanti beli lilin keinginan Celine itu jadi.

Abidzar menatap wajah damainya. Cantik juga, rambut pirangnya membuat kulit putihnya bersinar semakin terang.

Sayang sekali, tingkahnya begitu tidak terkendali. Jika saja manja, tidak kasar dan penurut.

Walau begitu tetap saja sesuai janjinya. Siapa pun istrinya. Bagaimana pun istrinya. Dia akan memperlakukannya bagai ratu.

Abidzar membenarkan posisi tidurnya, menyelimutinya dengan benar.

Dia memutuskan untuk mandi dan bersiap ke kota tanpa sepengetahuan Celine.

Celine tak lama dari itu terjaga, dia kebelet. Padahal tidurnya sedang enak. Dia celingukan, ibu dari suaminya tidak ada. Suaminya pun sama.

Tapi ada suara air di kamar mandi.

“Sudah bangun, nak?”

Celine tersentak pelan mendengar suara dari seseorang yang tiba-tiba muncul. “Iya!” ketusnya tidak sopan lalu masuk begitu saja ke toilet yang untungnya lagi tidak kotor walau tidak ada toilet duduk.

Abidzar melotot kaget, baru saja selesai membilas tubuhnya yang penuh sabun.

Celine meliriknya tidak kaget.

Di negara tempat neneknya berada, di party banyak yang sampai polosan. Melihat berbagai bentuk sudah pernah Celine lihat.

“Wow..” Celine baru melihat bentuk milik Abidzar. Ternyata berbeda dengan bule yang pernah dia temui. Tidak disunat kebanyakannya dan juga tidak seberurat dan sekekar itu.

Abidzar menutup asetnya lalu hendak mendorong Celine keluar. “Ibu bisa liat-”

“Udah liat.” potong Celine dengan masih melihat yang tengah Abidzar coba halangi. “Mau pegang,” celetuknya sambil menunjuk itunya.

“Apa?!” Abidzar begitu terkejut mendengarnya. Bukannya malu, malah ingin menyentuhnya? Memang Celine itu berbeda.

Istrinya itu nakal!

Abidzar mencoba tenang. “Keluar, malu sama ibu. Kita masih numpang di sini.” jelasnya tetap lembut.

“Gue ga malu, maunya pegang!” kesal Celine dengan keras kepala.

“Sstt.. Jangan berisik!” bisiknya panik.

“Makanya mau pegang!”

Abidzar terpejam sejenak. “Oke, pegang.” dia tidak menghalanginya lagi. Membiarkan istrinya itu dengan keinginan yang menyiksanya. Ngocoks.com

Abidzar terpejam merasakan dua jemari Celine menggenggamnya. Dia tidak mungkin untuk tidak mengeras. Melihat Celine masuk saja membuatnya berdebar dan menggeliat.

“Kamu-” Abidzar hampir serambi lempitik, dia segera membekap mulutnya saat dengan nakalnya bibir itu menghisapnya. Memijat dengan jemarinya.

Celine menatapnya tanpa berhenti, wajah panik Abidzar yang gelisah dan memerah. Sudah cukup membuatnya tersiksa.

Celine menyudahinya, menggantung Abidzar dengan mengulum senyum puas. Dia dengan tak malu menurunkan celana dan melakukan tujuan awalnya.

Buang air kecil.

Abidzar terengah pelan, menatap Celine yang memasang senyum mengejek. Abidzar terpejam sejenak mengulum senyum samar. Kenapa tingkahnya itu jadi lucu di matanya.

Usil sekali.

“Selamat ngo- cok.” Celine menggerakan jemarinya seolah tengah mengocok itu.

Abidzar menatap kepergiannya dengan senyum samar. Sungguh istri yang nakal. Oke, sabar. Abidzar mengerang pelan. Dia harus mengeluarkannya sendiri.

Bersambung… Celine memainkan kukunya santai, duduk di kursi kayu dengan tidak peduli keluhan dari pria tua yang kebunnya dia rusak hari ini.

“Pak Den, aku ganti kerugiannya. Maafkan istriku, pak.” Abidzar dengan sabar mencoba menenangkannya, membujuknya bahkan membiarkannya menominalkan kerugiannya.

Pantas saja mertuanya tidak mengizinkannya untuk menolak uang pemberiannya. Ternyata untuk ini.

“Baik, pak Den tenang. Aku kasih uangnya sekarang.”

Celine menatap Abidzar yang begitu tenang, memberikan uang itu dengan mudah. “Kebun dia udah layu, ga mungkin dijual hasilin segitu juta!” serunya membuat emosi pak Den kembali tersulut.

Abidzar memilih membawanya keluar dan membicarakannya di luar. Sepertinya dia harus berdiskusi dengan RT dan RW di sini.

Abidzar harus menggunakan uang pemberian mertuanya dengan baik. Tak hanya soal membantunya, dia juga membantu perekonomian warga di desa nantinya.

Celine di dalam rumah hanya diam, melirik Mimah yang terlihat lemah sekali. Tatapannya sendu sedih.

Celine mencelos. Apa ibunya akan sama sedih jika anaknya bertingkah merugikan orang lain demi kepuasannya sendiri?

Tapi dia tidak ada pilihan lain. Dia ingin hidupnya yang semula. Dia tidak ingin hidup di tempat seperti ini.

***

Celine terheran dibuatnya. Para tetangga Abidzar mendadak ramah, menyapa dan memberikannya sedikit hasil panen mereka.

Celine jelas melemparnya, membuat ulah lagi. “Apa-apaan! Hasil yang ga berkualitas kayak gitu ga bisa di makan!” dengan terengah emosi Celine pergi untuk mencari lahan yang bisa dia acak-acak.

“Aaaaaa!” pekik Celine terkesiap kaget saat tubuhnya melayang lalu kembali ke jalan di mana sebelumnya Celine lewati.

“Makasih ya, mang, sayurannya.”

Celine pun sadar, yang memanggulnya ternyata suaminya. Setelah seharian hilang, tiba-tiba datang merusak harinya.

“Turunin!” amuk Celine yang membuat tetangga yang dilewati tersentak kaget, menggeleng samar melihat kelakuan anak gadis dari kota itu.

Tidak ada sopan santun, begitu urakan dan sungguh pembuat onar di desa yang biasanya damai ini.

Abidzar sebelumnya memunguti semua pemberian para petani di desa ini untuk Celine baru dia memanggulnya.

Hari ini Abidzar lebih cepat. Untung saja di kota tidak macet seperti biasanya, membuatnya kembali pulang dengan cepat.

“Sandal mahal gueeeee!” teriak Celine saat kedua sandalnya lepas karena rontaan.

“Nanti diambil, ga akan ada yang curi,”

“Apa? Jangan yakin, mereka pasti tahu itu benda mahal! Apa liat-liat!” amuknya pada remaja yang tengah berhenti bersepeda untuk melihat Celine yang heboh di panggul Abidzar.

***

“Mau pulang?” Abidzar menatap Celine yang terengah emosi, duduk di kursi kayu yang ada di depan rumah.

“Iya!” bentaknya.

Abidzar memejamkan mata saat telinganya berdengung. “Berubah, lebih sopan, lebih menghargai orang dewasa atau orang tua—”

“Buat apa? Ga berguna!” potongnya kesal. Wajahnya di tekuk.

Abidzar membenarkan lengan kaos Celine yang melorot mempertontonkan bahunya. Begitu bersih terawat, PR untuknya agar selamanya Celine terus sebening saat ini.

Tapi untuk sementara, dia harus mendidiknya di tempat yang sederhana ini. Agar bisa lebih menghargai hal-hal kecil.

Celine menoleh garang, menepis lengan Abidzar dan dengan sengaja menurunkannya hingga mempertontonkan sebelah bahu dengan tali bra.

Dengan sabar Abidzar membenarkannya lagi. “Ga baik, kita ga lagi di tempat bebas kesukaan kamu.” ujarnya lembut.

Celine semakin kesal karena tidak ada amarah yang keluar dari Abidzar selama dia berulah di sini. Sudah hampir menyentuh sebulan padahal.

Celine menatap ke depan, di mana bebek dan ayam berbaur. Itu yang paling membuatnya jijik. Dia hidup bersama mereka.

Di pandangan Celine saat ini, semua yang dia lihat begitu buruk dan menghantuinya. Jika saja dia lebih membuka mata.

Ada banyak hal baik di dalam kesederhanaan itu. Salah satunya, di saat ada sisa nasi, tidak dibuang begitu saja. Mereka berbagi dengan hewan yang kelak bisa membantunya juga untuk tidak kelaparan.

Toh semua kotoran, akan terendap ke tanah dan kadang setiap jum’at selalu ada gotong royong membersihkan jalanan.

Di mata Celine semua kotor, padahal tidak seperti yang ada di pikirannya.

Celine berdiri, dia malah hendak membuka kaos yang di pakainya saking ingin terus memberontak.

Abidzar refleks memeluknya. Membuat telinga pria baik itu memerah alami saat bersentuhan dengan lawan jenis.

“Lepas!” amuk Celine.

Abidzar menahannya, mengangkat Celine dengan mudah dan memasukannya ke rumah.

“Di sini ga menjamin semua orang baik, ada preman yang bisa aja berniat jahat kalau liat kamu—”

“Bodo amat! Gue ga peduli!” rontanya.

Mimah yang tengah melipat pakaian menantunya yang selesai di jemur berhenti saat melihat Celine yang diangkut anaknya.

Kali ini ada masalah apa lagi? Membuat desa jadi gaduh semenjak Celine hadir.

“Ada apa?”

Abidzar tetap membawanya ke kamar. “Ga papa, bu. Aman.” lalu masuk dan menutup pintu sebelum Celine kabur.

“Udah,” Abidzar tetap memperlakukannya lembut. Menghadangnya untuk meraih pintu.

Istrinya itu keras kepala sekali.

“Liat ke belakang,”

Celine berhenti meronta dan melihat beberapa plastik besar. Dia semakin emosi, menatap Abidzar teramat marah.

“Lo ke kota!” Celine mendorong dan memukulinya.

Abidzar meringis pelan lalu terpaksa memeluknya, mengunci dua lengannya. Pukulannya cukup membuat sakit.

“Gue mau pulang!” kesalnya dengan bibir bergetar menahan kejengkelan. “Gue mau hidup sendiri! Kalau gue menjengkelkan, kenapa ga buang beneran aja?! Kenapa ga usir malah di penjara di sini!” isaknya kesal.

“Ga bisa,” suara Abidzar begitu lembut, begitu sabar menghadapi tantrumnya Celine. “Udah ga bisa sendiri, ada suami sekarang. Kalau mau hidup di kota, berbuat baik di sini,” bisiknya.

Rontaan mulai melemas walau tangis tetap tidak reda.

“Ada lilin aromatherapy, mau dinyalain?” Abidzar mengusap lembut kepala Celine.

Celine bagai kucing liar yang baru mendapatkan usapan. Diam tak bergerak. Dan memang benar.

Celine baru pertama kali diperlakukan selembut itu, padahal tingkah dia sangat menguras emosi mereka.

“Mau, hm?” Ngocoks.com

Celine mengangguk kecil, mulai menyeka air matanya. Dia ingin tahu juga apa saja di dalamnya. Apa ada makanan? Dia lapar.

Abidzar tersenyum samar melihatnya. Perlahan namun pasti, kelembutan dan perhatian pasti akan meluluhkan ketantruman Celine.

***

Abidzar kembali terkejut saat melihat Celine masuk begitu saja saat dirinya mandi. Padahal kemarin-kemarin dia berhasil menghadangnya dengan menguncinya.

Tapi kenapa hari ini dia kembali ceroboh.

“Nah, gini dong. Udah kebelet!” datar Celine dengan muka bantal dan rambut acak-acakan.

Dia berjongkok, buang air kecil begitu saja. Yang awalnya merasa jijik dan aneh dengan semua itu kini mulai mengabaikannya.

“Kemana atasannya?” Abidzar sudah membalut bawahnya dengan handuk sepinggang, bahaya jika Celine ingin pegang lagi.

“Sekalian mandi, kemarin belum. Ga nyaman,” Celine melepas branya, membuat Abidzar refleks memalingkan wajahnya.

Telinga Abidzar sudah sangat terbakar.

“Yaudah, duluan.” Abidzar hendak kabur namun di cekal Celine.

“Enak aja! Di sini ga ada mba, atau salon buat lulur! Bantuinlah!” kesalnya.

Abidzar memejamkan matanya, dia menyesal menuruti Celine untuk membeli lulur. Padahal pura-pura lupa bisa karena sudah lama memintanya. Saat Celine baru seminggu di sini.

“Apa?” Abidzar bersuara kaget namun pelan.

“Gue minta tolong ke ibu aja? Oke!” Celine dengan percaya dirinya hendak keluar dengan celana dalam saja. Sontak Abidzar cekal.

Bersambung… Abidzar menarik pelan Celine, mengubahnya menjadi memunggunginya. Dia terpejam sejenak, dia berduaan di toilet dengan sang istri dadakannya.

Dengan keadaan istrinya itu hanya menggunakan celana dalam bertali tipis yang hanya berbentuk segitiga di depannya. Menutup bagian pentingnya.

Memang istrinya itu besar di negara asing dan kebarat-baratan.

“Sambil pegang punya lo,” Celine berbalik namun Abidzar segera membaliknya lagi.

“Ga bisa. Ibu juga mau mandi, jangan bikin dia nunggu.” Abidzar meraih lulur itu. Membuka segelnya karena masih baru.

Celine dengan nakal berbalik lagi dan menarik handuk Abidzar lalu tersenyum menyebalkan. Bagai bocah nakal.

Abidzar melotot saat dengan cepat Celine berjongkok, menggenggam dan melahapnya hingga setengahnya terbenam.

“Oh!” Abidzar menggigit bibirnya merasakan hangatnya dan juga pijatan jemarinya. Kali ini lebih lama, membuat Abidzar tidak bisa fokus membuka lulur lagi.

Istrinya itu sungguh nakal sekali.

Awalnya Celine ingin membuatnya tersiksa lagi, tapi entah kenapa dia jadi ingin terus melakukannya saat melihat wajah yang tersiksa itu terlihat tampan.

Bulu alisnya tebal, bulu matanya lentik, bibir tebalnya merah, rahangnya tegas. Abidzar terlihat seperti orang-orang arab?

Celine berdiri, mendorong Abidzar hingga bersandar di dinding lalu melahap bibirnya. Abidzar menahan bahu Celine, dia menarik wajahnya hingga ciuman terlepas.

Keduanya terengah.

Celine menelan ludah, dia hilang kendali. Dengan segera dia memunggungi Abidzar lagi dan mulai melanjutkan membuka lulur itu.

Abidzar mengatur nafasnya, membiarkan bawahnya tetap seperti itu.

Tok.. Tok..

“Abi, udah selesai?”

Abidzar refleks membekap mulut Celine, membuat tubuh depannya menempel dengan kulit punggung Celine yang halus.

“Belum, bu.”

“Kalau begitu, ibu mandi di tempat bu Dewi ya, sekalian masak buat acara gotong royong nanti siang,”

“O-oh, iya bu.”

***

Abidzar begitu tersiksa, tidak tahu akan berakhir dengan memandikan Celine yang anteng saja tubuhnya di guyur air.

Jemari besar Abidzar mengusap lembut kulit yang sudah dia oleskan lulur dan didiamkan beberapa saat itu, bersamaan dengan air yang dia guyurkan untuk membersihkannya.

Gila, begitu lembut, licin. Nafas Abidzar memberat dengan rahang mengetat menahannya.

“Kamu ga malu?”

Celine menoleh, meliriknya malas. “Di pantai udah sering berjemur, banyak orang, cuma lo di sini kenapa malu,” santainya.

Sungguh budaya yang berbeda.

“Ke depannya jangan, negara ini beda, yang ada nanti di laporin ke polisi,”

“Udah pernah.” singkat Celine dengan merem melek nyaman saat usapan dan air menyentuh kulitnya yang beberapa minggu tidak terkena lulur. “Lepas pakaian di— kenapa juga harus kasih tahu,” lanjutnya ketus.

Abidzar kurang fokus. “Depannya kamu sendiri,” ujarnya lembut walau suaranya terdengar agak memberat serak menahan godaan.

“Ga, sekalian.” Celine menghadap Abidzar dengan menantang, tatapannya berubah nakal.

Abidzar memalingkan tatapannya, dia baru saja melihat pusat seorang perempuan. Untung istrinya.

“Cepet! Gue dingin!” amuknya dengan begitu tidak sopan dan tidak sabaran.

Abidzar menghela nafas sabar. Dia kembali menatap Celine yang sungguh tidak ada malu walau telinga dan pipinya memerah samar.

Apa sebenarnya malu juga? Tapi ditahan?

Abidzar mengusap perut rata yang terkesan kurus itu hingga bersih, ke lengan kiri dan kanan, tak lupa ketiaknya dan dengan berdebar panas dingin.

Abidzar berhasil mengusap kedua bukit itu hingga bersih dan bagian terberat pun harus dia lalui. Jemarinya menyentuh setiap lekuk tubuhnya tak terlewatkan.

Abidzar menatap Celine yang terlihat terengah pelan, nafasnya memberat. Sama seperti Abidzar kini.

“Selesai.” suara Abidzar semakin serak, dia sontak berdehem pelan.

Celine meraih tengkuk Abidzar, melumat bibirnya rakus.

Abidzar memilih terpejam dan membalas, memeluk Celine agar tidak berjinjit lalu jatuh karena licin.

Celine meraih dan menekannya masuk membuat Abidzar melotot dan menjauhkan wajahnya dengan terengah.

“Serius?” tanyanya disela nafasnya yang terengah.

Celine mengangguk, melompat sedikit, membelitkan kedua kakinya ke pinggang Abidzar.

Abidzar segera menangkapnya, mendudukannya di pinggiran bak air yang hampir terisi penuh. Abidzar memeluk Celine erat, bergerak tanpa tergesa. Tubuh basah keduanya merapat.

Tidak menyangka, lulur membuat mereka melebur menjadi satu.

***

Abidzar menguap, entah ke berapa kali. Walau begitu, dia tetap mencabuti rumput yang berada di pinggiran jalan yang sering dilewati penduduk.

Semua warga hari ini berada di luar rumah, melakukan gotong royong dengan begitu penuh kekeluargaan.

“Pengantin baru nguap terus,”

Abidzar menoleh pada pak Lukman yang sama tengah mencabuti rumput liar.

“Eh, pak.”

“Istrinya kemana? Ga diajak ikut? Tumben hari ini ga keluar, mengacau di kebun. Untung dia istrimu, nak. Kami mulai maklum, dan makasih uang jajannya, padahal tanpa uang kami akan berusaha tidak kesal,” lalu terkekeh.

“Kita saling membantu, dia perlu arah, pak. Perlu banyak belajar—”

Keduanya terus berbincang. Hingga semua selesai, jalanan kembali bersih tanpa khawatir ada ular lagi.

“Abi, ajak Celine makan kemari,” Mimah mendekati anaknya sambil memberikannya segelas air.

Abidzar meminumnya. “Kaki Celine keseleo, bu.” balasnya.

“Apa? Kenapa?” Ngocoks.com

Telinga Abidzar memerah. Tidak mungkinkan dia menceritakan tentang yang terjadi di toilet tadi pagi.

***

Celine menjambak rambutnya. Dia frustasi dengan dirinya sendiri. Kenapa malah melakukannya, niat awal ingin menyiksanya.

Celine tidak menyangka akan melakukan itu, entah berapa kali dia sampai hingga lutut lemas dan terpeleset.

Celine menatap kakinya yang membiru, sudah dipijat oleh Abidzar dan tidak terlalu sesakit awal. Tapi tetap saja pincang.

“Jadi ga bisa bikin kerusuhan, padahal lagi banyak orang di luar!” kesalnya.

Celine menyesal melakukannya, ini tidak sesuai dengan rencana. Ke depannya apa yang harus dia lakukan?

Mana Abidzar enak.

“Heh! Apa yang lo pikirin!” amuknya pada diri sendiri dengan suara pelan lalu memukuli kepalanya gemas.

Padahal sudah berjam-jam yang lalu, tapi Celine tetap saja gelisah. Sungguh menjengkelkan!

Celine misuh-misuh lalu terdiam. Apa dia harus mengubah rencana? Menjadi berubah lebih baik, pura-pura sajakan bisa.

Iya! Bener!

Celine tersenyum senang lalu tersentak pelan.

“Lagi apa?” ujar Abidzar setelah mengetuk pintu. “Aku masuk,” lanjutnya.

Bersambung… “Masih sakit?” tanya Abidzar setelah menutup pintu lalu berjongkok, meraih dan memeriksa kaki Celine.

“Lo pikir aja sendiri!” Celine menarik kakinya agar tidak disentuh Abidzar.

Celine agak penasaran, kenapa Abidzar tidak pernah menunjukan marahnya. Apa dia yang tidak perawan lagi juga tidak dipermasalahkannya?

Kenapa begitu tenang, begitu lembut seolah dia menjadi istri yang begitu penurut, baik dan tidak pernah melakukan kesalahan.

“Sini, olesin obat dulu.” Abidzar merogoh saku celananya dan mengeluarkan salep khusus agar tidak terjadi pembengkakan.

“Ga usah! Gue bisa sendiri!” Celine hendak merampasnya namun gagal, Abidzar lebih dulu menghindar.

“Biar rata, aku aja.” Abidzar tersenyum tipis.

Celine semakin merasa risih. “Ga usah pake obat! Gue ga butuh!” tolaknya.

“Nanti makin parah, udah sedikit mulai bengkak.” bujuknya tetap bernada lembut, tidak ada pancaran kemarahan sedikit pun.

“Gu-gue bilang ga usah! Lo pergi lagi aja!” amuknya. Dia tidak suka perhatian, itu aneh rasanya.

Abidzar pun mengalah, dia beranjak dan duduk di samping Celine yang langsung bergerak menjauh itu.

Abidzar tidak tersinggung. “Ibu suruh ajak kamu makan, tapi kamu pasti ga maukan?” ditatapnya Celine yang selalu tidak ramah itu.

Padahal sudah hampir sebulan dia perlakukan baik, tidak juga membuatnya luluh. Memang harus extra sabar.

“Itu tahu! Gue ga suka semua makanan di sini! Gue ji— ga suka.” suaranya memelan di akhir. Entah kenapa ingin bilang jijik rasanya salah.

Makanan yang disediakan memang aneh-aneh, tapi bersih kok. Celine hanya tidak suka dan merasa makanan itu akan langsung membuatnya gemuk.

“Aku coba bawa ke sini ya, kamu tetep harus makan.” Abidzar beranjak.

“Kenapa ga beli ke kota? Gue ga suka! Gue ga mau!” amuk Celine dengan begitu keras kepala.

“Jauh, harus 3 jam naik sepeda, bolak-balik. Itu juga kalau di kota ga macet. Berangkat ke sana sekarang, pulang bisa tengah malam. Bahaya,”

“Gue ga mau tahu!”

Abidzar tetap sabar, membuat Celine jadi semakin emosi. Kenapa tidak balik marah? Dia ingin bertengkar hingga mempermalukannya.

Bagus jika para tetangga keluar dan menyaksikan pertengkarannya.

Celine beranjak walau tertatih, dia memukuli Abidzar dengan terengah emosi. “Gue mau pulang! Gue mau balik ke California aja! Gue mau bebas! Ini bukan dunia gue!” raungnya.

Abidzar membiarkannya, tidak menangkis setiap pukulannya. Untung para tetangga ada di balai desa, tidak akan ada yang mendengar pertengkarannya.

Celine berhenti memukulinya, namun terus menangis. Dia terengah teramat sangat emosi.

“Aku ambil makan dulu, kamu pucet.” Abidzar dengan tenangnya memilih melanjutkan niat awalnya.

Di sana dia mengambil lauk pauk sepiring berdua. Celine tidak akan menghabiskannya, Abidzar yakin.

“Bu, ga papa kalau malam baru pulang?”

“Kenapa?”

“Celine ngamuk lagi, biar ibu ga kaget, jadi pulang nanti tunggu Abi jemput ya?”

“Hm, jangan dilawan pakai emosi. Terus aja ngalah, tenangin jangan balas sama keras,” nasehatnya.

“Iya, bu. Maaf ya, makasih juga. Abi akan usaha buat Celine berubah, lebih baik ke ibu,”

***

Prang!

Sendok itu jatuh dengan nasi dan daging ikan yang sudah Abidzar pisahkan dari durinya. Namun Celine menepis dengan kesalnya.

Padahal wajahnya sudah pucat karena seharian tidak makan apapun. Makanan dan cemilan yang diinginkan Celine yang Abidzar beli dari kota sudah habis oleh Celine sendirian.

“Gue bilang ga suka!” amuknya.

Abidzar menghela nafas sabar, membersihkan kekacauan itu dengan tenang. Dia kembali ke dapur dan membawa beberapa sendok untuk jaga-jaga.

Celine menatap kedatangan Abidzar dengan teramat kesal.

“Gue ga mau!” suaranya bergetar dengan kedua mata berlinang air mata. “Gue ga suka ikan,” cicitnya.

Abidzar baru tahu soal itu, dia pun menyingkirkannya. Memilih lauk lain dan mencoba mendekatkan sendok berisi nasi dan daging ayam sewir.

“Ga terlalu pedes, enak kok.”

Celine membuka sedikit mulutnya dengan gengsi, membuat hanya sedikit nasi dan sewir ayamnya yang masuk.

Abidzar tidak banyak bersuara, dia senang sudah dua sendok masuk. Bahkan kini yang ketiga walau sedikit sekali makannya.

Mulutnya itu tidak seperti saat melahap— oh tidak! Abidzar segera menyingkirkan pemikiran kotor itu.

Celine anteng mengunyah sambil menatap langit dari jendela kayu yang ada di kamar suaminya itu.

Hingga sendokan yang ke 7 berhasil masuk, beberapa sayuran Abidzar tambahkan disetiap sendoknya.

Ini pertama kalinya dalam hidup Celine makan nasi sampai 7 sendok. Biasanya hanya dua sendok atau tiga.

Entah apa yang salah. Dia yang memang lapar atau lauk pauk yang di masak Mimah dan ibu-ibu lainnya itu memang enak.

Abidzar tersenyum samar, dia melihat Celine yang anteng. Mengunyahnya begitu lama.

Celine menoleh menatap piring, saat sendok dengan penuh nasi itu kembali mendekat dia dekatkan ke bibir Abidzar.

“Gue kenyang!” ketusnya.

Abidzar tidak memaksa lagi, dia makan habis semuanya. Celine hanya melirik sesekali, dia masih ingin tapi perutnya kenyang. Mungkin karena terbiasa makan sedikit.

***

Celine mendengkur halus. Hari ini dia makan siang dan malam dengan nasi dan lauk pauk yang sama. Dengan di suapi Abidzar. Tanpa begitu, Celine tidak menyentuhnya.

Manja ternyata. Pikir Abidzar yang sama sekali tidak merasa keberatan.

Hingga tak lama Celine sudah hening. Biasanya akan banyak protesan, akan ada suara penuh emosinya.

Mimah sampai selalu sedih mendengar celetukannya.

Tapi malam ini tidak ada keluhan dan protesan. Celine tertidur karena kenyang sepertinya. Apa selama ini emosi karena lapar?

Abidzar tersenyum geli memikirkannya.

Dia kembali menata bantal agar Celine yang tidurnya aktif tidak jatuh menimpa lantai yang hanya di semen saja itu. Sama keras bagai lantai di keramik.

Abidzar membenarkan selimut Celine, membenarkan bantalnya yang terlalu tinggi. Bisa sakit leher jika terus begitu.

Abidzar pun mulai rebahan di bawah kasur. Tubuhnya terasa tidak enak, pegal-pegal. Mungkin karena gotong royong yang dia lakukannya seharian ini.

Mana Celine kemarin memberantakan rumah, kamar dan dapur dengan bungkus sisa makanannya.

Kasihan jika Mimah yang harus terus membersihkannya.

Abidzar mulai hanyut walau badan agak ngilu berdenyut. Di pijat pasti akan enakan, besok dia akan meminta tolong pada mbah Encep yang memang jagonya pijat di desa ini. Dia juga banyak belajar dari beliau makanya bisa memijat kaki Celine.

BUGH!

Abidzar membuka matanya cepat, agak kaget juga. Ternyata Celine yang menimpa tubuhnya. Dia tidak bergerak dan bangun. Asyik dalam mimpi.

Abidzar menggeliat lalu meringis. Dia hendak bangun namun susah, pegal sekali tubuhnya. Tapi tetap saja berusaha bangun, menahan tubuh Celine namun kesulitan.

Abidzar menyerah. Dia membiarkan tubuh Celine menimpanya, tidur di atasnya. Dia peluk, ingin mengubahnya ke samping tapi sulit. Pinggangnya terasa akan patah.

Dia benar-benar menyerah, mengusap punggung Celine yang semakin lelap.

Celine begitu tidak bisa diam dalam tidurnya, entah berapa kali Abidzar dibuat terjaga dan kembali terpejam.

Celine pun berhasil pindah dengan sendirinya, memeluk Abidzar lalu berubah lagi hingga saat pagi kepala Celine berada di perutnya.

Abidzar mengusap rambut pirang berantakan itu. Dia mendo’akannya dengan tulus, semoga segera menjadi istri yang baik, patuh, menghargai ibunya, menghargai semua orang.

Celine mengangkat kepalanya lalu menoleh dan mengerjap. Abidzar tersenyum tipis.

“Kamu jatuh, aku susah angkatnya, semua badan sakit gara-gara kemarin gotong royong.” jelasnya.

Celine yang diam sesaat dengan usil menarik celana Abidzar dan menggenggam, mengocoknya sambil mengecupinya.

“Shh.. Kamu—” Abidzar tiba-tiba merasakan mulut hangat itu lalu berhenti tiba-tiba juga.

Celine tidak peduli, dia menghantamkan kepalanya ke perut Abidzar cukup kuat dan kembali memejamkan matanya yang sangat ngantuk.

“Aduh.” Abidzar menyentuh kepala Celine, menatap wajah yang menghadapnya itu. Tanpa canggung, Celine melanjutkan tidurnya. Ngocoks.com

“Padahal udah siang.” Abidzar mengusap rambut Celine, mengamatinya lalu berusaha memindahkan Celine ke kasur. Abidzar sampai terengah menahan pegal disekujur tubuhnya saat memindahkan Celine.

Abidzar membenarkan celananya lalu menggeleng pelan, bibirnya tersenyum samar. Abidzar kini tahu, istri nakalnya itu hanya ingin membuatnya tersiksa. Abidzar segera bersiap dan akan pergi dipijat, tubuhnya sudah sangat pegal.

“Sebelum itu, tidurin dia dulu.” gumam Abidzar sambil menyugar rambutnya, kembali membenarkan celana tidurnya yang kembung.

Bersambung… “Bu, Celine mana?” Abidzar keluar dari kamar dengan panik.

“Loh, bukannya di kamar? Dari semenjak kamu pamit terus pulang lagi barusan ibu ga lihat, ibu sibuk di belakang sapu dedaunan kering..” jawabnya sama panik, kali ini apa yang dilakukan oleh menantunya.

“Kemana ya, Abidzar cari dulu, ibu di rumah aja.”

“Pelan-pelan, di luar licin bekas hujan pagi tadi,” Mimah menatap kepergian anaknya yang menjadi kesulitan semenjak menikah.

Nama baiknya mulai tercemar oleh tingkah istri nakalnya yang membuat desa tidak sedamai biasanya.

Sungguh cobaan pernikahan bagi anaknya yang baik. Untungnya dia sabar, menerima semuanya tanpa mengeluh.

Mimah harap Tuhan segera membalikan hati menantunya, membuka matanya. Ada suami yang baik seperti Abidzar menekenikmatannya.

Mimah merasa, menantunya itu hanya kurang perhatian dan kasih sayang. Perlahan pasti akan luluh.

Terbukti juga sekarang Celine bisa makan nasi, mulai menerima lauk pauk yang dirinya buat.

***

Celine menatap kakinya yang tenggelam ke dalam lumpur, anak kecil laki-laki berusia 10-12 san itu hanya menertawakannya.

Mereka begitu nakal mendorong Celine hingga terperosok jatuh dan susah keluar, rasanya tersedot oleh lumpur yang kini menelan kakinya hingga lutut.

“Rasain! Makanya jangan rusak kebun bapakku! Yakan, Bud? Bapakmu juga rugi, daun bawangnya habis,”

“Iya! Ga baik tahu! Bapak sampai kelelahan tanamnya!”

Celine hanya diam karena sudah kelelahan, semakin bergerak malah semakin tenggelam. Sial sekali hari ini. Dia kalah oleh ke 5 anak kecil itu.

“Bapak aku sampai ke rumah sakit akibat tanam padi sendirian,”

Celotehan-celotehan penuh kekesalan itu Celine dengarkan dengan malas walau setitik ada rasa sentilan di hatinya.

Perjuangan yang ternyata tidak sepele untuk menghasilkan bawang daun, padi dan lainnya.

“Celine?” panggil Abidzar sambil berlari pelan di jalan kecil di pinggiran sawah itu.

“Ayo, kabur!” seru Budi yang langsung membuat mereka berlari kabur.

“Abiiiii!” seru Celine kesal sambil menatap kepergian anak-anak nakal itu.

Telinga Abidzar memerah, pipinya pun samar merona mendengar seruan Celine pertama kalinya menggunakan nama.

Abi?

Rasanya Abidzar ingin menyahut, ‘Ya, umi.’ dengan segera dia menepis pemikiran itu dan terus mendekati Celine lalu perlahan membantunya.

“Lo lama!” amuk Celine begitu nyaring sampai Abidzar terpejam sekilas.

“Maaf, aku udah cari keliling dan baru ketemu sekarang, kamu ga bilang mau ke sini.”

Celine tidak membahas lagi, dia hanya pasrah dibantu Abidzar hingga terlepas dari lumpur yang agak bau itu.

“Hiks.. Awas aja mereka!” amuk Celine begitu kekanakan. “Bau, iuuuuuhh!” teriaknya dengan tangis pecah saking kesal sekali.

***

“Mandiin! Ga mau tahu!” kesal Celine dengan kedua mata sembab.

Abidzar menoleh pada Mimah, dia malu sekali dibuatnya.

“Ibu ke rumah bu Dewi ya, mau antar piring bekas makan waktu gotong royong,” Mimah segera ke dapur, membiarkan Celine yang merengek menarik Abidzar ke dalam toilet.

Mimah tersenyum samar. Dasar pengantin baru, semoga ke depannya akur. Harapnya.

“Ibu pergi dulu,”

“I-iya, bu.” Abidzar tengah menyiapkan handuk dan samphoo Celine untuk dibawa masuk ke toilet.

“Cepet! Ini bau, lelet ihhh!” amuknya.

“Iya, bentar tutup dulu.” suara Abidzar selalu saja lembut.

Abidzar menyimpan semua yang dia bawa lalu melirik Celine yang begitu tidak malu. Dia penasaran, Celine tidak malu karena menganggap dia suaminya atau memang sebebas itu hidupnya?

Saking terbiasa pakai bikini, seolah mempertotonkan kulitnya bukanlah hal baru?

“Serius mandiin?” Abidzar menyalakan air, memenuhi bak air itu.

“Iya! Cepetan bersihin itu lumpurnya, bau banget!” rengeknya kesal saking bau. Hingga semua yang melekat ditubuhnya lepas terongok di lantai yang bahkan hanya di semen tidak pakai keramik.

Sangat sederhana sekali tapi bersih karena Abidzar selalu membersihkannya. Jadi tidak membuat Celine risih walau pada awal-awal merasa aneh.

Abidzar meraih gayung, mulai berjongkok membasahi kaki yang penuh lumpur dan terus mencoba fokus.

Hingga lumpur itu bersih terbawa air. Tinggal pakai sabun.

“Gue udah lama ga cukuran, ga ada alatnya. Ga bawa kayaknya. Lo sukanya yang gimana?” Celine tengah memancing Abidzar agar tidak menunduk terus.

Abidzar mendongak menatap tepat di kedua mata Celine lalu turun ke yang di maksud Celine.

Oh astaga!

Abidzar kembali membasuh kaki Celine sekali lagi. “Yang penting punya istri sendiri.” jawabnya tanpa sadar suaranya serak, jelas dia langsung berdehem pelan.

“Udah!”

Abidzar menghela nafas sabar, dia berdiri lalu terkesiap saat Celine mendorongnya ke tembok dan melepas kancing kemeja santai lengan pendeknya.

“Ga adil kalau cuma gue yang di buka, lo juga.”

Abidzar tahu, Celine sungguh kembali hanya memancingnya lalu membuat tersiksa.

“Kita—”

“Bodo amat! Ibu lo pasti paham, ga salah kok orang kita nikah!” potongnya ketus.

Celine sungguh tidak tahu dengan cara apalagi agar semua orang di sini muak dan membuangnya ke kota.

Ingin pura-pura baik pun susah, bawaannya kesal. Dia ingin kehidupan modernnya lagi. Hidup dengan media sosial dan ponselnya. Ngocoks.com

Abidzar pasrah saja, dia menatap tubuh bagus istrinya, membuat telinganya merah terbakar. Dia usap rambutnya yang langsung Celine tepis.

Abidzar tidak tersinggung, dia juga salah karena refleks menyentuhnya.

Abidzar terpejam saat Celine membelit lengan di lehernya, mendekatkan wajahnya dan menciumnya ahli.

Abidzar merengkuhnya, memastikannya tidak akan jatuh lagi. Membuat tubuh keduanya bersentuhan tanpa penghalang.

***

Abidzar terengah lega di bahu Celine. Ternyata tidak sama dengan yang ada di pikirannya. Celine tidak menyiksanya, kali ini tuntas yang berarti sudah dua kali dan di tempat yang sama.

Lain kali Abidzar ingin di kasur. Dia ingin memperlakukan istrinya dengan sangat baik. Tidak asal melakukannya.

“Lain kali, jangan pancing aku di sini.” suara lembut Abidzar kembali mengalun. “Aku mau perlakukan kamu dengan baik,” lanjutnya.

Celine terdiam, jantungnya tiba-tiba bertingkah. Dia dorong Abidzar hingga penyatuan terlepas.

Celine tidak suka desir aneh ketika Abidzar memperlakukannya lembut.

Celine menatap sesuatu yang sedikit mengalir di paha kirinya. “Gue ga mau tahu! Cari pencegah kehamilan! Ini dua kali lo—” dia memucat mengingat kecerobohannya.

Bersambung… “Dari puskesmas,” Abidzar mengangsurkan gelas berisi air pada Celine.

“Untung aja,” Celine menghela nafas lega, meraih gelas itu dan meneguknya beserta obat pencegah kehamilan.

Celine hanya berharap, waktu yang pertama tidak jadi. Saat itu juga bukan masa suburnya.

Abidzar menatap kelegaan itu dengan tenang, tidak tersinggung atau apapun. Dia juga lega sebenarnya, jika ada bayi rasanya belum siap.

Celine belum siap untuk itu dan Abidzar juga tidak siap dengan Celine yang masih sulit diatur.

“Nih! Lain kali di luar!” tegasnya ketus lalu kembali ke kamar.

Abidzar tersenyum samar. “Lain kali? Kalau kamu yang mulai ya..” dia mangut-mangut. Abidzar tidak bisa meminta duluan, bisa tantrum Celine.

“AAaaaaaaaa!” jerit Celine di dalam kamar.

Abidzar sontak berlari masuk dengan panik mendengar teriakannya. “Ada apa?” tanyanya sambil menatap Celine yang ketakutan di atas kasur.

“I-itu.. KE-KECOAAAAA!” jerit Celine sambil menunjuk kecoa yang lincah hampir mendekati Abidzar.

Abidzar celingukan, meraih plastik bekas membawa obat pencegah. Dia mulai fokus dan hap menangkap lalu mengikatnya. Untung tidak ada drama kabur kecoanya.

“Udah, sstt.. Jangan berisik, nanti tetangga denger.”

“BODO AMAT!” balas Celine dengan keras kepala, begitu menyebalkan.

Abidzar tetap menatapnya lembut tanpa amarah, dia membuang dulu plastik itu dan kembali ke kamar.

“Sini bantuin!” teriaknya kesal. “Gue yakin masih ada temen-temennya! Gue mau pulang!” amuknya mulai tantrum.

“Nanti di semprot cairan pengusir serangga, aku minta dulu sama bu Dewi, ya.” Abidzar mendekat dan membantu mengancingkan kemeja putih yang di pakai Celine.

“Sekarang! Kalau gitu cepetan sekarang!” Ngocoks.com

“Iya.” Abidzar berhenti mengancingkannya karena selesai.

“Engga-engga! Gue ikut!” Celine menarik lengan Abidzar lalu membelit leher dan kedua kakinya membelit pinggangnya.

“Aduh.” Abidzar segera menahannya agar tidak jatuh, membenarkan posisinya yang merosot itu. “Jangan gendong gini, di punggung aja.” dia tidak enak jika tetangga melihat.

Tidak baik mengumbar kemesraan intim yang bisa saja ada anak kecil yang dijumpai.

“Ga mau!”

“Di luar banyak warga, ada anak kecil juga.” Abidzar begitu pelan, sabar dan lembut. Mendudukan Celine di kasur.

Celine manatap wajah Abidzar yang selalu luluh, mengalah dan tersenyum lembut.

“Ya-yaudah.” cicitnya.

Abidzar segera berbalik dan Celine segera nemplok di punggung lebar itu.

“Apa lo ga pernah marah? Apa kelainan?” celetuk Celine.

Abidzar terdiam sejenak lalu tersenyum samar. Apa Celine mulai penasaran padanya? Itu bagus.

“Buat apa marah? Selagi bisa dihadapi dengan baik-baik,”

Celine mendengus. Dia memilih diam lalu saling mengejek dengan anak-anak kecil yang mengatainya seperti anak kecil karena digendong.

“What? Irikan!” sewot Celine pada beberapa anak kecil yang terus mengekor dan mengejeknya. “Hus sana pergi!” amuknya.

“Sstt.. Biarin aja.” tegur Abidzar.

“Lo bela mereka?!” kesal Celine.

“Engga gitu,” suara lembut itu lagi. Celine malah semakin kesal. Semua pemberontakannya kenapa tidak mempan pada mereka semua!

Celine kian cemberut saat melihat semua orang malah menyapanya.

“Celine,” panggil Abidzar begitu lembut.

“Hm?” sahut Celine pelan agak salah tingkah.

“Kalau ada yang sapa, senyumin jadi kalau ga jawab tetep ada respon baik,” nasehatnya lembut sekali.

Celine sampai diam tidak ngegas, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir Abidzar. Lembut sekali, membuatnya sulit untuk mengeluarkan amukan.

“Bagus, liat.” tunjuk Abidzar pada pelangi di bukit yang cukup jauh itu. Langkahnya berhenti sejenak.

Hamparan sawah, bukit lalu pelangi. Udara sejuk dengan matahari yang adem, tidak panas.

Celine sejenak menikmati hal yang tidak pernah dia alami. Suara-suara alam bahkan menekenikmatan.

Celine menatap para petani yang melambai dari jauh, menyapa Abidzar ramah lalu menyapa Celine seolah tidak pernah membuat kerusuhan di desa ini.

Celine tersenyum tipis lalu segera melenyapkannya. Kenapa dia mendengarkan permintaan Abidzar?

“Cepet jalan lagi, sebelum kecoa itu pada beranak! Gue makin berontak minta pulang nanti!” ancamnya kembali ngegas.

***

“Kenapa, nak?” tanya Dewi melihat Celine di gendong.

“Kepo,”

“Stt!” tegur Abidzar sambil menurunkan Celine yang cemberut lalu memilih bungkam.

“Ada apa?” Mimah yang baru sadar ada anak dan menantunya jelas menghampiri.

“Ini, bu.. Mau minta semprotan serangga ke bu Dewi, Celine takut kecoa. Di kamar tadi ketangkap satu.”

“Oh kirain, ada sebentar.” Dewi kembali masuk ke rumah.

Abidzar meraih lengan Celine untuk duduk di sampingnya. Celine menepis lalu duduk. Abidzar tidak mempermasalahkannya.

“Rumah ini bagus.” Celine meliarkan pandangan. “Pakai dinding tembok, apa ga bisa kayak gini rumah kita?!” nada suaranya tetap saja terdengar ketus.

Abidzar tersenyum. “Rumah peninggalan mendiang ayah sengaja ga diubah lebih modern,” jawabnya.

“Kenapa? Gue mau kayak gini pokoknya!” raungnya kesal.

“Iya, nanti.” Abidzar tersenyum.

Celine mendengus. “Nanti itu kapan?! Jangan terus bikin gue emosi ya! Gue mau—” ucapannya berhenti saat melihat Dewi kembali keluar.

“Ini, bawa dua. Buat cadangan, untung waktu beli stoknya banyak,”

“Makasih, bu Dewi.”

“Ga usah sungkan,” Dewi menatap Celine ramah. “Ini rumah ibu, sering main ya, ibu masakin masakan enak buat kamu nanti.” lanjutnya.

Celine hanya diam, kembali merasa risih dengan keramahan itu.

“Ayo pulang!” ketus Celine sambil meraih lengan Abidzar.

Abidzar menghela nafas sabar, dia menoleh pada bu Dewi. “Makasih ya bu, kami pamit.”

“Iya, hati-hati.”

Mimah menghela nafas. “Maaf ya bu, Celine masih perlu dididik Abidzar,” ujarnya tak enak.

“Tenang aja, bu. Kami semua sudah paham sekarang, nak Abizdar menjelaskan semuanya saat itu, meminta maaf duluan jika istrinya bertingkah tidak sopan.”

Mimah lega mendengarnya.

“Kami semua merasa terbantu semenjak kehadiran nak Celine,”

***

“Tadi itu ga sopan,” Abidzar mengusap belakang kepala Celine yang berjalan di depannya dengan cepat nan kesal.

“Gue ga peduli! Di benci juga ga peduli! Gue emang takdirnya sendiri aja, ayah sama kakak gue juga muak sama gue, ntar juga lo sama yang lain juga! Jadi mending ga usah so baik dari awal kalau akhirnya gue dibuang lagi!” dingin Celine.

Abidzar meraih jemari Celine, mengajaknya untuk jalan beriringan..

“Lepas! Apaan sih!” amuknya. Mood kembali tidak baik.

“Kata siapa? Aku mau nikah sekali, jadi ga mungkin aku buang kamu kecuali kamu buang aku.”

Celine berdecih. “Kalian di bayar berapa sih sampe ga bisa marah setelah apa yang gue lakuin?” muaknya.

“Apa kamu ga bisa liat ketulusan?”

Celine kian kesal lalu menepis kasar genggaman tangan Abidzar sampai terhempas lalu dia berlari.

Abidzar segera menyusul, takutnya Celine kabur. Jalanan sepi dan bisa saja membuatnya tersesat.

“Kemana?”

“Gue kesel!” suaranya terdengar serak, kedua matanya basah. “Gue kesel liat keramahan kalian! Gue harus senakal apa biar kalian benci!”

“Dari pada sibuk bikin kita benci, kenapa kamu ga berusaha buat kita suka? Kamu ga penasaran rasanya semua orang sayang sama kamu?”

Deg!

Celine berhenti berlari. Dengan terengah dan berderai air mata dia menatap Abidzar yang tersenyum disela terengahnya, menyambutnya dengan menggenggam jemarinya lagi.

“Mau coba? Aku bantu.” suara lembut itu lagi.

Celine takut kembali kecewa. Hanya mendiang ibunya yang sayang. Yang lain selalu tidak puas dengan yang dirinya lakukan.

***

“Aduh.” Abidzar menahan lengan nakal Celine yang merayap ke dalam celana rumahannya.

“Kenapa? Ga boleh pegang dia?!” kesal Celine.

“Boleh.” jawab Abidzar lembut.

Kali ini apa? Membuatnya tersiksakah? Mengingat dia menawarkan hal yang sepertinya membuat Celine kesal.

Celine bahkan tidak menjawab ajakannya, dia terus berjalan hingga sampai di rumah dan mengurung diri seharian.

“Ga mau makan malam?” Abidzar merasakan telinganya panas. Dia menatap lengan putih yang jemarinya tenggelam di dalam celananya, menggerayangi asetnya.

Istri nakalnya itu benar-benar menguji hidupnya.

Abidzar terpejam merasakan tengkuknya di kecupi Celine. Nafasnya sontak memberat.

“Gue bosen, gue bosen!” kesalnya. Tidak ada televisi, tidak ada ponsel.

Celine terdiam saat jemari besar Abidzar meraih tengkuknya, mengusap rahangnya lalu mengecup pipinya.

“Aku tanya sekali lagi, mau coba?”

Suara lembut yang selalu membuatnya hanyut dan merasa disayangi. Membuat Celine mengangguk bagai terhipnotis.

Bersambung… Celine duduk di pinggiran kasur. Semalam gila sekali. Untuk pertama kalinya ada orang memperlakukannya sebaik itu, selembut itu. Membuatnya tidak bisa melupakannya.

Celine melirik lagi sampingnya yang sudah kosong, entah sejak kapan Abidzar tidak ada. Entah sejak kapan juga dia duduk mengingat kelembutan semalam.

Abidzar memperlakukannya bagai tak bernafsu. Memperlakukannya penuh penghayatan, kasih sayang, tidak egois.

Celine bagai melakukan hal itu pertama kali lagi. Dulu, saat melakukan pertama kalinya jelas tidak sebaik Abidzar.

Pria yang membuatnya dan memperkenalkan dunia malam itu, pria kasar yang egois. Menyakitinya, demi kepuasannya.

Dari situ juga, Celine selalu ingin dominan dalam hal itu. Dan semalam untuk pertama kalinya dia memberikan izin Abidzar untuk memimpin.

Celine cemas, dia takut tersakiti seperti saat itu yang sampai membuatnya pendarahan dan di rawat.

Tapi ternyata, kecemasannya Abidzar mampu hilangkan. Dengan kelembutan khasnya, dengan suara yang tidak pernah meninggi selama kenal.

“Celine? Sudah bangun?” suara Mimah menyadarkan pikiran.

Celine meraih kaosnya yang dilipat rapih di ujung kasur, pasti oleh Abidzar di bereskan dulu. Semalamkan seperti kapal pecah.

“Se-sebentar.” gugup Celine.

Ini hari pertama dia akan mencobanya, memelankan suaranya yang selalu ketus, meninggi tidak sopan.

Celine merasa tertarik dengan tawaran Abidzar. Mencoba untuk disayangi. Tidak semua orang seperti orang-orang yang sudah menyakitinya. Mungkin.

Mencobanya lalu tersakiti lebih baik dari pada menyesal di dalam kesepian kelak. Kita tidak bisa menyama ratakan jika semua orang itu tidak ada yang baik.

Mungkin hanya belum waktunya saja dipertemukan dengan Orang-orang baik.

“Ayo, sarapan.” Mimah tersenyum keibuan, tidak pernah mengeluh persis seperti Abidzar.

“I-iya.” jawab Celine pelan.

Mimah terdiam sejenak, Celine mau tanpa mendebat atau menolak ketus?

“Ayo,” Mimah meraih lengan Celine, menuntunnya ke meja makan kayu yang sederhana.

Celine hanya diam, mencoba menahan untuk tidak menepis. Dia masih saja merasa risih tak terbiasa.

“Ibu buat udang balado, resep dari bu Dewi.. Semoga suka ya,” Mimah meraih piring, memberikan secukil nasi, memberikan udang dan beberapa sayur oseng lainnya.

Celine diam menatap Mimah yang terus berceloteh dan tersenyum hangat itu. Terlihat senang.

Celine menatap piring di depannya. Dia ragu, biasanya Abidzar akan menyuapinya.

“Udangnya udah tanpa kulit, langsung makan.”

Celine meraih sendok ragu, jantungnya berdebar melihat kehangatan sosok ibu yang dia rindukan.

“Enak?”

Celine mengunyah pelan satu udang yang dia masukan ke dalam mulut lalu mengangguk pelan terlihat canggung.

“Syukurlah.. Abidzar sedang beli keperluan yang habis ke kota, tadi jam 3 pagi berangkat. Sebentar lagi pasti pulang,”

Celine mengunyah pelan, Abidzar menggunakan sepeda setelah melakukan percintaan yang melelahkan. Demi membeli keperluannya yang habis.

Sabun muka dan pasta gigi yang biasa dia pakai. Celine akan menolak jika bukan pasta gigi yang biasa. Bahkan soal sabun dan shampoo juga.

Perasaan Celine menghangat walau segera dia tepis. Abidzar memang sudah seharusnya begitu sebagai suami.

Celine mencoba makan udang dengan nasi, ternyata enak. Dia tidak banyak ragu lagi. Membuat Mimah terharu.

“Sudah datang?” Mimah menatap Abidzar dengan banyak kantong plastik besar di kedua tangannya.

“Iya, bu. Sepeda rusak, untung ada pa Ahmet yang kebetulan mau ke sini jadi ikut ke motornya,” jawabnya.

Abidzar menatap Celine yang bibirnya cemong oleh bumbu balado dari apa yang di makannya. Senyum pun terbit, Celine mau makan tanpa menunggunya?

Apa sungguh Celine mencobanya?

“Bisa sore kalau ga ketemu pak Ahmet, tuntun sepeda dari jarak jauh, ibu kasih dulu makanan buat berterima kasih.” Mimah untungnya selesai makan, dia hanya meminum teh sambil menekenikmatan Celine yang pertama kalinya mau makan bersamanya.

Celine menatap dalam diam keduanya. Mereka memang orang baik, pantas saja tidak muak melihat tingkahnya.

“Enak?” Abidzar duduk di samping Celine dengan mood yang baik walau wajah, pelipisnya, berkeringat dan terlihat lelah.

Celine menyudahi makannya karena memang kenyang. Mimah terlalu bersemangat sampai banyak memberikannya lauk pauk.

Celine menyeka keringat di pelipis Abidzar. Dia tidak tahu harus bagaimana. Mengucapkan terima kasih bukan kebiasaannya jadi sulit.

Abidzar menyeka pinggiran bibir Celine yang belepotan. “Mau mandi? Sabun muka sama yang lainnya udah ada,” tunjuknya pada barang bawaannya.

“Mandiin.”

“Ha? Iya, ayo.” Abidzar tersenyum tipis begitu lembut, telinganya kembali memerah. Dia akan mandi bersama lagi?

Abidzar mengusap tengkuknya. Melihat wajah tidak angkuh Celine kenapa membuatnya salah tingkah ya?

***

“Jaga istri, nak Abi.” tawa pelan terdengar dari ibu-ibu ramah itu.

“Iya, bu Tuti,”

Celine hanya diam di tuntun Abidzar berkeliling melihat aktivitas pagi para petani dan anak-anak kecil yang sudah memakai seragam sekolah.

Celine melihat seragam lusuh mereka. Melihat para petani yang mulai turun ke sawah dengan pakaian lebih lusuh.

Mereka sederhana, menikmati hidup dengan penuh rasa syukur. Itu yang Celine lihat.

“Huuuu..” sorak anak kecil yang pernah mendorongnya.

Celine tersentak pelan lalu menekuk wajahnya kesal. Namun urung membalas saat genggaman tangannya diusap Abidzar.

“Jangan diladenin,” bisiknya.

Celine menatap Abidzar kesal namun sesaat, dia kembali luluh. Semoga bisa sesabar Abidzar. Padahal baru sehari juga belum.

“Istrinya ga nakal lagi, nak Abi.”

“Istrinya kok diem, udah bisa dijinakin ya?”

Dan berbagai ucapan ramah yang kadang ada sindiran halus itu terus Celine dengar, dia mencoba tidak kesal hingga saat di kamar baru berteriak mengeluarkan kekesalannya.

Abidzar tersenyum tipis sambil membantu Mimah menyimpan sayuran pemberian petani yang panen hari ini.

“Itu Celine kenapa?”

“Aku bikin kesepakatan sama Celine, bu. Kalau mau berubah, coba latihan tahan kesal terus luapin di kamar kalau ga kuat, kayaknya seharian ini dia nahan kesal,” jawabnya dengan senyum geli.

Celine patuh saja sudah bagai kemajuan besar. Abidzar semakin tidak sabar membantu Celine untuk lebih baik lagi.

“Ada-ada aja, tapi ibu seneng hari ini walau Celine hanya diem,”

“Dia masih perlu adaptasi, bu. Aku pelan-pelan coba yakinin dia, aku juga mau buat dia terbuka sama aku sebagai suaminya,”

***

“Ada ibu,” bisik Abidzar saat Celine nakal merayap di paha kirinya.

Keduanya tengah makan malam, Mimah sedang mengisi air di tekonya. Membuatnya memunggungi mereka.

Celine dengan nakalnya malah semakin berani, meremas celana kain yang sering di pakai Abidzar di rumah itu tepat di tengahnya.

“Celine.” Abidzar tetap berujar lembut. Ngocoks.com

Abidzar masih saja merasa belum terbiasa dengan nakalnya tangan Celine.

“What?” santai Celine dengan datarnya tapi jemari nakalnya itu malah masuk ke dalam karet celananya.

Abidzar menahan kuat lengan Celine. Mengeluarkannya tepat saat Mimah berbalik dan kembali ke meja makan.

“Aaaa, buka mulutnya.” Abidzar kembali menyuapi istri nakalnya yang manja itu.

Celine ketagihan menyentuh milik Abidzar. Rasanya juga dia sukai, pokoknya Abidzar yang terbaik. Paling enak.

Dan malamnya Abidzar membiarkan Celine menyentuhnya, mencoba tidak menimbulkan suara.

“Hari ini lulus,” puji Abidzar dengan nafas memberat, menatap dan mengusap kepala Celine yang posisi Celine kini berada di atasnya, bergerak pelan dengan indahnya.

Celine tersenyum dengan wajah memerah menahan gairah yang tertahan, pergerakan mereka begitu lelet demi tidak menimbulkan suara.

Abidzar ikat rambut pirang panjangnya dengan jemari sebelah kiri. Tangan satunya lagi mengusap keringat di leher Celine, mengusap bukitnya yang naik turun.

Abidzar kini berani menyentuhnya. Celine terlihat nakal di atasnya, membuatnya semakin sayu oleh peningkatan rangsangan. Nafas keduanya sama memberat.

Hingga malam panjang pun selesai dengan rasa puas.

Abidzar kecup lama kening Celine, membuat Celine terpejam dengan berdebar. Dia merasa dihargai.

“Besok coba lagi, hari ini kamu keren.” pujinya begitu lembut sampai membuat pipi Celine merona.

Celine merasa semakin berdebar walau pada akhirnya memasang wajah kesal. Mencoba menepis semuanya.

“Iya, moga aja bisa kayak hari ini. Turun! Berat tahu!” omelnya kesal agak salah tingkah.

Bersambung… “Mau kemana?” Mimah tersenyum hangat menyambut Abidzar dan Celine yang kompak keluar kamar.

“Mau ke sawah, bu. Mau bantu-bantu sambil isi waktu luang, Celine kebosanan..” jawabnya.

Celine hanya diam dengan senyum tipis yang canggung.

“Celine pakaiannya terlalu bagus, ibu ada pakaian khusus ke sawah, sebentar.” Mimah terlihat senang dengan perkembangan keduanya.

“Iya, pakaian kamu terlalu bagus.” Abidzar tersenyum sambil mengusap puncak kepala Celine. “Hari ini percobaan ke dua, semoga lulus lagi ya..”

Celine menepis usapan mendebarkan itu agak salah tingkah. “Ck! I-iya,” balasnya.

Celine menatap Mimah yang datang dengan kaos lusuh, celana bunga-bunga yang begitu norak.

“Nah, ini juga ibu ada topi pemberian dari bu Dewi, ibu belum pernah pakai,”

Celine menerima itu dengan ragu, dia harus memakai pakaian yang norak, lusuh, dan saling tabrakan warna?

“Gih, ganti.” Abidzar menuntun Celine kembali ke kamar dan dia memilih menunggu di luar sambil ngobrol dengan Mimah.

“Celine sungguh mau pergi, Abi?” Mimah mengusap lengan Abidzar sekilas dengan senang.

“Iya, bu. Aku bikin dia perlahan berbaur, agar terbiasa.”

“Tanpa berontak? Sungguh?”

“Hm, Celine sepertinya mulai luluh walau kadang masih gengsi dan ketus, tapi perkembangannya baik sekarang,” jawabnya yang semakin membuat Mimah senang.

“Benarkan kata ibu, dengan kesabaran, kelembutan dan perhatian, perlahan sekeras apapun akan luluh,”

“Iya, bu. Dan pada dasarnya Celine baik,”

Celine di kamat mendengar itu menghangat, padahal dia sudah nakal dan membuat onar di desa ini. Tapi tetap saja dianggap baik.

Membuat perasaannya tak enak dengan ketulusan suami dan mertuanya itu.

Apa sudah saatnya dia benar-benar memperbaiki diri dan percaya pada mereka?

***

Celine terlihat risih dengan yang dipakainya. Dia pernah mengatai para petani lusuh dan dia mengalaminya kini.

“Kita ke sawah, mau turun juga. Jadi sayang kalau pakai pakaian bagus,”

Celine menoleh menatap Abidzar yang memakai kaos lusuh juga, dia baru sadar.

“Kita kotor-kotoran,” tambah Abidzar dengan terus menuntun Celine menelusuri jalan setapak yang pinggiran-pinggirannya sudah sawah itu.

Celine memperhatikan langkahnya sampai tergelincir beberapa kali. Untungnya Abidzar sigap menangkap.

“Jalannya di depan, aku arahin dari belakang.” Abidzar agar mudah menangkap Celine jika jatuh tergelincir.

Celine kembali merasa berdebar, begitu di perhatikan.

“Belok kiri,”

Celine pun belok, menatap banyaknya para petani yang sibuk dengan yang mereka tanam.

“Siang, pak.” sapa Abidzar dengan ramahnya.

Celine terlihat gugup saat mereka mengangkat pandangan, melihat dia dan Abidzar. Kali ini apa yang mereka pikirkan.

Apa mereka takut hasil tanamnya dia hancurkan?

“Eh pengantin baru, pagi Abi, pagi neng Celine..” balas mereka silih berganti, dengan ramahnya.

Celine hanya tersenyum canggung. Meremas gugup jemari Abidzar yang menuntun sebelah tangannya.

“Ga papa, mereka semua udah maafin kamu,” bisik Abidzar.

“E-emangnya gue kenapa!” ketusnya lalu melanjutkan langkahnya dan “Ahk!” pekiknya saat sebelah kaki masuk ke sawah basah penuh lumpur.

Abidzar menangkapnya segera, membuat Celine tidak jatuh terlalu dalam.

“Iuuhhh!” jerit Celine merengek.

Petani di sana hanya tersenyum sambil menggeleng samar, anak manja dari kota memang beda. Pikir mereka.

Abidzar menggendongnya agar kembali ke posisi awal. “Ga papa, kitakan mau kotor-kotoran.” lalu Abidzar benarkan celana yang hampir melorot itu.

Celine hanya menekuk wajahnya sebal.

“Ngasuh anak, nak Abi,” canda pak Wahid.

“Iya, pak.” Abidzar terkekeh sambil masih membenarkan celana yang ternyata kedodoran di Celine itu.

Tak heran, tubuh Celine tipis akibat dietnya itu.

“Sebentar, aku iket dulu biar ga melorot.”

Celine semakin menekuk wajahnya. Apa katanya tadi, anak? Andai saja dia tidak sedang ingin berubah, sudah di pastikan dia akan cabuti semua benih yang bapak itu tanam.

“Yuk jalan lagi,” Abidzar mengusap topi Celine. “Jangan cemberut, senyum tipis aja. Nanti kebiasaan,” lanjutnya.

Celine mendelik karena banyak sekali maunya.

“Senyum,” Abidzar menatapnya lembut dengan senyuman, tidak merasa takut dengan delikannya.

Celine pun tersenyum.

“Nah, cantik.” Abidzar terlalu lembut, terkesan tengah mengasuh anak itu benar.

***

“Gini?”

“Pinter, iya gitu.”

Celine terlihat bagai anak kecil yang terus ingin mendapat pujian dan ketagihan dipuji.

Abidzar senang sekaligus sedih.

Celine anak baik yang hanya ingin dipuji, hal sekecil apapun. Dia membutuhkan perhatian bukan perbandingan.

Lihat, lucunya dia sekarang yang mau turun ikut menanam padi. Terus saja meminta pujian atas kerjanya yang bagus.

“Gini?”

Abidzar tertawa pelan, untung dia sabar. Setiap padi yang berhasil di tanam masa harus terus dapat pujian.

“Iya, udah bisa ya.. Kamu cepet belajar,” Abidzar bersuara takjub.

Celine semakin melambung, bersemangat menanamnya walau di belakangnya Abidzar membenarkan hasil yang di tanamkan Celine.

Hanya beberapa yang sesuai, yang lainnya hanya asal nempel di atas lumpur dan tidak tertancap.

Kedua kaki Celine sudah kotor, sekarang sepertinya Celine tidak peduli lagi soal itu. Saat awal turun menjerit dan mengeluh, tapi sekarang terlihat nyaman.

“Gini,”

“Iya,” astaga Abidzar jadi gemas.

“Ah.. Pegel,” Celine yang terus membungkuk menegakan dulu tubuhnya.

“Mau istirahat, neng Celine?”

Celine menatap pria tua ramah itu. Padahal sudah terlihat kakek-kakek tapi masih bisa turun ke sawah.

“Mau.” jawabnya pelan.

Abidzar tersenyum. “Ayo, kita duduk sama kakek di sana.” ajaknya sambil menuntun Celine yang ragu.

***

“Sejuk mungkin, kek.” Abidzar menatap Celine yang terlelap di gubug kayu yang biasa para petani tempati untuk beristirahat.

Celine tidur cukup lama, hingga Abidzar selesai dengan tugasnya barulah Celine bangun.

“Kita pulang,”

“Padinya,” tunjuk Celine masih agak linglung setengah mengantuk.

“Udah selesai.”

Mereka pulang, membersihkan kaki di air terjun kecil. Membuat Celine merasa healing. Ternyata seru, lumayan menepis kebosanannya.

“Yuk, kita mandi.”

“Bareng.”

“Ada, ibu.”

“Pokoknya bareng!”

“Iya,” dengan lembut Abidzar mengalah. Dia pastikan Celine tidak jatuh dan mereka pun melewati jalanan normal hingga sampai di rumah.

“Kalian mandi dulu, ibu mau ke pasar sama bu Dewi,”

“Bukannya jauh ya?” celetuk Celine.

“Oh itu, iya jauh. Cuma suami bu Dewi pulang, jadi ada kendaraan.”

Celine ingin bersuara ikut, ingin kembali berontak tapi anehnya dia tidak bisa saat menatap wajah Abidzar.

“Oh, kalau gitu hati-hati, bu.” Ngocoks.com

Celine melirik keduanya yang terdiam. Apakah seterkejut itu. Membuatnya salah tingkah dan canggung aja.

“Iya, nak.” Mimah mengusap lengan Celine dengan senang sekali.

Abidzar juga tersenyum dengan menatapnya bangga. Celine mengulum senyum samar, kenapa ya dia senang dibuatnya.

***

Di pinggiran bak mandi Celine duduk, kakinya membelit pinggang Abidzar, lengannya membelit leher Abidzar.

Abidzar menggerakan pinggulnya sesuai keinginan Celine yang katanya ingin cepat.

“Ah..” Celine merasa bebas menyuarakan suaranya.

Abidzar mengecupi rahang Celine, menatapnya lalu kembali mengecupinya. Dia tidak melarang Celine mendesah, toilet paling belakang di rumahnya, tidak akan ada orang melintas di sana.

Celine terdongak gelisah, merasakan perutnya yang menegang.

Abidzar sasar lehernya, dadanya lalu menggendongnya. Bergerak tak lama lalu menurunkannya.

Celine segera memunggungi Abidzar, membungkuk dan mengeratkan pegangan di pinggiran bak air itu.

Abidzar usap sisi pinggangnya lalu menekannya hingga kembali tenggelam dan bergerak lagi.

“Celine,” Abidzar kecupi rambut pirang yang ada di punggung dengan setengah basah itu.

Abidzar mulai tertular nakalnya. Dia mulai menggerakan instingnya. Kali ini tidak hanya Celine yang dominan.

Bersambung… Celine keluar kamar dengan handuk membelit tubuhnya. Dengan langkah pelan saking bergetar dan lemasnya lutut. Bibir Celine tersenyum samar. Dia selalu puas dengan yang dimiliki Abidzar. Enak.

Abidzar membersihkan kamar mandi, menata sabunnya dan Celine kembali ke tempatnya.

“Abi,”

“Hm?” Abidzar tersenyum tipis, dia senang di panggil Abi oleh Celine. Rasanya lebih mendebarkan.

Abidzar membawa semua peralatan mandi dan keluar dari kamar mandi, menyimpan semuanya di tempatnya dan segera menghampiri Celine yang terduduk di lantai.

“Kenapa?”

“Lemes,” Celine tidak tahu akan selemas ini. Biasanya dia yang dominan, mungkin kali ini Abidzar juga aktif.

Abidzar tersenyum samar. Celine gayanya bagai wanita tangguh, tapi saat lawannya lebih aktif ternyata lemah juga.

Celine yang merasa cukup dan puas jelas akan mengakhirinya tidak peduli Abidzar sudah keluar atau belum.

Tapi kali ini mereka melakukannya hingga tuntas dan lama yang lebih utama.

Beberapa kali Abidzar memang pernah keluar di dalamnya, tapi itu durasinya sebentar. Kali ini entah kenapa begitu lama menikmatinya.

Abidzar mengulum senyum dan menggendongnya. Membawanya ke kamar dan menurunkannya.

“Mau minum?” Abidzar bergerak menarik koper Celine, membukakannya dan membiarkannya memilih sendiri.

“Iya.” jawab Celine singkat, dia segera memilih pakaian. Tubuhnya menggigil dingin karena terlalu lama di toilet.

Abidzar memakai dulu dalaman dan celananya, sedangkan kaos dia memakainya sambil berjalan keluar untuk mengambil minum.

***

Paginya Abidzar membantu pak Lukman dan lainnya untuk memasangkan lampu jalanan yang mati beberapa.

Tak hanya Abidzar, pemuda lainnya juga turun untuk membenarkannya.

“Semalam jadi gelap,” ujar Bimo— pemuda yang hanya dua tahun di bawah Abidzar.

“Iya, di sinikan dilewatin anak kecil yang pulang dari masjid.” timpal Anwar— seumuran Bimo.

“Mereka katanya pada lari, takut ular sama pocong,” Abidzar masuk ke dalam percakapan sambil mulai memutar lampu baru hingga berhasil menyala.

“Nah, udah semuanya ya?” Pak Lukman pun mematikan lampunya karena sekarang masih pagi.

Mereka berakhir duduk sambil menerima sarapan yang diberikan pak Lukman.

“Bang, istrinya ga bikin onar lagi?” Anwar terkekeh. “Padahal seru, biar hidup ga monoton.” lanjutnya.

“Iya, tadinya mau diajak gabung ke geng kita,” timpal Bimo

“Geng pembuat onar,” tambah pak Lukman sambil menampol pelan belakang kepala anaknya.

“Cuma nyuri mangga sekali,” gumam Bimo.

“Sebulan sekali, apa seminggu atau sehari sekali?!” kesal pak Lukman.

Membuat tawa terdengar di antara mereka. Abidzar bersyukur, mereka tidak membenci Celine karena tingkah nakalnya.

Abidzar makan sarapannya hingga jam 10 pagi barulah pulang. Tidak menyangka akan menjadi banyak orang dan berbincang lama.

Mereka semua bertanya tentang Celine, dan membahas hal lainnya juga.

***

“Hiks.. Gue benci! Hiks gue ga bisa diginiin!”

Abidzar menautkan alis, dia seperti mendengar tangis Celine. Benarkah? Kenapa menangis lagi, bukankah Celine sudah mulai menerima keadaannya di sini.

Bahkan sudah dua hari lulus ujian menuju lebih baik.

“Celine?” panggil Abidzar dengan lembutnya, dia membuka pintu kayu yang sebagian harus diperbaiki karena di makan rayap itu.

Celine menoleh dengan wajah memerah dan basah oleh air mata serta ingus akibat tangisnya.

Abidzar menatap wajah bule itu dengan menahan bibirnya yang berkedut.

Celine tengah mengupas bawang merah. Apakah ibunya yang menyuruh Celine? Kenapa bisa Celine mau dan dimana ibunya?

“Kamu ngapain?” tanyanya lembut sekali, berusaha menelan senyum gelinya. Takut Celine tantrum.

“Gue ga bisa diginiin, kenapa bawang perih ke mata? Gue benci mereka!” amuknya dengan isak dan mata merem melek perih. Tapi tangannya itu masih asyik mengupas bawang.

“Ibu yang suruh?”

Celine mengangguk tapi kemudian menggeleng. “Gue mau lulus hiks mau lulus lagi hari ini, gue pikir bantu ibu di dapur juga hal yang baik, ternyata senyebelin ini mereka bikin gue ga bisa buka mata hiks..” raungnya dengan jengkel. Kesabaran Celine sungguh setipis tissue.

“Yaudah, ga usah. Sini,” Abidzar tidak tega melihatnya.

“Ga! Gue mau lulus lagi hari ini. Mau cepet ke kota lagi hiks.. Kenapa susah banget buka mata,”

“Udah.” Abidzar mengusap wajah Celine, menyeka air mata dan menyeka ingusnya dengan kaosnya.

“Kenapa?” Mimah menyimpan sayuran yang dia titip di bu Dewi. “Celine kenapa? Eh, kenapa semuanya dikupas?” paniknya.

“Kan ibu bilang kupas bawang, ini semua bawang.” Celine merem melek susah membuka matanya yang masih agak perih.

Abidzar menatap lembut Celine yang berani memanggil ibunya ibu tanpa ragu lagi.

“Maksud ibu, bawang yang di mejanya, ga sama semua yang di plastik.” Mimah mengulum senyum, menantunya lucu sekali.

Mimah tidak marah, dia justru merasa senang karena Celine yang menawarkan diri untuk membantunya.

“Udah ga papa, cuci tangannya. Sampai nangis gini mantu ibu,” Mimah usap kepala Celine sekilas. “Gih cuci.”

Abidzar menatap kepergian Celine dengan senyum namun senyumnya luntur saat melihat Celine hanya memakai kaos kebesarannya tanpa celana.

Aduh Celine!

“Celine, aku tunggu di kamar. Ada yang mau aku obrolin.”

***

“Kenapa?” Celine mendekati Abidzar dengan santai, menyeka sisa cuci muka dengan handuk kecil pink miliknya.

Abidzar yang duduk di ujung kasur menatapnya. Celine begitu bercahaya, pantas saja saat kumpulan tadi mereka memuji Celine dan mereka mengatakan bahwa dirinya beruntung.

Mengesampingkan nakalnya Celine. Dia merasa memang beruntung.

“Aku udah pernah bilang,” Abidzar menatap Celine yang berdiri dihadapannya. Dia usap paha yang terpangpang itu. “Jangan ngumbar ini, meski pun di rumah. Bisa aja ada tamu laki-laki yang dateng siapa pun itu.” nasehatnya lembut sekali.

Celine malah tersenyum miring dengan cantik, tatapannya berubah nakal. “Kan biar gampang,” Celine mengangkat kaosnya lalu memunggungi Abidzar.

Dia bergoyang seksi di pangkuan Abidzar dengan nakalnya.

Abidzar menggeleng pelan, menahan pinggang Celine untuk berhenti menggesekannya.

Tangan Abidzar naik, meremas isi dalam bra itu sekilas dengan beraninya. “Istri nakal.” bisiknya lalu mendudukan Celine di sampingnya.

“Aku serius.”

“Gue juga.”

“Celine.” tegurnya lembut.

“Iya, maaf.” balasnya malas.

“Mau lulus lagikan hari ini?” Ngocoks.com

Celine mengangguk sambil menggerayangi perut Abidzar dari dalam kaos. Tidak bisa diam, sungguh nakal.

“Mau main nanti sore?”

Celine mengangguk lalu mengendus leher Abidzar. Mengecupinya. Ini salah satu hiburannya.

“Bantu ibu lagi sana, aku seneng tanpa di suruh kamu mau bantu itu.” Abidzar menghentikan grepean Celine.

Masih siang, diluar ramai dan di rumah ada ibu. Tidak lucu dia atau Celine melakukan itu. Kadang desah kelepasan. Bahaya.

“Ga mau.” Celine sudah terpancing oleh ulahnya sendiri. Dia naik ke pangkuan Abidzar lagi.

“Yaudah, kamu gagal.” bisik lembut Abidzar yang berhasil membuat Celine menjauh dengan kesal.

“Gue acak-acak lagi sawah mereka, gue— gue bantu ibu dulu.” cicitnya di akhir. Dia sungguh ingin berubah dan pindah ke kota.

Oke, sabar dan tahan. Lakukan semuanya dengan tulus.

“Mau cium?” tawar Abidzar pelan dengan tatapan lembutnya.

Celine sontak berlari dan melompat sampai Abidzar terdorong dan terlentang di kasur. Celine menciumnya, meliarkan lidahnya hingga membasahi bibir Abidzar.

Abidzar terkekeh pelan di sela ciuman rakus itu. Celinenya yang liar. Mengobok-obok mulutnya dengan lidah dan decapannya.

Abidzar membiarkannya sesuka hati, dia usap kepala dan punggungnya lembut. Hingga Celine menyudahinya sendiri.

Celine memang tidak punya malu, dan Abidzar yang canggung, kaku, agak gugup pun mulai menerimanya.

Keduanya sama-sama tidak malu sekarang.

Ternyata tidak butuh waktu lama untuk keduanya untuk sampai sejauh itu. Mungkin karena sudah menikah juga?

Bersambung… Celine menatap sepeda di depannya dengan ragu. Sepeda jadul agak berkarat, warna di jok dan bagian lainnya luntur. Apa bisa digunakan?

“Ada kursi anak kecil, mau pakai itu?” awalnya Abidzar becanda, tapi saat di coba kenapa bisa muat. Apa Celine setipis itu?

Abidzar sampai geleng-geleng kepala. Ini sih dia bagai bawa main balita.

“Ketawa aja ga usah ditahan!” ketus Celine sambil mendongak ke belakang, di mana Abidzar tengah duduk mengayuh sepeda.

“Lucu aja, itu kursi kenapa bisa muat. Jangan terus diet, mau sekecil apa, hm? Udah cukup segini, kamu cantik.”

Suara lembut itu lagi. Celine memalingkan wajahnya yang samar merona.

“Gue emang cantik,” Celine kibaskan rambut pirangnya yang wangi karena sudah keramas itu.

“Hm, kamu cantik,”

Celine memilih diam dari pada membuat jantungnya semakin menyebalkan. Untuk apa berdebar sekencang itu coba!

Fokus agar terus lolos dan banyak berbuat baik demi pindah ke kota!

Selama perjalanan, Celine melihat anak-anak kecil usia 5 tahun tengah bermain. Entah apa, yang jelas berlari lalu berjongkok saat hendak di sentuh oleh teman yang mengejarnya.

Suara tawa yang riang.

Saat dia kecil, dia tidak pernah tertawa begitu bahagia bersama teman. Bahkan hingga besar. Hidupnya yang terlahir dari keluarga kaya sungguh membebaninya.

Dia di tuntut untuk sempurna, padahalkan tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Celine melihat para ibu-ibu yang duduk berbincang dengan tawa. Suasana sore yang terbias warna senja terasa begitu hangat.

Udara yang sejuk tanpa polusi.

Celine bagai masuk ke dunia lain. Tidak ada kemewahan di sini, tapi tawa mereka bagi Celine rasanya mahal. Tidak bisa dia beli dengan kemewahan.

Abidzar melirik Celine yang begitu anteng, melihat sekelilingnya. Dia sengaja melakukannya, dia ingin Celine melihat sisi baik dari kesederhanaan.

“Jalan-jalan nak Abi?”

“Iya, bu.”

“Halo, nak Celine.” sapa mereka.

Celine tersenyum walau agak canggung.

Sepeda itu terus melaju pelan, membawa keduanya keliling desa.

“Wih, bulenya kak Abi!” seru remaja laki-laki yang sibuk melambai lalu diikuti kehebohan temannya yang lain.

Celine membeku dengan pipi merona melihat sekumpulan orang itu begitu bahagia bagai menyambut pemimpin negara.

“Dasar kalian, genit!” balas Abidzar dengan tawa pelan tanpa menghentikan goesannya.

Celine mengulum senyum. Dia merasa berdebar dengan suasananya. Siapa pun yang melintas menyapa, tidak mengabaikannya juga. Padahal dia pengacau saat datang ke sini.

Abidzar melihat senyum cantik itu. Misinya berhasil. Itu senyum paling tulus yang dia lihat selama Celine di sini. Bahkan mungkin senyuman pertama yang dia lihat dari Celine.

Biasanya senyum sinis, senyum remeh dan sebagainya.

“Suka?” bisik Abidzar mengalun lembut bagai gelitikan yang sampai ke jantungnya.

Celine mengangguk, menoleh pada Abi dengan senyuman. “Ternyata luas ya,” balasnya.

“Hm, mau jajan?”

“Ha? Emangnya ada warung?” Celine pikir tidak ada.

“Ada, cuma agak jauh aja.” Abidzar membawa sepedanya ke jalan pintas dan sampailah di warung mini serba ada.

Celine menekuk wajahnya saat turun. “Tahu gitu gue bisa beli mie ga tahan lapar waktu itu!” amuknya.

Abidzar mengusap kepala Celine. “Stt.. Jangan sampai ga lulus. Gih beli yang kamu mau, ke sini jauh jadi beli yang banyak ga papa.” lalu Abidzar dorong pelan bahunya agar masuk.

“Bener ya?” serunya senang.

“Iya.” Abidzar tersenyum lembut.

“Ini istrinya nak Abi, cantiknya. Kenalin, ibu Hanum. Mamanya Bimo,” ramahnya.

“O-oh iya, Celine bu,” canggungnya.

Celine merasa seperti bukan dirinya karena bisa membalas sapaanya. Kalau biasanya pasti Celine akan menjawab. Ga usah so akrab dan ramah sama gue!

Abidzar tersenyum lebar mendengar balasan yang mencicit itu. Terdengar bukan Celine. Lucu.

***

Celine memeluk jajanannya. Semua cemilan dan mie. Tidak ada mie kesukaannya tapi tak masalah. Lumayan sedikit mengobati rindunya.

“Suasana malam di sini dingin.” Abidzar jelas sudah mempersiapkannya.

Dia memakai jaket tipis dua dan satu tebal. Yang tebal dia berikan pada Celine tentu saja. Untuk Abidzar dia sudah biasa dengan dinginnya di sini.

“Iya,” Celine bisa melihat asap dingin keluar dari mulutnya. Celine merasa beruntung menuruti Abidzar untuk memakai pakaian serba panjang.

“Dari mana, bi?” teriak Rustan— teman seangkatan Abidzar yang tengah duduk bersama remaja dan para bapak-bapak di serbang sana.

Abidzar menghentikan sepedanya. Celine menatap mereka semua lalu tersenyum tipis. Dia selalu ingat apa yang Abidzar suruh. Untuk tersenyum jika tidak ingin menyapa.

“Eh, ini nganter istri ke warung. Sejak kapan di sini, Rus?” Abidzar bertos ria saat Rustan mendekatinya.

Abidzar hanya menyapa yang lain dan lanjut ngobrol sambil menikmati kopi hangat itu.

Celine melirik teman Abidzar yang melirik ke arahnya beberapa kali itu. Celine memalingkan wajahnya ke depan. Dia menekuk wajahnya risih.

Apa rambut pirang dan kulit putihnya mengundang perhatian seintens itu? Di sini juga ada ibu-ibu berkulit putih!

“Celine, dia Rustan. Teman seangkatan aku, seumuran.”

Celine kembali tersenyum formal, menatap pria yang terlihat tertarik itu. Bukannya geer, Celine sering mengalaminya dan terbukti benar.

Awas saja dia jika macam-macam. Celine tidak akan tergoda. Di sini Abi yang paling baik. Serunya dalam hati dengan sangat yakin.

“Hai, aku denger cuma dari cerita-cerita tetangga.”

“Soal gue pengacau?”

Abidzar mengusap sebelah pinggang Celine, menegurnya dalam diam.

“Iya, katanya lucu desa jadi ramai.”

Celine hanya tersenyum tipis dan tidak merespon lagi. Dia patuh dengan kode Abidzar hingga akhirnya mereka selesai berbincang setelah sekian lama tidak bertemu.

“Kenapa ga ramah lagi?” tanya Abidzar. “Ketus loh tadi kamu,” suara lembut itu terdengar di atas kepala Celine.

Celine mendongak, menatap Abidzar yang masih fokus pada jalanan.

“Jelalatan, lirik-lirik gitu. Risih!”

Abidzar juga sadar dan agak kesal. Makanya dia tidak berbincang lama.

“Dia salah satu yang bahaya di sini, jadi kamu jangan pake pakaian seksi.”

“Terus kalau mau pake gimana?”

“Di kamar aja.”

“Cie buat lo aja gitu?”

“Harusnya emang gitu.”

“Oke, pak suami.” seru Celine dengan usilnya.

Abidzar mengulum senyum. “Peluk cemilannya. Aku kencengin, biar cepet sampe. Dingin.” bisiknya.

“Ntar gue angetin.” Celine kembali mendongak, mengecup dagu Abidzar lalu mengeratkan pegangannya pada cemilan.

“Iya.”

“Maukan? Semua cowok sama aja! Sukanya tuh kehangatan selangkangan cewek-cewek.” gumamnya yang masih Abidzar dengar.

“Aku beda, maunya cuma sama kamu. Istri aku.”

Celine sontak diam. Dia merasa kembali berdebar. Membuatnya menekuk wajah karena jengkel dengan yang terjadi di jantungnya. Ngocoks.com

Abidzar melirik Celine yang diam. Kenapa tidak ada sahutan lagi?

***

“Hari ini kamu lulus lagi.”

Mendengar itu Celine tersenyum senang. Ternyata tidak buruk.

Keduanya masih bertindihan di bawah selimut. Dengan Celine di atasnya.

Celine merebahkan pipinya ke dada bidang Abidzar, menggerakan telunjuknya memutar di kulit Abdizar.

“Sampai kapan?” tanya Celine akhirnya bisa disuarakan.

“Nanti aku kasih tahu.” Abidzar mengusap punggung dan belakang kepala Celine.

Celine selalu menyukainya.

Celine kembali mengangkat tubuhnya dan bergerak lagi.

Abidzar menatapnya lekat. Wajah seksi dan tubuh indahnya itu. Sungguh Abidzar merasa gila.

“Pelan.” Abidzar tidak ingin suara derit kasur dan desah Celine terdengar keluar.

Celine kembali rebahan, Abidzar yang mengambil alih. Memeluknya erat dan bergerak perlahan.

“Udah anget?” bisik Celine.

“Belum.”

“Cih! Mulai doyan!” gumam Celine di sela desah pelannya.

Bersambung… Celine memainkan jambang tipis yang agak kasar itu. “Lo ini sering dicukur?” tanyanya anteng masih rebahan di atas Abidar yang merem melek mulai ngantuk.

“Hm.” jawabnya pelan lembut khasnya.

Abidzar terlihat sayu, menatap Celine yang masih segar. Mengusap rahang atau bibir atasnya.

“Alis lo tebel banget,” komentar Celine sambil menyentuhnya oleh telunjuk. “Sama kayak yang di bawah, lo ga pernah cukur?” lanjutnya santai.

Abidzar tersenyum samar sambil terpejam sejenak. Bisa-bisanya Celine membahas begituan.

“Lo mau bantu cukurin punya gue ga? Udah mulai tumbuh, nusuk-nusukan?”

Astaga Celine. Abidzar masih belum terbiasa dengan segala tingkah Celine yang frontal. Kenapa begitu mudah bagi Celine yang baru mengenalnya belum menyentuh tahun itu.

“Besok ya? Alat cukurnya di koper ada.” Celine menyisir poni Abidzar yang agak lembab bekas suaminya itu cuci muka.

Abidzar yang tengah menatap kesantaian Celine terpejam lagi sesaat. Mencukurnya? Sejauh ini Abidzar hanya berani melihat dan menyentuh sesekali.

Jika mencukur bukankah akan fokus— sudahlah, pikirkan itu nanti. Di pikirkan sekarang hanya membuatnya mengeras.

“Lo juga gue cukur ya?” Celine tersenyum nakal. “Di bawah keras lagi ya?” usilnya.

Bule cantik satu itu! Ck, Abidzar jadi tidak ngantuk lagi dibuatnya. Tapi tidak memaksa untuk lagi. Dia hanya diam, membiarkan Celine memilih.

Lanjut atau berhenti.

“Kamu ga ngantuk?” Abidzar menyelipkan rambut ke telinga Celine, mengusap sisi wajah kirinya sekilas.

Celine menghangat mendengar suara lembutnya itu. Selalu membuatnya nyaman dan di sayang.

Celine merebahkan pipinya ke dada Abidzar, memeluk tubuh besarnya. “Ga, belum.” jawabnya pelan.

Abidzar mengusap rambut pirang Celine yang berantakan di punggung kurusnya.

“Jangan gerak,” Abdizar menahan setiap sisi pinggang Celine. Usil sekali memang. “Ah..” lenguh Abidzar.

Celine malah menenggelamkannya, begitu meremas kuat, ketat dan hangat. Istri nakalnya bergerak pelan.

“Jangan ditahan, cepetin keluarnya.” bisik Celine.

Abidzar peluk semakin erat, mengendus wangi leher dan rambutnya. Celine meraih bibir Abidzar dan melahapnya hingga bengkak basah.

Keduanya menuntaskannya dengan cepat.

“Usap-usap, biar nganguk.” Celine kembali rebahan nyaman tetap di atas tubuh hangat Abidzar.

Abidzar tanpa kata mengabulkannya dan perlahan memindahkannya setelah dipastikan sudah terlelap. Lumayan, pegal juga.

Abidzar mencoba mengalihkan pikiran, menekan gairahnya hingga berhasil dan terlelap.

***

Abidzar menatap Celine yang pagi-pagi kembali tantrum. Dia menyimpan semua barang yang dia beli pesanan Celine dari warung kemarin.

“Kenapa?” Abidzar menarik Celine agar tidak menunjuk-nunjuk orang tua dengan emosi yang meledak begitu.

“Itu, nak Abi. Istri—”

“Dia ngada-ngada, Abi! Jangan didengerin, dia cuma mau uang! Gue ga rusak apapun, ini kaki kotor pun karena gue nolong kucing yang di lempar anak kecil itu,” tunjuk Celine pada segerombolan anak kecil yang tengah bermain di pinggir kali.

Kucingnya bahkan ada di kebun belakang rumah Abidzar. Celine amankan karena anak-anak itu nakal, melemparnya ke lumpur basah.

“Ga sopan ya potong ucapan orang tua!” bentak pak Cepi.

“Kamu masuk,” Abidzar menahan Celine yang akan meledak lagi itu.

“Engga! Dia bohong abi! Dia cuma mau uang aja,”

“SEMBARANGAN! Tuduh orang tua—”

“Orang tua apa! Tipu-tipu!” amuk Celine terus berteriak dan Abidzar terus mendorong lembut Celine untuk masuk.

“Sabar, pak.” Dean menahan ayahnya yang terlihat emosi.

“Abi, gue—”

“Masuk, Celine.” potong Abidzar dengan tetap saja lembut.

Celine terlihat kesal. Kebaikan Abidzar pasti sudah sering dimanfaatkan orangkan?

“Abi!” kesal Celine.

“Aku beresin sama mereka, aku percaya kamu 100 %. Jangan mengundang tetangga, nanti mereka tetep aja pikir kamu yang buat ulah,” jelasnya lembut penuh bius.

Celine menangkap perhatian di dalamnya. Abidzar ada benarnya. Citranya di sinikan buruk.

“Tunggu ya, kalau berhasil ga keluar. Hari ini kamu lulus juga karena patuh sama suami.” dengan lembut dia usap kepala Celine sekilas dan kembali keluar.

Celine menatap punggung Abidzar yang menjauh. Dia terisak kesal, mungkin karena emosi tidak tersalurkan.

Celine yakin, dua manusia itu warga yang tidak baik. Apa mereka akan mengarang cerita dan memeras Abidzar.

Celine tidak akan biarkan itu.

Dia gagal lulus pun tidak peduli. Jika mereka menerima uang, Celine akan cari sawahnya dan benar-benar mengacaknya.

***

Celine menguping dengan kesal. Benar dugaannya. Si tua dan anaknya yang terlihat berantakan itu menipu Abidzar yang dengan mudahnya akan mengganti rugi.

Celine murka!

Untung Mimah sedang di tempat bu Dewi.

“Nak, ada masalah apa?”

Celine tersentak kaget, baru saja dipikirkan. Mimah kini muncul dan masuk ke dalam kamarnya.

“Ibu,” Celine beranjak. “Jangan percaya mereka, mereka ngarang cerita. Ada anak kucing di belakang, di bekas kardus. Itu buktinya,” jelasnya.

“Sebenarnya, pak Cepi memang kurang baik, ibu percaya kamu. Tapi pak Cepi tidak memukul mantu ibukan? Dia terkenal kasar,” bisiknya.

Manusia sampah itu! Ternyata ada yang lebih sampah darinya. Pikir Celine semakin emosi. Dia harus melampiaskannya.

“Dia tuduh berantakin sawahnya, emangnya sawah dia yang mana, bu? Kucing itu di lempar ke sawah yang sebrang rumah kuning di depan sana.” tunjuknya sambil berbisik.

“Sawahnya yang dekat warung, pinggir warung sekali.”

“Warung bu Hanum?”

“Kamu tahu? Oh iya, kemarin pergi bareng Abidzar ya.”

Celine tidak mendengarkan celotehan Mimah lagi. Dia tersenyum samar. Besok habis sawahnya itu. Tekadnya.

“Bu, masalah selesai.” Abidzar melepas jaketnya.

Mimah dan Celine yang duduk di pinggiran kasur menoleh pada Abidzar yang masuk.

“Aku mau bicara sama Celine dulu,”

“Hm, ibu mau ke tempat bu Dewi lagi. Ibu harus jelasin fakta sebenarnya, jangan sampai semua warga lebih percaya pak Cepi dan anaknya.” Mimah terlihat serius dan beranjak pergi untuk melindungi mantunya.

Mimah sudah senang dengan perubahan Celine dan kini mantunya itu di tuduh.

Celine jadi ragu dengan niat buruknya. Mengabaikan Abidzar yang mengamati tubuhnya.

“Ga kena pukulkan? Celine? Celine?”

Celine menatap Abidzar. “Ha?” sahutnya polos lalu berubah kesal saat sadar Abidzar sudah di sampingnya duduk. “Lo kasih dia uang?!” amuknya.

“Yang penting—” Ngocoks.com

“GUE GA LAKUIN ITU! Gue marah sama lo!” dorongnya lalu beranjak pergi.

Abidzar segera mencekalnya. “Maaf aku salah, mau kemana?” tanyanya lembut.

Celine manatap tatapan hangat dan wajah lembut tanpa emosi itu. “Gue ga lakuin!” bibirnya bergetar dengan kedua mata basah. Celine terlihat kesal sekali.

“Aku percaya, tapi mereka bahaya. Lebih baik ngalah aja, uang yang aku—” Abidzar urung menjelaskannya.

Bisa-bisa Celine menduga buruk ketulusan dia, ibunya dan beberapa warga yang memang baik pada Celine.

“Gue ga takut!” bentaknya berderai air mata.

“Tapi aku takut. Takut mereka nekad sakitin kamu,”

Celine yang berdebar mendengarnya memilih memukuli Abidzar sebagai pelampiasan. Bisa-bisanya dia gombal di saat yang tidak tepat.

Padahal Abidzar serius. Dia tidak ingin menikah lagi, tidak ingin menjadi duda dengan cepat.

Dia sungguh tidak ingin ada penghalang di saat Celine hendak menjadi lebih baik.

“Sakit, Celine.” ucapnya lirih, mencoba menangkis tanpa menyakitinya.

“Lo bego! Lo gampang di manfaatin apa lo sadar?!” bentaknya kesal.

“Selagi bermanfaat—”

“Tolol!” amuknya.

“Ga sopan—”

Abidzar memeluk Celine yang terisak kesal itu. Mengusapnya sampai tenang.

Bersambung… Celine pagi-pagi cemberut, rambutnya dibiarkan kusut. Dia anteng memberi anak kucing itu daging ayam yang dia pinta dari Mimah yang kini tengah memasak sewir ayam kesukaan Celine.

“Meng, gimana ya?” gumamnya pelan, terus mengangsurkan sedikit demi sedikit daging itu pada kucing yang mulai kembali segar tidak menggigil dingin karena basah seperti kemarin.

Celine tengah menimang. Apa dia harus mengacaukan sawah pak Cepi atau tidak. Tapi jika tidak dia terus saja kesal, merasa tidak adil.

Pria tua dan anaknya yang terlihat sama-sama penipu itu telah mengambil uang Abidzar sebesar 10 juta.

Celine penasaran, di sawahnya ada apa sampai semahal itu ganti ruginya.

“Argh! Ga bisa!” gumam Celine kesal. Dia masih tetap membantu kucing kecil itu makan.

Celine menggigit bibir bawahnya, dia sudah tidak bisa menahan kesalnya. Hari ini tidak lulus pun dia tidak peduli.

Yang terpenting kesalnya terlampiaskan dan rasa adilnya pun terpuaskan.

“Lagi apa?” Abidzar ikut berjongkok, sebelum menyentuh kucing, dia rapihkan rambut Celine yang sangat berantakan. “Udah cuci muka, sikat gigi, belum?” tanyanya mengalun lembut penuh perhatian.

Celine meliriknya kesal. Dia tidak menjawab, mogok bicara. Dia ingin ngamuk jika membuka mulut.

Abidzar tahu, Celine masih marah soal kemarin. Dia sungguh tidak ingin Celine terlibat masalah.

“Mau jajan?”

Celine terus mengabaikannya. Membuat Abidzar tersiksa ternyata, lebih baik ngamuk dari pada diam.

“Selesai, saatnya tidur.” Celine memasukan kucing itu ke kardus yang sudah di beri kain, lebih tepatnya kaos Abidzar yang dengan pasrah Abidzar tidak larang saat dengan santainya Celine meraih dan menggunakannya tanpa izin.

Celine beranjak, mengabaikan Abidzar seolah suaminya itu tidak ada.

“Baru ibu mau panggil, makan dulu.” ajak Mimah dengan tersenyum senang karena Celine mendekatinya tanpa menolak.

Abidzar menarik kursi untuk Celine namun Celine segera meraih yang dekat Mimah dan duduk.

Mimah melirik Abidzar yang menatap Celine dengan kululuman senyum geli. Sepertinya Celine tengah marah, tapi kenapa dengan senyum Abidzar? Batinnya.

“Makan yang banyak.” Mimah mengusap sekilas kepala Celine.

Membuat Celine menghangat, dia menunduk dan mengangguk pelan. Sungguh tidak melirik Abidzar.

“Ga takut gendut?” celetuk Abidzar setelah melihat anggukan Celine.

Celine tetap diam, benar-benar tidak menganggap Abidzar ada.

***

“Mau ke balai desa?” tanya Celine dengan senyum cerah yang ramah.

Abidzar mengangguk, berhenti mengeringkan rambutnya. Menatap Celine terheran.

Entah kenapa Celine bagai cuaca yang menipu. Cuaca cerah yang tak lama dari itu tiba-tiba badai datang.

Itu hanya perasaannya sajakan?

Bukankah Celine marah? Mogok bicara? Tapi kenapa tiba-tiba tersenyum begitu cerah seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kenapa? Mau ikut?” Abidzar jelas mendekat, duduk di sampingnya.

Celine langsung menabraknya, memeluk dan mencium bibirnya. Bermain main di pipi Abidzar sesuka hati, menjilati rahang dan lehernya.

“Celine?” Abidzar memanggilnya lembut, pasrah saja di serang tiba-tiba.

Celine meraih handuk dan mengambil alih untuk mengeringkan rambut Abidzar. “Engga mau. Pulangnya beliin obat gatel yang waktu itu ya, habis.” pintanya.

“Yang di warung bu Hanum?”

“Iya.” Celine terus menggosok rambut Abidzar yang halus. Rambutnya bagus bagai terawat, tidak kering seperti dirinya. Mungkin karena di warnai.

Abidzar sesekali menatap wajah cerah Celine, membuatnya merasa tak enak hati tapi memilih mengabaikannya.

Mungkin Celine sadar dan ingin lulus lagi hari ini.

Celine mengecup sekilas bibir Abidzar. “Sisir aja, nanti di perjalanan kering.” dia beranjak meraih sisirnya, bukan sisir Abidzar.

Abidzar diam saja ditata rambutnya, bahkan kaosnya pun harus diganti karena warnanya tidak cocok dengan celana. Bertabrakan katanya.

Abidzar mengulum senyum samar. Celine tengah berperan jadi istrinya.

Bahkan mengantarnya hingga pintu depan, tersenyum dengan hangatnya. “Dahh.. Jangan lupa ya,” ujarnya.

Abidzar mengangguk, mengayunkan langkahnya ragu. Sesekali menoleh menatap Celine yang langsung melambai.

“Mungkin hanya perasaan.”

Senyum Celine yang cerah berubah jadi senyum miring. Dia harus memiliki sekutu di desa ini. Tapi pikirkan itu nanti saja. Ngocoks.com

Celine akan fokus bersiap untuk misinya menghancurkan sawah pak Cepi.

Sesampainya di sawah itu, Celine memijat sesekali kakinya yang pegal. Ternyata jalan jauh, dan juga untung saja tidak berpapasan dengan yang kenal atau yang pernah berurusan dengannya.

“Cih! Apaan, tanah sebesar ini, nanam cuma apa nih?” Celine mencabutnya dan menatap buah di bawah daun itu. “Bawang? Sama apa tuh, sayur apa ya itu?” gumamnya.

Celine menggeram kesal. Mereka sungguh menipu! Lihat saja, akan dia hancurkan semuanya.

***

“Bimo, mba.”

“Celine.”

Keduanya bersalaman, saling melempar senyum. Seolah keduanya tengah sepakat bekerja sama.

Celine merasa semesta mempermudahnya. Dia tidak sendirian untuk mengacau di sawah yang cukup luas itu.

“Pakai maskernya! Jangan sampai ada orang tahu,” perintah Celine.

“Siap, mba!” serunya dengan pipi merona. Dia berdebar melihat Celine. Begitu cantik bercahaya. Andai saja dia tidak memiliki suami.

Bimo sungguh terbius oleh kecantikannya sampai mau saja menjadi sekutu. Entah mungkin dia memang nakal juga di desa ini.

“Satu.. Dua.. Tiga…” Celine dengan riang gembira penuh kepuasan mencabuti semuanya, bahkan ada beberapa padi yang di tanam pun dia cabuti.

Kata Bimo itu sawah pak Cepi juga.

Untung sawahnya berada di belakang warung bu Hanum, di belakang rumah warga juga. Sungguh semesta baik membuatnya bisa balas dendam.

Hingga lelah membuat keduanya duduk berteduh dengan penuh lumpur, begitu lusuh.

Bimo kembali terpana, Celine bagai dewi portuna. Tidak ada lusuh-lusuhnya sama sekali di matanya.

Celine melirik bocil pendek yang membantunya itu. Dia tersenyum senang, akhirnya punya sekutu yang sejalan di desa ini.

Jika kelak ada yang meremehkan Abi, Celine akan bertindak meminta bantuannya.

Tapi, tunggu! Kenapa dia melakukan ini?

Celine panik, dia menyudahi minumnya. Dia bergeras membersihkan diri di air terjun kecil itu dan pamit.

“Gue gila kayaknya!” gumam Celine selama perjalanan.

“Dari mana?”

“ARGH!” jerit Celine saat tiba-tiba suara Abidzar menyapanya, baru saja masuk ke dalam pintu rumah.

Abidzar menatap dari atas ke bawah. Perasaannya tidak enak, saat pulang Celine tidak ada dan kebetulan Celine datang. Ternyata benar, Celine baru selesai melakukan sesuatu.

“Kamu rusak sawah pak Cepi?” tebak Abidzar, tetap mengusap wajah Celine yang ada setitik lumpur kering.

Abidzar dengan tenang dan tatapan lembutnya, membuat Celine merasa tak enak. Merasa bersalah walau puas dengan apa yang dilakukannya. Entahlah, semua campur aduk.

Bersambung… “Kamu bikin ulah di mana?” Abidzar meraih jemari Celine dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah.

“Aku, main aja. Beli ini.” Celine mengangkat satu botol minuman yang habis setengahnya itu.

“Uang dari mana?” Abidar tahu, Celine tidak dibekali uang, kartu dan semuanya disita agar Celine tidak kabur.

Celine kicep sejenak.

“Kenapa tanya-tanya sih! Kepo, udah ah minggir!” kesalnya sambil menyingkirkan Abidzar agar tidak menghalanginya.

“Kamu jadi kasar lagi, hari ini—”

“Gagal? Bodo amat!” potongnya ketus.

Alis Abidzar menyatu samar, kenapa Celine kembali seperti saat pertama bertemu.

“Celine,” panggil Abidzar lembut, mengekorinya yang ke kamar.

Celine mencoba menghindar, dia membuka koper. “Mau mandi, cukurin!” putusnya sebagai peralihan.

“Cukur?” dan Abidzar pun ngeh. Mereka pernah membahas itu. “Tapi—”

“Mau bantu ga?!” nada suara Celine kembali meninggi. Sebenarnya Celine panik Abidzar membahas lagi dari mana dia keluar tadi.

“Suaranya, Celine.” tegurnya lembut, tangannya terulur mengusap kepala Celine sama lembut.

Celine menepisnya pelan. “Maaf.” ucapnya singkat lalu beranjak dengan handuk dan dalaman.

“Ga papa,” Abidzar tersenyum tipis, tatapannya yang penuh kelembutan kembali membuat Celine agak aneh.

“Eh lupa, alat cukurnya.” Celine kembali berjongkok. “Apa di sini aja cukurinnya?” dia mendongak menatap Abidzar.

Abidzar terdiam sebentar. Telinganya begitu merah. Dia mengusap tengkuknya sekilas, agak gimana ya. Dia memang pernah melihat dan menyentuhnya tapi mencukurnya?

Oh astaga. Bagai rindunya Dilan, Berat.

“Terserah kamu.” Abidzar mengalah saja, tidak ingin Celine kembali mogok bicara.

***

Abidzar menyeka peluhnya, mungkin ini siang bolong. Ibunya bahkan belum pulang dari acara kumpulan ibu-ibu desa yang memang diadakan sebulan sekali itu.

Abidzar kembali fokus, mencukurnya perlahan sekali. Telinganya seperti akan meledak rasanya.

Celine begitu cantik.

Abidzar mengoleskan obat bening itu lagi dan kembali mendekatkan alat cukur. Dia terlihat fokus di antara kaki Celine yang terbuka.

Celine bagai bocah tidak punya malu hanya makan cemilan, rebahan santai di atas kasur.

Abidzar membenarkan plastik yang menjadi penampung hasil dari cukuran itu. “Angkat sedikit.” perintahnya.

Celine mengabulkannya, membiarkan Abidzar membenarkan penghalang agar tidak mengenai kasur itu.

“Udah.”

Celine kembali asyik, suara kriuk-kriuk mengisi keheningan. Dia sesekali melirik Abidzar yang begitu serius.

“Mau jilat?” tanya Celine usil dengan mulut penuh cemilan, menatap Abidzar menggodanya.

“Aku lagi fokus, pisau cukurnya tajam.” Abidzar bersuara pelan, terlihat kembali fokus hingga selesai.

“Gantian,” Celine menjilati jemarinya yang penuh bumbu cemilan itu.

Abidzar menatapnya lekat, apa Celine sengaja bertingkah begitu? Itu bahaya jika laki-laki lain melihatnya.

“Ga usah, aku—”

“Mau! Jangan nolak!” tegas Celine agak terdengar sedikit merengek.

“Iya.” Abidzar kembali mengalah.

Lihat? Celine sungguh kesal. Abidzar memang mudah dimanfaatkan. Mending oleh dirinya, istrinya. Lah si pak tua itu orang lain!

Abidzar menurunkan celananya lalu memejamkan mata pasrah. Celine melihat betapa keras miliknya.

“Wuuu.. Keras kayak kehidupan!”

Abidzar terkekeh pelan mendengar seruan istri nakalnya itu. Sungguh tidak menyangka akan melakukan hal itu.

“Abi.”

“hm?”

Celine begitu kecil, kedua kaki Abidzar sampai bisa memeluknya yang tengah anteng dengan tugasnya mencukur itu.

“Ga jadi.” Celine tadinya akan jujur soal sawah pak Cepi. Tapi nanti juga Abidzar pasti akan tahu sendiri.

Celine akan menikmati moment ini dulu.

“Mau apa?” tanya Abidzar sambil menatap Celine yang menunduk fokus itu.

“Pulanglah! Ke kota!” semprotnya.

Abidzar tersenyum. “Kamunya udah baik belum? Hari ini malah rusakin sawah pak Cepi.” balasnya.

Celine berhenti mengolesi obat cukur agar tidak iritasi itu. Dia mendongak menatap Abidzar.

“Tahu dari mana?”

Senyum Abidzar lenyap. “Padahal aku cuma tebak aja.” jawabnya lembut lalu duduk hingga berhadapan dengan Celine.

Mati gue!

Celine pikir memang tahu. Pada akhirnya dia sendiri yang memberitahu.

“Maaf.” refleks Celine lalu mengecup pelan bibir Abidzar. “Gue kesel, biar adil aja. Dia udah terima uangnya,” lalu menggerutu kesal.

Abidzar mengusap kepala Celine, tidak marah sama sekali. “Semoga ga akan terjadi apa-apa. Ke depannya jangan pergi sendirian, takutnya anak pak Cepi nekad ajak orang buat jahatin kamu.” jelasnya begitu penuh perhatian. “Aku cuma mau kita hidup damai, ibu sama kamu ga ada yang ganggu.” lanjutnya kian lembut.

Bagai suami yang sangat sayang pada istrinya.

“Abi,” panggil Celine pelan sekali. Tatapannya berkilat menyesal. Dia melihat kilat cemas di kedua mata Abidzar. Terlihat tulus dan baru pertama kalinya semenjak ibunya tiada.

“Hm?”

Celine segera menyadarkan dirinya. Dia tidak ingin terhanyut dengan suara lembut penuh perhatian itu. Dia takut seperti kejadian ibunya. Dia terluka parah setelah ditinggalkan.

“Berhenti bahas lagi. Tiduran, cepet!” dorongnya hingga Abidzar terlentang lagi.

Celine menekuk wajahnya. Dia tidak menyesal, dia puas dengan apa yang dilakukannya. Terus saja menepis.

“Aku seneng kamu berubah dan beberapa hari lulus, tapi kenapa hari ini kamu ga bisa tahan. Padahal kamu boleh marah atau pukul aku sebagai pelampiasan.”

Celine kembali merasa terganggu. Dia memilih menyelesaikannya tanpa usil mengocok atau mengulumnya.

Celine membersihkan alat itu dengan tissue lalu mendorong Abidzar yang hendak bangun karena tahu selesai.

“Eh?” Abidzar menahan tubuh Celine yang secepat kilat mengukungnya. “Kenapa nangis?” tanyanya.

“Gue kesel! Gue bilang ga lakuin hal itu, dengan lo kasih mereka uang tandanya lo lebih percaya mereka, emang setakut apa mereka sampai—”

“Celine.” panggil Abidzar lembut, membuat emosinya terjeda.

Celine sungguh tidak peka dan paham. Bagaimana ya dia harus menjelaskannya.

“Gue kesel lo kenapa baik sih? Lo kenapa mau dimanfaatin? Kenapa lo ga pernah emosi? Bikin gue jengkel!” raungnya kesal dengan berderai air mata. “Gue udah bikin kalian malu! Kenapa malah bikin gue ga nyaman karena respon kalian!” amuknya lagi.

“Celine.” Abidzar membalik Celine dengan lembut, dia yang kini mengukungnya. “Kalau kita baik, kita harap kamu juga berbuat baik ke kita. Itu harapan kita.” jawabnya.

“Terus kalau engga kunjung baik?” tanyanya kesal dengan masih saja bercucuran air mata saking kesal.

“Kita percaya, suatu hari nanti itu pasti ada. Di mana kamu bisa lebih baik lagi, menghargai hal-hal kecil,—” Abidzar begitu lembut menjelaskannya.

Sampai Celine tidak bisa menyela atau mendebatnya.

“Gue juga mau, lo jangan cuma iya-iya aja! Lo harus bisa nolak!”

“Aku usahain,”

“Ga mau! Harus iya,”

“Iya.”

“Tuhkan! Iya lagi!” amuk Celine lalu menggigit bibir bawah Abidzar sampai mengaduh.

“Aduhh shh..” Abidzar mengusap kepala Celine, membiarkan bibirnya itu digigit-gigit kesal.

Celine menjilat bekas gigitannya lalu memasukan lidahnya dan mengabsen jajaran gigi Abidzar yang rapih.

“Shh..” Ngocoks.com

“Abi,” panggil Celine setelah menghentikan kenakalan lidahnya. “Mau,” lalu menatap kedua mata lembut Abidzar.

“Siang-siang gini?”

Celine mengangguk, membelitkan lengannya di leher Abidzar sampai tubuh keduanya bertindihan rapat.

“Iya, ayo.” Abidzar tersenyum.

“Tuhkan iya lagi!”

“Soal ini mana bisa aku nolak,” bisik Abidzar membuat hidung mereka bersentuhan.

Celine mendengus. “Bukain dulu,” dia tidak nyaman jika masih ada kain yang melekat.

Abidzar pun menurutinya, membukanya penuh perhatian tanpa tergesa oleh dorongan yang sudah dia tahan itu.

Abidzar tersenyum, mengecup perut ratanya sekali lalu memeluknya lagi. Keduanya mulai berciuman. Sama aktif.

***

Abidzar menyelimuti Celine setelah memakaikannya celana. Dia tidak mengganggu Celine untuk lanjut istirahat.

Abidzar memutuskan keluar, ibunya masih belum pulang dan langkahnya terus terayun hingga menatap luar rumah.

Abidzar menunggu orang yang dekat dengan warung bu Hanum, berharap orang itu memberitahu apakah pak Cepi mengeluh sawahnya rusak.

“Bim, Bimo!” panggil Abidzar pada Bimo yang tengah bersepeda. “Sini sebentar.” lanjutnya.

Bersambung… Celine duduk sendirian di depan rumah Abidzar yang masih belum modern itu. Berbahan kayu yang sederhana, bahkan yang dia duduki pun berbahan kayu.

Anak-anak kecil terlihat tertawa riang di ujung jalan sana, ada seperti pertunjukan sederhana dari monyet kecil yang dipakaikan pakaian dan payung.

Celine beranjak, berdiri menatap itu. Dia tidak salah lihatkan? Itu monyet. Tak hanya anak kecil, beberapa ibu-ibu juga menekenikmatan anak mereka.

Seruan dan tawa terdengar disetiap pergerakan monyet itu. Celine ingin melihatnya tapi dia tidak berani.

Dia pun kembali duduk, menunggu Abidzar yang mengantarkan Mimah menggunakan sepeda, entah sejauh apa. Yang jelas lama.

Celine merasa bosan menunggu di dalam rumah saja. Dan takut juga.

Tatapan Celine berpindah pada sawah di depan yang begitu luas. Di desa ini rumah memang belum penuh dan padat, tapi di samping rumah Abidzar semua rumah, di kiri kebun luas sampai ke belakang rumah.

Rumah itu berjajar di satu sisi jalan dan depannya disuguhkan sawah dan jika malam tiba, di depan sana itu gelap. Hanya cahaya lampu jalan yang menerangi.

Celine juga belum pernah keluar lebih dari jam 7 malam. Keluar pun sekali bersama Abidzar saat jajan di warung.

Apakah bulan menerangi desa yang belum tersentuh ponsel ini?

“Istrinya nak Abi, sedang apa?” tanya ibu-ibu yang sepertinya baru selesai dari kebun.

Celine tersenyum tipis agak canggung. “Nunggu Abi, b-bu.” jawabnya. Dia sungguh tidak biasa dengan keramahan itu.

“Oh gitu, mari.”

“Iya.” Celine jadi ikut mangut lalu menatap kepergiannya.

Mereka semua sungguh tidak membencinya? Hebat sekali, padahal masalah saat awal dia datang tidaklah masalah sepele.

“Abi!” seru Celine refleks berdiri dan berjalan ke pinggir jalanan. “ARHHH! BEBEK!” jerit Celine dengan tubuh tersentak kaget saat berpapasan dengan bebek dan anak-anaknya yang melenggang santai.

Abidzar tersenyum tipis, menyimpan sepedanya di pinggir lalu menghampiri Celine yang jelas melesat masuk ke dalam rumah.

“Udah lewat, ga ada.” Abidzar melepas jaketnya lalu mengamati wajah Celine. “Sejak kapan di luar? Cuaca lagi dingin,” dia sentuh kening lalu pipi Celine agak kaget.

Celine bagai hampir membeku. Tanpa menggunakan jaket dan celana panjang jelas saja akan dingin.

“Tangan kamu sampai dingin begini,” Abidzar menuju dapur, menuangkan segelas air hangat.

Celine mencoba menerima perhatian itu, mengabaikan perut dan ginjalnya yang berkedut agak geli, mana berdebar.

“Aku suruh di dalem, kenapa di luar,” suaranya mengalun lembut sambil membelitkan selimut tipis di tubuh Celine.

“Di dalem enak, maksudnya.. Ck! Cuma—”

“Abidzar!” panggil seseorang lalu mengetuk pintu.

“Sebentar.” Abidzar berjalan segera dan membuka pintu.

***

“Bantu bapak, nak. Pak Cepi bilang kamu sedang banyak uang, bahkan bagi-bagi—”

“Maaf memotong, pak. Abikan udah ga kerja lagi, ga banyak uang kok, tapi ya cukup. Pak Cepi waktu itu uang ganti rugi, uang yang harusnya untuk biaya beberapa bulan Abi dan istri,” Abidzar jelas tidak ingin Celine mendengar soal bagi-bagi uang itu.

Celine duduk santai dengan memeluk cemilan, dia menatap dan mengamati pria tua lusuh itu dengan terang-terangan.

Apa dia akan memanfaatkan kebaikan Abidzar? Lalu Celine menatap Abidzar. Apakah dia akan iya saja dan meminjamkan uang.

“Biaya yang pak Ali butuhkan berapa kalau boleh Abi tahu,”

“5 juta kurang lebih, nak. Bapak akan bayar jika hasil panen terjual, bantu bapak, nak..”

Abi melirik Celine. “Abi boleh diskusi sama istri dulu, pak? Nanti jika ada Abi antarkan,” lalu tersenyum.

Pak Ali pun tidak memaksa. Dia akan menunggu kabar dari Abidzar, semoga bisa dipinjamkan karena dia sungguh butuh, tidak seperti Cepi yang sebagian besarnya untuk judi ayam bersama anaknya.

***

“Gimana menurut kamu?” Abidzar menatap Celine.

Celine memberikan cemilannya pada Abidzar yang langsung meraih dan menyimpannya.

“Mana gue tahu, lo yang punya uang, kenal bapak tadi juga,” Celine meminum air beberapa teguk.

“Kasih jangan? Pak Ali sejauh ini aku kenal, dia baik. Ga mungkin manfaatin suami kamu,”

Celine berdehem. “Ya udah, kasih aja. Tapi bentar, lo kok punya banyak uang?” selidiknya, memicing curiga.

“Aku pernah kerja, berhenti karena nikahin kamu.” Abidzar beranjak sambil mengacak puncak rambut Celine gemas. “Nanti kalau kamu udah berubah, ga ada niat kabur aku kasih uang,” bisiknya sebelum pergi ke kamar.

Abidzar bergerak menuju tempat yang dia isi dengan uang dan beberapa berkas itu.

Celine merapihkan rambutnya, mendengus lalu mengulum senyum samar. Kenapa membuatnya ingin senyum ya? Lagi-lagi berdebar.

Abidzar menyiapkan uang itu, lebih dulu makan karena lapar sambil menyuapi Celine lalu ke toilet.

Tak lama Abidzar kembali keluar. “Mau ikut? Pakai jaket sama celana panjang, di luar dingin.” perintahnya lembut.

Celine mengangguk dan segera mempersiapkan diri lalu duduk santai dengan Abidzar menggoes sepeda.

“Pak Ali tadi rumahnya jauh?” tanya Celine sambil sesekali melihat beberapa ayam dan bebek yang mereka lewati.

“Lumayan,”

“Dia jalan kaki, kasihan.” ceplosnya tanpa sadar.

Abidzar tersenyum mendengarnya. Celine mulai ada simpati. Tidak egois, itu bagus. Perlahan Celine pasti akan menunjukan diri aslinya.

Celine hanya terbungkus duri dari lukanya, sebenarnya dia baik. Entah pergaulan atau luka yang membuatnya begitu. Abidzar yakin, pilihan ayahnya pasti akan baik untuknya kelak.

“Abi, padahal beli kendaraan, terus jadiin uang, bukannya jauh ya dari sini ke kota, lumayan.” ujar Celine asal ceplos lagi, dia anteng menikmati terpaan dingin yang sejuk, melewati beberapa kebun, lalu kembali melihat rumah warga.

Celine beberapa bulan di sini sungguh dimanjakan dengan warna hijau alam.

“Iya, nanti kalau kamu udah ga ada niat kabur.”

Celine mendengus menanggapinya, dia melihat anak kecil yang main di lapangan luas itu. Terlihat bebas dan seru.

Ini yang kedua kalinya dia melihat itu. Hingga laju sepeda membawanya ke tempat baru, begitu berbelok dan jalannya hanya bisa dilewati sepeda motor maksimal.

Celine hanya memasang senyum, Abidzar yang begitu ramah membalas sapaan mereka tanpa menghentikan laju, hanya memelankannya saja.

“Social butterfly,” gumam Celine.

“Hm?” sahut Abidzar tidak terlalu mendengar.

Celine mendongak, mengusap sekilas rahang Abidzar. “Engga.” lalu kembali menatap depan.

Mendapatkan perlakuan selembut barusan membuat Abidzar melebarkan senyuman. Dia kini dibuat berdebar lagi. Perasaannya menghangat.

***

“Gila, udaranya.” Celine sampai bisa melihat asap keluar dari mulutnya.

Mungkin karena langit mulai gelap.

“Abi,”

“Hm?” Abidzar menghentikan goesannya dan menepi di warung yang bukan warung bu Hanum.

“Pak Ayub.” sapa Abidzar lalu menatap Celine. “Turun dulu, beli yang anget.” ujarnya sambil membantu Celine turun.

“Ini istrinya nak Abi, cantik sekali. Bule ternyata,”

Celine tersenyum tipis. Dia bukan bule, hanya penampilannya saja. Batin Celine. Namun menahannya, demi menjadi lebih baik dan sopan. Di depannya orang tua.

“Celine, pak. Celine ini pak Ayub,”

Setelah itu Abidzar memesan teh hangat kenikmatans dan beberapa pisang goreng, tempe goreng.

“Apa masih jauh?” Celine memepet Abidzar saat melihat ada ayam di ujung warung yang bisa saja ke sini.

Abidzar mengangkat sedikit Celine agar duduk di kursi panjang berbahan kayu agak tinggi itu.

“Angkat kakinya, ayam ga akan naik.”

Celine menatap Abidzar, ternyata peka juga..

“Rumahnya ga terlalu jauh dari sini, kita angetin badan dulu.” Abidzar menarik resleting hingga leher Celine tertutup.

***

“Ini pisang goreng, makan aja. Satu ga bikin kamu gemuk,” Abidzar menatap keraguan dari wajah Celine.

Abidzar heran, kenapa harus sekurus itu. Istrinya itu bukan model juga. Ngocoks.com

Celine menggigit kecil, enak juga. Segigit lagi dan pada akhirnya memakan dua. Celine langsung melamun.

Abidzar tertawa pelan. “Kenapa? Ga papa, pinter abisin dua.” diusap kepala Celine. “Minum tehnya,” dia angsurkan.

Celine meminumnya, merem melek nikmat. Hangat sekali, tangannya yang kebas mulai menghangat.

Abidzar juga asyik memakan sisa gorengan dan teh kenikmatans hangatnya. Dia menyapa beberapa kenalan dan mengenalkan Celine.

Celine menatap sekitar, semakin malam udara memang dingin, tapi mereka banyak yang keluar dan menyapa atau berbincang hangat.

Celine anteng mengamati kesederhanaan itu, mereka tidak memakai tas mewah, memamerkan kekayaan, jabatan, hanya bercanda ria menikmati secangkir teh kenikmatans hangat dan bermacam makanan goreng.

Anak kecil hingga orang tua berbaur, duduk di kursi luas di samping Celine. Dia kadang ikut tertawa dengan celetukan lucu.

“Senyum kamu cantik.”

Celine sontak menatap Abidzar lalu menekuk kesal agak salah tingkah. “Ayo! Saatnya lanjut!” sebalnya.

Di jalanan yang gelap, Abidzar terkejut sampai menepikan sepeda. Celine mengecup bibirnya sekilas.

“Bikin aku kaget,” Abidzar tersenyum dan melanjutkan goesannya.

Celine bersandar pada Abidzar. “Jalan-jalannya jadi romantis.” celetuknya.

Ternyata tidak buruk. Ini pertama kalinya merasakan perasaan ini. Rasanya jadi indah.

Bersambung… “Sampe.” Abidzar membantu Celine turun dulu lalu memarkirkan sepeda. Dia dekati Celine lagi, membenarkan jaketnya. “Yuk.” ajaknya sambil membukakan gerbang dari kayu itu.

Celine masuk ke dalam pekarangan rumah yang berbahan kayu itu. Terlihat tua namun tanah yang dipijaknya bersih, terlihat seperti selalu di bersihkan. Tidak ada daun kering satu pun.

“Nak Abi?!” pak Ali membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Dia berharap kabar baik yang Abidzar bawa.

Dia kali ini sungguh butuh.

“Iya, pak. Ini Abi, udah selesai ngobrol dan istri kasih izin, jadi kemari.”

Celine menatap Abidzar. Padahal dia tidak sepenuhnya berpengaruh, itu hak Abidzar yang memiliki uangnya.

“Terima kasih, nak Celine.” pak Ali segera meraih sebelah tangan Celine yang dingin. “Terima kasih, nak.” ulangnya.

“Ayo. Masuk.” tambah pak Ali saat merasakan jemari Celine dingin.

Celine merasa lega pria tua itu hanya menyentuh tangannya tidak lama. membuatnya tidak nyaman.

“Ayo, ga papa.” Abidzar menatap jemari tangannya yang di genggam Celine.

“Jan lama!” kesalnya.

“Iya.” jawabnya lembut sambil menahan pintu kayu yang berderit saat dibuka itu.

Celine melepas sandal guccinya yang lusuh. Dia menatap isi rumah sederhana ini, sungguh pengalaman baru. Rumahnya seperti akan roboh.

Ternyata rumah Abidzar yang baginya sederhana ada yang lebih sederhana lagi, lantainya masih tanah tanpa semen, tapi anehnya di dalam hangat.

Apa karena lampu-lampu yang bagai lilin itu?

“Rumahnya tidak bagus, maaf juga cuma bisa menyuguhkan air putih,” ujar ibu-ibu kurus yang lemah lembut namun cantik. Positif sekali auranya.

“Ga papa, bu.” Abidzar tersenyum hangat sambil menuntun Celine untuk duduk dengan lembut.

Celine memilih bungkam, dia tidak ingin salah bicara. Dia cukup pedas dan jujur jiga bersuara. Rumah ini sungguh tidak pernah Celine bayangkan ada.

Langit-langitnya ada yang sobek.

Celine ternyata salah menilai. Dia pikir pak Ali sama jahat seperti pak Cepi. Ternyata pak Ali memang perlu dibantu.

Abidzar berbincang sebentar lalu menyerahkan uang yang dibutuhkan pak Ali. Kedua pasang suami istri yang berumur itu begitu terharu.

Terus berterima kasih tak henti dengan kedua mata memerah, bahkan istrinya menangis merasa terbantu.

“Jangan sungkan, nak. Datang jika ingin jagung, singkong,”

Celine tersenyum tipis. Merasa canggung tapi juga ada setitik rasa bangga pada dirinya entah kenapa. Padahal dia hanya berkata ya dengan asal. Tidak tahu reaksi mereka seperti itu.

Keputusannya membawa kebahagiaan bagi mereka.

Celine menoleh saat kepalanya di usap. “Ayo, kita pulang udah mulai malam.” ajaknya.

***

Celine masih diam di bonceng Abidzar melewati jalan-jalan gelap hingga terang. Mereka akan pulang.

Celine menggigil pelan. Cuacanya sungguh dingin. Padahal punggungnya sudah persandar pada Abidzar.

“Dingin?” Abidzar memelankan goesannya. Dia mulai mencari warung untuk menghangatkan badan.

“Hm.” Celine menatap warung di depan sana. “Ternyata cukup banyak warung, tapi jauh.” gumamnya.

“Hm? Apa?”

“Ga.” Celine mengusap wajahnya yang terasa dingin sekali.

Abidzar menepikan sepedanya. “Tadi apa?” tanyanya lembut, mengintip wajah Celine.

Celine balas menatap. “Ternyata banyak warung tapi jauh, budeg!” jawabnya.

Abidzar mencubit bibirnya sekilas. “Ga boleh gitu, ayo turun.” setiap sisi jemari Abidzar berada di ketiak Celine, mengangkatnya hingga berhasil turun.

“Pengantin baru mau kemana malam-malam,”

“Dari rumah pak Ali, pak mau pulang. Pesan teh kenikmatans hangat ya pak,”

“Sama goreng pisang.” celetuk Celine yang membuat keduanya menoleh menatapnya, membuat Celine gelagapan. “Kenapa? Ga boleh?!” kesal Celine pada Abidzar.

“Boleh dong,” kata pak Azis.

“Boleh.” Abidzar tersenyum, membalas genggaman tangan Celine. Ternyata Celine itu menyukai sentuhan. Pantas berani dari awal memulai.

“Istrinya ajak duduk di sebelah, nak Abi, ada api unggun kecil biar hangat.” ujar bu Isna— istri pak Azis yang tengah membuat beberapa gorengan hangat.

“Baik, bu. Warungnya tutup jam 10 ya sekarang, ga 24 jam lagi?”

“Udah ga sanggup, nak. Udah tua.” pak Azis terkekeh.

***

“Mau lagi!” Celine juga merasa aneh kenapa jadi lapar terus, mungkin karena dingin?

“Yang mana?” tanya Abidzar lembut, tatapannya berbinar senang melihat Celine tidak pemilih.

“Mau yang kedelai,”

Abidzar menahan kedut di bibirnya. Mungkin maksud Celine itu gorengan tempe. Abidzar juga suka, apalagi hangat.

“Siap.” Abidzar mengusap minyak di bibir bawah Celine lalu beranjak.

Celine melanjutkan sisa makanannya, dia tidak peduli lagi tentang diet, gemuk dan apapun itu. Perutnya akan berubah menjadi karet yang bisa menampung apapun.

Tak lama Abidzar datang. Celine tersenyum cerah, ternyata begini rasanya menikmati makanan tanpa berpikir kalori.

Abidzar sampai terpesona melihat senyum tulus yang terkesan polos itu. Celine mulai melepas topeng angkuhnya.

“Mau yang pisang,”

“Katanya kedelai,” Abidzar rasanya kenyang melihat Celine makan. “Suka pisang ternyata,” lanjutnya.

Celine mendekatkan wajahnya ke wajah Abidzar sampai Abidzar menjauh kaget. “Suka punya lo juga.” lalu tersenyum menyebalkan dan segera makan lagi dengan kepanasan. “Huaa.. Hanas..” Celine merasa bodoh karena terlalu semangat menumpuk lemak.

Abidzar segera memasukan dua jemari mulut Celine, mengeluarkan pisang goreng panas itu.

“Ihh! Ngapain?!” amuk Celine.

“Stt.. Udah malem,” tegur Abidzar lalu meniup gorengan bekas gigitan Celine.

“Jorok! Ga mau!” Celine pun meniup pisang goreng di atas kertas polos itu, mulai menggigitnya lagi.

Abidzar memasukannya ke dalam mulut lalu mengunyahnya santai. Celine berhenti mengunyah melihat itu.

“Ga jijik?”

Abidzar hanya tersenyum lembut disela kunyahannya.

***

Abidzar menatap Celine yang memeluk dan terus merapat padanya. Tidur Celine begitu nyenyak.

“Apa dingin?” gumam Abidzra sambil membenarkan selimut di kaki Celine hingga atasnya lalu kembali memeluknya lagi.

Hangatnya punya istri. Apalagi hari ini Celine mulai menunjukan rasa nyaman tinggal di sini, mulai akrab dengan Mimah bagai ibu dan anak.

Mimah tidak selayu saat awal-awal Celine datang. Abidzar senang.

Dia pun memilih tidur.

Hingga pagi tiba, Abidzar mengernyit dan membuka matanya. Celine tidak ada di samping tapi di bawah sana seperti dihisap.

Abidzar membuka selimut dan Celine tengah anteng menikmati lolipopnya di pagi hari yang bahkan matahari belum muncul. Ngocoks.com

“Gue bosen.”

Abidzar tertawa pelan sekali sambil mengusap wajah. Sudah tidak terkejut lagi, jika Celine bosan pasti akan ke arah sana. Tapi, dia suka.

“Jadi mau apa?” tanya Abidzar lembut nan serak khas bangun tidur.

Celine merangkak hingga duduk di perut Abidzar. Tanpa memakai apapun.

“Kenapa ga pake apa-apa?” Abidzar bertanya pelan walau agak kaget. Pemandangan yang sungguh indah.

“Mau mandi tapi airnya kayak air es.” Celine mendekatkan bukitnya ke mulut Abidzar, menekan-nekannya.

Abidzar merem melek menerima keempukannya yang sesekali menindih wajahnya.

Hingga hap, Abidzar menangkap puncaknya dan segera menghisapnya.

“Ah..”

“Stt..”

Celine memberengut sebal. “Jarinya mainin!” dia raih pergelangan tangan Abidzar hingga telapaknya nemplok di sebelah bukitnya.

Abidzar tentu saja tidak keberatan menanggapi Celine yang selalu memulai dan mau. Itu lebih nyaman dibanding dia yang mulai tapi Celine tidak nyaman.

Abidzar terkejut samar melihat Celine setengah duduk di wajahnya, memperlihatkannya. Ini posisi yang panas sekali.

Celine pernah melakukannya dulu tanpa perasaan, tapi entah kenapa kini pipinya merona melihat wajah Abidzar yang sedikit kaget itu. Membuatnya berdebar.

Bersambung… Celine terlihat tidak terlalu berisik meringis jijik dan sebagainya. Dia ikut turun ke sawah yang katanya itu peninggalan dari mendiang ayah Abidzar.

Abidzar hanya akan mengosongkan sawah, kelak membangun rumah atau kontrakan. Rencana awalnya sebelum menikah begitu.

Tapi semenjak menikah, dia tidak bisa fokus mengurus rencananya hingga berakhir terabaikan dan semalam Celine bertanya, apa dia punya sawah atau tidak mengingat banyak orang pergi ke sawah. Jadi, Celine pikir semua orang punya termaksud Abidzar.

Abidzar pun menceritakan rencana yang terlupakan itu.

Dan pada akhirnya Celine ingin menanan buah-buahan, sayuran dan semacamnya. Tiba-tiba meminta hal itu.

Abidzar tidak bisa menolak. Apalagi itu kebaikan. Siapa sangka Celine yang mau duluan memiliki sawah dan turun ke sawah juga.

“Ini bener istrinya Abidzar?” tanya Abidzar menggoda Celine yang kesusahan mencangkul tanah dengan sekop kecil.

Celine menoleh. “Maaf, anda salah.” jawabnya lalu mendengus. Lucu. Dia berkeringat, terus mencokel tanah.

Abidzar tertawa pelan. “Nanti kalau kamu tanam di sini, setiap hari harus ke sawah, ga papa?” tanyanya lembut sekali.

Celine terdiam. “Ga masalah, gue tipe yang susah item kulitnya. Udah berjemur di pantai balik lagi kayak gini.” jawabnya.

“Bukan soal itu, nanti capek, kotor-kotoran terus.”

“Ga papa.” Celine menatap Abidzar. “Kan nanti lo yang mandiin,” lalu mengedipkan sebelah matanya nakal.

“Kamu bener.”

Keduanya tertawa pelan. Abidzar sampai tidak berkedip menatap Celine. Istrinya sungguh ingin memperbaiki hidupnya. Memiliki niat ingin berubah saja membuat Abidzar sangat senang.

“Celine.”

“Hm?” Celine menoleh sekilas sebelum fokus membuat lubang di tanah lagi.

“Kamu ga sendirian sekarang.”

Celine kembali menoleh, terdiam sejenak. Agak tersentuh mendengarnya.

“Iya tahu, kan ada suami yang tytydnya enak.” lagi-lagi mengedipkan sebelah mata genit dengan lidah terjulur menjilat bibirnya sendiri.

“Sstt! Nanti ada yang denger!” tegur Abidzar agak kaget namun diakhiri tawa pelan.

Dasar Celine-Celine!

***

Abidzar membersihkan gubug yang sering di pakai beberapa petani di sekitar sawahnya itu, sudah lama dia tidak duduk di sini.

7 tahun yang lalu mungkin. Sebelum ayahnya sakit-sakitan.

“Udah bersih, sini duduk.” ajak Abidzar. “Kita tunggu ibu bawa makan siang kita.” lanjutnya sambil menatap wajah Celine yang memerah.

Memang dasar bule. Terlihat jelas memerahnya, Abidzar yakin jika dirinya juga merah tapi tidak terlihat sejelas Celine.

“Panas ya,” Abidzar melepas topi Celine, memperlihatkan poninya basah sekali. Dia kipaskan topi itu.

“Haa.. Enak, Abi.” desahnya yang membuat Abidzar agak salting saking terdengar tak asing.

Abidzar mengulum senyum, dirinya sendiri sudah mulai tercemar.

“Ibu.” Celine tersenyum, berbinar dengan apa yang dibawa Mimah ke gubug di pinggir sawah mendiang ayah Abidzar itu.

“Udah nunggu lama?” Mimah segera naik dan mulai membuka tempat makanan bertingkat itu.

Celine merasa takjub dengan banyaknya makanan yang bisa ditampung di satu wadah itu.

“Engga, baru duduk, ibu.” jawab Celine.

Abidzar mengulum senyum. Sudah beberapa hari semenjak saat itu Celine menjadi bawel. Dia selalu menjawab, semakin akrab dengan ibunya.

Abidzar sungguh senang dengan perubahannya.

“Makan apa siang ini, bu?” Abidzar ikut masuk ke dalam obrolan dua perempuan yang paling ingin dia jaga itu.

“Tumis kangkung, tempe, tahu sama ini ada paha ayam buat mantu ibu, kamu ga kebagian!” tegasnya pura-pura lalu tertawa pelan.

Abidzar tahu hanya bercanda, masih ada dua paha ayam goreng lagi yang pastinya untuk dia dan Mimah.

“Makasih, bu.” Celine menerima piringnya dan makan semuanya. Tidak memikirkan kalori, nasi dan semuanya enak.

Ini namanya menikmati hidup. Tidak peduli apa yang dipakainya jadi jelek, toh Abidzar akan menerimanya.

“Pelan makannya.” Abidzar menyeka satu biji nasi di pipi Celine.

“Hehe, lapar.” cengirnya dengan mulut penuh. Dia mengunyah hingga habis lalu menunjuk ke sawah. “Tuh, gue beresin sebesar itu sendirian loh. Tenaga berasa abis,” keluhnya lebay lalu menggigit daging ayam yang rasanya enak sekali. Berbeda dengan ayam yang sering dia makan.

Abidzar akan bicarakan saat mereka berdua nanti. Soal lo-gue yang terkesan kurang sopan terdengarnya.

***

“Semangat! Nanti dikasih jat— ups!” hampir keceplosan mana di sawah samping ada petani juga.

Abidzar menggeleng samar. Ada-ada saja tingkahnya itu. Dia terus menyingkirkan rumpit liar. Demi sang istri yang tiba-tiba ingin bertani.

Lucu sekali. Dia menjadi petani yang paling cantik selama Abidzar hidup. Membuatnya berdebar saja.

“Ibu, apa Abidzar pernah punya pacar?” tanyanya sambil menatap Mimah yang mengusap-usap lengannya dan kadang memijatnya.

Padahal Celine tidak memintanya, dia hanya mengeluh lengan pegal.

“Ibu kurang tahu, Abi ga pernah pulang bawa perempun. Deket pun sama Jasmin waktu kecil, mungkin Abi juga udah tahu ada jodoh, udah tahu dijodohin sama kamu,”

“Abi tahu? Apa dari lama perjodohannya?”

Mimah mengangguk. “Dari Abi sd kelas 3 udah ngobrol walau diselingi candaan, tapi kayaknya setelah besar dia tahu itu serius.” jelasnya.

“Lagi apa sih? Bisik-bisik, aku ga di ajak?” tanya Abidzar dengan senyuman lembutnya yang khas.

“Sorry, kita ga satu geng ya.. Huss..”

Mimah hanya tersenyum hangat, menatap perubahan Celine dengan sama senangnya. Ke depannya pasti akan baik-baik saja.

***

“Ayo, mandiin!” seru Celine.

Abidzar sontak mencari keberadaan ibunya yang belum menyusul ke rumah. Paling masih ngobrol dengan ibu-ibu yang berpapasan.

“Sst.. Ga baik, nanti ibu denger.” tegurnya lembut.

“Emangnya salah? Udah suami istri juga..” dumelnya sambil melepas celana begitu saja.

“Di dalem bukanya, Celine.” tegur Abidzar sambil menyeretnya lembut ke dalam toilet. Agak sedikit mengangkatnya.

“Bukain!” Celine mengangkat kedua tangannya.

Abidzar membantunya tanpa berdebat, menanggalkan semuanya. Telinganya kembali merah, tidak pernah tidak memerah. Ngocoks.com

“Giliran.” Celine mendekat, melepaskan semua yang melekat di Abidzar.

“Celine,”

“Hm?”

“Aku kamu ya, jangan lo-gue biar didengernya sopan di depan ibu,” Abidzar usap rambut Celine sekilas.

“Ga mau!”

Abidzar tidak mendebat, dan tidak membahas lagi. Dia sibuk memandikan bayi besarnya yang nakal balas grepe-grepe dan tidak bisa diam itu.

Hingga percintaan pun tidak terlewatkan.

“Kencengin, lo kurang kenceng,” pinta Celine pelan nan lirih gelisah.

“Aku-kamu dulu, coba ya?” bisiknya sambil sengaja semakin pelan. Padahal dia tahu, Celine sepertinya akan sampai.

“Ga mau.”

Abidzar tidak menjawab lagi, dia hanya terus memelankannya.

“Ck! Iya, aku mau. Pelan-pelan nanti biasain!” kesal Celine berbisik. “Kencengin, Abi.” mohonnya dengan lirih seksi.

“Nanti kamu sakit,”

“Ga papa.”

Ternyata tanam menanam bersama Abi enak. Batin Celine. Di sawah atau di saat melakukan itu tetap diperhatikan, penuh kasih sayang.

Bersambung… “Kayak begituan di depan orang banyak, ganti pasangan, ciuman sama orang asing, mabuk, pake obat gue ennga ya. Setiap hari kayak gitu di tempat itu,” jelas Celine yang tengah rebahan berbantalkan lengan Abi.

Keduanya tengah menikmati waktu setelah percintaan panas.

“Kalau pindah ke kota nanti, jangan ke tempat itu lagi ya,” pinta Abidzar dengan suara lembutnya. “Kan udah punya suami, ga bisa sebebas mereka lagi.” dia usap sisi wajah Celine sekilas.

Celine mengangguk santai. “Tenang aja, gue udah maksudnya aku udah ketagihan dan suka banget sama tytyd ini.” Celine usap celana Abidzar dengan tatapan genitnya.

Abidzar menahan segera lengan Celine. Bahaya, jika dia ingin bisa menahan, tapi jika Celine yang ingin tidak akan bisa ditunda.

Bisa saja ibu datang sebentar lagi, jadi mending ngobrol saja. Mereka soalnya lebih sering bercinta dari pada ngobrol.

“Aku serius, jangan ya..”

Celine mengangguk, ndusel pada Abidzar yang segera mengeratkan pelukannya tanpa canggung lagi.

“Istri baik, hari ini lulus.”

“Mana hadiahnya?” Celine mendongak. “Gue maksudnya aku mau ada hadiahnya,” tegasnya agak merengek.

“Mau apa?”

“Ke warung bu Hanum?”

“Boleh, sekarang?”

“Iya, ayo!”

“Cium dulu,” Abidzar tertawa pelan melihat eksspresi yag di pasang Celine.

Dia merasa heran, seperti itu bukan Abidzar sekali, suara mintanya saja lembut tidak genit, tapi Celine mendekat, menabrakan bibirnya lembut.

***

“Ontel seberat ini?” Celine ingin mencoba sepeda Abidzar. Dia tidak bisa menggoesnya. “Oh astaga! Haaaa, susah banget,” gerutunya.

“Sini, aku aja. Kamu belum terbiasa.” Abidzar memegang sepedanya, membiarkan Celine turun dari jok tinggi itu.

“Lo kuat ternyata,” tatapan Celine kembali genit, lidahnya terjulur menjilat bibir, ucapannya jelas banyak makna.

Abidzar terpejam sekilas dengan mengulum senyum. Celine dengan tingkah seksi menggodanya begitu nakal.

Pasti banyak pria yang tertarik padanya. Abidzar akan terus berusaha menjadikan Celine begitu hanya padanya saja.

“Aku-kamu, kok lo lagi.” tegur Abidzar lembut.

“Ups, iya sorry.” Celine naik ke kursi yang sudah sering dia pakai itu. “Hah, kayak anak kecil,” kesalnya pelan.

Abidzar hanya mengulum senyum samar tanpa membalas.

“Haii..”

“Hallo,”

Celine begitu aktif menyapa, dengan logat bule yang sudah lama Celine tinggalkan.

“Who are you?” ejeknya pada dua anak kecil yang Celine ingat kmut mendorongnya, anak kecil 5 waktu itu. “You ugly,” kesalnya lucu.

“Sombong amat!” seru salah satu anak-anak bocil itu. “So inggris, Huuuu..”

“Hah! Gue emang sering pake, norak!” teriaknya sampai menoleh ke belakang karena Abidzar tidak menghentikan sepedanya.

Abidzar menggeleng samar. Kenapa dia melihat mereka seperti seumuran. Lucu sekali.

“Wah, gue pengen jitak mereka!” kesalnya.

“Sabar, keselnya di tahan.”

Celine sontak mendongak kesal. Benar, dia harus sabar.

***

“Gue ga bisa gini terus, Abi.” Celine begitu serius.

Wajah Celine yang bule dengan rambut pirang yang berantakan tertiup angin tetap saja cantik.

Abidzar sampai terpesona menatapnya.

“Kenapa? Mana aku-kamunya?”

Celine menatapnya kesal. Kenapa aku kamu selalu saja menjadi masalah.

“Aku gila, Abi. Kenapa terus mau makan gorengan? Kenapa ga bisa berhenti didua gigitan aja?” lirihnya begitu lebay lucu di mata Abidzar.

“Mau makan yang lain? Ada mie ayam,”

Wajah Celine berubah datar. Abidzar sontak was-was, apa Celine marah?

“Kenapa ga bilang ada mie ayam? Kenapa ga ada menunya di sini!” Celine menatap warung bu Mimah yang serba ada itu. “Mau satu.” lanjutnya.

Dasar Celine.

Dan Celine begitu banyak makan, perutnya sungguh mulai bisa menampung semua makanan itu.

“Lemak, astaga lemak!” keluh Celine lagi sambil mengusap perutnya yang masih rata.

“Mau olah raga?” tawar Abidzar yang anteng menggoes sepeda, membawa Celine pulang.

“Olah raga enak?” Celine mendongak.

“Itu sih, terserah kamu aku suka juga. Maksudnya olah raga lari, aku biasanya sendirian waktu kamu masih tidur, kalau mau kita lari sama-sama.”

***

Celine bergetar halus, dia baru saja menikmati setruman Abidzar. Lemas dalam kenikmatan yang selalu membuatnya puas.

Sungguh Milik Abidzar yang paling baik. Mr. P the best.

“Besok mau ikut olah raga,” celetuk Celine seraya berubah menjadi terlentang dan Abidzar kembali menekannya dalam. “Ah!” lenguhnya pelan tertahan dengan begitu keenakan.

“Boleh.” Abidzar tersenyum di depan wajah memerah dengan tatapan sayu itu.

Celine tidak membalas lagi, dia sibuk memelankan desahnya. Malam ini Abidzar dan dirinya mengisi waktu dengan saling mengisi.

Keintiman yang membuat keduanya mulai terbiasa tanpa canggung lagi. Mulai saling menerima, saling membutuhkan.

Awal dari debaran yang tak salah. Keduanya sudah tepat. Jatuh cinta dengan terikat tali suci pernikahan.

“Dalem banget astaga!” gumam Celine dengan terengah gelisah.

Abidzar sudah tahu apa yang disukai Celine. Apa yang akan membuatnya puas.

Abidzar hanya ciuman saja sudah puas sebenarnya mengingat hubungan mereka yang tidak pernah terbayangkan akan sejauh ini.

“Emh.” lenguh Celine di sela ciuman basahnya dengan Abidzar.

Celine mulai terbiasa dengan Abidzar yang dominan dan rasanya selalu menakjubkan.

“Ogh!” keduanya menahan desah yang hampir serambi lempitik saat gelombang besar akan datang menghempas mereka pada nikmat yang dicari. Ngocoks.com

“Di dalem.” bisik Celine dengan meremas bahu Abidzar.

Abidzar terus bergerak kuat, mengeratkan pelukannya dan menggeram panjang di bahu kiri Celine.

Keduanya bergetar lemas dalam kepuasan lalu berciuman mesra, tetap berpelukan.

***

“Kapan benih tanamannya datang? Ga sabar tanam ke sawah,” Celine memakai sepatu yang untungnya ada satu dia bawa di koper.

“Katanya dua hari lagi datang,” Abidzar membantu mengikat sepatu Celine yang satunya.

Celine tersenyum samar melihat itu. Dia sungguh diratukan oleh pria yang menjadi suaminya itu.

Tidak ada alasan untuk tidak menerima segala perhatian itu. Mungkin sudah waktunya dia kembali hidup di saat masa lalu membuatnya merasa mati.

Celine mengecup pipi Abidzar sekilas sebagai tanda terima kasih.

“Jangan di tempat umum, ga baik, Celine.” Abidzar mengusap puncak kepala Celine sambil celingukan, untung tidak ada orang yang melihatnya.

“Iya.” sebal Celine lalu pasrah saat di bawa masuk ke rumah lagi. Dia bingung lalu mengerjap kaget saat bibirnya di kecup.

“Kalau lagi di rumah aja ya,” ujar Abidzar dengan senyuman.

Celine pun urung kesal. Dia malah berdebar. Ck! Abidzar mulai berani ya!

Mau lagiiii..

Bersambung… Glen menatap potret anaknya yang tengah berada di sawah. Terlihat dekil namun cantik bagai mendiang sang istri. Senyum di bibir Glen terbit walau tipis.

Ingatannya kembali ke masa itu. Di mana dia kehilangan belahan jiwanya.

Glen tidak tahu caranya membesarkan anak perempuan. Dia terlalu sibuk bekerja sampai memilih mengirim Celine ke neneknya saking nakal di sini.

Hingga tak terasa, anaknya menjadi perempuan yang begitu tidak terkendali sampai ibunya menyerah dengan cucu perempuan satu-satunya itu.

Dan dari situ Glen mulai memikirkan masa depannya dengan serius. Celine sudah berada diusia yang pantas menikah. Jodoh pun sudah dia siapkan lama.

“Gustav,” panggilnya.

Gustav yang tengah membedah dokumen jelas menoleh pada ayahnya yang hanya duduk dengan segelas teh herbal kesukaannya.

“Kita nikahkan Celine, dia terlalu boros dan hidup dengan tidak beraturan di sana.”

“Jangan langsung, yah. Bawa dulu kesini, kita coba perlahan kasih dia arah, kalau susah diatur kita kirim ke jodohnya di desa itu.”

“Kamu bener.”

Keduanya terus membahas hingga mengadakan pertemuan dengan calon Celine dulu sebelum menjemput Celine pulang.

Gustav dan Glen pergi ke negara di mana Abidzar bekerja. Di sana pria baik itu menyambut hangat.

Gustav sebagai pria dan kakak dari Celine langsung merestui. Di matanya Abidzar baik, bisa di percaya. Instingnya mungkin juga berperan.

Setelah pertemuan hari itu, Abidzar menyetujui karena bagaimana pun mendiang ayahnya yang membuat perjodohan itu.

Tapi Abidzar meminta waktu untuk menghabiskan kontrak kerjanya dulu baru menikahi Celine dan akan menjaganya di desa.

Mendengar itu Glen lega. Tidak ada penolakan walau Glen maupun Gustav menjelaskan semua tingkah Celine setelah mendiang ibunya meninggal.

Adik perempuannya itu berubah sangat drastis bagai orang baru. Gustav berusaha mencari apa yang terlewatkan sampai Celine berubah.

Namun sampai Celine menikah, Gustav masih belum di buka ingatannya. Kenapa Celine sampai begitu.

Karena di sibukan pekerjaan membuat Gustav maupun Glen tidak bisa terlalu fokus pada Celine dibuatnya.

Hingga satu tahun lamanya Celine diurus Glen, dia menyerah bahkan Gustav yang mempekerjakan satu pengawal pun menyerah.

Pengawal itu sampai di rawat karena digoda adiknya lalu saat tergiur oleh sentuhan, adiknya itu memukul kepalanya dengan botol wine.

Gustav sungguh kecewa, adik kecil yang dia sayangi menjadi liar dan sebebas itu.

Dan Glen pun ke desa. Melihat bagaimana kehidupan mendiang sahabatnya di sana. Cukup sederhana dan sepertinya tempat yang bagus untuk Celine belajar banyak di sana bersama suaminya.

“Abi, ternyata sudah ada di sini?” Glen memeluk calon menantunya itu.

“Iya, yah. Baru seminggu, tadinya mau langsung ke tempat ayah tapikan harus rahasia dulu, jadi Abi tunggu di sini, maaf juga tidak telepon karena di sini susah sinyal, ke kota jauh dan Kebetulan Abi baru sembuh dari sakit,”

“Ayah maklum, sakit kelelahankah?” Abidzar mengangguk dengan senyum sopan. “Semoga selalu sehat,” Balas Glen lalu tersenyum pada Dewi. “Gimana kabarnya, wi?” tanyanya sambil bersalaman.

“Sehat, Glen. Sudah lama ya, terakhir itu kita bertemu saat pemakaman,” Dewi tersenyum dengan kedua mata sendu.

Dia akan selalu sedih melihat Glen. Sahabat suaminya. Mereka bagai anak kembar, bersahabat dari kecil dan terpisah saat besar karena cita-cita.

Glen juga di desa ini hanya pindahan saat itu. Dia cucu dari mendiang bu Wati yang menjadi orang terkaya di desa ini.

Malaikat bagi desa ini.

Makanya saat Celine datang, sekesal apapun mereka yang kenal dari generasi bu Wati jelas kembali merasa terbantu.

Dengan pupuk gratis yang diberi Glen, tak hanya soal pupuk. Glen berjanji akan selalu memberikan uang 50rb setiap minggu ke semua yang ada di desa sebagai upaya untuk menitipkan anak gadisnya yang pasti merepotkan mereka.

3 kali Glen datang ke desa itu, berusaha menitipkan Celine sekaligus menikahkannya dengan Abidzar yang hanya dihadiri keluarga terdekat tanpa adanya Celine. Semua rahasia karena jika Celine tahu, bisa kabur dia.

***

“Apa Celine akan baik-baik saja.” Glen mematap anaknya yang meronta di gendongan Abidzar suaminya.

Dia selalu merasa gagal, dorongan semangat entah apapun itu rasanya tidak masuk pada Celine. Semakin di nasehati, semakin liar dia.

Padahal Glen tidak maksud membandingkannya dengan Gustav. Niatnya hanya ingin Celine semakin semangat, tidak malas dan hanya sibuk belanja hal sia-sia.

Entahlah, dia hanya orang tua yang penuh dengan kesalahan. Dia akui itu. Celine begitu juga pasti karena ulahnya yang entah apa, terlalu banyak kesalahan.

Glen hanya berdoa agar anaknya sehat dan bahagia. Mungkin hidup anaknya akan lebih baik dengan suaminya, tidak dengannya atau kakaknya.

“Abidzar akan bikin Celine kembali, ayah. Aku yakin, kerasnya Celine pasti akan luluh oleh kelembutan Abidzar.”

Glen terisak tanpa suara. Dia salah, dia sangat mengakui itu. Dia gagal menepati janjinya untuk menjaga anaknya. Dia salah mendidik Celine.

Gustav pura-pura tidak melihat itu. Dia hanya diam menatap jalanan yang hanya dipenuhi kebun itu.

Sambil mengenang mendiang ibunya. Jika lelah Gustav hanya butuh pelukan ibunya, tapi sekarang tidak bisa dia dapatkan.

***

“Dia keterlaluan,” Gustav menatap potret dari hasil jepretan orang suruhan yang setiap minggu haru melapor itu.

Kekacauan yang Celine buat. Gustav sampai heran dengan informasi yang dia dapat soal Abidzar.

Bagaimana bisa dia sesabar itu. Jika Gustav ada di posiai Abidzar, dia akan segera memulangkannya Celine.

“Kabar Celine?” Gustav muncul, meraih satu persatu semua foto yang ada di meja kerja miliknya yang kini di pakai Gustav.

“Masih jadi biang masalah, yah.”

Glen menghela nafas panjang. “Kirimkan beberapa kebutuhan pertanian, beri mereka uang juga. Minggu ini belum,” perintahnya.

Gustav mengangguk kecil, terlihat lelah oleh pekerjaan yang tidak ada habisnya. Dia harap Celine segera paham, tidak membuatnya mengeluarkan uang banyak untuk hidupnya.

“Mantu ayah memang baik,”

“Dia obat buat kerasnya Celine, kita ga akan sanggup. Yang ada hanya bertengkar setiap hari,”

“Kita masih belum bisa berkunjung?” tanya Glen.

“Ga akan bisa, yah. Dia pasti benci kita, nanti aja. Tunggu Celine bisa paham tentang banyak hal. Saat ini Abidzar lagi berusaha soal itu.”

***

“Jadi strawberry yang kenikmatans ya, gue udah puji kalian!” Celine tengah asyik di lahan kecil yang dia minta untuk menanam strawberry.

Abidzar mengulum senyum. Celine begitu patuh. Dia bilang pada istrinya itu, jika menanam sesuatu harus pakai perasaan. Tumbuhan juga bisa mendengar. Jadi kalau mau subur puji terus.

“Dah anak-anak,” Celine beranjak walau penuh keluhan karena kesemutan.

Abidzar ikut berdiri dengan mengulum senyum geli. Bahkan kini benih itu menjadi anak-anaknya? Dasar lucu.

“Mau makan dulu atau lanjut tanam tomat?”

“Lanjut dong, gue masih semangat!” Celine membentuk lengannya yang kurus seolah berotot.

“Keren,” puji Abidzar sambil mengusap punggung Celine sekilas dan meraih cangkul.

“Mba Celine!” sapa Bimo yang kini menepi dengan sepedanya itu.

“Haiiii, Bim!” seru Celine.

“Kalian kenal?” Abidzar memicing jenaka kearah keduanya. Padahal sudah tahu, mereka itu pelaku dari rusaknya sawah pak Cepi.

“O-oh.. Kita, yess.. Kenal, ketemu di depan rumah, dia baik jadi kenalan,” jelas Celine heboh agak salah tingkah yang membuat Bimo lega. Ngocoks.com

Kalau Abidzar tahu dan melapor pada ayahnya jelas berabe. Bisa di potong uang bulanannya.

“Jangan terlalu deket ya kalian, aku cemburu.” Abidzar mengulum senyum saat mendengar Bimo berseru merinding dan Celine menganga agak geli menggelitik di ginjalnya.

“Aku serius.” bisik Abidzar di depan wajah Celine, begitu lembut.

Membuat Celine menahan nafas, perutnya kenapa geli.

“Mau di toilet atau kamar?” bisik Celine sebagai balasan. Sebagai bujukan agar tidak cemburu?

Abidzar tertawa pelan, lalu mengulum senyum. “Kamar aja,” bisiknya.

“Oke, tahu enak aja. Tenang aja.”

Abidzar menggigit bibir bawahnya, dia ingin memeluk Celine gemas tapi dia sedang berada di luar dan banyak orang juga yang tengah di sawah.

***

“Eh?” Abidzar agak terkesiap saat menutup pintu kamar, Celine begitu lahap melahap bibirnya. “Tunggu, sabar.” dia menjauhkan wajahnya.

“Nanti bisa berdarah bibirnya, pelan aja.” lanjut Abidzar. Dia memang harus terbiasa dengan gairah Celine yang sangat tinggi.

“Ga papa,” Celine berjinjit dan segera meraih bibirnya lagi.

Abidzar pun menggendong Celine agar tidak sakit leher. Keduanya berciuman. Langkah kaki Abidzar terayun mendekati kasur dan perlahan sekali, merebahkannya.

“Ga lelah?” Abidzar tidak masalah tidak malam ini pun. Mungkin Celine ingin menepati ucapannya saat di sawah.

“Mau, ga kuat.” lirihnya sendu seksi.

“Kita minggu ini setiap hari pasti lakuin, kamu kuat ya..” suara Abidzar selalu mengalun lembut.

“Mau begadang sampai pagi?” Celine menantang, mungkin dia lupa pernah K.O oleh Abidzar.

Abidzar menelan ludah. Begadang dengan wanita secantik Celine? Itu hal luar biasa menggiurkan.

Bersambung… “Abi!” seru Celine terlihat senang. Dia kembali berada di sawah mendiang ayah Abi yang kini mulai di tanami beberapa bibit sayuran atau buah-buahan.

Abidzar yang tengah menyimpan air hangat dalam termos di tempat istirahat itu menoleh, menatap Celine yang sudah turun sendirian di sawah tanpa menunggunya.

“Abi sini!” Celine melambaikan tangannya sambil berjingkrak kecil. “Wah, udah tumbuh walau kecil,” senangnya.

Ini pengalaman pertama dia menanam sesuatu. Ternyata seru juga, ada rasa bangga dan senang melihat benih yang ditanamnya tumbuh.

“Iya, sebentar ya.” sahut Abidzar lembut seperti biasa.

Abidzar menyimpan semua yang dia bawa di sana, merapihkannya lalu mendekati Celine yang terlihat senang.

“Ini liat,” tunjuk Celine dengan terharu.

Abidzar mengulum senyum, padahal baru muncul kecil sekali.

“Wah, kamu pinter nanam ya,” Abidzar mengusap kepala Celine sekilas. “Ga gagal loh, hebat.” pujinya.

Celine semakin tersenyum cerah, dia jadi ingin terus menanam yang lain.

“Saatnya kita siram pake obat biar makin subur tanahnya,” Abidzar mulai bersiap.

Celine begitu serius mengikuti perintah Abidzar, mungkin karena sore juga jadi Celine menikmatinya tidak kepanasan.

“Nah segitu cukup, pinter.” diusap lagi kepala Celine.

Celine kembali tersenyum dan terus melakukannya dengan baik walau sebenarnya ada kesalahan, tapi Abidzar tidak menegur dulu karena melihat mood Celine sedang baik.

Ke depannya, saat Celine benar-benar bisa menerimanya baru Abidzar akan lebih sering memberinya nasehat jika salah.

***

“Iya, satu senti, ibu. Senengnya,” curhat Celine dengan begitu bawel. “Terus ada yang dua senti juga, yakan Abi?”

“Iya.” lalu Abidzar tersenyum lembut.

Celine bukannya makan malah terus menceritakan kegiatannya dan apa yang dia temukan di sawah.

Mimah dan Abidzar mendengarkannya dengan fokus. Celine merasa didengar kali ini, membuatnya ingin terus bercerita.

“Koin ternyata, aku pikir itu emas,” Celine cemberut mengingat apa yang dia temukan saat menggali. “Aku kaget ada uang koin warna emas,” lanjutnya.

Mimah menggeleng samar. Memang serba mewah sampai Celine tidak tahu ada koin kuning 500 rupiah.

“Kamu lucu, heboh banget sampai mbah Yuyu sama Nek Lastri deketin Celine karena teriak emas-emas,” tambah Abidzar dengan tawa pelan.

Celine mendengus sebal. “Iya, mereka ngetawain. Malu banget!” kesalnya.

“Tapikan jadi tahu, ada loh uang pecahan 500 rupiah,” Mimah mengusap lengan Celine sekilas. “Makan dulu, nanti dingin ga enak.” lanjutnya. Ngocoks.com

Celine pun mengangguk dan memakan makanan Mimah dengan lahap.

Abidzar terus menatap Celine, mengunyah pun tetap menatap Celine. Istrinya yang membuat Abidzar berdebar. Cantik sekali.

Abidzar semakin tertarik belakangan ini. Banyak sisi ceria dan manja yang Celine tunjukan selama sering bermain di sawah.

Mimah menatap Abidzar lalu tersenyum samar. Anaknya itu terlihat sedang jatuh cinta. Dia lega karena cinta Abidzar tidak salah, tepat karena pada istrinya sendiri.

***

Abidzar menyamping, menatap Celine yang mulai semakin menunjukan dirinya yang asli. Bawel tidak berhenti menyuarakan kata-kata.

“Liat, perutnya.” Celine mencapit lemak di perutnya. Dua minggu makan nasi rasanya perut jadi buncit, mana malam sering ngemil jajanan yang dibeli dari bu Hanum.

Abidzar malah salah fokus ke kedua bukit Celine. Istrinya itu sedang tidak memakai apa-apa karena mereka baru selesai bercinta.

“Abi,”

“Ya?”

“Ga jadi.” Celine sebenarnya ingin bertanya, apa kakak dan ayah membuangnya begitu saja? Kenapa tidak ada kabar mereka mencari.

Jika pun berkunjung, Celine memaksa pulangkan bisa pakai cara pemaksaan, di kurung atau di tahan sama Abi.

“Dingin, selimutnya pake.” Abidzar menarik selimut dan menutupi tubuh Celin hingga seleher.

Abidzar mengerjap tanpa mencegah saat Celine merosot masuk ke dalam selimut lalu menggenggam sesuatu yang membuat Abidzar mengetatkan rahang dan terpejam sejenak.

Suara kecupan terdengar samar. Selimut yang dipakainya dan Celine mulai bergerak mengikuti gerakan Celine.

Abidzar mengerang halus, pelan sekali. Nafasnya memberat dan beberapa kali menelan ludah.

Abidzar usap kepala di dalam selimut itu, membiarkannya sampai rasanya dia akan lepas namun Celine menyudahinya, dia kembali naik.

“Haaa.. Eum,” Celine bertingkah seolah baru selesai makanan yang enak.

Abidzar tertawa pelan, nafasnya yang memberat mulai normal. Dia mendekat, mengusap tengkuk Celine lalu mendaratkan ciuman mesra.

Keduanya kembali memulai sesi kedua dengan Abidzar yang memulai. Bergantian karena saat pertama Celinelah yang berkuasa.

Abidzar sudah mulai melahap para bukit, bermain lama bahkan sampai Celine berhasil pelepasan.

“Wah, jago juga Haa..” Celine melemas suka.

***

Celine terus mengontrol sawahnya. Berinteraksi dengan beberapa tetangga yang mulai akrab, kadang Bimo juga membantu.

Celine mulai merasa tidak sendirian lagi di dunia. Beberapa orang mulai ingin berinteraksi dengannya.

Celine teramat senang walau kebanyakan ibu-ibu, bapak-bapak, nenek dan kakek-kakek. Di sini para perempuan seusianya sedang berada di kota bekerja katanya, semua orang akan berkumpul saat hari raya saja.

Hingga hari itu datang, dimana Celine merasa teramat sedih dan marah. Semua tanamannya habis dicabuti, sawahnya berantakan.

“Hiks ini karma.” Celine tidak bisa menahan tangis kecewanya. “Anak-anak gue.” dia raih tanaman strawberry yang hancur itu.

Padahal tidak lama lagi akan segera berbuah.

Abidzar segera memeluk Celine. Menenangkannya..

“Siapa ya yang begini,” mbah Yuyu merasa kasihan, dia tahu perjalanan Celine menanam karena sawahnya berdekatan. “Sudah, nanti mbah bantu tanam lagi,”

Mendengar itu tangis Celine kian pecah. Dia marah juga sedih.

“Karma, Abi. Ini karma.” isak Celine di pelukan Abidzar.

“Sstt.. Nanti kita tanam di depan rumah mau? Atau di belakang rumah sambil urus kucing kita,”

Celine mengangguk. Dia sangat ingin strawberry yang langsung di petik di tanamannya.

“Sudah, nanti bantu mbah panen tomat ya, tomatnya masih hijau sekarang,”

Celine menatap mbah-mbah ramah itu. Tua kurus namun terlihat masih kuat. Celine mengangguk.

***

Celine masih sedih, membuat percintaan kali ini agak kurang fokus. Padahal Celine yang mau duluan seperti biasanya.

Celine hanya telungkup merem melek, merasakan dalam dan kuatnya hentakan di sana.

“Ah..” Celine kembali bergetar halus.

Abidzar berhenti, memeluk Celine sambil menatap wajahnya dari samping itu. Keduanya sama terengah.

“Masih Haa.. Masih sedih?” Abidzar mengusap rambutnya sayang.

“Sedih banget, ternyata mereka gini mungkin ya. Berjuang susah payah tanam terus aku cabutin,” kedua mata Celine merebak basah.

Abidzar segera menggerakannya lagi, mencoba mengalihkan Celine dari tangis sedihnya.

Seharian ini Celine terlalu banyak menangis. Sangat wajar karena Abidzar tahu perjuangan dan semangatnya Celine.

“Eng.. Eng..” Celine terpejam saat bibirnya dicecap Abidzar. Desah pun teredam. Abidzar tetap tidak berhenti.

Fokus Celine menjadi teralihkan lagi. Enak sekali. Abidzar melakukan banyak gaya yang dia mau, Celine hanya menerima enak.

Celine suka Abidzar yang begitu. Tahu apa saja kesukaannya tanpa banyak bertanya lagi.

Bersambung… “Abidzar kemana, bu?” Celine keluar kamar dengan mengalungkan handuk, tanpa sadar dia mengikuti kebiasaan Abidzar.

“Loh ga bilang? Abi mau ke kota katanya, ada yang mau dibeli buat kamu,”

“Oh ya?” Celine berubah semangat. “Beli apa ya? Perasaan kebutuhan masih ada, belum pada abis.” celotehnya sambil menekenikmatan Mimah yang tengah memasak.

“Kurang tahu, ibu. Tapi beli buat kamu tahunya.”

Celine mangut-mangut sambil berdiri di samping Mimah. Dia hanya bisa mencicip jika Mimah menyuruhnya, sungguh masakan Mimah itu Indonesia sekali dan terenak.

Celine sampai otw gemuk akibat terus memakan nasi dan semua lauk pauk yang aneh sekali pun.

Sungguh banyak pengalaman di sini. Bahkan belum satu tahun di sini.

Celine yang tidak bisa membantu dan hanya membuat Mimah kesulitan bergerak pun memilih ke belakang, bermain dengan kucing yang kian sehat dan cepat besar itu.

“Meng, Abi beli apa ya? Kok pergi ga bilang, ga kecup kening,” celotehnya sambil memainkan rumput panjang yang langsung kucing itu respon dengan lucu dan aktif.

Celine menghirup udara pagi itu dalam-dalam, sungguh terasa sejuk. Udara bersih tanpa polusi, hanya suara alam, mesin pembajak sawah, air mengalir dari tempat alami sungguh menenangkan.

Celine merasa sudah tidak ada alasan marah dan berontak lagi. Tidak ada tempat yang sebaik di desa sederhana ini.

“Meng, nanti jangan ikut ke kota ya, temenin ibu di sini,”

Mimah yang hendak membuang sampah ke tempat yang memang di belakang rumah sontak urung.

Dia tersenyum hangat. Celine mulai menggunakan perasaannya sebagai wanita, mulai melembut dan perhatian dengan sekelilingnya.

Entah kenapa Mimah berkaca-kaca bagai ibu kandung yang bangga dengan perubahan besar dari anaknya.

***

Celine keluar dengan rambut basah, terlihat kedinginan lalu celingukan. Abidzar belum juga pulang, lama sekali.

“Nak, mau ikut ibu ke rumah bu Dewi?” ajak Mimah yang siap dengan rantang makanan yang 3 tingkat.

“Boleh?” tanyanya ragu, menunggu sendirian juga agak ngeri. Celine kurang berani.

“Boleh, nak. Ga ada yang larang, ayo. Kita bantu untuk acara agustusan,”

“Agustus?” beo Celine sambil menyimpan handuk dan menyisir rambut sebentar, menyemprot minyak wangi.

Celine tidak tahu dia sudah berada di bulan Agustus lagi. Perasaan dia terakhir di club yang ada di kotanya itu bulan Mei, dia di tangkap polisi itu awal Mei.

“Acara 17 san tinggal 5 hari lagi, pasti semua mulai sibuk,”

Mimah mengusap lengan Celine yang membelit lengan kirinya. Dia senang sekali, Celine semakin mendekatkan diri padanya. Dia merasa memiliki anak perempuan.

“Tuh, mulai pada pasang bendera.”

Celine menatap pemuda yang begitu ramah agak genit itu, terang-terangan becanda dengan menggodanya yang melintas.

“Ga papa, mereka becanda, senyumin aja, mereka baik.” Mimah menenangkan Celine yang memasang wajah kesal namun menahan suaranya.

Celine berusaha sabar walau rasanya berat sekali.

“Kalian mau kemana?”

Celine segera menoleh cepat saat mendengar suara lembut Abidzar. “ABI!” serunya refleks bagai anak ketemu ayahnya.

Abidzar tertawa pelan, kenapa Celine bereaksi bagai tidak bertemu bertahun-tahun.

Mimah semakin melebarkan senyum, membiarkan Celine melepas belitannya dan berpindah.

“Udah ada Abi, ibu lanjut ke rumah bu Dewi ya,” Mimah mengusap punggung Celine lalu tersenyum bahagia pada Abidzar.

“Mau Abi antar bu?”

“Ibu udah besar, temenin istri kamu aja.”

***

“Dikira aku badut!” dumel Celine kesal pada pemuda yang menggodanya, bersiul memanggilnya.

“Mereka baik, cuma becanda ga serius, aku juga ga papa karena mereka cuma ramah aja, candaannya begitu,” Abidzar begitu lembut dan cukup berhasil memadamkan kekesalan Celine.

“Sampai, my queen.”

Celine sontak merona, pertama kalinya dipanggil begitu oleh orang dan selembut itu suara Abi. Aduh jantungnya tak karuan.

“Katanya ke kota, beli apa sih?” Celine memicing menatap senyum hangat nan lembut Abidzar. Mencoba mengabaikan panggilan yang membuat jiwanya ketar-ketir.

“Coba amati sekitar.”

Celine menautkan alis, kenapa main teka-teki. Apa yang dibeli Abidzar. Sandal baru? Tidak ada, sebenarnya— oh?!

“Ini semua strawberry?!” serunya kaget dan juga senang.

Abidzar menyimpan semua tanaman strawberry yang sengaja dia beli untuk menghibur Celine itu ke kota.

Celine berjongkok lalu menangis. Bukan karena tanaman itu, tapi karena perhatian Abidzar yang jauh hanya untuk membeli 7 tanaman yang sudah berbunga siap berbuah itu.

Celine sungguh tidak biasa, dia merasa semesta mulai baik padanya.

“Kenapa?” Abidzar memeluk Celine yang masih berjongkok itu, mengusap belakang kepalanya.

“Aku ga pernah di sayang sama orang, ga ada yang peduli biasanya. Besar kecil selalu salah dan ga ada yang puas, ga ada yang perhatian kayak kamu selain mendiang bunda.”

Abidzar hanya mengusapnya, membiarkan semuanya keluar dulu.

“Aku awalnya risih, aku ngerasa aneh dan berusaha nerima tapi ga nyangka aja sampai kamu mau ke kota naik sepeda lama yang banyak resiko cuma buat—” Celine terus menangis.

Cukup lama hanya ada suara tangis haru Celine. Abidzar pun buka suara, mengurai dulu pelukannya.

Abidzar tatap Celine dengan lembut. “Aku suami kamu, apa yang kamu ga dapet sebelum ada aku, aku usahain kamu akan dapet sekarang.

Aku lakuin semuanya buat teman hidup aku, jadi harus sebaik mungkin biar kamu mau sampai tua bareng aku. Ini itu sogokan asal kamu tahu,” lalu tertawa pelan dengan begitu hangat.

Bukannya berhenti, Celine malah semakin ingin menangis. Padahal awal mereka buruk, bahkan menikah tanpa kenalan dulu. Tapi kenapa Abidzar sebaik itu.

Celine akan semakin hebat untuk menjadi lebih baik lagi. Hidup di kota atau di desa ini sudah tidak peduli lagi. Dia hanya ingin terus menjadi istri Abidzar.

“Ayo ke kamar,” ajaknya serak dengan ingus dan masih terisak.

“Ngapain? Ga mau bikin tempat buat anak-anak baru kamu?” tunjuk Abidzar pada tanaman yang berjajar itu. Mengusap air mata di pipinya lembut, selembut suaranya.

“Kita bikin anak sungguhan, ayo!” rengeknya dengan isak tangis keras kepala.

Abidzar bingung menjawabnya. Dia pun menuntun Celine seperti kemauannya setelah mengunci pintu depan.

Celine begitu agresif sampai Abidzar hampir terjengkang namun untungnya segera memeluk Celine dan membalas ciumannya. Ngocoks.com

“Ah..” lenguh Celine di sela ciumannya yang menggebu.

“Sebentar, ngobrol dulu.” Abidzar tidak ingin gegabah. Takutnya Celine hanya terbawa suasana, lalu menyesal dan anak yang menjadi korbannya.

“Ga mau?”

“Bukan gitu, masa ga mau punya keturunan dari ibu yang cantik kayak kamu.” Abidzar mengusap wajah Celine yang dia bingkai dengan dua telapak tangannya yang besar.

“Terus? Karena masih siang?” sebalnya dengan kedua mata memerah agak sembab bekas menangis.

“Bukan juga, kitakan ga kenal siang atau malam, udah mulai gas aja.” ujar Abidzar jenaka.

“Iya sih,” gumam Celine.

“Kita kan lagi proses memperbaiki diri. Selama itu kita belajar soal mendidik anak, ngumpulin uang dulu, kita harus saling sayang bahkan cinta,”

Celine diam anteng mendengarkan suara lembut Abidzar yang berhasil membuka pikirannya.

Membenarkan segala ucapan Abidzar.

“Yaudah, kita urus anak-anak di luar dulu, nanti baru urus anak kita.”

Abidzar menghangat mendengarnya, lalu mengangguk.

“Ayo..”

Bersambung… Celine menatap Abidzar yang tengah mempaku papan untuk dijadikan tempat para tanaman yang menjuntai dan agak merambat itu.

“Jadi nanti buahnya ga nyentuh tanah ya,” Celine mendekatkan paku.

“Makasih,” Abidzar tersenyum hangat menerima paku itu. “Iya, sama biar ga diacak-acak ayam.” jawabnya.

“Oh iya, di sini ada ayam ya.” Celine mematap jajaran tanaman segar itu. Tersenyum senang, ternyata hal sederhana bisa membuatnya sesenang ini.

Tak hanya soal tas mewah, pakaian dan hal mewah lainnya. Selama ini Celine menerima itu semua dari pria yang menyukainya atau bertemu Sehari, tidak ada perasaan spesial dan sesenang ini.

“Abi, terus sawah siapa yang bersihin?” Celine berjongkok di dekat Abidzar yang kini tengah menggergaji bahan.

“Nanti kita tunggu daunnya layu, sambil bantu panen tomat si mbah,” jawabnya.

“Oh iya.” Celine pun diam, tidak mengganggu lagi. Dia hanya memberikan paku untuk Abidzar.

“Kamu duduk, nanti pegel.” Abidzar memberikan kursi kayu tingginya ukuran 15 cm lebar 7 cm dan panjang 20 cm yang dia pakai sebagai tempat duduk.

“Engga, kamu aja yang lagi kerja.” Celine menolaknya segera.

Abidzar menghangat. Celine sungguh kian berubah, lebih menggunakan perasaan dan pikirannya tidak egois.

Abidzar ingin mengecupnya dengan bangga.

“Nanti kalau berbuah, strawberry pertama buat kamu,”

“Kenapa?”

“Karena kamu spesial, orang baik, suami aku,” Celine melirik Abidzar usil. “Cie.. Ciee..” lalu cekikikan.

“Apa sih,” balas Abidzar lembut nan jenaka. “Bisa ya bikin jantung suami lari-larian,” lalu mencolek hidung Celine.

“Serius? Aku kejar jantungnya terus pukul, Bug! Bug!” seru Celine begitu semangat meninju angin.

“Kamu mau bunuh aku?” balas Abidzar pura-pura kecewa.

“Ga mau…” dengan manja Celine memeluk Abidzar dari samping. “Nanti aku ga bisa mainin kesukaan aku,” tatapan Celine turun ke celana Abidzar.

Abidzar refleks mengikuti arah pandangnya lalu tertawa pelan.

“Jadi kamu cuma butuh itunya aja?” bisik Abidzar.

“Ini,” tunjuk Celine pada bibir Abidzar lalu pada jemari Abidzar. “Mereka juga, eum enak,” lalu cekikikan dengan Abidzar.

Keduanya terlihat akrab, Celinenya sudah mulai terbuka dan nyaman.

“Sstt.. Aku mau fokus beresin ini, tolong kerja samanya ya my queen,” Abidzar mengusap sekilas kepala Celine.

Celine mengangguk agak tersipu. Sial! Dia lemah hanya karena di panggil my Queen. Geli sekali perutnya.

“Mau setinggi ini?”

“Ketinggian, aku pendek! Segini aja.” tunjuk Celine.

Keduanya terlihat fokus dengan sesekali Celine usil, celetukannya selalu saja kearah sana.

***

“Jangan pake celana itu, tytyd kamu keliatan besar.” frontal Celine yang baru saja melepas handuk dan meraih dalaman.

Mereka tengah berada di kamar setelah mandi bersama mumpung Mimah menginap di tempat bu Dewi untuk ikut rapat mempersiapkan makanan yang akan mereka sajikan untuk panitia.

“Sstt!” tegur Abidzar lalu tertawa pelan tak habis pikir. Dia melihat gundukan itu, benar! Terlalu jiplak.

“Katanya gue juga maksudnya aku juga kalau seksi cuma di kamar! Kamu mau keluar bantu pasang bendera,”

“Iya,” Abidzar berseru lembut sambil membungkuk hingga berhadapan dengan wajah Celine lalu mengusap pipinya sekilas.

“Itu punya aku! Nanti kalau ada yang tertarik terus perkaos kamu gimana? Aku ga bisa berbagi kalau itu kamu,” cerocosnya.

Abidzar berdebar mendengarnya. Celine begitu posesif, tanda dia tidak ingin kehilangannya kan? Itu bagus.

“Iya, aku ganti ya.” Abidzar mengecup puncak kepala Celine lalu membuka lemari dan mengambil celana gelap.

“Kalau kamu pasang bendera, aku ngapain?” Celine melanjutkan kegiatannya, memakai dalaman yang belum tuntas.

Abidzar melepas celananya lalu melirik Celine yang memunggunginya, hendak memakai bra lalu celana dalam.

“Mau sama ibu?”

“Malu,”

“Kan ada ibu,”

“Yaudah, mau makan siang dulu. Katanya ibu masak ikan mas-mas itu ya?”

“Ikan mas aja, Celine.” Abidzar membantu Celine yang kesulitan mengaitkan pengait bra itu.

***

“Jasmin,”

“Celine.”

Entah kenapa Celine merasa bertemu dengan saingannya. Apa dia gadis yang katanya baik dan lebih cocok dengan Abidzar?

Cih! Masih cakepan gue. Batin Celine.

Tapi walau begitu, Celine merasa terganggu dengan kepulangannya ke desa. Tapi, tidak mungkin sampai akan merebut Abidzarkan?

“Baru datang?” tanya Abidzar ramah.

“Iya, mas. Baru sampai satu jam lalu,” jawabnya lemah lembut.

Celine kalah soal itu. Dan apa katanya? Mas? Dia pikir Abidzar ikan mas? Gerutu Celine kesal. Entah kenapa dia jadi sekesal itu.

“Berapa lama di sini?”

“Lumayan lama, mas. Soalnya aku pindah kerja, dan mulainya bulan depan mungkin, sedipanggilnya aja.”

“Oh gitu..”

“Ibu, aku datang!” Celine berlari meninggalkan keduanya.

Abidzar pun segera pamit, tidak ingin berduaan dan menimbulkan gosip aneh. Mengingat dia dan Jasmin sering dijodohkan.

Jasmin menatap kepergian Abidzar, yang mengekor Celine lalu memeluk pinggangnya dan Abidzar terlihat tersenyum bahagia.

“Bukannya dia pengacau?” gumam Jasmin.

***

“Abidzar pantasnya sama Jasmin, tapi jodohnya kenceng sama kamu, sial banget kayaknya, kasihan nak Abi, kalau sama Jasmin pasti ga akan pernah kesulitan,”

Celine menatap ibu-ibu rempong itu. Mimah pergi, baru berani. Celine tersenyum sinis. Terus membantu mengupas telur rebus itu sesuai perintah Mimah.

“Keluar banyak uang, kasihan. Istrinya nakal sih, namanya bule, hidup bebas, ihh..”

Celine meliriknya tajam. Jika saja tidak sedang ingin berubah, sudah pastikan mulut itu berdarah oleh tinjuannya.

Bagaimana bisa seterang-terangan itu. Memang ingin cari masalah saja.

“Apa? Ga sopan sama orang tua liatinnya gitu! Orang yang disebutin bener semua,”

“Dasar miskin!” dingin Celine.

“A-apa?”

“Miskin hati lo! Miskin otak lo! Kasihan, seberat itu hidup lo sampai ganggu orang buat hiburan, lo pikir gue akan terluka terus nangis sambil ngadu ke Abidzar?!”

Celine menggeleng dengan tatapan meremehkan yang ketara.

“Dasar orang kota ga punya sopan—”

“SOPAN SANTUN?!” bentak Celine sampai terdengar keluar. Membuat beberapa ibu-ibu menoleh. “LO NGACA!”

Bu Leila sontak tidak bisa berkata-kata, agak menciut sebenarnya melihat amukan Celine yang begitu mengintimidasi.

***

“Abidzar, istrimu berantem sama bu Leila.”

Abidzar yang tengah mengikat bendera jelas segera turun. “Berantem gimana, Yon?” tanyanya.

“Jambak-jambakan, pukul-pukulan,”

Abidzar mengencangkan larinya, dia melerai kerumunan dan segera meraih Celine yang terisak kesal, menangis dengan masih membentak bu Leila yang sama kacaunya.

“FUCK!” teriaknya emosi.

Moodnya sedang tidak baik memang, dia akan datang bulan sepertinya. Mana agak cemburu dengan kedatangan Jasmin, dan Bu Leila bagai api yang menyambar minyak tanah tumpah.

“Celine.” panggil Abdizar lembut, memeluknya saat hendak kembali mendekati Leila dengan emosi.

“Harusnya jangan biarin perempuan gila itu ke sini.” seru bu Leila emosi.

“LO YANG MULAI!”

“Bu, istri Abi ga gila. Dia gini pasti ada pemicu,” Abidzar terlihat dingin, terus menahan Celine dan memilih membawanya pulang. Ngocoks.com

Semua orang hanya diam, sudah tidak heran dengan citra Leila. Makanya hanya melerai tanpa membela.

“Ibu beresin masalah di sini, kamu jaga Celine.”

Selama perjalanan pulang Celine terus menangis dengan kesalnya. Abidzar tidak mengajaknya bicara.

Hingga sampai di rumah. Celine memeluk Abidzar.

“Gue ga salah, dia yang mulai. Maaf, Abi.”

Abidzar mengusap punggung Celine, tersenyum mendengar nada Celine yang takut dia marah? Mungkin.

“Liat dulu, pipi kamu tadi luka.” Abidzar mengamati semuanya. Hanya cakaran di pipi dan lengan.

“Dia yang mulai.”

“Aku percaya, serius. Tenangin dulu, baru cerita. Sini peluk dulu,”

Celine kembali menangis.

Bersambung… “Jangan kapok ya? Ga semua orang kayak bu Leila..” Abidzar terus mengusap punggung Celine, membujuknya agar tidak kapok bersosialisasi dengan warga desa.

Padahal Celine pertama kali ikut kumpulan, disambut baik walau akhirnya buruk karena satu orang.

“Mungkin cobaan, kamukan mau jadi lebih baik. Nanti kalau ada hal kayak gitu, kamu pergi terus lapor ke aku, oke?” suaranya yang lembut menenangkan membuat Celine mengangguk.

“Sini, luka cakarannya obatin dulu, aku ga mau kulit bagus istriku rusak.” dengan lembut Abidzar mengurai pelukan, membingkai wajah Celine.

“Iya, sebel! Dulu perawatannya sampai 15 juta seminggu tahu!” dumelnya.

Abidzar tersenyum. “Tanpa perawatan pun kamu cantik, nanti kalau udah di kota aku izinin perawatan lagi ya,” lalu mengusap puncak kepalanya.

“Emang ada uang?”

“Tabungan ada, nanti aku coba kerja lagi. Sekarang fokus ke sawah ayah, kita suruh orang buat tanam padi, berasnya kita jual..” jawab Abidzar sambil mengobati luka cakaran Celine.

“Mana liat?!”

“Nanti aja, kalau istriku yang baik ini makin lebih baik lagi.” bisiknya di depan wajah Celine dengan senyuman yang hangat.

Celine jadi ikut mengulum senyum, dia usap celana Abidzar. “Mau dia,” rengeknya dengan kedua mata sembab.

“Tapikan—”

“Hibur dong! Lagi kesel ini, jadi ga mau?” rengeknya.

***

“Mau cepet..” Celine tidak suka terlalu merayap,

Abidzar takut suara deritnya kasur terdengar.

Abidzar pun mengangkat Celine hingga berdiri di samping kasur. Di sana dia mengabulkannya, sambil berdiri.

“Oh suka.” lirih Celine pelan dengan menggigit jemari tangannya guna menahan desah.

Abidzar merem melek, dia sama menahan erangannya. Membiarkan tubuh Celine yang memunggunginya terguncang hebat lalu bergetar samar di pelukannya.

Abidzar menarik lalu menghentaknya dan menarik lagi lalu barulah bergerak dalam dan cepat lagi.

Celine meremas jemari Abidzar yang meremas keduanya bukitnya, tidak membiarkannya ikut terguncang.

“Oh!” Celine menahan pekikannya dan terengah.

“Aku keluar di—”

“Da-alem a-aja.”

***

“Boleh?”

“Nanti dulu.” Celine mengeratkan pelukannya. “Sebentar lagi aja.” pintanya.

Abidzar tetap harus membantu warga memasang bendera dan sebagainya. Dia tidak bisa tidak bergabung karena kebiasaannya selama ini jika berada di sini.

“Mau ikut?”

“Ga mau, masih kesel. Besok aja, tapi ga suka sendiri! Pasang benderanya bisa ga di depan atau sekitar sini?” rengeknya.

“Iya, nanti aku minta bagian sini ya, kamu bisa duduk di depan rumah sambil ngemil, masih adakan cemilannya?”

“Ada,” Celine mengurai pelukan hendak turun namun Abidzar tahan.

“Pakai dulu kaosnya,” Abidzar memasangkan kaosnya ke tubuh Celine.

“Ga keluar, itu cemilannya.” tunjuk Celine.

Abidzar tersenyum merutuki dirinya yang mendadak bodoh saking takut ada yang melihat Celine, padahal di sini hanya dia yang melihatnya.

“Takutnya aku mau lagi, kan doyan,” jenaka Abidzar dengan lembutnya yang khas, tawanya yang pelan begitu terdengar merdu.

Sungguh pria baik yang tidak pernah meninggikan suaranya pada perempuan. Celine merasa beruntung kini.

“Yaudah ayo, mau nungging atau—”

“Hari ini cukup. Kamu ga mau aku keluar kayaknya,” potong Abidzar menggodanya sambil mencolek pinggang Celine.

Celine berjengit geli sambil cekikan. “Emang ga mau,” lalu memeluk Abidzar lagi.

“Tapi aku harus keluar, yuk bersih-bersih dulu.” Abidzar usap punggung Celine, mengecupi puncak kepalanya.

***

Celine mengunyah sambil melihat Abidzar yang tengah memasangkan bendera agak cukup jauh dari rumah namun masih bisa dia lihat.

Hingga sosok yang lemah lembut berada di antara pemuda dan Abidzar. Mereka terlihat menyambut Jasmin tertarik kecuali Abidzar.

Celine tersenyum samar melihat Abidzar yang merespon seadanya lalu fokus lagi, sambil menoleh ke arahnya lalu tersenyum sesaat.

“Apa Abi tahu kalau gue ga suka dia deket cewek itu ya?” gumamnya lalu tersipu senang jika memang iya.

Celine merasa kian hari dirinya menjadi berubah, dia lupa bagaimana dirinya yang dulu.

Oh ketus, pedas, sarkas, entah kapan terakhir kali dia begitu pada Abidzar atau Mimah.

Hingga senyum Celine luntur. Hari ini sungguh menyebalkan. Soal Bu Leila dan kini dia melihat sosok kakaknya yang disambut Abidzar.

Untuk apa dia kemari?

Celine berdiri dengan tidak ramah saat Abidzar pamit pada para pemuda lalu membawa Gustav berjalan ke arahnya hingga berhadapan. Ngocoks.com

Gustav memarkirkan mobilnya entah di mana, mungkin di dekat bu Dewi karena sempat berpapasan dengan Mimah.

“Lo ngapain?!” Celine begitu benci, dia pun menendang kaki Gustav sampai mengaduh.

“Celine,” tegur Abidzar segera menahannya. Dia tatap wajah Celine.

Kedua matanya yang masih bengkak kini kembali menangis lagi. “Lo ngapain?” bibir dan suaranya bergetar. “Lo ngapain datang ke sampah yang lo buang? Mau pungut?” nafasnya terengah.

“Sstt.. Celine, hey.. Liat aku, Celine liat aku,”

Celine menatap Abidzar dengan berderai air mata. Nafasnya terengah dengan jemari terkepal kuat.

“Aku tahu kamu marah, kamu kecewa, kita dengerin dulu ya kakak mau bilang apa, yuk masuk dulu, sstt.. Jangan nangis, nanti pusing,” Abidzar menggendong lembut Celine untuk masuk.

Dengan agak pincang, Gustav masuk. Dia semakin tenang melihat cara Abidzar menenangkan ketantruman Celine.

Sungguh tidak salah dia dan ayahnya mengambil keputusan.

Bersambung… “Ayah sakit, dia kepikiran kamu dan juga ayah sekarang berhenti kerja, kakak yang ambil alih, kamu mau perusahaan—”

“Ga makasih! Gue ga mau berurusan sama kalian lagi! Gue udah nyaman di sini! Ga usah kalian pungut lagi!” potong Celine dengan berderai air mata.

Mimah mengusap punggung Celine, tidak bisa menegurnya. Dia membiarkan Celine mengeluarkan semuanya dulu.

“Gue manusia, kak! Gue punya perasaan! Gue tahu gue ga sesempurna lo! Tapi gue selalu berusaha, selalu berjuang walau peringkat gue ga ke satu!”

Gustav sudah tahu dan sadar. Apa yang salah, bahkan Glen juga. Sebenarnya ayahnya tidak maksud begitu, dia hanya ingin Celine semakin semangat lagi untuk membuktikan dia bisa pada keluarga Glen.

Di sini keluarga Glen memang yang paling terang-terangan membandingkan Gustav dan Celine.

Cerita Dewasa Ngentot - Istri Dokter yang Menantang Batas: Kisah Pernikahan yang Berantakan
Semua yang terjadi di masa lalu memang rumit. Banyak kesalahan.

“Lo ga perlu berjuang buat jadi yang pertama, gue beda! Gue udah sampai berdarah-darah, tetep aja ga dihargain, terus aja kurang, terus aja kalian GA PERNAH PUAS!” suara Celine sampai serak meluapkannya.

Gustav diam, mendengarkan. Menatap kecewanya Celine pada dirinya sebagai kakak yang tidak bisa dengan tegas membantunya, terlalu sibuk dengan jalannya sampai meninggalkan adiknya sendirian.

Abidzar mengusap jemari Celine. “Celine, jangan terlalu keras, nanti sakit.” dia usap sekilas tenggorokannya.

Celine menepis dengan masih menatap Gustav marah, dia ingin menumpahkan semuanya. Luka dari dia remaja hingga dewasa.

Dan untuk pertama kalinya setelah banyaknya badai menerpa. Gustav memeluk adiknya yang sepertinya sudah mengeluarkan semuanya.

Celine lemas tanpa berontak. Pelukan kakaknya itu terakhir dia dapat saat jatuh dari sepeda, kini dia bisa merasakannya lagi setelah jatuh bangun dalam kehidupan.

***

Celine tetap tidak ingin banyak bicara. Dia fokus pada makannya walau tidak nafsu makan. Dia hanya tidak ingin membuat Mimah sedih.

“Mau tambah?” Abidzar menunjuk sayuran kesukaan Celine.

Celine menggeleng dengan mengunyah pelan. Abidzar tidak memaksa, dia usap sekilas punggung Celine dan lanjut makan.

Gustav juga ikut makan walau canggung. Ini juga pertama kalinya dia melihat lauk pauk baru, bahkan dia akan makan nasi.

Sama seperti saat Celine pertama kali. Bedanya, Gustav langsung mencoba dan mulai bisa menerima rasa baru itu.

Gustav melirik Celine yang gemukan, pipinya mulai berisi, lengannya mulai berdaging. Gustav tersenyum samar.

Hidup Celine di sini lebih baik. Dia sangat lega. Tidak apa terus di benci, jika Celine sudah siap memaafkannya dan Glen.

Pintu rumah dan hati akan selalu terbuka menyambut Celine.

Makan siang pun selesai. Celine memilih mengurung diri di kamar. Mimah sudah kembali ke rumah bu Dewi.

“Bi, Di sini susah sinyal?”

“Ga ada, susah.”

Gustav menghela nafas. “Kalau gitu aku pamit, ga papa Celine biarin aja. Dia masih butuh waktu,” ujarnya maklum.

“Soal ayah,” Abdizar memilih membahasnya. “Sakit apa? Apa parah?” tanyanya.

“Jantung, tapi udah di operasi. Lagi masa penyembuhan”

“Celine baik, dia akan segera ke kota.”

“Tapi, Bi. Dia—”

“Percaya, Celine ga terobsesi buat ke kota lagi, dia nurut sama suaminya. Dia istri yang baik,”

Gustav tersenyum. “Kamu keren, bi. Bisa bikin Celine kembali baik.” pujinya sambil menepuk bahu Abidzar.

“Celine yang keren, dia yang mau tanpa di paksa.”

***

“Kakak udah pulang?” Celine urung mengancingkan kemejanya, dia menabrak tubuh Abidzar dulu.

Abidzar balas memeluk. “Hm, beberapa menit yang lalu. Aku anter dia sampai mobil.” jawabnya.

Abidzar mengurai pelukan, mengancingkan kemeja Celine dengan telaten.

“Baguslah.” ketus Celine lalu diam menatap jemari Abidzar yang mengancingkan kancing kemejanya lalu membukanya lagi.

Celine sontak mendongak menatap Abidzar. “Dih, ngapain?!” Celine memukul lengannya pelan.

“Kirain ngelamun,” bisik Abidzar lembut, dia kembali mengancingkannya lalu mengecup kening Celine sekilas. “Ngobrol yuk?” ajaknya.

Celine menghela nafas, dia pun mengangguk sambil membelitkan lengan ke leher Abidzar dan tanpa mengeluh dia menggendongnya hingga duduk di ujung kasur.

“Ngobrol apa? Jangan bilang kamu mau buang aku ke kota biar pulang ketemu ayah gitu?” kesalnya.

“Buang, siapa yang buang kamu?” dengan lembut Abidzar usap sisi wajahnya. “Ga ada yang buang kamu, kamu berharga. Ayah sama kakak cuma mau kamu yang kayak sekarang, baik, patuh sama suami..

Aku tahu, susah buat terima dan maafin semua yang terjadi, aku juga ga berada di posisi kamu,” belaian lembut Abidzar sungguh memadamkan emosi Celine.

Celine diam tidak menyela, dia nikmat saja diusap-usap. Mendengarkan nasehat Abidzar yang nyaman dia terima.

Celine bagai sudah menemukan pawang yang tepat.

“Dengerin ga?”

“Hm?” Celine mendongak lalu mengangguk.

“Kalau gitu tangannya keluarin, kita lagi ngobrol,” Abidzar tertawa pelan melihat tangan nakal itu. Sungguh tak habis pikir, bisa-bisanya merayap sampai sana.

***

Celine tidak bisa tidur, dia diam dengan Abidzar memeluknya dari belakang. Sudah terlelap, meninggalkannya sendirian dengan pemikiran soal nasehat serta keadaan ayahnya.

Celine mendengar semua yang diobrolkan Abidzar walau tangan tidak bisa diam saat itu.

Celine memikirkan apa yang harus dia lakukan. Perasaan sudah tidak ingin ke kota, tapi dia dipaksa untuk ke sana.

“Abidzar,” Celine mengguncang Abidzar agar bangun. “Abi! Ga bisa tidur, temenin,” rengeknya.

“Hm.. Kenapa ga tidur? Mau di usap-usap?” tawarnya dengan mata setengah mengantuk.

“Iya, sambil ngobrol.” Celine berbalik, memeluk Abidzar sambil wajah berhadapan. “Ke kota sama kamu ya, jangan buang aku di sana,” lirihnya.

“Aku bilang ga ada yang buang kamu. Aku ga akan tinggalin kamu di sana, tugas aku belum selesai jadi suami kamu, aku masih bernafas..” dengan suara lembut yang selalu ingin Celine dengar itu, membuat Celine menghangat dan berdebar.

“Jangan cemas. Aku ga akan tinggalin kamu, kecuali kamu yang tinggalin aku karena ga mau sama aku hidup sederhana—”

“Kata siapa! Mau!” semprot Celine sambil mengeratkan pelukannya.

“Masa?” Ngocoks.com

“Iya! Serius, udah ga mau ke kota kok.. Kalau pun ke sana pokoknya sama kamu terus pulang lagi ke sini!” cerocosnya sebal.

“Kalau kamu ingkar, aku hamilin ya?”

“Yah, bakal ingkar dong,”

Abidzar tertawa pelan sambil mengeratkan pelukannya. “Jangan tinggalin aku, aku belum bahagiain kamu,” bisiknya.

Celine mendengus dengan mata berkaca-kaca setelah mendengarnya. Ternyata di muka bumi ini masih ada yang ingin membuatnya bahagia.

“Yah, kok nangis. Aku harus bujuk kamu dong,”

“Iya, bujuk.”

“Pake dia?” tunjuk Abidzar pada celananya.

“Iya, boleh banget.”

Keduanya cekikikan pelan, kembali saling memeluk erat.

Bersambung… Abidzar membuka matanya, suara burung menyapa pagi yang hangat. Matahari sudah memberikan kehangatan, tanda dia harus segera bangun..

“Celine,” Abidzar mengusap kepala Celine. “Kita harus siap-siap, aku mandi duluan ya,” bisiknya.

“Hm.. Tapi nanti mandiin,”

“Ada ibu, mandi sendiri dulu ya istri baik,” bisiknya lalu menanamkan kecupan di puncak kepalanya.

“Iya.” Celine masih belum ingin membuka matanya, masih nyaman malas-malasan di kasur.

Di saat dia akan ke kota, kenapa berat sekali. Apa dia sudah nyaman dengan segala kesederhanaan di sini? Atau nyaman karena ada Abidzar.

Celine tersenyum tipis di tidurnya.

“Kamu lagi bayangin apa?” bisik Abidzar sambil mengusap sisi wajah Celine.

“Lagi bayangin emut—”

“Celine.” bisik Abidzar menegur lembut plus tertawa pelan.

“Apa? Mau beneran di emut tytydnya?”

“Sst..” Abidzar mengecup pipinya. “Aku mandi dulu, tidur lagi aja nanti dibangunin.” bisiknya.

***

“Kalian serius mau ke kota?” Mimah menatap Abidzar yang segar baru selesai mandi.

“Iya, bu. Jangan masak banyak, aku mungkin nginep sehari di sana,” jawabnya sambil melihat sarapan yang sedang di siapkan Mimah.

“Celine ga akan kenapa-napakan?” Mimah agak cemas Celine tidak ingin kemari lagi dan meninggalkan Abidzar.

“Celine milik aku, bu. Dia juga udah ga mau pisah sama aku,” bisiknya meyakinkan Mimah.

“Bagus kalau gitu, semoga kalian selamat sampai tujuan, di sini ibu akan tunggu kalian, sarapan dulu, Celinenya mana?”

“Aku suruh tidur sambil nunggu aku mandi, aku bangunin dulu, bu.”

Mimah mengangguk, dia menyiapkan semuanya.

Tak lama Celine keluar. “Pagi, ibu.” sapanya.

“Pagi mantu, mau mandi pakai air hangat?” tawarnya.

“Ga usah, bu. Udah bisa pake air dingin,” lalu tersenyum.

“Yaudah, jangan lama-lama nanti masuk angin,”

“Iya, bu.” Celine masuk dengan senang. Di perhatikan Mimah dan Abidzar ternyata menyenangkan. Dia merasa tidak sendiri di dunia.

Dia bagai menemukan lagi kehidupannya. Bagai hidup seperti saat Celine ada sosok ibu.

***

“Ibu tunggu kamu pulang,” Mimah memeluk Celine. “Ibu udah kayak punya anak perempuan, jadi jangan lama di sana ya, apalagi ga mau ke sini lagi..” lanjutnya.

“Ibu tenang aja, aku pasti pulang.”

Keduanya kembali berpelukan. Abidzar tersenyum hangat. Sungguh hubungan yang semakin baik entah sejak kapan.

“Kita berangkat ya bu.” pamit Abidzar lalu meraih jemari Celine dan satunya koper milik Celine yang diisi pakaian milik Abidzar juga.

Mimah menatap keduanya.

“Naik sepeda, kopernya gimana?” tanya Celine.

“Naik itu, maaf ya..”

Celine menatap mobil berisi sayuran.

“Kita duduk bareng sayuran,”

Celine menekuk wajahnya.

“Jangan marah, hm? Kita pindah ke bus di kota nanti, ga mungkin kita naik sepeda,” bujuknya lembut.

“Yaudah, nanti beli mobil dong. Kamu ga mau bantu warga lain?”

“Kamu mau?” Abidzar tersenyum senang dengan niat baik Celine.

“Iyalah! Biar aku gampang juga,” lalu tersenyum kenikmatans.

Abidzar usap gemas puncak kepalanya. “Makin baik, aku cinta kamu boleh ya?” balasnya.

“Ih apa sih!” Celine memalingkan wajahnya, kok dia malu. Kenapa harus bereaksi seperti remaja saja. Menyebalkan sekali dirinya sendiri.

“Ga boleh?”

“Ck! Boleh!” sebalnya gengsi lucu.

“Kamu juga ya?”

“Iya! Udah jangan dibahas! Usia kita itu bukan masanya cinta-cintan, tapi bercinta!”

“Ssstt..” tegurnya lalu mengusap jemari yang Abidzar tuntun.

“Makanya jangan bahas itu!”

“Iya, engga lagi.”

***

“Ga nyaman? Sini duduk di samping aku, tubuh kamu ringan, kayak mau ke hempas,” Abidzar terkekeh pelan sambil membantu Celine pindah ke sampingnya..

“Haa.. Gini amat perjalanannya, jalan rusak, mobilnya terbuka, panas, Abi…” rengeknya.

Abidzar segera melepas kemejanya, menyisakan kaos polos sebagai dalaman saja, dia balut kepala Celine dengan perhatian.

“Teduh ga?”

Celine mengangguk dengan perasaan menghangat. Abidzar memang sebaik itu, bagaimana bisa dia selamanya menolak kebaikan suaminya.

“Kamu juga panas, berdua.”

“Ga papa..”

“Berdua!” tegas Celine dengan keras kepala.

“Yaudah..” Abidzar memposisikan diri walau lebih mengutamakan Celine. Dia hanya ingin membuat Celine tidak protes lagi.

Panas pun tidak masalah, asal Celine jangan. Dia pasti belum pernah kerja keras di bawah terik matahari.

Abidzar sudah mengalami semua perjalanan naik turun di hidupnya. Menjadi kuli hingga bekerja di luar negeri untuk memperbaiki perekonomian.

Dia berhasil melunasi hutang keluarga, bahkan bisa menabung untuk masa depan. Niat untuk keluarga memang luar biasa, semua lebih dimudahkan. Bahkan diberi lebih dari yang dipinta.

“Tidur boleh?”

“Ngantuk? Boleh, sini bersandar.” Abidzar memposisikannya dengan nyaman.

Rasanya adem. Celine sungguh menikmati perjalanan sederhana yang tidak mulus itu. Ada Abidzar rasanya aman.

***

“Kamu serius?!” kaget Celine melihat bus yang lumayan tua, berisi manusia dan ada beberapa ayam, kambing.

Oh astaga!

“Kita naik ini dulu sampai setengah perjalanan, di sana baru bisa pilih mau bus mewah juga ada, sabar dulu ya..” bujuknya lembut yang lagi-lagi meluluhkan Celine.

Celine menekuk bibirnya tak suka, ada ayam, bahkan temannya bebek! Kenapa banyak sekali spesies mereka di desa Abidzar dan kini di bus pun.

“Duduk di sini, aku jagain.” Abidzar mengusap peluh di pelipis Celine..

“Gorengan, kacang, kerupuknya, mba, mas.. Air, rokoknya ada..” ujar si pedagang asongan yang ramah.

Celine menatap beberapa makanan itu, dia semenjak hidup bersama keluarga Abidzar sungguh tidak memikirkan kalori.

Dia hanya penasaran dan ingin banyak mencoba makanan baru baginya.

“Abi, mau..” tunjuknya.

“Boleh sebentar ya—, bang..”

Celine tersenyum senang, bagai bocah dan mulai memilih makanan ringan yang bergelantungan itu.

“Ini apa?”

“Ini apa?”

“Kalo ini?”

Celine begitu bawel, untung si pedagang asongannya baik dan sabar. Abidzar menggeleng samar melihat banyaknya yang dibeli Celine saking penasaran.

“Udah?” tanya lembut Abi saat Celine duduk anteng di tempatnya lagi.

“Udah.”

“Berapa bang?”

“120, mas.” jawab si penjual dengan senang karena di borong. Tidak sia-sia dia menjelaskan semuanya sampai pegal rahang..

***

“Bangun, kita pindah bus.. Mau yang mana, kamu boleh pilih..”

“Mau yang ada kasurnya, ada ga? Sakit banget tidur sambil duduk.” keluhnya serak khas bangun tidur.

“Ada, ayo kita pindah dan lanjut tidur, my queen..”

Celine mengangguk dengan senyum senang. Akhirnya akan berada di tempat nyaman.

Celine benar-benar lanjut tidur, tidak terganggu selama perjalanan. Mungkin karena pertama lagi merasakan tidur dengan AC lagi.

Abidzar tersenyum melihat kedamaian Celine. Kelak dia akan membuat rumah nyaman untuk Celine.

Untuk sekarang dia akan fokus membuat Celine semakin baik dan dirinya pun sama, ingin lebih baik memperlakukan istrinya. Ngocoks.com

Hingga mereka pun sampai, naik taksi dan otw ke rumah Celine.

“Wah..” Celine begitu rindu pemandangan kota yang macet dengan gedung tinggi pencakar langit.

“Kangen?”

“Banget, Abi. Club di san—” Celine menatap Abidzar. “Ga boleh ya?” tanyanya.

“Iya.” Abidzar menatap Celine lembut, dia menunggu reaksi Celine.

“Yaudah, kalau ke sana mall, boleh?” Celine kembali menatap Abidzar.

“Kalau itu boleh, tapi kita fokus ke ayah dulu. Kita simpen koper di rumah kamu, terus bareng sama kakak jagain ayah ya..”

Celine mengangguk dengan senyum senangnya karena bisa kembali ke sini.

Bersambung… Abidzar menepikan kopernya di dekat meja kecantikan Celine. Dia melihat kamar megah itu, pantas Celine ngamuk saat pertama datang di desanya.

Perubahan yang Celine rasakan begitu drastis.

Abidzar melihat Celine yang berseru senang, melompat ke kasurnya dengan rindu.

“Akhirnya bisa rasain mereka,” Celine mengusap bantal bulu, sprai bulu mewahnya yang mahal.

“Kita lanjut nanti, kita ke ayah dulu.” ajak Abidzar sambil meraih jemari Celine dan membantunya bangun.

Celine menghela nafas, mencoba menahan marah dan rasa belum memaafkannya. Dia pasrah saja mengikuti sang suami.

“Nanti kalau punya rumah, kasurnya yang itu ya? Kasur kesayangan aku,” kasur pemberian mendiang ibunya yang hangat, nyaman dan selalu berhasil membuatnya nyenyak.

“Iya, kita bahas nanti ya.”

Gustav menyambut keduanya, mengkode pelayan untuk membuka pintu di mana menjadi ruangan Glen di rawat.

Celine berdebar, dia bagai melihat ibunya sebelum meninggalkannya. Glen tidak membuka mata dengan banyak alat medis di tubuhnya.

Celine sontak urung marah. Ternyata Gustav bohong. Glen sangat tidak baik-baik saja sejak selesai operasi di jantungnya.

“Kak, ayah..” Celine tercekat.

Gustav menghela nafas, mencoba tidak sedih. Dia juga takut, kenapa ayahnya tidak kunjung sadar. Padahal setelah operasi sadar dulu dan keadaannya tiba-tiba memburuk, membuatnya tidak sadarkan diri.

Gustav menjelaskan semuanya, tentang beberapa penyakit yang menyerang Glen.

Celine tidak bisa mendengar lagi. Dia terisak. Dia terus bergelung dengan amarahnya, tidak sadar selama ini ayahnya itu memiliki penyakit yang beresiko.

“Ayah pasti baik-baik aja,” Abidzar memeluk dan mengusap Celine yang terus menangis.

Abidzar sungguh lega Celine mau menjenguk, dia tidak ingin Celine menyesal di kemudian hari.

***

Abidzar menatap semua make up mahal yang berjajar di meja kecantikan sang istri. Sungguh bagai princess.

“Kusam banget astaga!” celoteh Celine sambil bersiap memakai masker wajah yang dia rindukan.

“Ga kusam, cantik kok.” Abidzar mengusap kepalanya yang di bando kelinci.

“Bohong banget! Abi,”

“Ya?” sahutnya lembut.

“Aku mau bawa mereka nanti boleh ke desa?” Celine mendongak sebelum memasang maskernya.

“Boleh, kenapa ga boleh? Yang ga boleh itu kalau berdampak buruk,” Abidzar tersenyum hangat.

Suara lembutnya sungguh Celine sukai. Membuatnya selalu berdebar.

“Oke, makasih. Cium dulu,” Celine memanyunkan bibirnya.

Abidzar tatap manjanya Celine itu sejenak lalu menciumnya, menyesapnya dan membelitkan lidah namun tak lama.

“Ini nanti kering, udah dulu.” Celine pun menjilat bibirnya yang basah, tanpa menyeka dia pasangkan masker itu.

Abidzar menatap kegiatan Celine dengan seksama, Rutinitasnya begitu lama. Abidzar sampai rebahan menunggunya selesai.

Kasur Celine begitu empuk dan halus. Pasti sangat berat bagi Celine tidur di kasurnya yang tidak terlalu empuk.

Kamarnya luas, megah bagai princess. Abidzar tersenyum samar. Jika Celine sudah benar-benar bisa dia arahkan ke jalan lebih baik, dia akan kembali bekerja, apapun akan dia lakukan selagi hal baik agar Celine tercukupi.

Kamarnya harus sama atau bahkan lebih dari saat Celine gadis.

Abidzar akan mengusahakan itu. Semakin meratukan istrinya, membuatnya paling bahagia di muka bumi ini.

“Udah,” Celine berjalan mendekat lalu lompat hingga menimpa Abidzar.

“Ugh!” untung Celine tubuhnya kecil. Abidzar segera peluk, membiarkannya ndusel di leher, membuatnya kegelian. Itu tempat sensitif.

“Kita tidur, aku besok harus ke desa dulu.” Abidzar mengusap kepala dan punggung Celine.

“Kamu mau maskeran juga? Mau ya?” Celine mengangkat wajahnya, mengusap wajah Abidzar. “Kulit kamu bagus, padahal ga pake apapun.” sebalnya.

“Tipsnya mau?”

“Apa?”

“Mandi air dingin, jam 3, 4 atau 5 pagi.”

“Ga mau,” tolaknya.

“Aku belakangan ini jadi ikut mandi siang karena kamu, pasti aku juga kusam,”

“Ga ada kusam sama sekali, kayak baby gini,” Celine duduk di perut Abidzar.

Abidzar menatap celotehan Celine di atas tubuhnya. Jika saja keadaan baik-baik saja dan besok tidak ke desa.

Abidzar ingin melakukannya di sini. Di tempat Celine tumbuh lama hingga secantik ini. Walau beberapa tahun tumbuh di California. Tetap saja dia lebih banyak tumbuh di negara ini.

“Mau ya?”

Abidzar mengangguk pasrah, semua di pasangkan di wajahnya. Entah apa saja, Abdizar tidak mengerti.

Sampai ngantuk dan terlelap. Usapan Celine sungguh lembut membiusnya.

***

“Ah..” Abidzar membuka matanya, menatap Celine yang naik turun di atasnya. Abidzar terengah, menatap sayu penyatuan yang timbul tenggelam itu.

Nikmat sekali.

Celine semakin cepat naik turun. Abizar juga mulai bergerak hingga membuat Celine kewalahan.

Dia pun bergetar dan ambruk. Tidak berhenti, Abidzar kembali menumbuknya, membuatnya menjerit dalam desahnya.

“Ah enak, Abi.. Terus, yang kenceng.”

Abidzar semakin semangat dan menghentaknya dalam. Dia segera membanjiri rahim Celine.

Keduanya terengah dan bergetar bersama dengan leganya. Terkulai dan berkeringat lemas.

“Mau lagi,” Celine turun, menungging cantik dan segera Abidzar serang lagi hingga rasanya semakin hambar.

Dan ternyata semua mimpi. Abidzar bangun dengan Celine masih terlelap. Posisi Celine sudah berantakan dengan kepala di ujung kaki Abidzar. Ngocoks.com

“Aduh! Gimana kalau ke tendang, saking luas ga bisa diem.” Abidzar mengintip celananya yang basah.

Abidzar tertawa samar. Ini pertama kalinya dia mimpi liar bersama Celine, saking terbayang semalam mungkin.

Abidzar menggendong Celine, memindahkannya dan menyelimutinya. Dia usap agar kembali terlelap.

Celine hanya menggeliat pelan.

Abidzar melirik jam di nakas. “Masih jam 3 pagi ternyata.” dia memutuskan memeluk Celine dan tidur sampai alarm membangunkannya. “Celena aku basah, ga papa ya.” bisiknya.

Abidzar masih ngantuk juga. Celine tidak akan marah, dia akan menjelaskan saja nanti saat bangun tidur.

Bersambung… Celine terus nemplok, seolah enggan melepaskan Abidzar. Dan Abidzar tersenyum dibuatnya.

“Saatnya mandi,”

“Ga, ga usah mandi, libur aja!” Celine mengeratkan pelukannya.

Abidzar mengusap kepalanya, sudah saatnya membujuk. “Nanti kamu bau,” bisiknya.

“Biarin,”

“Nanti aku kasih hadiah, hadiah yang kamu suka.” bisik Abidzar membuat keduanya saling bertatapan.

Celine mengerjap lalu tersenyum. “Hadiah? Apa?” cicitnya senang plus penasaran. Bahkan Celine sudah mengarah ke sana, apa durasinya makin lama?

“Aku kasih tahu selesai mandi,”

Celine mendengus. “Yaudah, gendong! Mandiin,” pintanya.

Keduanya pun mandi plus-plus. Hingga selesai dan berpakaian.

“Hadiahnya apa?”

“Apa aja yang kamu mau, aku usahain wujudin walau harus berjuang keras,”

“Rondenya nambah ya?”

Abidzar tertawa pelan. Pasti selalu ke arah sana, dasar istri nakalnya yang lucu. Membuat Abidzar betah saja.

“Iya, aku usahain ga pingsan ya,” suara lembutnya terdengar jenaka. Membuat Celine cekikikan malu-malu. Dia memang merasa m*sum sekali.

Abidzar pun mulai bersiap untuk pergi.

“Aku pulang mau kasih kabar sama ibu, terus ke sini lagi,” Abidzar jelas tidak bisa mengirim pesan karena di desanya tidak ada sinyal.

“Apa ga bisa kirim surat?”

“Sebenernya bisa, tapi nyampenya lama. Takut ibu khawatir sampai sakit, ibu itu kalau cemas ga akan bisa tidur,”

Celine menatap Abidzar yang mengisi tas gendongnya dengan beberapa cemilan untuk di jalan.

“Abi,” Celine rasanya tidak rela.

“Hm? Sebentar kok, kita di sini bisa aja lama. Kita harus pastiin ayah siuman,” suara lembut dan usapannya di pipi membuat Celine menjadi sedih.

Soal ayahnya dan perginya Abidzar.

“Ke sini lagi ya,”

“Pasti, istri aku di sini masa aku di sana terus, ga bisa.” Abidzar mengecup lama kening Celine lalu mengecup singkat bibirnya.

“Abi.”

“Ga papa, sebentar ya. Aku pamit,”

Celine mengantar Abidzar hingga masuk ke dalam mobil bersama satu sopir Glen yang Celine suruh untuk mengantar suaminya sampai tujuan dan membawanya ke sini lagi.

Abidzar yang tadinya akan naik hus pun patuh saja saat Celine dengan tegas harus ada sopir yang mengantarnya, takut Abidzar kabur.

Lucu sekali. Abidzar merasa Celine semakin posesif padanya.

Padahal Abidzar yang takut. Takut Celine kabur saking ingin terus berada di kota.

“Jangan lama!” Celine melambai pada Abidzar yang di dalam mobil.

“Iya, kamu jangan main dulu. Jaga ayah ya,”

Celine mengangguk patuh, membuat Abidzar tersenyum senang dibuatnya.

“Pak, jangan ngebut! Jagain suami Celine,”

“Baik, non!”

Mobil pun melaju. Abidzar menoleh kebelakang, berat sekali rasanya berpisah dengan Celine.

Abidzar tidak tahu sejak kapan perasaannya jadi sekuat ini.

“Ga nyangka, den. Nona Celine udah punya suami,”

Abidzar tersenyum. Keduanya begitu cepat akrab hingga perjalanan pun terasa singkat dan menyenangkan.

***

Celine menatap Gustav yang tengah sibuk bekerja. Dia mendekat dan berdiri di depan meja kerja kakaknya.

“Kak, apa kelurga papa ke sini? Aku ga mau papasan sama mereka.”

Gustav menatap adiknya yang lebih lembut, tidak ada nada ketus, tidak sopan dan menyebalkan keluar dari mulutnya.

Gustav jadi terbawa aku kamu. “Udah ke sini, kamu tenang aja.” jawabnya.

“Kapan ya ayah siuman?” Celine menatap kakaknya yang kini beranjak entah akan kemana.

“Dokter bilang saat ini belum membaik, ke depannya pasti siuman.” Gustav menepuk kepala Celine sambil mengayunkan langkah keluar ruangan.

Celine mengekor. “Semoga secepetnya.” gumam Celine yang masih bisa Gustav dengar.

Gustav pun menoleh. “Udah ga marah sama ayah?” tanyanya.

“Masih marah, sama kakak juga.” Celine pun melewati Gustav yang samar tersenyum. Dia akan berusaha menjauhkan Celine dari keluarga ayahnya.

Celine sudah sangat baik, jangan sampai Celine kembali liar karena luka yang digoreskan oleh mereka.

Gustav juga berjanji, dia akan lebih baik lagi dan ayahnya pun jika siuman pasti akan melakukan hal yang sama agar princess di rumah ini kembali.

Dan besok paginya begitu bahagia. Glen siuman, kondisinya membaik setelah diperiksa dokter lagi.

“Ayah kira kamu ga akan ada saat ayah sakit,”

“Tapi aku masih marah sama ayah,” walau begitu Celine memeluk Glen lega karena siuman.

***

Celine membuka matanya, dia merasa diusap-usap. Apakah mimpi saking rindu pada Abidzar karena sudah sehari belum juga kembali.

“Abi..”

Abidzar tersenyum mendengar suara serak manjanya yang terdengar lembut.

“Tidur lagi.” Abidzar mengecup kening Celine. “Aku datangnya malam, macet.” jelasnya.

Celine membuka mata sepenuhnya. “Kenapa lama,” dia ndusel di resleting celana Abidzar.

“Aduh, jangan di situ.” bisik Abidzar dengan lembutnya memindahankan kepala Celine.

“Kenapa? Kangen tahu,” Celine kembali ke tempat itu, menggeseknya dengan nduselannya.

“Shh.. Ga akan tidur kalau kamu gitu,”

“Di sini kedap suara, mau kamu, Abi..”

Abidzar terpejam menerima lumatan di bibirnya.

“Abi, ayah udah siuman.” bisiknya setelah melepaskan ciuman.

“Hm, aku jenguk dan ngobrol sama ayah baru susul kamu,”

“Jadi ga ke aku dulu?!” sebal Celine.

“Kamukan tidur,”

“Tetep aja!” sebalnya sambil mendorong Abidzar menjauh dengan kesal.

“Maaf, aku salah. Sini, aku bujuk.” Abidzar menarik lepas gaun tidur Celine.

Celine tidak menolak, dia ingin melakukannya di sini. Pasti bebas dan semakin bisa lama tanpa takut gangguan atau terdengar orang lain. Ngocoks.com

“Yang lama,”

“Kamu ga akan kuat,”

“Cih! Iya lagi, tapi ga papa. Malam ini bikin aku pingsan ya,” Celine cekikikan lalu tak lama suara desah terus mengudara bebas, mereka melakukannya di berbagai sudut kamar dengan menggila.

“Nanti, mau honeymoon? Aku udah izin ke ibu lama di sini.” bisik Abidzar.

“Maulah! Enak-enakan setiap saat, mau banget!” seru Celine semangat.

Sepertinya honeymoon bagi Celine hanya begituan, tidak ada liburan. Abidzar mengulum senyum dibuatnya.

***

“Abi mana? Kok ga tunggu aku bangun,” keluhnya sambil berjalan masuk ke ruangan ayahnya di rawat.

“Di sini,” Abidzar menyahut lembut, dia pun duduk di kursi samping ranjang Glen.

Glen tersenyum melihat anaknya begitu manja mencari suaminya. Dia sungguh lega melihat Celine yang pada akhirnya menerima Abidzar.

Gustav pun sama, tersenyum samar melihat Celine yang manja. Tidak tahu malu bahkan duduk di sebelah paha Abidzar.

“Duduknya di kursi sebelah,” bisik Abidzar.

Celine malah membelitkan lengannya ke leher Abidzar. “Ga mau! Biarin mereka liat, toh pasti senengkan,” ketusnya.

“Celine, ga boleh ketus.” tegur Abidzar pelan.

“Maaf.” Celine melirik Glen dan Gustav yang tersenyum tipis.

Mungkin merasa aneh Abidzar bisa menegurnya. Bahkan membuatnya meminta maaf tanpa melawan.

“Ayo, mandiin!”

Abidzar melotot samar lalu menoleh ke arah Glen dan Gustav. Gustav menggeleng pelan mendengarnya.

“Sana, ayah ga papa.. Ga usah pikirin ayah, ada dokter, perawat sama Gustav..”

Dasar Celine! Abidzar sungguh harus membiasakan diri dengan asal ceplosnya. Telinga Abidzar sampai terasa terbakar.

Keduanya pamit, Abidzar sungguh akan memandikan Celine atas permintaannya. Pasti bukan sekedar mandi sih.

Bersambung… Abidzar bangun lebih dulu karena lapar. Dia makan duluan lalu membereskan kekacauan di kamar.

Abidzar menghela nafas, dia segera menepis bayangan kotor itu. Dia merapihkan semua alat yang pernah di pakai Celine, membersihkannya dengan tissue khusus yang tersedia.

“Aku ketularan Celine kayaknya,” Abidzar menggeleng samar mengingat kegilaannya demi mewujudkan maunya Celine.

“Jadi mesum gini,” Abidzar menyimpan rapih alat-alat itu beserta banyak kondom bermacam bentuk dan rasa itu.

Abidzar menyentuh pelindung rasa strawberry yang pernah di coba Celine. Katanya enak, miliknya jadi seperti lolipop.

Abidzar segera menggeleng dan menepuk pipinya sendiri untuk segera sadar. Setiap melihat dan menyentuh yang ada di kamar merah ini rasanya semua bayangan yang terjadi melintas dengan jelas.

Abidzar jadi merasa gerah gelisah. Kotor sekali pikirannya.

Abidzar melirik Celine yang tidak memakai apapun di bawah selimut itu. Dia mendekat dan mengusap kepalanya.

“Aku jadi gini karena kamu, Celine.” lalu mengulum senyum geli. “Ini sisi aku yang baru muncul atau ketularan kamu,” lalu terkekeh pelan dan mengecup keningnya.

“Tidur yang nyenyak, mimpi indah.” bisiknya.

Abidzar akan main ke luar dulu, dia ingin cari angin sebentar.

***

“Udah bangun?” Abidzar menyimpan barang beliannya.

Celine terlihat menekuk wajahnya marah. “Harusnya kalau honeymoon itu bangun tidur aku bisa liat kamu ada, terus usap-usap sayang!” kesalnya. “Ini ga ada, lama lagi!” omelnya.

Abidzar memeluk Celine walau agak menggeliat kesal.

“Maaf, aku beli makanan buat kamu. Beli ponsel buat kita selama di kota,”

“PONSEL?!” seru Celine senang.

Dia sontak urung marah, dia boleh menyentuh ponsel lagi? Sudah lama dan dia bisa juga ya ternyata tanpa ponsel.

“Hm, kamu bisa foto-foto di desa nanti, tapi sinyal ga ada,” Abidzar menyerahkan paper bag berisi dua ponsel.

“Ga papa, kangen banget.” Celine membukanya cepat.

Abidzar membantunya, memberikan ponsel yang mirip dengannya itu untuk Celine dulu yang antusias.

“Kamu ga mau pakai pakaian dulu?” Abidzar membenarkan handuk Celine yang terlepas.

“Ga mau, buat apa. Kitakan mau lagi, masih banyak yang belum di pake alatnya,” jawabnya dengan fokus pada ponsel yang menyala. “Ganti baru ya, padahal minta ke ayah ponsel lama aja,” gumamnya Celine baru ingat sekarang.

Abidzar tersenyum mendengar jawaban Celine. Dia sungguh harus bertenaga extra agar bisa menekenikmatan Celine dengan semua alat di sini.

“Sini, sambil makan.” Abidzar menggendong Celine yang anteng dengan ponsel, dia dudukan di sofa empuk.

“Eum, wangi.”

“Makanya makan dulu, katanya mau lanjut coba alat yang lain,”

“Iya, ini mau.” Celine membiarkan ponselnya di meja lalu melihat apa yang dibeli Abidzar. Itu semua makanan kesukaannya.

***

Musik mengalun lembut, membuat suasana semakin terasa intens saja. Abidzar dan Celine mulai kembali sibuk, saling menyatu tanpa jarak.

Semua alat berserakan, semua sudah dicoba keduanya. Ini sepertinya permainan terakhir untuk hari ini.

“Abi,”

“Hm?”

“Lemes,”

“Iya, ini terakhir buat hari ini. Besok Haa.. Kalau masih lemes, kita tidur aja ya, ga papa.”

Celine mengeratkan pelukannya, Abidzar begitu perhatian. Celine suka.

“Love you,” dua kali Celine mengutarakannya, apakah kali ini Abidzar akan menjawabnya dengan tindakan lagi?

Abidzar tersenyum, terus berusaha untuk sampai dan Celine pun sepertinya akan sampai lagi.

“Kamu semakin baik, aku sayang kamu, aku mau kamu, aku pasti cinta kamu juga, Celine.” bisiknya.

Celine tersenyum, entah itu hanya sebuah kata atau benar adanya. Yang jelas dia senang mendengarnya.

“Kencengin, Abi.” lirihnya gelisah. Meremas punggung Abidzar, mencakarnya untung dia tidak memanjangkan kuku seperti biasanya.

“Segini?”

Celine sibuk mendesah, tanda dia sudah suka dengan temponya. Abidzar kecupi wajahnya yang basah oleh keringat, mereka sungguh berjuang keras dalam honeymoon ini.

***

Abidzar anteng memeluk Celine dari belakang, melihat jemari lincah Celine membuka beberapa media sosial.

“Kamu ada Instagram?” Celine menoleh lalu mengernyit. “Geli, Abi.” dia menyingkirkan jemari Abi yang memainkan bulatan di bobanya.

“Ga punya.” Abidzar berpindah mengusap perut rata Celine, menatap lagi yang dilakukan Celine dengan Instagram yang banyak pesan, pengikut, like dan komen.

“Mau lihat isi pesannya ga?” celine membukanya.

Abidzar melihat semuanya lalu melotot. “Kelamin—” dia berhenti. “Mereka temen?” tanyanya.

“Ada, sebagian. Jijikan, ga pernah lagi aku buka pesan, ini karena ada kamu, Abi.” Celine mengecup dada bidang Abidzar sekilas lalu bermain ponsel lagi.

Kangen sekali.

“Hapus yang seksinya boleh, kan kamu punya aku,” Abidzar menunjuk foto berbikini Celine yang sangat cantik memang.

“Cie posesif,” Celine mengecup lagi dada bidangnya lalu menghapusnya. “Mana lagi?” tanyanya tak masalah, malah senang. Ngocoks.com

Abidzar mengecup lama kening dan bibir Celine. “Istri baik,” pujinya.

Celine kembali tersipu, padahal sudah bukan masanya untuk begitu.

“Ini, hapus.”

Celine menghapusnya. Hanya sisa 10 foto yang tertutup. Dia menoleh menatap Abidzar. “Abi, boleh kamu aku pajang?” tanyanya.

“Kamu mau?”

Celine mengangguk, dia ingin pamer sosok yang hebat di sampingnya sekarang. Meratukannya, menghargainya, memperhatikannya.

Celine tidak butuh apapun lagi.

“Boleh. Kapan?”

“Sekarang.”

“Aku pakai—”

“Di bawah selimut aja, ga akan keliatan.”

“Coba dulu,” Abidzar menutup Celine hingga ke leher.

“Semua aja tutup!” protes Celine sebal.

Abidzar tertawa pelan. “Aku tuh pelit kalau soal kamu,” bisiknya lembut.

Celine menggigit bibir bawahnya, dia tersipu malu. “Ih gombal!” sebalnya sambil menarik selimut hingga sehidung.

“Nah, segitu baru boleh.”

Bersambung… Celine tengah berendam santai sambil bermain ponsel. Lebih tepatnya sedang memilih pakaian, dia rindu belanja online walau mungkin akan datangnya ke rumah ayahnya bukan ke desa.

Paling Gustav akan mengantarkannya sambil mengirim permintaannya sebagai bujukan untuk berdamai.

Abidzar asyik mengusapkan sabun di punggung Celine. “Mandi dulu, itu lanjut nanti.” Abdizar jadi susah memandikannya.

Celine mematikan ponselnya, menyimpannya di tempat kering lalu berbalik dengan genit.

“Ga mau mandi,” Celine mendekat, Abidzar mundur hingga mentok lalu menahan setiap sisi pinggang Celine yang kini bergerak duduk di pahanya.

“Katanya hari ini mau tidur, pelukan aja,” Abidzar tersenyum lembut, menatapnya tak kalah lembut.

“Tapi kamu keras,”

“Ga papa, nanti juga lembek lagi.” bisiknya lalu tertawa pelan sambil menggesekan hidungnya ke hidung Celine.

Celine ikut cekikikan. “Yaudah, ayo mandi.” dikecup sekilas bibir Abdizar lalu beranjak dan berhenti berendam.

Abidzar ikut beranjak, memegang Celine yang hendak melangkah dengan hati-hati. “Pelan aja, licin.” terus saja dia pegangi hingga keduanya berdiri di bawah shower.

Berpelukan, saling menyabuni dan bercanda ria bagai pasangan yang di mabuk cinta.

“Ihhh! Sakit ketarik,” sebalnya agak merengek manja.

Abidzar sontak mengusap sayang kepala Celine. “Maaf-maaf.” sesalnya lalu kembali membasuh rambut Celine.

***

Celine asyik memeluk Abidzar yang tengah memilih pakaian dalam untuknya. Sengaja Celine ingin dipilihkan Abidzar.

Lucu saja, dipilihkan suami.

Cie suami. Batin Celine geli sendiri.

“Ini aja, biasanya kamu cuma tali, ini lebih ke tutup punya akunya..” Abidzar mencolek hidung Celine sekilas.

“Kan sekarang cuma kamu yang liat, mau yang tali atau itu apa bedanya. Atau aku ga usah pake aja biar kamu tinggal masuk,”

Abidzar sontak mencubit hidung Celine. “Ga boleh, harus ada aturannya. Kita manusia, bukan hewan.” tegurnya lembut.

Celine sontak mengulum senyum. “Kayak kucing ya, ga boleh asal tusuk. Kecuali di rumah sendiri, tertutup, dan aman.” dia sudah paham.

Celine tidak marah saat Abidzar melarangnya untuk tidak memakai pakaian terbuka. Sekarang Celine malah senang sekali. Dia begitu dijaga.

“Betul, pinter.” Abidzar mengusap dagu Celine yang bibirnya mengulum senyum. Cantik sekali.

“Abi, aku bukan anak kecil loh.. Kamu kok kayak lagi sama anak kecil,” sebal Celine walau sebenarnya suka.

“Anak kecil itu harus di jaga, akukan mau jaga kamu, buat aku. Kamu ga suka aku manja?”

“Sukalah!” rengeknya kesal. Mana ada yang tidak suka.

“Eum, jangan marah. Sini cium dulu, my baby.” bisiknya lembut lalu mengulum senyum geli.

“Ihhh.. Udah mulai bisa ya!”

Keduanya cekikikan sambil berpelukan. Sungguh romantis. Suasananya pun mendukung.

Abidzar sungguh bahagia.

***

“Celine, udah saatnya pulang. Kamu ga kangen ibu?” bujuk Abidzar begitu lembut, berusaha melihat wajah Celine yang terus berpaling marah.

Celine masih ingin seminggu lagi di sini. Dia masih ingin menikmati kemewahan yang dirindukan.

Tapi dia juga kangen ibu, kangen masakannya. Benar juga kata Abdizar, ibu sudah tua dan di sana sendirian.

Sepupu Abidzar yang biasa menekenikmatan tidak bisa karena beda negara, dia kerja menggantikan kekosongan Abidzar.

“Ibu ga mungkin nyaman nginep di tempat bu Dewi hampir 2 minggu. Kalau tambah seminggu di sini, ibu harus nambah seminggu lagi.” Abidzar usap-usap rambutnya, mencoba menyamankan Celine, menenangkannya juga.

Benar. Mereka awalnya honeymoon seminggu tapi malah tambah lagi. Sampai mengeluarkan ratusan juta untuk honeymoon.

Semua jelas Glen yang bayar. Celine yang memoroti ayahnya. Syarat ingin akur. Abidzar sampai geleng-geleng kepala.

Abidzar pun meminta mertuanya untuk membayar setengah saja. Biar Abidzar sebagai suami tidak enaknya saja.

Dia pernah bekerja, uang yang dia dapat jelas untuk keluarga, untuk istrinya.

“Kamu mau di kota ya? Udah ga mau ikut aku?” Abidzar menghentikan usapannya, suaranya terdengar sedih.

Celine sontak menoleh. “Ga gitu,” bibirnya bergetar. “Bukan ga mau ke desa lagi,” tiba-tiba bercucuran air mata.

“Sstt.. Kok nangis, hm?” lembut sekali, tatapannya juga.

Celine malah semakin terisak. “Kangen ibu, masakannya, perhatiannya. Ayo, pulang.” putusnya tidak keras kepala lagi.

“Nanti main lagi, hm? Kita jalan-jalan ke kota, belanja lagi, kita honeymoon lagi, ya? Udah jangan nangis.”

Celine malah kembali terisak. “Aku bukan anak kecil.” sebalnya sambil menyeka air mata.

“Iya, kamu bukan anak kecil, tapi bayi aku, cengeng gini.” Abidzar seka air matanya.

“Ihhh..” lalu terkekeh di sela isaknya. Sialan, dia malah berdebar di sebut bayi. Kenapa romantis bagi Celine.

Ini sih, Celine luluh seluluh luluhnya.

***

“Bapaknya nanti pulang berdua, ga sendirian. Jauh soalnya, kalau di perjalanan ada apa-apa sama kemaleman bisa ada yang bantu,” Celine berceloteh sambil Abidzar belitkan sabuk pengaman di tubuhnya.

“Baiknya istri aku,” bisik Abidzar sambil mengusap puncak kepala Celine.

Celine mengulum senyum. Ternyata, menelan gengsi dengan memperhatikan orang lain tidaklah buruk. Ada kebaikan yang kembali berbalik padanya.

“Iya, non. Terima kasih,” sang sopir yang cukup tahu ketusnya, nakalnya Celine kini tersenyum melihat perubahannya.

Nonanya itu sungguh bertemu dengan suami yang tepat.

Perjalanan pun berjalan mulus walau di desa jalannya tidak mulus. Celine sampai terjaga di pelukan Abidzar.

“Sebentar lagi sampai, bangun ya.”

Celine mengangguk lalu tersenyum di dada bidang Abidzar. Mengeratkan pelukannya. Sebentar lagi dia akan hidup di desa yang damai.

Semoga selalu damai. Ngocoks.com

Tapi nyatanya tidak. Saat datang, Celine tidak suka karena bunga bau itu ada di rumahnya.

Siapa lagi kalau bukan Jasmin.

Insting Celine mengatakan perempuan itu masih berharap pada Abi. Memang dasar wanita zaman sekarang. Berani sekali nyalinya.

Tapi lihat saja, Celine tidak pernah akan kalah mempertahankan miliknya.

Abi miliknya! Suaminya! Selamanya!

“Kenapa?” bisik Abidzar saat menatap Celine yang menekuk wajahnya.

Padahal saat sebelum turun dari mobil Celine senang menyambut Mimah.

Abidzar melirik arah pandang Celine. Ternyata pada Jasmin yang tengah berbincang dengan Mimah.

Abidzar mengulum senyum samar. Ada bau-bau cemburu. Lucu sekali. Tapi, benarkan Celine cemburu?

Abidzar tidak bisa menahan senyumnya.

“Ngapain senyum sambil liatin dia?” sewot Celine lalu melipat lengan di perut.

Abidzar sontak melunturkan senyumnya.

Bersambung… “Abi isi dulu bathtubnya,” gumam Celine dengan masih terpejam.

Abidzar tersenyum, dia usap lekukan pinggang Celine yang tidur menyamping itu. Lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Celine.

“Kita di desa, Celine.” bisiknya lembut lalu terkekeh pelan.

Celine membuka matanya, menelentangkan tubuhnya dan menatap Abidzar. “Heum? Desa?” lalu melirik sekitar yang sederhana.

Kamar yang kemarin keduanya hias dengan beberapa hiasan yang di beli Celine saat di kota.

Abidzar tersenyum hangat dengan rambutnya yang berantakan, dia juga baru bangun tidur.

Diusap perut rata Celine sambil menunggunya sadar. Menatapnya lembut penuh kasih sayang. Tatapan lembut itu pasti akan membuat perempuan lemah. Pasti banyak yang menginginkan Abidzar.

“Ah, iya ya.” Celine ndusel pada Abidzar. “Siang aja mandinya, dingin.” keluhnya. Kalau di hotelkan ada air hangat otomatis.

“Yaudah, kamu lanjut tidur. Aku mau bantu ibu sama pak Lukman ya, mau siapin acara tahunan desa,” Abidzar menyelimuti Celine dengan selimut yang dibeli dari kota juga. Selimut yang lebih tebal.

“Acara apa?” Celine menyisir rambut Abidzar lalu ndusel lagi dan memeluknya.

“Kayak makan bersama, di sepanjang jalan yang luas, dari sini terus keujung rumah bu Hanum, ke sananyakan gang kecil, jadi ga sampe sana..” terangnya.

“Makan? Di jalan?” Celine tidak paham. “Makanannya di taroh di jalan?” lanjutnya agak gimana ya. Kotor dong.

“Di gelar pakai daun pisang yang bersih, tenang aja. Makanya kemarin ibu sama Jasmin ngobrol lama, mereka mau masak-masak buat—” ups.. Abidzar salah topik.

Wajah Celine langsung datar.

Celine bukan marah mendengar nama bunga itu keluar dari mulut Abidzar. Tapi, dia merasa tidak percaya diri.

Dia hanya bisa bagian mengupas, tidak memasak. Jasmin terlihat jago dan percaya diri sampai lama berbincang dengan Mimah kemarin. Mengabaikannya juga.

Tak hanya cemburu soal Abidzar, soal Mimah pun. Celine merasa mereka akan direbut. Perasaan yang mengganggunya menyebalkan sekali.

“Kenapa, hm? Ga suka aku sebut namanya? Yaudah, aku usahain—”

“Bukan.” Celine mendudukan tubuhnya. Wajahnya ditekuk sebal.

Abidzar pun mendekat, memeluknya dari samping. “Terus kenapa? Jangan di pendem, nanti kamu kesel.” dipuk-puk puncak kepalanya lalu dia usap.

“Aku ga bisa masak, pantes orang waktu itu bilang mending Jasmin dari pada aku yang emang ga ada apa-apanya.”

“Ga ada apa-apanya? Mana sini liat,” Abdizar mengangkat dagu Celine yang menunduk tidak percaya diri itu.

“Matanya cantik, hidungnya tinggi, bibirnya merah alami, kulitnya seputih kapas, lembut, kamu cantik. Tanpa harus bisa masak, gimana pun kamu. Aku yang pilih kamu, di luar sana banyak yang lebih dari kamu tapi istri akukan kamu..” lembut sekali, membuat pipi Celine merona mendengarnya.

“Kalau ga cantik?” Celine menatapnya sendu, masih belum percaya diri. Hanya masalah yang dia bawa, tidak ada bakat apapun.

“Kamu jago,” bisiknya lalu tersenyum lembut yang misterius. Tampan sekali Abidzar kini.

Celine mengerjap. Jago?

Ah! Dia paham.

“Jadi cuma jago di bidang itu ya?” rengeknya lalu ndusel dengan gumaman-gumaman tidak jelas.

Abidzar tertawa pelan sambil mengusap rambut Celine gemas.

***

Celine memakai kaos lengan panjang dan celana panjang. Lumayan sudah terbiasa dengan pakaian serba tertutup.

Celine keluar untuk makan siang. Mimah sudah ke rumah dan gantian Abdizar yang keluar.

“Makan dulu,” Mimah menyambut Celine hangat.

“Makannya sama apa. Bu?” Celine mendekat senang dan duduk di samping Mimah.

“Ada—”

“Ibu?” panggil suara lembut itu.

Senyum Celine luntur. Dia pun baru sadar, Jasmin ternyata memanggil Mimah ibu. Apa sebenarnya Jasmin itu mantu gagal?

Apa harusnya Abidzar menikah dengan Jasmin?

Celine diam dengan mengaduk makanannya, terus berisik di kepalanya. Dia sungguh tidak nafsu makan.

“Makannya habisin, ibu mau bahas masakan sama Jasmin, di sini kok..”

Celine mengangguk lalu melirik Jasmin yang tersenyum tipis, terlihat bagai wanita baik, polos dan sopan.

Celine tidak membalas senyumnya. Dia mulai makan walau rasanya jadi hambar.

“Celine mau bantu?”

Celine menoleh kaget, setelah lama diabaikan akhirnya dia dianggap ada.

“Ikut?” Celine terdiam menimang. Dia takut terjadi seperti saat itu dan juga dia tidak bisa memasak.

“Iya, bantu ibu, Jasmin, Bu dewi, ga banyakan kok..”

“Celine bantu aku, ibu.” Abidzar muncul, menyimpan daun pisang yang digulung sampai besar itu.

“Oh gitu,”

“Iya, bantu gelar daun pisang.”

Abidzar tersenyum pada Jasmin sebagai kesopanan lalu duduk di kursi Celine.

“Enak makannya?” Abidzar seka nasi di sudut bibir Celine.

Celine tersenyum dan mengangguk. Dia merasa datangnya Abidzar menjadi penyelamatnya. Dia gengsi bilang tidak bisa masak di depan Jasmin.

“Mau disuapin?”

Celine kembali mengangguk senang lalu melirik Jasmin yang tersenyum tipis. Sebagai wanita dia bisa merasakan rasa tidak senang yang terpendam.

Celine yakin, si bunga itu masih berharap pada Abidzar.

“Kita bersihin daunnya dulu,”

Celine mengangguk sambil mengunyah.

“Kucing udah di kasih makan?”

Celine menelan kunyahannya. “Oh nooooo! Belum, Abi!” serunya panik dan beranjak.

Abidzar beranjak juga, membawa makanannya yang lupa Celine bawa.

Jasmin yang masih ngobrol dengan Mimah sesekali melirik keduanya. Terlihat seperti sepasang suami istri yang saling cinta.

Jasmin tidak menyangka dengan hubungan mereka. Padahal dari cerita yang dia dapat. Keduanya tidak akur, Celine pembuat masalah.

***

“Abi..” Celine menyeka daun-daun pisang itu dengan agak kaku. Dia tidak biasa melakukannya. Ini pertama kali.

“Iya?” sahutnya lembut.

“Mau belajar masak.”

“Boleh,” Abidzar tersenyum menenangkan, mengusap Celine yang masih menekuk wajahnya.

“Sama ibu?”

“Ibu pasti seneng, mau sama aku ayo..”

“Kamu bisa?”

“Bisa, aku sering masak waktu hidup sendiri.”

Celine kian menekuk wajahnya. Semakin tidak percaya diri. Lalu memilih beranjak dan masuk ke kamar.

“Loh.. Celine?” Abidzar mengekorinya.

“Aku ga bisa, emang ga berguna!” amuknya lalu rebahan dengan posisi telungkup dan menangis kecewa dengan dirinya sendiri.

Abidzar mengusap punggungnya, membenarkan kaosnya yang terangkat.

“Aku ga masalah loh.. Kenapa dipikirin?”

Celine pasrah saat tubuhnya dilentangkan. Abidzar mengecup bibirnya sekali lalu yang kedua kali lama.

Celine terpejam mulai membalas dan berhenti terisak. Dia juga tidak mengerti kenapa bisa sekesal ini. Dia merasa kalah dari Jasmin. Ngocoks.com

Abidzar sepertinya harus membujuk Celine dulu, meyakinkannya kalau dia diinginkan meski tidak bisa memasak.

Abidzar akan berusaha menghindari Jasmin demi ketenangan hati Celine. Dia tidak ingin Celine tidak percaya diri.

***

Abidzar tersenyum, membuka resleting dan mengeluarkannya. Melepas Celana Celine juga.

Tanpa banyak pemanasan, hanya berciuman dan grepe sedikit. Walau begitu Celine tetap bisa siap karena setiap sentuhan Abidzar selalu membuatnya basah.

Abidzar menekannya, memeluk Celine dan memulainya perlahan. Dia tidak akan membuatnya lama.

Celine terpejam keenakan. Gesekan demi gesekan dari penyatuan membuat Celine melayang.

Abidzar terus mencium Celine, membungkam desahnya. Tanpa saling melucuti keduanya menyatu sebentar. Celine cukup terbantu dari berisiknya kepala.

Abidzar terus menghujaminya pelan, berusaha tidak menimbulkan suara. Semoga juga tidak ada yang datang dulu.

Abidzar peluk erat, mendindih Celine tanpa jarak. Dia yang memulai kali ini. Dia yang memimpin. Celine juga sudah terbiasa soal itu. Traumanya hilang karena Abidzar.

Celine terlihat berkali-kali pelepasan. Hingga pada akhirnya Abidzar mulai menggeram halus dengan terengah.

Semakin cepat dan cepat lalu…

“Heuk.. Ah..” lenguh keduanya dalam getar yang membuat tubuhnya menegang lalu melemas lega.

Abidzar mengangkat wajah, menyatukan bibirnya lagi. Menciumnya lembut. Memujinya lagi dan lagi.

Celine mulai merasa tenang.

Ternyata caranya menenangkan Celine berhasil yaitu membuatnya lemas.

“Percaya diri, Celine. Kamu yang aku pilih, kamu istri aku. Jangan bandingin kamu sama Jasmin. Kamu lebih segalanya buat aku sekarang.”

Bersambung… Bimo tersenyum menggoda Abidzar yang balas menatapnya bingung. Ada apa dengan senyum misterius itu.

“Apa, Bim?”

“Ga, bang. Cuma, aduh..” Bimo mengusap lengan dan lalu lehernya. “Banyak nyamuk kayaknya,” tatapannya berbinar usil.

Celine melirik tingkah Bimo itu dengan heran. Sekutunya itu tidak beres. Celine terus membantu Abidzar yang kini menggelar tikar.

“Nyamuk apaan sih!” Anwar menoyor Bimo kesal karena bukannya bantu malah tidak bisa diam dengan obrolan tidak jelasnya.

“Itu loh, gatel.. Merah-merah ga?” Bimo memepet Anwar. “Lehernya bang Abi,” bisiknya lalu heboh sendiri lagi.

Anwar yang kesal melirik Abdizar yang kini geleng-geleng tidak paham dengan kelakuan Bimo itu dan menatap leher Abidzar.

“Bwaahahah!” Anwar kini yang tantrum sambil memukul-mukul lengan Bimo yang sudah kebal dengan reaksi tawa Anwar.

Celine semakin menautkan alisnya. Mereka kenapa? Gatal? Mengusap leher— oh! Celine pun sadar, dia melirik leher Abidzar.

“Abi,” sesal Celine sambil mengusap leher dan menatap Abidzar memelas.

“Apa?” sahutnya lembut sambil melepas jemari Celine di lehernya. Ini tempat umum.

“Mereka pasti ini,” tunjuknya pada leher Abidzar. Niatnya Celine memberikan satu tanda ah tidak dua tanda di leher Abidzar untuk supaya dilihat Jasmin.

Malah diusili sekutu dan temannya.

“Ini?” Abidzar mengusap lehernya tidak paham. “Ini apa?” bingungnya.

“Jejak merah, jejak aku.” lirihnya pelan dan menyesal.

“Oh..” Abidzar tersenyum tipis. “Ga papa, orang ada istri kok. Kalau masih pacaran, pasti jadi gunjingan..” lalu mengusap rambutnya sekali.

“Tapi mereka—”

“Ga papa, biarin aja. Kamu kasih ini ada alasannyakan?” senyum Abidzar begitu penuh arti. “Kamu lagi tandain milik kamu.” bisiknya.

Celine mengulum senyum dan mengangguk.

Abidzar sebenarnya sudah tahu.

Abidzar merem melek, terus bergerak di atas tubuh Celine. Dia membiarkan Celine menghisap dan menjilati lehernya. Pasti berbekas.

“Ah.. Satu lagi,” gumam Celine pelan sambil menyesap lagi leher kirinya. Mulai meninggalkan jejak di sana.

Abidzar tersenyum di sela desahnya. Biasanya Celine sadar, memberikan jejak di tempat tertutup. Tapi sekarang seperti sengaja.

Tak apa, Abidzar senang menerima karya istrinya.

Abidzar membalasnya, dia meninggalkan banyak jejak di kedua bobanya.

“Enh..” Celine sudah gelisah.

Abidzar terus banyak meninggalkan jejak sambil kecup puncak kecil yang mengeras itu. Lalu pindah ke Perut, bahu dan mengubah posisi barulah menyerang punggung Celine.

Diusahakannya sebentar, tapi pada kenyataannya mereka menikmatinya dan cukup lama.

Abidzar terus berusaha hingga bergetar saling berpelukan. Keduanya terengah berkeringat dengan lega.

Abidzar menatap jejak yang dia tinggalkan. Mengusap lehernya sendiri yang pasti ada jejak Celine juga.

“Yuk bersih-bersih.”

“Gendong.”

“Siap, my queen.”

“Sukanya itu di panggil sayang, mau lagi.”

“Siap, sayang.”

Celine tersenyum sambil terus saling pandang dengan Abidzar.

***

Abidzar menoleh pada Celine yang mengerjap menatap keramaian di sepanjang jalan. Semua orang yang ikut mulai memadati tempat.

Celine terlihat lucu jika sedang polos begitu. Duduk anteng, menatap semuanya. Suasana yang hangat dan indah di tekenikmatan oleh senja.

Karpet dan daun pisang sudah tergelar panjang tak berjeda, semua orang sudah duduk saling bersebrangan.

Celine merasa asing dan baru dengan semua ini. Dia tidak bisa melihat 17san saat itu karena masalahnya, tapi kini dia bisa ikut acara ini.

Mimah mengusap lengan Celine. “Nyaman?” tanyanya.

Celine tersenyum lalu mengangguk. “Nyaman, bu. Seneng juga, ramai ya.” jawabnya.

“Bagus kalau gitu, ibu ke sana lagi ya mau nuangin lauk pauk,”

“Mau sama Abi, bu?”

“Engga, kamu duduk temenin Celine.”

Celine pun menatap di depannya. Semua makanan ada di atas daun pisang yang sudah di bersihkan.

Makanan yang sederhana dan asing bagi Celine. Ada beberapa makanan yang pernah Mimah masak juga.

“Ini ap— shh.. Asin.” Celine mengernyit sambil menjilati rasa asin di bibirnya refleks.

“Cara makannya tuh gini.” Abidzar dan Celine duduk di paling ujung, dekat rumah. Keduanya terlihat romantis.

Celine mangangguk, melihat yang dijelaskan Abidzar, mengabaikan sekutunya dan teman-temanya mencie-ciekan.

Celine mendengus menatap mereka lalu tersenyum. Membuat Bimo urung mengunyah. Senyum Celine yang terbias senja begitu membuatnya bercahaya.

“Wahh.. Bang, si Bimo tuh bang! Ga bener dia, mulai ngincer mba Celine,” seru Anwar.

“Ga, Bimo baik. Yakan, Bimo?” Celine mengkode Bimo, soal merekakan sekutu.

“O-oh A-Anu, iya.. Wah, mba cakep ke bias senja sampe bikin aku linglung, mau nikung kasihan bang Abi, dia ga bisa marah,” celetuk Bimo yang membuat tawa pun menular.

Celine tertawa, setuju jika Abidzar tidak bisa marah.

Jasmin, menatap canda tawa mereka. Rasa tak rela tiba-tiba menyeruak. Harusnya Abidzar menjadi suaminya.

“Nak, ayo di makan.” tegur ibu Jasmin.

“Oh iya, bu.” balas Jasmin lembut.

Abidzar menatap Celine yang terlihat masih bingung. Mereka semua makan tanpa ragu, begitu kekeluargaan.

Celine bingung karena merasa aneh.

“Mau di suapin?”

Celine mengangguk. Lebih baik begitu, dia tidak bisa cara makan tanpa sendok. Lima jemari tangan kanannya begitu kaku saking tidak biasa.

Abidzar tersenyum menahan gemas, Celine sungguh menggemaskan.

***

“Semua orang masih belum bubar, malah ngobrol sambil minum teh anget, gorengan.” Celine terlihat menekuk wajahnya.

“Iya, kenapa wajah cantiknya malah di tekuk, nanti Bimo ngatain jelek loh,”

“Mba Celine ga pernah jelek, bang. Di penuhi lumpur—” ups Bimo keceplosan. “Maksudnya sekali pun di penuhi lumpur.” ralatnya cepat. Ugh selamat.

Bisa di gantung bapaknya kalau ketauan ikut rusak sawah pak Cepi.

“Semua gorengan di piring ini siapa yang abisin?” Celine menahan kagetnya. Apakah dia jadi serakus itu.

“Pindah ke perut kamu,” bisik Abidzar gemas.

“Ga papa, mba. Kalau mba gemuk, bang Abi ga mau, ada Bimo..”

Sontak Bimo di serang teman-temannya yang lain.

Abidzar sih tidak ambil hati. Dia tahu mereka hanya bercanda untuk meramaikan suasana saja.

“Hiks Abi, di sini ada lebih dari 5 kan?” Celine merasa perutnya sungguh karet. Setelah makan bersama, kini makan gorengan.

“Besok bisa olah raga,” Abidzar mengusap jemari tangan Celine yang agak dingin.

Celine menyudahi makan gorengannya walau masih ingin.

“Mau sambil beli cemilan?” Ngocoks.com

“Abis olah raga terus ngemil, percuma dong!” dumel Celine lucu, masih sebal karena terlalu banyak makan dan perutnya menampung itu semua.

“Kok mulai mikirin yang di makan lagi, hm? Selagi olah raga, ga papa. Kamu masih maukan, makan aja.. Mau gemuk sekali pun kamu tetep Celine punya Abidzar.” bisiknya.

Celine sontak tersipu. “Yaudah, satu lagi. Ga, dua aja.” lalu memakannya riang.

“Nih, buat mba.” Bimo mendekatkan piring berisi gorengan pisang. “Sukakan?” tanyanya.

“Lebih suka yang, Abi.” sontak Celine mematung.

Semua yang mendengar juga mematung sedetik sebelum tawa pecah dan membuat Celine bersembunyi di ketiak Abidzar saking malu.

Ternyata Celine punya malu sekarang.

Bersambung… “Abi, maaf.” Celine menatap Abidzar yang menyimpan tikar yang memang milik Mimah. Mertuanya itu seperti biasa, lebih banyak bergaul dengan bu Dewi dan belum ikut pulang.

Di luar juga masih banyak yang berbincang, sekarang sudah jam 8 malam. Mereka semua sepertinya masih betah berbincang.

Tapi Celine tidak kuat dinginnya, mungkin karena belum terbiasa.

“Ga papa, kamu ga sengaja.” Abidzar mundur sampai duduk di lengan sofa saat Celine terus memepetnya.

Abidzar belai sisi wajahnya.

“Malu banget, tumben aku punya malu.” keluhnya sambil mengusap wajahnya sendiri, terlihat lucu.

“Ga papa, kitakan suami ist—” Abidzar melirik pintu. “Pintu kayaknya belum ke tutup, aku tutup dulu.” namun Celine segera mendudukan Abdizar.

“Udah ke tutup kok,” Celine mendekatkan wajahnya, mengecup ringan bibir Abidzar lalu tersenyum. “Hari ini aku seneng banget, Abi. Mereka kayak keluarga ya, aku pertama kali liat semuanya.” jelasnya pelan, sambil memainkan kancing kaos yang di pakai Abidzar.

Abidzar memandang Celine, mendengarkan celotehannya dengan senyum hangat yang penuh kasih.

“Kita makan di satu tempat, sederhana bahkan aku kayak merasa aneh, tapi mereka keren, kesederhanaannya, kebersamaannya,”

“Hal-hal kecil kadang bisa bikin kita bahagia, Celine.” Abidzar begitu lembut, sampai Celine tidak berkedip.

Menatap pria yang kini dia cintai. Suaminya. Dia ingin hidup bersamanya, entah dalam kemewahan atau kesederhanaan.

“Makanya, kita harus menghargai hal-hal kecil, kita semua sama di mata Tuhan kita. Aku seneng kamu nyaman di sini sekarang, kamu mau ikut makan, duduk bareng semuanya, kamu hebat, istri aku semakin lebih baik, udah tahu cara menghargai orang tua, senyum sama mereka, percaya sama aku, jadi baik ga akan rugi, kamu makin cantik,”

Celine tersenyum dengan wajah merah padam, sialan! Dia baper, salting dan sebagainya. Celine jadi ingin memperkaos suaminya, tapi masih ingin terus mendengar pujiannya.

“Udah bisa jadi bendahara, mau pegang uang, hm?” Abidzar terpejam sekilas saat Celine mengecup bibirnya ringan. “Aku udah percaya sama kamu,” lanjutnya lalu menerima kecupan lagi.

Hingga keduanya memilih berciuman mesra, hanya sebatas itu. Cukup lama.

Tok.. Tok.. Tok..

Keduanya tersentak kaget saking sama-sama menikmati ciuman romantis keduanya.

“Sebentar.” Abidzar menarikan resleting celananya. Merapihkan bra dan kancing Celine yang Abidzar lepas agar bisa bermain bobanya.

Sungguh, Abidzar selalu tidak sadar melakukannya. Instingnya semakin nakal.

“Ganggu,” sebal Celine dengan bibir menekuk seperti bebek.

Abidzar mengecup pipinya agar tidak terlalu bete. Sentuhankan obat mood Celine.

“Ada apa, Jasmin?”

Sontak Celine memasang radarnya dan segera mendekati Abidzar, melebarkan pintunya.

“Oh ini, Abi.. ibu titip makanan ini, katanya ibu hari ini nginep di rumah bu Dewi, ibu ga pulang dan pamit karena bu Dewi darah tingginya kambuh barusan. Ibu lagi temenin, sama ibuku juga,” jelas Jasmin lemah lembut khasnya.

Ibuku? Maksudnya ibu Jasminkan? Batin Celine sewot. Jadi Abidzar juga memanggil ibu Jasmin ibu?

Abidzar hendak meraihnya namun segera Celine ambil alih. Tidak akan dia biarkan kulit mereka bersentuhan walau pun tidak sengaja.

“Makasih ya,” Celine tersenyum palsu.

***

Abidzar tersenyum lalu menggigit manja bahu Celine. Di luar sana masih ada orang yang berkumpul, terkhusus para prianya.

Pasti akan lanjut begadang sambil hitung-hitung ronda.

“Gini ya, nahan desah sama ga bikin suara derit kasur.” bisik Celine gelisah. Sungguh rasa enak yang menyiksa.

Keduanya tidak saling melucuti, hanya membuka beberapa bagian penting saja demi bisa menyatu.

Mepet, Celine sedang naik soalnya.

Abidzar melepasnya.

“Ah.. Kenapa di lepas?” suara Celine berbisik pelan sekali. Terengah lemas.

“Kita ga bisa lama,” bisik Abidzar lalu membenamkan wajahnya di sana.

Oh Celine jelas menyukainya. Sangat menyukainya. Dia pasti akan terus keluar.

“U-udah, masukin lagi, Abi.” lirihnya pelan sekali dengan nafas berat.

Abidzar sungguh sudah bisa menggunakan mulutnya dengan baik. Celine tidak bisa untuk tidak puas.

“Stt..” bisik Abidzar saat menekan dan kembali tenggelam. Memperingati Celine untuk tidak kelepasan melenguh.

Keduanya berpelukan erat, saling memandang panas lalu berciuman.

Tok.. Tok.. Tok..

Abidzar sontak melepaskan penyatuan, membenarkan celana dan kaosnya yang tergulung hingga ketiak saking Celine ingin menyentuh garis ototnya.

Celine tidak bergerak, dia terengah lemas. Padahal sedang enak dan akan sampai sebentar lagi.

Abidzar menutup Celine dengan selimut. “Jangan marah, nanti kita lanjut ya, sayang.” bisiknya lembut.

Celine yang kecewa menjadi tersenyum dibuatnya lalu mengangguk.

“Lama, janji?”

“Ga boleh janji, ga ada yang tahu nanti bisa apa engga, tapi aku usahain lama.” bisik Abidzar dengan menatap Celine sayang.

Dasar Celine.

Untung enak, jadi Abidzar juga suka sekarang.

***

“Aku lupa bawa oleh-oleh, bener-bener aku lupa,” Jasmin menyerahkan paper bag itu.

Dengan ragu Abidzar membukanya, ternyata sebuah syal. Jika musim hujan yang hampir setiap hari melanda, mereka memang akan butuh sesuatu yang hangat.

Syal dan sarung tangan bagai di luar negeri sering mereka semua gunakan.

Dan musim itu tidak akan lama lagi datang. Tandanya dengan sesekali turun hujan.

“Makasih, Jasmin. Tapi, aku ga bisa terima barang mahal begini, istri aku cemburuan juga, aku ga mau kita bertengkar, maaf ya, Jasmin.” tolak Abidzar halus.

Itu benar. Dia tidak ingin ada masalah dengan Celine. Mereka sedang menikmati menjadi pengantin baru.

“Kasih aja buat Celine, Abi. Atau buat ibu, maaf aku bikin kamu ga nyaman,” Jasmin tersenyum lembut.

“Aku yang maaf, ke depannya kalau makanan aku terima pasti,” Abdizar tersenyum menenangkannya.

Jasmin sahabatnya, namun karena ada Celine yang cemburuan. Abidzar jelas harus menegaskan batas. Demi pernikahan yang ingin dia jaga.

Celine yang tengah menguping sontak tersenyum. Dia tidak marah di sebut cemburuan oleh Abidzar karena memang dia cemburuan.

Abidzar miliknya. Tidak akan Celine berikan ruang orang lain untuk merebutnya.

Celine memilih melepaskan pakaiannya dan naik ke kasur. Bersiap menyambut Abidzar untuk melanjutkan apa yang tertunda. Ngocoks.com

Celine menatap bobanya. “Kayak macan tutul. Abi udah mulai ganas sekarang, argh suka!” pekiknya tertahan. “Astaga.. Liat, boba kiri parah gini.. Ga heran sih, setiap saat walau sibuk gerak, mulut Abi ga pernah lepas kayak bayi haus!” Celine terus memeriksa kulit tubuhnya.

“Bener-bener macan tutul. Boba macan tutul,” celetuk Celine sampai tidak sadar dengan Abidzar yang sudah berdiri diambang pintu.

Dia memperhatikan Celine yang polosan tengah mengamati bobanya, paha dalamnya. Abidzar menelan ludah melihat keindahan itu.

“Lagi apa sayangnya, Abi?” goda Abidzar dengan lembut namun terselip gemas.

“Lagi puasin diri sendiri.” Celine meremas bobanya.

Abidzar terus mendekat, membingkai sebelah wajah Celine lalu mengecup pipi dan bibirnya.

“Oh Abi!” Celine serambi lempitik tertahan, untung suaranya pelan.

Abidzar yang asyik mengecup pipi dan bibir tiba-tiba ndusel di sana. Membuat Celine enak tak karuan saja.

Bersambung… “Abi,” panggil Celine sambil memainkan jemari Abidzar yang mengusap perutnya, membelitnya dari belakang.

“Ya? Kenapa? Mau minum?” perhatiannya. Mengingat mereka full tidak tidur sampai kini jam 3 pagi.

“Bukan, cuma gelisah aja. Barusan kita sadarkan, kamu juga selalu keluar di luar, tapi sebelum-sebelumnya kita cuma enak aja, ga inget ke sana kebanyakannya.” Celine menoleh ke belakang.

Abidzar hanya menatapnya. Dia paham arahnya kemana.

“Kamu belum datang bulan ya?” Abidzar baru sadar juga. Biasanya Celine akan butuh kehangatan, akan merasakan sakit dan malas bergerak.

“Udah mau sebulan kayaknya, terus waktu Honeymoon kita gila loh, tapi ga papa.. Mungkin emang telat aja kali ya,” Celine menelan ludah, dia jadi berdebar gugup.

Selama dia hidup dan datang bulan, dia tidak pernah telat selama ini. Hamil jelas bisa, orang Abidzar sering menanamkan benihnya.

“Kamu udah ga minum obat pencegah sejak kapan?”

Celine kembali menelan ludah. “Udah lama banget, selalu lupa. Bodoh emang!” kesalnya sambil memukuli kepala sendiri.

“Ga boleh gitu, Celine. Ga papa kok, kamu ga mau punya anak dari aku ya?”

“Ck! Bukan gitu, masalahnya..” Celine tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kegelisahannya. “Ck! Nanti tes aja dulu.” putus Celine.

“Aku ke puskesmas besok pagi, minta alat buat ceknya. Kita hari ini udah ya, saatnya tidur.”

Tapi nyatanya Abidzar tidak bisa tidur. Dia berdebar mulai berharap. Lucu mungkin ya, ada duplikat dia atau Celine nanti.

Abidzar usap perut Celine, terus memeluknya dari belakang. Perut Celine yang lumayan sedikit menonjol itu lemak atau—

Abidzar segera menepis pikirannya. Dia tidak ingin berharap. Sungguh tidak di rencana jika memang Celine hamil.

***

“Bener.” lirih Celine sambil menatap garis dua itu. Dia terlihat syok, semua perasaannya campur aduk.

Abidzar segera kecup keningnya lama. Kecup pipi dan seluruh wajahnya lalu berjongkok mengecup perutnya.

“Kalian harus sehat,” lalu kembali berdiri, memeluk Celine yang pucat. Pasti kaget. Merasa belum siap dan sebagainya.

Ini kecerobohan bersama namun tidak mereka pungkiri. Ada rasa senang, mereka akan memiliki buah cinta kasih.

“Abi,” lirih Celine haru dan takut.

“Stt.. Kita ke puskesmas ya, hari ini buka, sebelum tutup atau penuh, ayo.” ajaknya.

Celine terlihat linglung, mungkin karena masih kurang percaya. Hingga Abidzar pasangkan jaket. Dengan telaten Abidzar bantu Celine hingga bersiap.

“Kita pastiin anak kita beneran ada, hm.. .”

Anak kita?

Celine sontak berkaca-kaca. Baru juga saling mencintai, saling menerima, Tuhan begitu baik membuat dia hadir tumbuh di perutnya.

“Nangis seneng ya? Ga papa, keluarin.” Abidzar juga memerah kedua matanya manahan air mata agar tidak jatuh.

“Yuk, pelan naiknya.”

Dan sepeda pun melaju perlahan. Abidzar begitu hati-hati. Selama perjalanan Celine mencoba menenangkan diri hingga berhasil berhenti menangis haru.

Suara lembut Abidzar membuat Celine jadi semakin cengeng rasanya.

***

“Perkiraan jalan minggu ke 5, berarti saat kita gila-gilaan ada—” Celine berhenti sembarangan bicara.

Dokter itu hanya tersenyum. “Janinnya kuat, harap untuk lebih berhati-hati ke depannya ya, bu. Jangan keluar di dalam bapaknya,” nasehatnya sambil menuliskan resep obat.

Vitamin dan beberapa obat pencegah mual. Jaga-jaga nanti mulai morning sickness.

Celine tidak malu, hanya Abidzar yang telinganya memerah dan agak salah tingkah. Namun pada akhirnya, Abidzar yang bersemangat bertanya posisi baik dan sebagainya.

Tahukan Celine bagaimana.

Hormon katanya bisa membuat Celine semakin hemm.. Abidzar harus memiliki pegangan agar Celine dan anaknya tidak mengalami sakit.

Keduanya pun pulang. Sesampainya di rumah, Abidzar segera memeluk Celine. Mengusap kepala dan punggungnya sambil terus mengalunkan doa.

“Semoga selalu sehat, lancar sampai lahiran, —” Abidzar terus mengalunkan harapan dan doanya dengan lembut.

Celine terisak haru. Dia tidak tahu, Celine nakal, Celine yang ingin berubah, tiba-tiba kini menjadi Celine yang mengandung anaknya, darah dagingnya.

Celine merasakan ombak perubahan yang drastis. Dia terlalu terbuai sentuhan, terlalu haus sampai akhirnya lupa dan hamil.

Celine tidak menyesal, tidak menolak kehamilannya juga. Dia hanya merasa takut, dia tidak memiliki kesiapan, bahkan masih proses berubah.

Apa dia bisa menjadi ibu yang baik seperti Mimah?

“Ada apa?” Mimah yang baru pulang setelah menjaga bu Dewi yang sakit sontak panik mendengar isak manja Celine yang terus Abidzar peluk dan usap-usap itu.

“Yuk kasih tahu ibu,” Abidzar membungkuk sedikit. Mensejajarkan tingginya dengan Celine lalu menyeka air matanya, menyeka ingusnya lalu mengusap peluh.

Cuaca memang panas.

“Ibu,” lirih Celine, menjauh dari Abidzar dan memeluk Mimah.

Tiba-tiba dia rindu mendiang ibunya. Tapi tak apa, Mimah bisa menjadi pengganti rindunya.

“Aku hamil,” lalu terisak haru.

Mimah terkejut lalu tersenyum sambil mengurai pelukan. “Hamil? Selamat, nak.” Mimah usap setiap sisi lengan Celine dengan senang.

Doa dan harapan kembali mengalun dengan tulus dari Mimah. Doa-doa baik yang sama seperti yang diucapkan Abidzar.

“Udah mau jalan lima minggu, tapi bu.. Kitakan—” Celine memilih tidak lanjut.

“Ibu waktu hamil Abi, sama kayak kamu. Ga tahu, ibu bahkan naik bukit, kerja di sawah sama ayah Abi, ga ada mual atau tanda hamil,”

Celine berhenti menangis, mendengarkan ceritanya dengan tertarik.

“Eh, udah tahu hamil baru ibu mulai rasain muntah, ga bisa pergi ke sawah saking lemesnya. Makanya, mungkin karena ga tahu, jadi janinnya kuat, pokoknya cucu ibu harus kuat,” Mimah usap perut Celine dengan haru. Air mata berjatuhan bahagia.

Tak lama lagi dia akan memiliki cucu.

***

Celine tersenyum bahagia. Abidzar selama beberapa hari ini terus mengucapkan makasih, kata romantis, pujian dan sebagainya.

Membuat Celine merasa lebih baik walau lemas karena muntah-muntah dan tidak nafsu makan.

Benar seperti cerita Mimah. Setelah tahu hamil baru terasa.

Celine tidak tahu rintangan ini akan dia lewati, demi lahirnya keturunannya bersama Abidzar.

“Celine,” Abidzar muncul dengan bubur pesanan Celine. “Kata ibu muntah lagi?” cemas Abidzar lalu duduk di sisi ranjang, mengusap sisi wajah Celine.

“Ga papa kok,” Celine duduk, mulai melihat bubur yang di bawa.

“Sebelum bubur, mau cium dulu.” Celine bergerak ingin duduk di kedua paha Abidzar.

Abidzar segera menekan bibirnya, mengabulkannya agar Celine bisa makan lebih cepat.

“Udah?” Ngocoks.com

“Lagi,” Celine membelitkan lengannya ke leher Abidzar, memperdalam ciumannya.

Abidzar hanya bisa masuk ke dalam kaos, menyentuh kulit lembut, perut dan semua yang ada di dalam kaos Celine.

“Haa.. Udah dulu, makan bubur abis itu kita bisa lanjut, ya..” bujuk Abidzar penuh kasih sayang.

“Iya, tapi ga mau ciuman, mau lebih.”

“Iya, nanti kita berduaan, aku izin ke ibu mau kelonin kamu, makan dulu ya..”

Bersambung… “Perut Celine lebih besar ya, padahal jalan 5 bulan..” Mimah mengusap perut sang menantu. Semoga besar pun normal dan kata Abidzar kandungan Celine sangat sehat. 1

Celine yang ingin memberi kejutan merasa membohongi Mimah. “Ibu..” panggilnya membuat fokus Mimah langsung terarah pada Celine.

“Iya? Kenapa? Mau sesuatu?” tanyanya senang walau kadang ngidam menantunya itu aneh. Seperti ingin melihat bu Hanum menari.

Untung tetangganya itu baik dan sayang Celine karena selalu memborong jajanan dan semakin dekat akibat sering jajan.

Mimah sungguh lega dengan hubungan Celine dengan beberapa warga di sini sekarang. Mereka semua hidup berdampingan. Damai.

“Aku mau jujur,”

Abidzar menatap Celine. “Jujur soal apa?” lalu tersenyum. Apa mungkin Celine mau memberitahu soal hamilnya yang kembar?

Abidzar tentu saja senang jika Celine mau memberitahu kabar itu.

“Soal apa?” Mimah berdebar dibuatnya.

“Sebenernya, aku hamil kembar ibu. Makanya lebih besar dari hamil normal,” Celine mengusap perutnya lalu menatap Abidzar yang tersenyum seolah senang dengan kejujurannya.

Abidzar sebenarnya tidak ingin menutupi kebahagiaan soal hamil Celine yang kembar, tapi itu kemauan Celine yang katanya ingin memberi kejutan pada keluarga.

Entah apa yang membuat Celine mau membuka kabar rahasia itu. Yang jelas Abidzar senang mendengarnya.

“Kembar?” kaget Mimah.

“Iya, ibu. Awalnya kita mau kasih kejutan,”

“Kembar cucu ibu?” senang Mimah sambil kembali mengusap perut Celine.

Cucunya langsung dua. Mimah begitu senang.

“Dan, aku mau izin juga, bu.” Abidzar mengusap kepala Celine sebagai ucapan terima kasih mau memberitahu soal itu pada ibu.

“Izin? Ke rumah Celine buat kasih kabar?” tebak Mimah.

“Iya, bu.”

“Pergi aja, semoga perjalanan lancar sampai tujuan, ibu sendiri ga papa, atau ke tempat bu Dewi, pokoknya ibu ga papa,”

***

Celine terlihat cantik dengan gaun hamil pemberian dari Mimah, katanya itu pakaian dulu yang masih bersih dan sebelumnya sudah Mimah cuci juga.

Celine pikir tidak muat, ternyata muat walau menjadi rok di atas lutut karena Celine lebih tinggi dari Mimah.

Abidzar kembali senang dibuatnya. Celine mau menerima pakaian bekas ibunya, tidak ragu, gengsi atau merasa risih.

Celine sudah menerima Mimah seperti ibu kandungnya sekarang. Satu pakaian membuatnya tidak merasakan apapun selain senang bagai diberi warisan.

Katanya pakaian yang di pakai Celine kini itu mahal di zaman dulu, satu-satunya pakaian bermerk pada zamannya yang diberikan mendiang ayah Abidzar saat mengandung Abidzar. Makanya Mimah menjaganya dengan baik.

“Mobilnya suami bu Dewi belum berangkat ya?” tanya Mimah sambil memberikan beberapa makanan untuk di makan selama perjalanan. Terutama jeruk.

“Sudah, itu bu baru datang.” Abidzar segera menggandong tasnya, hanya membawa sedikit pakaian saja karena di rumah Celine sudah ada pakaiannya yang tertinggal.

Abidzar ingin lebih fokus menjaga Celine juga. Soal pakaian tidak usai risau karena ada Gustav juga.

“Berangkat ya, bu.” Celine memeluk hangat Mimah.

“Hm, semoga sampai tujuan, sehat-sehat di sana, titip salam buat Glen, nak Gustav.. Ajak main ke sini, kita makan bersama di sawah,”

Celine mengangguk lalu pasrah di tuntun Abidzar setelah selesai berpamitan.

Celine Abidzar gendong hingga naik ke atas mobil pick up yang sebagian terisi sayuran segar.

“Bapak sengaja kosongin sebelah sini buat nak Celine, sama calon cucu bapak, di pasangin atap juga biar ga kepanasan selama perjalanan,”

Celine tersenyum senang melihat suami bu Dewi yang menerimanya dengan baik. Celine tidak tahu ternyata akan sebaik ini hidupnya jika tidak mendahulukan emosi, ego dan gengsi.

***

“Ngantuk?” Abidzar meraih cemilan di paha Celine, merapihkannya dan memasukan ke dalam plastik berisi makanan dan air itu.

Celine mengangguk. “Iya, banyak ngemil sama enak juga anginnya. Adem,” jawabnya dengan mata sayu menahan kantuk.

“Jalan rusaknya masih jauh, sini tiduran dulu.” Abidzar peluk, menyandarkannya di bahu.

Celine pasrah saja karena memang ngantuk.

Abidzar usap-usap bahu dan kepalanya sayang. Membuat Celine semakin mengantuk dan terpejam.

Sungguh tidur yang nikmat dengan semilir angin adem dan bau dari dedaunan hijau.

Abidzar meraih ponsel Celine yang tidak ada sinyal itu, isinya begitu banyak foto selama di desa. Dengan orang-orang desa, sungguh berbeda dengan Celine yang mewah, biasanya berfoto di hotel dengan pemandangan gedung pencakar langit.

Abdizar kecup lama kepala Celine. Ternyata Celine bisa diajak hidup sederhana.

“My queen.” bisik Abidzar lembut terselip bangga dengan segala perubahan Celine yang selalu membuatnya terkejut namun senang.

Abidzar mematikan ponsel Celine, menatap sawah-sawah dan perkebunan yang dilewati. Abidzar harus memutar otak.

Kerja di negara orang memang besar, tapi hidup di sana masing-masing. Dia ingin anak dan istrinya selalu terus berada di tempat yang hangat.

Tapi masa depan tidak ada yang tahu.

“Nak Abi, jalanan mulai ga mulus, bapak pelanin tapi tetep jaga-jaga di belakang,”

“Baik, pak. Terima kasih,”

Celine pun bangun, dia mulai merasakan guncangan dari jeleknya jalan yang belum di aspal itu.

Abidzar memastikan kepala Celine tidak mengenai besi untuk penyangga tudung peneduh itu.

“Makasih, papa.” Celine tersenyum melihat perhatian dan protektifnya Abidzar. Sungguh terlihat dewasa, penyayang dan sudah sangat cocok menjadi seorang ayah.

Aura Abidzar memang selalu memancarkan sosok ayah yang hangat. Kedua anaknya kelak sungguh beruntung.

Telinga Abidzar sontak merah mendengarnya. Panggilan papa selalu berhasil menggelitik. Abidzar suka.

***

“Perut, Celine.” sambut Glen di kursi roda dengan satu suster yang mengurusnya. Gustav masih belum pulang. “Cucu, ayah punya cucu,” senangnya.

Celine terus mendekat, memeluk ayahnya walau luka masih belum sembuh tapi dia akan mencoba berdamai.

Kedua anaknya harus memiliki keluarga lengkap dan harmonis. Itu tekad Celine. Dia tidak akan membiarkan kedua anaknya terasingkan seperti dirinya.

“Iya, ayah. Maju 5 bulan, kembar.” Celine membiarkan perutnya di sentuh Glen dengan gemetar haru.

Akan ada penerusnya. Berharap dari Gustav terlalu lama. Anaknya itu seperti tidak niat memiliki anak.

Padahal tanpa Glen tahu, bahkan Gustav tahu. Hari ini seorang wanita tengah melahirkan anak kembar yang tak lain darah daging Gustav.

Abidzar memeluk Glen sekilas, menerima ucapan selamat atas kehamilan Celine.

“Maaf, ayah. Kita baru bisa kesini, jalan di desa buruk, takutnya mengganggu kehamilan Celine,” terang Abidzar.

“Ayah maklum, yang jelas ayah senang.. Terima kasih,” haru Glen.

“Kakak mana, ayah?”

“Belum pulang, katanya hari ini lembur, akan ayah telepon untuk pulang!”

***

“Kak, ada masalah?” Celine menatap Gustav yang melamun, awalnya sangat senang dengan kabar dirinya hamil. Tapi setelah itu, Gustav selalu diam bagai memiliki beban pikiran.

“Masalah biasa, kantor.” bohongnya, padahal bukan itu.

Celine tidak mengganggunya lagi, dia lanjut makan dengan lahap barulah bersih-bersih di kamar dan istirahat.

“Abi,”

“Iya, apa?” Abidzar menyimpan handuk basah ke cucian barulah mendekati Celine yang rebahan.

“Ayo tidur, besok aja beres-beresnya.” Celine terlihat nyaman berada di kasurnya dengan hanya memakai gaun tidur tipis yang nyaman. Ngocoks.com

Abidzar mendekat sambil membenarkan atasan Celine sambil menjejalkan bobanya untuk masuk lagi. “Tumpah-tumpah,” lalu tertawa pelan.

Celine tersenyum, bobanya memang agak membesar. Sampai meleber keluar dari gaun tidur tipisnya.

“Akibat kamu emut terus,” Celine merapat walau kini terhalang perutnya. “Jadi mau diemut,” lanjutnya.

“Katanya lelah, tidur, sayang.” Abidzar usap rambut Celine, kecupi kepalanya lembut penuh kasih.

“Kayaknya main bentar boleh, ini ngidam.”

“Mama yang ngidam?”

“Iya, papa.”

Keduanya cekikikan lucu. Tetap saling memeluk erat. Hingga berakhir gaun tidur itu terongok di lantai, celana Abdizar pun sama.

Abidzar mendesah halus, membiarkan Celine juga berisik di atasnya. Abidzar usap-usap perut buncit itu, dia akan menjadi ayah dari dua anak.

Sungguh indah hidupnya kini.

“Pelan aja,” Abidzar mengangkat tubuhnya membuat keduanya duduk berhadapan dengan saling mengisi satu sama lain.

“Dasar protektif, papa.” Celine pasrah saat direbahkan dan membiarkan Abidzar berada di atasnya, memimpin permainan dengan lebih hati-hati.

Bersambung… Gustav melirik Celine dengan perut buncitnya. “Masih ga percaya kamu hamil, Celine.” lalu terkekeh pelan.

Celine mengusap perutnya. “Lucu ya?” balasnya narsis.

“Iya, kayak ikan buntel.”

Celine mendengus lalu duduk di samping Abidzar yang duduk bersisian dengan Gustav. Keduanya tengah menonton bola.

Gustav dan Abidzar semakin dekat selama seminggu ini. Gustav juga lebih sering pulang lebih awal agar mereka bisa makan malam bersama.

Sepertinya Gustav benar-benar ingin berubah, ingin memperbaiki kesalahannya.

“Kita ke sini sekalian mau belanja pakaian bayi, mau ikut kak?”

Gustav menggeleng. “Ga sesabar Abidzar, pergi aja berdua.” jawabnya tenang.

“Iya sih, nantikan lama di sana.” Celine membelit lengan Abidzar. “Kamu ga masalah?” tanyanya.

“Sama sekali engga.”

Ketiganya mulai asyik menonton bola. Celine lebih heboh dari Gustav dan Abdizar.

“Fuck! Shit!”

“Celine, ga boleh ngumpat.” tegur Abidzar lembut.

Celine cengengesan. “Maaf, kelepasan.” ringisnya.

Gustav tersenyum samar. Akhirnya bisa melihat Celine ditaklukan. Lucu sekali. Abidzar sungguh pantas menjadi suami dari adiknya.

“Ga papa, jangan diulangi ya,” bisik Abidzar yang diangguki Celine lalu ndusel di lengan Abidzar.

Gustav menggeleng samar. Benar ya, jika sudah menemukan pawang memang berbeda. Dari macan bisa berubah menjadi kucing.

***

Celine bersiap dengan kaos kebesaran milik Abidzar, dipadukan dengan jaket jeans milik Celine yang sudah lama tidak Celine pakai. Bawahannya hanya celana kain longgar miliknya. Lalu tas kecil yang hanya berisi lipstik, ponsel dan kartu dari ayahnya untuk cucunya.

“Walau ayah kasih, aku mau serakah. Mau dari kamu juga biar banyak,”

“Iya, uang yang aku dapet dari kerja di Jepang, semua buat kamu, buat anak kita.” Abidzar kecup ringan pipi Celine.

Celine balas mengecup pipi Abdizar.

“Yuk, udah siap?” Abidzar membenarkan rambut Celine.

Celine mengangguk dengan senyum tulus penuh cinta. Tidak ada air wajah angkuh lagi di wajah cantiknya.

“Mau naik apa?” Celine membalas genggaman Abidzar yang menuntunnya.

“Kata ayah, ada sopir yang antar.”

“Oke.”

***

Abidzar tidak mengeluh sama sekali, dia membawa semua barang belanjaan di kedua tangannya dengan terus mengekor dan menjaga Celine.

“Kalau lelah kita makan dulu,” Abdizar melihat keringat di pelipis Celine.

“Oke, Abi.” manjanya sambil mendongak menatap Abidzar lalu tersenyum.

“Istri baik,” puji Abidzar balas tersenyum.

“Mau di sana? Enak kayaknya,”

“Ayo, aku ikut mau kamu.”

Celine memakan semua pesanannya, Abidzar pun sama. Keduanya mulai mengisi tenaga lagi.

“Aku simpen belanjaan dulu, boleh? Biar bisa bawa yang lain lagi,” ujar Abidzar setelah selesai makan.

“Boleh, aku tunggu di sini.”

Abidzar mengangguk. “Telepon kalau ada apa-apa. Makannya pelan,” lalu beranjak meraih semua barang belanjaan.

Celine lanjut makan, patuh dengan makan pelan walau sangat suka dengan makanannya. Nafsu makannya sudah kembali.

Mual muntah sudah mulai hilang, perutnya juga mulai bulat dan kembung. Lucu.

“Celine?”

Celine berhenti minum, menatap pria yang berdiri angkuh itu. Malas sekali bertemu dengan binatang satu itu.

“Ya?” sahutnya malas sambil meraih ponsel.

“Ternyata beneran lo,” tatapnnya jatuh ke perut Celine. “Ayahnya siapa? Jangan bilang lo ga tahu,” candanya.

Tanpa diperintah dia duduk di kursi samping Celine.

“Gue udah nikah.” datarnya.

“Oh ya? Seorang Celine yang bebas?” cemoohnya.

Celine mengibaskan rambutnya, dia mulai gerah karena kesal. Bertemu dengan pria yang merusaknya sungguh kesialan.

“Gue udah bukan Celine yang dulu. Jadi, lo pergi!”

“Emangnya ada yang mau sama bekas kayak lo? Lo lupa seberapa rusak lo,” bisiknya diakhir.

“Lo cuma mau bikin gue marahkan? Sayangnya, gue bukan Celine yang emosian lagi.”

“Lo tanpa kata pergi ninggalin gue, lo emang bebas, gue juga. Tapi ga sopan kalau lo pergi tanpa ucapan apapun.”

“Hubungan kita ga bisa disebut hubungan, buat apa pamit? Kita sama-sama pemakai, gue ga butuh lo selain buat hiburan dan bukannya lo juga tegasin soal itu?” geram Celine.

Bisa Celine lihat, rahang dia yang mengetat. Untuk apa juga membahas masa lalu menjijikan saat itu. Mereka sama gilanya dan kegilaan itu sudah Celine tinggalkan.

“Lo gagal move on dari gue? Lo ternyata sesuka itu?” ejek Celine.

Abidzar menghentikan langkahnya saat melihat pria asing di samping Celine. Siapa dia? Langkahnya terayun pelan, samar suara keduanya terdengar sama marah.

“Ada apa?” Abidzar mengusap bahu Celine, mengkodenya untuk tidak mendahulukan emosi. Nafas Celine sudah memburu marah.

Abidzar tersenyum ramah pada pria asing yang kini menatapnya dengan meremehkan itu. Abidzar mengabaikannya.

“Siapa? Ada apa?” Abidzar menatap Celine yang masih mengeraskan wajahnya.

“Jadi ini suami lo?”

“Lo pergi!” dingin Celine.

“Ternyata selera lo kayak gini?”

“Celine,” Abidzar mengusap jemari Celine. “Kita pergi.” ajaknya. Abidzar tidak peduli pada pria itu.

Yang utama Celine. Pria itu merendahkannya pun dia tidak akan ambil pusing. Kualitasnya sudah jelas, pria itu yang rendah.

“Dia bekas, dia wanita murah, dia wanita menjijikan, banyak pen*s yang masuk—”

Celine hendak meninjunya namun Abidzar segera peluk.

“Jangan di ladenin, dia cuma lagi sakit karena ga bisa dapetin kamu.”

Abidzar segera membawa Celine pergi dari sana, meninggalkan pria yang gagal membuat masalah dengan Abidzar maupun Celine.

“Dasar j*lang!” umpatnya lalu pergi dengan emosi yang menggunung. Dia sadar kalau dirinya memang kecewa tidak bisa lagi mendapatkan Celine.

***

“Dia siapa?” Abidzar memberikan sebotol air untuk Celine.

Celine menerimanya, meneguknya sedikit. Sudah terlihat mulai rileks.

“Dia yang dulu rusak aku.” lirihnya menunduk. Celine sejujurnya merasa tertampar. Dia dulu memang sekotor itu.

Bertemu dengannya lagi sungguh mengorek luka lama.

“Aku ga mau bahas,” bibirnya bergetar lirih.

“Ga usah dibahas, dia ga penting.” Abidzar memeluknya. “Tenangin diri sebentar, kita lanjut belanjanya ya.. Jangan dipikirin soal apapun selain anak kita.” lanjutnya.

“Abi, aku kotor banget, kenapa kamu ga jijik?” isaknya pelan di pelukan Abidzar.

Keduanya di dalam mobil dengan sopir berada di luar memberikan privasi.

“Ga ada yang kotor, semua orang punya masa lalu dan bisa berubah, berhak berubah..” bisik Abidzar begitu lembut. “Kamu keren udah mau berubah, mau ninggalin kebiasaan kamu yang pastinya susahkan..

Aku ga pernah pandang kamu rendah, di masa lalu kamu ga ada aku, jadi aku ga akan mau bahas, aku cuma mau kamu sama aku lebih baik lagi ke depannya. Kamu itu istri aku, my queen, calon ibu anak-anak aku, jadi semangat ya buat lebih baik lagi, kita sama-sama belajar,” ujarnya lembut sekali.

Celine tetap masih merasa kotor. Apakah dia sungguh layak mendapatkan Abidzar. Harusnya Abidzar mendapatkan yang lebih baik darinya.

Celine ingin kabur rasanya. Ngocoks.com

Abidzar mengecup bibir Celine lembut dan sebentar namun Celine menarik tengkuk Abidzar lalu menciumnya sampai belepotan lipstik.

“Mau pulang.”

“Pulang?” Abidzar membenarkan duduk Celine. “Yaudah, kita pulang.” lanjutnya sambil menyeka bibir Celine yang belepotan.

Dan Celine pun sama, menyeka bibir Abidzar. Dan sesampainya di rumah, Celine bagai kerasukan.

Dia begitu agresif. Abidzar hanya bisa membalasnya. Memeluk Celine yang naik turun di pangkuannya.

“Mau lama,”

“Sebentar aja ya,” Abidzar masih agak ngilu dengan perut Celine.

“Ah.. Ga mau,” lirihnya dengan terus naik turun di pangkuan sang suami.

“Ah.. Pelan, Celine.” lirih Abidzar sama naik, dia sungguh menggila jika sudah melakukannya bersama Celine.

Abidzar mendesah halus, memeluk dan mengusap Celine yang meliuk di pangkuannya dengan begitu panas.

Abidzar menggendong dan merebahkan Celine, dia usap perutnya sambil berbisik meminta izin untuk memadamkan Celine yang begitu membara.

Bersambung… Celine terlihat nyaman menyandarkan pipi di dada bidang Abidzar. Kepalanya tengah diusap-usap, lengan dan punggungnya juga.

“Dia yang rusak aku, Abi. Lebih tepatnya, aku juga gila sama kayak dia. Saat itu aku kesepian, dia kasih cinta dan perhatian awalnya. Diperlakuin kasar pun emang bodoh aja,” Celine sungguh menyesali dengan masa mudanya yang bebas.

Dipakai oleh pria seperti dia dan percaya adanya cinta? Sungguh bodoh.

Padahal dari cara memperlakukannya saja sudah tidak baik. Dari sisi mana dia berpikir dan berharap akan ada cinta.

Setelah ketiga kali melakukannya Celine baru sadar. Cinta sungguh tidak ada. Hanya saling membutuhkan untuk memuaskan.

Makanya, Celine semakin bebas setelah tahu rasa melayangnya sebuah hubungan badan. Sakit namun nikmat, dia merasa kian bebas lepas walau paginya kembali hampa.

Kehilangan ibu sungguh membuatnya merasa kosong. Hanya dia orang yang paham tanpa harus banyak menjelaskan keadaannya yang selama ini selalu dibandingkan dengan Gustav.

“Aku nyesel ga jaga buat kamu,” Celine kembali meneteskan air mata. “Maaf, Abi. Aku janji, ke depannya akan lebih baik lagi.” lanjutnya dengan tangis kembali pecah.

Abidzar tidak melarang Celine untuk berhenti, dia akan membiarkan Celine mengeluarkan semua pikirannya.

Dia akan mengizinkan Celine menangisi masa lalu hanya untuk hari ini saja.

***

“Udah tenang, sayang?” Abidzar mengusap lembut kepala Celine sekilas.

Celine mengangguk, dia merasa lega mengeluarkan semua keresahan saat dia muda dulu.

Dia sungguh teramat menyesal membiarkan pria yang bukan suami menyentuhnya dengan bebas. Begitu murah, lebih murah dari kupu-kupu malam karena gratis.

Hormon juga mempengaruhi mungkin. Makanya dia sangat teramat baper sekali saat ini.

“Saatnya pakai pakaian, di sini ada AC, jangan sampai istri cantiknya Abidzar masuk angin,” lalu tersenyum hangat.

Celine jadi tertular. Dia senang di manja Abidzar. Suara lembutnya yang bagai mengajak main anak kecil membuat Celine ingin bertingkah manja terus dibuatnya.

“Nah, sekarang tidur istirahat.” Abidzar menyelimuti Celine.

“Usap-usap perutnya,” pintanya manja.

“Siap, sayangku..” Abidzar membingkai perut Celine lalu mengecupnya baru mendekati Celine yang segera merapat.

“Sampai bengkak gini,” Abidzar mengusap mata Celine sekilas. “Bobo, sayang. Jangan pikirin apapun,” segera dia usap-usap perutnya.

“Kamu juga,” Celine mengecup dagu Abidzar dan Abidzar balas mengecup bibir lalu kening.

Dia kini tengah mengusap perut istrinya yang hamil dan rasanya masih tidak menyangka itu Celine.

“Nama anak kita siapa ya, Abi?”

“Emm.. Apa ya, kamu udah ada kepikiran?” Abidzar menatap setiap ekspresi Celine yang kini mendongak menatapnya.

“Ada, cuma baru satu.. Lizia, panggilannya bisa baby Lili so cute, baby Zia, or baby Liz,” riangnya.

“Boleh, cantik namanya.” Abidzar masih mengusap perut Celine, tangannya itu masuk ke dalam pakaian tidur Celine.

“Nanti kita cari lagi, sama-sama.” Celine peluk Abidzar, membuat usapannya berhenti. “Usap kepala atau punggung, Abi.” pintanya manja.

“Siap, sayangku.” balasnya lembut sambil mengendus rambut Celine yang selalu wangi.

***

“Lagi apa? Jangan terlalu capek,” Abidzar menyeka peluh di pelilis Celine. Cuaca memang panas sekali hari ini.

“Ini bunganya cantik, kita bisa bawa ke desa ga nanti?” tanyanya senang.

“Nanti izin ke ayah,”

“Oke, mau ini pokoknya!” serunya senang. Mood Celine sedang bagus hari ini. “Loh, tanaman ini ada bunganya ya?” kagetnya lalu tersenyum senang.

Entah sejak kapan Celine jadi suka tanaman, apapun itu.

“Kita tidur siang yuk? Di sini panas nanti kamunya pusing, sayang.” begitu lembut sampai Celine tidak bisa protes.

“Cuma tidur?”

“Terserah kamu, aku ikut aja. Oke-oke aja,” Abidzar tersenyum lalu terkekeh pelan. Begituan dengan Istri jelas Abidzar suka.

“Cih, ga pernah nolak kayaknya.” sindir Celine dengan rempongnya.

“Suka punya kamu, enak.” bisiknya nakal sampai Celine melotot saking merinding. Jadi ceritanya Abidzar mengikuti tingkahnya?

Keduanya tertawa saling memeluk dan merangkul menuju kamar.

Sesampainya di kamar keduanya berpelukan, berciuman mesra penuh penghayatan dan cinta yang tulus.

Kelembutannya menunjukan Abidzar memang penuh dengan kasih sayang.

“Eum.. Udah dulu,” Abidzar mengeluarkan tangan Celine dari dalam celananya. “Ga mau tidur aja?” tanyanya sambil membelai sisi wajah Celine yang dia bingkai.

“Ga ngantuk, lagi ga capek juga..” Celine kembali mendekat hingga hidung bersentuhan lalu bibir pun bertabrakan.

Abidzar tersenyum dan segera membalas, memagut bibir Celine lembut tanpa nafsu. Menikmati setiap sesapan yang membuat bibir keduanya menjadi sama basah dan bengkak.

Abidzar menyelinap masuk ke dalam celana dalam Celine, mengusapnya sampai Celine melenguh dalam ciumannya.

Abidzar pun nengerang halus saat jemari Celine mengocoknya.

“Ah..” desah Celine dengan terus memagut, sesekali meneroboskan lidahnya hingga saling membelit dengan Abidzar.

Abidzar kian menuntut, sama mengocok Celine. Keduanya mendesah, melenguh dengan sesekali menjeda ciumannya.

“Ahh..” lenguh Celine saat merasakan kelegaan.

Abidzar mendorongnya pelan hingga terlentang. “Aku mimpin?” tanyanya.

Celine mengangguk. “Aku cuma mau tahu enaknya aja udah,” diraih tengkuk Abidzar lalu mencium bibirnya lagi.

Abidzar membalas sambil kedua tangan aktif mengeluarkan miliknya hingga celana melorot sampai ke paha.

Abidzar melebarkan kaki Celine dan menindihnya dengan memperhatikan perutnya agar tidak tertindih sepenuhnya.

“Emh..” lenguh Celine di sela ciumannya, dia usap-usap tengkuk Abidzar, dia belai rambutnya.

“Lepas dulu, mainnya sebentar ya sayang, abis itu tidur.” Abidzar melepaskan celana dalamnya saja.

“Iya.” balas Celine riang tak sabar saat melihat milik Abidzar yang membesar dan keras itu.

Abidzar mengusap Celine di sana, memastikan sudah siap menyambutnya. “Ternyata udah sebasah ini, sayangku.” godanya sambil menekan miliknya perlahan.

“Selalu basah cepet gara-gara kamu, ahh.. Mentok,” celetuknya dengan terpejam mengernyit keenakan.

“Nakal,”

“Yess, aku. Istri nakal Abidzar.” lirihnya gelisah mulai keenakan merasakan tarikan dan dorongan pelannya.

Abidzar selalu hati-hati tanpa mendahulukan gairahnya. Sungguh suami baik yang tebal kesabarannya.

***

Abidzar perlahan meninggakan Celine, misinya menidurkan Celine berhasil. Saatnya membantu kakak dan ayah dari sang istri untuk menyiapkan kejutan ulang tahun nanti malam.

Celinenya ulang tahun. Ngocoks.com

“Ayah, aku pergi cari kado dulu ya..”

“Hm.. Ayah lagi pesan kue, dekorasi udah Gustav urus,” jelasnya yang duduk di kursi roda.

“Makasih, ayah.”

“Celine anak ayah. Ga usah sungkan, ayah juga sehat.. Mumpung sehat,”

Abidzar mengangguk lalu segera pergi sebelum Celine bangun. Dia akan membelikan Celine perhiasan untuk pertama kalinya.

Apa Celine akan suka?

Perhiasan atau tas ya?

Abidzar terus berpikir hingga pada akhirnya memilih perhiasan.

Waktu terus berlalu. Gustav dan Glen melirik jam tangannya.

“Kenapa Abidzar lam—” Gustav menatap ponselnya, banyak panggilan dari sang sopir bahkan Abidzar.

Gustav lupa ponselnya disenyapkan.

“Celine belum bangun ya? Ada apa, Gustav?” tanyanya.

Bersambung… “Abidzar kecelakaan, yah.” Gustav fokus pada ponselnya.

“Apa? Kecelakaan? Di mana? Dia sekarang keadaannya gimana?” tanya Glen panik.

“Abi kemana?” Celine terlihat kaget dengan apa yang di dengarnya. “Kecelakaan? Emangnya Abi mau kemana?” lirihnya lemas.

Gustav segera meraih Celine yang hampir jatuh ke lantai itu.

“Abi mana?” Celine memucat.

“Dia—”

“Aku di sini,” Abidzar di papah orang asing yang mengantarnya. Kaki dan sebelah lengannya yang terkena luka gores dan di jahit 5 jahitan terlihat di gulung perban.

“ABI!” Celine melepas Gustav dan segera berlari.

“Jangan lari! Jangan lari!”

“Jangan lari, Celine.” tegur Gustav dan Glen bersamaan.

Celine tetap mendekat, memeluk Abidzar dengan lega walau sedih melihatnya di perban, pincang juga.

“Dari mana sih?! Sampe kecelakaan!” amuk Celine dengan mengeratkan pelukan dan terisak.

“Saya pamit, mas.”

“Makasih ya, pak..” Abidzar menoleh lalu menatap Celine. “Lepas dulu, mau terima kasih ke bapaknya dulu.” bisiknya.

Celine mengalah, membiarkan Abidzar dan Gustav mengantar sekaligus memberi upah atas kebaikannya.

“Gimana bisa, Abi? Sopir mana?”

“Aku pulang duluan karena Celine takut bangun terus nyariin dan panik.. Pak Iyas masih di rumah sakit ayah, katanya harus beberapa hari di rawat dulu. Ada kucing lewat, pak Iyas kaget dan banting stir untungnya kecepatannya ga kenceng,”

Celine masih mengusap lengan Abidzar yang di perban itu. “Emang mau kemana sih?! Ninggalin aku!” rengeknya kesal nan manja, masih berderai mata juga.

“Itu—”

“Terus pulang dari rumah sakit pasti kaburkan? Harusnya di rawat dulu, kalau ada luka lain gimana?” omel Celine dengan menangis lagi. “Ayo ke sana lagi!” tegasnya.

“Aku ga—”

“Ga mau tahu ayo! Aku ga mau kamu kenapa-napa, aku ga mau ditinggal lagi.” isaknya.

Glen dan Gustav menatap Celine dengan senyum tipis. Dia terlihat sangat bergantung dan cinta pada Abidzar. Celinenya sungguh berubah dan perubahannya menjadi ke arah yang lebih baik.

“Ke rumah sakit, Abi. Turutin maunya Celine,”

Untuk soal kejutan ulang tahun biar saja, Celine bukan anak kecil yang akan menangis jika tidak dirayakan.

“Kado buat kamunya,” Abidzar menunjuk paper bag di meja.

“Kado?” Celine mengerjap. Besok ulang tahunnya ternyata, jadi Abidzar sampai kecelakaan hanya untuk membelikannya kado?

“Kenapa?” panik Abidzar saat mendengar tangisan kencang.

“Kamu luka cuma buat beli kado itu, padahal kamu aja cukup sebagai kado, ga mau apapun lagi.”

Abidzar tersenyum, perasaannya menghangat. Gustav dan Glen pun tersenyum. Ikut bahagia jika Celine menemukan kebahagiaannya.

***

“Aku udah bilang, ga papa.. Cuma luka tangan sama kaki,” Abidzar tersenyum hangat pada Celine.

Keduanya sudah kembali ke mobil setelah memeriksa keadaan Abidzar sekaligus menjenguk sopir dan membayar biaya perawatannya. Celine sudah lega jika dokter yang bilang langsung padanya.

“Abi.. Jangan bikin jantung aku copot lagi, kalau mau pergi izin, aku ga butuh kejutan, hadiah atau apapun.” lirihnya.

Abidzar usap jemari Celine yang dia genggam. “Iya, lain kali aku bilang. Mungkin ini juga teguran walau niat aku baik, mau beli kado buat istri.” diusap pipinya sekilas.

Celine menatap Abidzar dengan mata sembabnya. “Makasih, makasih banyak. Udah mau beli kado, inget aja aku udah seneng.” lalu mendekat dan bersandar.

“Sama-sama, sayang. Maaf kejutannya gagal.” bisiknya.

“Ga papa, asal kamu ga papa.”

“Jangan nangis lagi, nanti pusing. Maaf malah bikin kejutan yang bener-bener bikin kamu kaget liat aku di perban.”

“Ngomong-ngomong kamu beli apa?” Celine mendongak.

“Ada, nanti liat aja.”

Sesampainya di rumah, Celine begitu berusaha ingin memapah. Padahal tubuhnya kecil, mana perutnya buncit. Lucu.

“Kakak aja, minggir.”

“Ga mau, aku bisa.”

“Abidzar kesakitan, dia jalan ga mau bebanin kamu,” dasar Abidzar penurut batin Gustav. Demi membahagiakan istrinya yang ingin berbakti, dia berkorban kesakitan karena sesekali berjalan dengan kakinya yang sakit agar tidak membebani Celine.

“Yaudah.” Celine mengalah, membiarkan Gustav memapahnya sampai ke kamar.

“Rebahan aja,” Celine begitu telaten.

“Jangan lari-lari, sayang.” tegur Abidzar lembut. “Pelan aja, aku ga papa.” yakinnya.

***

“Selamat ulang tahun.” bisik Abidzar sambil menatap Celine yang tidur menyamping ke arahnya.

“Tepat jam 00:00.” Celine tersenyum. Dia bahagia Abidzar menjadi yang pertama mengucapkan ulang tahun untuknya.

“Semoga kamu selalu sehat, panjang umurnya—” Abidzar usap-usap puncak kepala Celine sambil terus mendoakannya. “Selalu bahagia, semakin baik lagi, lebih positif dalam segala hal, kita belajar sama-sama ya buat jadi orang tua yang baik untuk anak-anak..” lanjutnya begitu lembut penuh kasih.

Celina mengangguk dengan mata merebak basah. Tahun ini ulang tahunnya sungguh Indah. Tahun pertama bersama dua bayi dan Abidzar.

“Lahirannya nanti lancar, anak-anak kita baik, cantik kayak ibunya,”

“Engga, mau kayak kamu. Mereka harus kayak kamu,” Celine usap sisi wajah Abidzar dengan teramat sangat jatuh hati.

Tidak ada lagi yang akan dia keluhkan pada pemilik semesta. Mendatangkan Abidzar sungguh sebuah kebahagiaan. Lebih dari kata cukup.

Celine menjadi perempuan paling beruntung karena memiliki Abidzar yang sebagai pria begitu bertanggung jawab, tidak pernah marah, tidak pernah merendahkan, selalu menghargai perempuan karena dia sadar lahir dari seorang perempuan, dia bukti bahwa di dunia ini masih ada pria baik, orang baik.

“Apapun, gimana pun ke depannya. Kita hanya perlu melakukan yang terbaik, sayang. Aku kecil juga nakal kok,” Abidzar tersenyum hangat, kedua matanya begitu memancarkan ketulusan.

***

Dua hari berlalu semenjak hari di mana Celine ulang tahun dan kejutannya gagal walau kado pemberian Abidzar dia sangat suka bahkan terus di pakai.

Cincin, gelang, kalung dan Anting. Satu set perhiasan.

“Mandi aja, biarin.” ujar Abidzar yang saat ini tengah di bantu Celine untuk mandi, lebih tepatnya hanya keramas lalu tubuhnya di lap karena luka masih basah.

Celine membiarkan handuk membelit rambut Abidzar yang basah. Ngocoks.com

“Keras gitu,” Celine menggenggamnya lalu duduk di ujung paha Abidzar. “Aku bantu bentar ga papa.” putusnya.

Keduanya pun berciuman. Abidzar pasrah saja saat bibirnya di lahap Celine, dua jemarinya mulai mengocok.

Abidzar melenguh, mendesah dan terengah.

“Ah..” Abdizar menatap pergerakan Celine, dia berjongkok lalu mengulumnya. Menekannya masuk lalu keluar lagi.

“Ahh..” desah Celine lalu kembali mengisi mulutnya.

Abidzar kian sayu, dia mendesah halus dengan gelisah merasakan hangat dan licinnya mulut Celine yang ahli.

Celine kecupi, hisap dan lumat. Terus naik turun dengan cepat. Mulutnya penuh, kadang pipinya kembung tertusuk.

Celine terus membuatnya keras. Terus membuat Abidzar keenakan.

“Celine, aku sam—pai.. Ahh..”

Abidzar terengah lega sambil tidak melepaskan usapan di kepala istrinya. Keduanya kembali berciuman, tak lupa Abidzar berterima kasih.

Bersambung… Abidzar menatap hangat istrinya yang terus berceloteh sambil menyuapinya anggur dan juga jeruk.

“Dia itu anak dari adiknya kakek, pokoknya rese banget. Dia yang selalu nyudutin, ngerendahin, pokoknya musuh aku..”

“Celine,”

“Ya, Abi?” Celine menoleh lalu memasukan sebutir anggur ke mulutnya sendiri.

“Marah boleh, ga papa.. Tapi jangan nyimpen dendam ya, jangan jadiin musuh juga kalau bisa, kamu hindarin dan abaiin aja, nanti cuma ngotorin hati.”

Celine mengangguk setuju. “Kesel karena inget aja sambil cerita, selebihnya aku bodo amat kok,” jujurnya.

“Baiknya istri aku,” Abidzar tersenyum bangga sambil mengusap kepalanya.

Celine tersipu sambil mengunyah anggur lagi.

Abidzar bisa melihat binar senang di kedua mata Celine jika dia mendapat pujian. Kasihan istrinya, selama ini hanya mendapat hinaan, perbandingan dan hal buruk lainnya.

Padahal banyak sisi Celine yang patut dipuji.

“Aku harap kamu ga ketemu keluarga ayah, aku ga akan bisa liat orang yang aku sayang, dihina mereka.” Celine menyandarkan kepalanya dan Abidzar segera merangkulnya.

“Jadi istri aku ini sayang aku banget sekarang ya?” candanya agar Celine tidak berlarut-larut dalam lukanya saat mengingat betapa jahat keluarga ayahnya padanya.

“Sayang banget, sampai pernah doa, lebih baik aku duluan meninggal dibanding harus ditinggal kamu,” bibir Celine bergetar dengan cengengnya.

Abidzar tersenyum tipis. “Aku juga ga bisa kehilangan kamu,” bisiknya.

Celine terisak, jatuh sudah air matanya. Dia sembuh karena Abidzar, dia ingin selamanya bersama obatnya.

“Dedenya nanti sedih, mama..” Abidzar begitu lembut. Terus mengusapnya. “Sini, aku suapin kamu.” keduanya pun berjarak.

Celine menerima suapan Abidzar sambil mendengar pujian dan doa Abidzar untuknya. Dan dengan usil mengemut jemari Abidzar.

“Kamu sembuh ya, biar bisa mimpin.” celetuk Celine tiba-tiba.

“Mimpin— oh..” Abidzar langsung tertawa pelan. Celine-Celine.

***

“Perut kamu makin keliatan,” komentar Glen. “Apa Mimah ga di ajak di sini? Dia perempuan, nanti pasti pahamkan..” lanjutnya.

Mereka semua tengah sarapan.

“Iya, bawa ibu, Abi..” rengek Celine.

Abidzar tersenyum sambil menyeka sudut bibir Celine. “Iya, nanti aku bawa ya, makan yang banyak.” balasnya.

“Mau ayah kirimkan sopir kesana?” tanya Glen.

“Boleh, ayah.”

“Tapikan masih ada 3 bulan lagi, nanti kasihan Ibu bosan di sini,” Celine manatap Abidzar.

“Apa aku ke sana dulu sebentar? Obrolin ibu maunya gimana?”

Celine cemberut. “Ga mau, jangan tinggalin aku. Kamu juga ini tangan sama kakinya belum sembuh,” omelnya yang padahal sungguh tidak ingin di tinggal.

“Dasar ga mau ditinggal aja,” celetuk Gustav.

“Emang ga mau! Ini ngidam kalau kata ibu,” balasnya sebal.

Gustav tersenyum samar sambil menggeleng, dasar bucin. Tapi dia senang, sungguh senang setiap harinya walau hidupnya sendiri hampa.

Semua terlalu mudah baginya. Perasaannya terasa hampa. Hidupnya membosankan, lelah oleh pekerjaan. Mentalnya sedang tidak baik-baik saja.

“Jadi kapan?” Glen tersenyum melihat Celine yang begitu bergantung pada Abidzar. Mantu baiknya.

“Nanti aja, atau aku ikut lagi.” rengek Celine. “Pokoknya ga mau tahu harus ikut!” tegasnya keras kepala.

“Iya, kita bahas nanti ya, makan dulu sarapannya..”

***

“Ayah senang lihat Celine manja sama suaminya, rasanya lega Celine ada yang jaga. Dia bahagia sama suaminya,” Glen terlihat pucat.

Dia sungguh pria tua yang sakit-sakitan semenjak sang istri pergi meninggalkannya. Cinta sejatinya pergi membuatnya sendirian.

Membesarkan kedua anaknya yang berakhir gagal membesarkan Celine dan untungnya ada Abidzar yang bisa membuat anaknya tumbuh lebih baik.

Istrinya pasti senang di alam sana. Putri kecilnya kembali ke jalan yang benar.

“Ayah ga usah khawatir, fokus ke kesembuhan ayah, ya.. Celine aku jaga lebih dari aku jaga diri sendiri. Aku akan jaga ibu dari anak-anakku dengan baik, ayah.” janjinya.

Glen mengangguk dengan kedua mata memerah menahan haru. Abidzar bagai hadiah terindah untuk keluarganya yang hampir hancur.

“Makasih, nak. Haaa.. Ayah tenang kalau begini, tinggal melihat Gustav menikah,”

Gustav menghentikan langkahnya, mendengarkan keluh kesah dan keinginan Glen sambil menatap kopi dingin yang dia pegang.

Gustav harus segera memikirkan romansa kalau begitu. Ayahnya ingin melihat dia menikah.

Gustav tidak ingin menyesal lagi. Dia belum sempat mewujudkan keinginan mendiang ibunya.

“Cie, nguping ya?” bisik Celine.

Gustav menoleh lalu mendengus. “Suaminya mau kabur ke desa tuh, urusin.” balasnya.

“Apa?!” dengan segera Celine meninggalkan Gustav.

“Gara-gara cinta jadi bodoh dia, gampang ditipu.” gumam Gustav.

Abidzar jelas hah heh hoh tak paham, siapa juga yang akan kabur. Glen sampai geleng-geleng mendengar rengekan bagai bocahnya Celine.

***

“Aku ga akan kabur, kakak mungkin bercanda aja.” Abidzar mengusap sisi wajah Celine yang ditekuk bete.

“Kalau kabur, aku juga kabur bawa anak-anak!” ancamnya.

“Iya, ga papa. Toh aku ga akan kabur,” Abidzar tersenyum.

Celine mengusap leher Abidzar. “Janji ya, Abi?” mohonnya menggemaskan.

Abidzar sampai terpaku sesaat. Lucunya Celine dengan dua mata berbinar bulatnya. Apa karena ada bayi makanya Celine jadi terlihat seperti bayi juga?

“Janji, sayang. Aku janji, my queen.” Ngocoks.com

Celine tersenyum senang. “Cium yang lama, Abi.” pintanya sambil manyun lucu.

Abidzar tertawa pelan lalu mendekat, mengecup singkat dulu baru melumatnya penuh perasaan.

Abidzar hisap bibir bawah dan atasnya bergantian, semua tidak dia lewatkan. Dia hisap kenikmatansnya, dia balas belitan lidahnya.

Celine terbuai, mulai mengusap celana Abidzar sampai kembung dan Abidzar juga mulai meremas dengan sebelah tangannya yang tidak sakit.

“Udah dulu, aku belum mandi.” bisik Abidzar di depan bibir Celine. “Mau mandiin?” bisiknya.

Celine mengerjap polos lalu mengangguk. Mana bisa menolak, Celine akan selalu suka jika itu soal sentuhan.

“Mau ikut mandi?” tawarnya.

“Mau, masukin ya?”

“Apanya?”

“Ga cuma aku kulum, tapi masukin. Aku mau,”

Astaga, istrinya itu memang.. Haa mantap

Bersambung… Celine mengusap perutnya, dia tengah menatap pantulan dirinya di cermin. Pagi-pagi saking gabut menunggu Abidzar yang pulas kelelahan akibat Celine perkaos semalaman.

HAHAHA..

Abidzar sampai lemas, Celine pun sama. Tapi entah kenapa Celine malah segar, dia terlalu puas semalam di puaskan Abidzar mungkin, jadi moodnya begitu bagus.

“Isi dua emang beda, sehat-sehat ya babi eh baby, sorry-sorry,” dengan cepat dia mengusap perutnya sendiri.

Abidzar dengan mata terpejam tertawa pelan nan geli mendengar typo Celine.

Semalam panas sampai dia lemas, Celine agresif sekali dan paginya mendengar celotehan Celine yang menggemaskan. Berasa dua orang yang berbeda.

Celine sontak menoleh kaget mendengar cekikikan itu. “Ihh ga bilang udah bangun! Mana ketawa, serem!” gerutunya sambil mendekat mengabaikan gaun tidurnya yang terongok di lantai.

Abidzar membuka matanya dengan mengulum senyum. Dia tatap Celine yang tidak memakai apapun itu.

“Udah bulet,” Abidzar mengulurkan tangannya, mengusap perut Celine.

Celine berdiri di samping ranjang, membiarkan Abidzar mengusap perut dan mengecupnya ringan.

“Kenapa di lepas gaun tidurnya?”

“Kan liat perut di cermin, kamu mau lagi?” Celine meraih lengan yang jemarinya mengusap perut itu lalu menyelipkan jemarinya di belahan kaki.

Abidzar membelainya sekilas. “Aku lemes loh di perkaos kamu,” lalu tertawa pelan. “Kamu juga jangan terlalu sering ya, secukupnya aja.” Abidzar mengecup perutnya.

“Iya.. Ayo mandi, kamukan bayi aku, belum bisa mandi sendiri, bercinta juga belum bisa,” celotehnya asal ceplos.

“Perbannya harus di ganti,”

“Siap, aku bisa.”

***

Abidzar menatap hasil karya Celine. Perban yang membelitnya itu hanya seperti perban menggulung lengan dan kakinya.

Abidzar tersenyum, tetap menghargai perhatian yang diberikan Celine. Dia senang Celine ingin menjadi istri yang baik.

“Selesai.” Celine terlihat senang.

“Makasih ya..” Abidzar mengecup sekilas kening Celine.

“Udah kering loh, yess.. Bisa remes dada aku dua-duanya,”

Abidzar sontak tertawa mendengarnya. Dengan gemas Abidzar merangkul Celine dengan tangannya yang sembuh, dia peluk gemas sambil mengecupi rambutnya.

“Kan bisa satu diremas satunya di kulum,”

“Itu juga enak sih,” komentar Celine so serius.

Abidzar tersenyum dan kembali mengecupnya gemas. Celine jika membahas begituan kenapa lucu ya?

“Lebih enak lagi diremesnya barengan, terus di kulum juga gantian,” jelas Celine.

Abidzar ndusel gemas di leher Celine. “Iya, nanti aku gituin ya,” bisiknya dengan senyum geli.

“Eum, ga sabar.” Celine mengedip genit lalu menyambar bibir Abidzar sekilas.

“Yuk sarapa—” Celine menatap perbannya yang merosot hingga luka Abidzar terlihat. “Yah, kok lepas.” lirihnya.

“Aku benerin, bentar.”

“Ga! Lebih baik suruh perawatnya ayah, kamu tunggu di sini!” tegasnya serius penuh perhatian.

“Makasih, sayang.” Abdizar mengusap sekilas lengan Celine setelah kembali duduk.

Celine memanyunkan bibirnya sebagai balasan dan Abidzar yang paham pun mengecupnya barulah Celine pergi.

Abidzar menatap cara berjalan Celine dengan membawa kedua calon anaknya. Dari belakang lucu, dengan gaun hamil yang dibeli Celine online itu.

***

“Aku istri ga berguna,” Celine menunduk dengan bapernya.

Suster baru saja pergi setelah mengganti perban Abidzar dengan rapih dan kuat.

“Kata siapa? Ga boleh gitu, aku ga suka dengernya..” suara lembut itu mengalun, Abidzar peluk Celine.

“Aku ga bisa cuma pasang perban aja, harusnya aku bisa karena sama aja aku bisa ngurus kamu,” cerocosnya sebal namun sedih.

“Kamu itu sekarang baik banget, Celine. Kamu ga mau aku sakit, makanya perbannya longgar, istri aku yang cantik ini sayang sama suaminya sampai ga mau dia kesakitan,” Abidzar mengurai pelukan dan mengusap wajah Celine.

Celine menatap Abidzar dengan berkaca-kaca.

“Kamu sekarang Celine yang lembut hatinya, bukan ga berguna, bukan ga bisa, kamu cuma takut.. Kamu udah hebat, jangan gitu ya, ga suka aku..” tegurnya tetap lembut.

Celine mengangguk. “Makasih udah maklum, Abi. Ke depannya aku akan terus berusaha buat urus kamu dengan baik, perhatiin kamu lebih hebat lagi, bikin kamu nyaman dan ga mau ninggalin aku,” janjinya.

“Iya, sayang. Aku tunggu ya,” Abidzar usap-usap pipi dan rambutnya bergantian. “Kamu hebat, mau memperbaiki diri. Istriku hebat,” pujinya dengan kembali memeluk Celine dengan sebelah lengannya.

Abidzar tahu, Celine semakin sensitif karena hormon. Dia jelas akan maklum, mengalah pun tak masalah.

Demi ibu dari anak-anaknya.

“Apa lukanya masih sakit?”

“Udah engga, sayang.”

“Bagus kalau gitu, jangan sakit lagi ya, Abi.” mohon Celine sambil mengeratkan pelukannya penuh kasih sayang.

Celine sudah benar-benar jatuh cinta. Siapa pun mungkin akan jatuh Cinta jika prianya seperti Abidzar.

“Sini, mau cium?” tawar Abidzar agar tidak sedih.

Dengan semangat Celine mendekatkan wajahnya dan terpejam.

Abidzar tersenyum melihat wajah mulus Celine itu. Dia usap sesaat lalu mengecupnya sekali, dua kali dan memagutnya mesra.

Celine membelitkan lengannya di leher Abidzar, dia balas mulai liar sampai Abidzar melepaskannya dulu.

“Sebentar.” Abidzar menjeda dengan terengah. Menyeka bibir basah Celine. “Ga berdarahkan?” Abidzar mengusap bibir lembutnya.

“Engga ke gigit kok,” Ngocoks.com

Abidzar tersenyum. “Pelan-pelan, sayang. Biar kamu ga terluka,” bisiknya lalu kembali menabrakan bibir setelah Celine mengangguk patuh dengan lucunya.

Abidzar tersenyum disela ciumannya, lidahnya tengah dinikmati Celine. Emang mudah dan enak membujuk Celine.

Sentuhan akan selalu melemahkannya. Istrinya itu memang nakal di bidang itu.

Menggemaskan, dengan tangan dengan jemari lentik itu mulai nakal. Abidzar membiarkannya, dia pasrah saja.

Toh dia juga keenakan.

“Kan,” Celine terengah. “Kalau sebelah yang sembuh ga enak, kamu cuma bisa sentuh dada, bawahnya engga,” sebalnya.

Abidzar tertawa pelan di bahu Celine. “Dasar.” gumamnya. Dia jadi gemas pada Celine istrinya yang buncit itu.

“Ah.. Udah bisa ya gigit-gigit!” Celine terdengar kesal namun bibir tersenyum. Dia merem melek saat lehernya di kecup dan di hisap.

Celine suka sentuhan. Sungguh suka.

“Bikin aku kejang terus pingsan, Abi.” lirihnya panas.

Abidzar tertawa pelan menanggapinya. “Ga mau.” lalu kembali menyatukan bibir yang langsung Celine sambut dengan riang gembira.

Bersambung… Hari ini Abidzar dan Celine bersiap akan pergi ke desa untuk membicarakan soal Mimah yang kapan akan ikut ke kota.

Celine butuh sosok ibu dan Mimah sudah bagai ibu kandungnya sendiri. Dia ingin meminta pengalamannya yang sudah pernah melahirkan Abidzar.

Celine memang berencana untuk tidak menggunakan pengasuh. Dia tidak bekerja, dia ingin mengurus anaknya langsung.

Dan bayinya itu kembar, dia butuh seseorang untuk membantunya dalam membesarkan mereka.

Abidzar dan Mimah sungguh Celine butuhkan. Untuk Glen sakit, dan Gustav sibuk dengan kerajaan bisnis ayahnya.

“Hati-hati, pelan aja laju mobilnya.” nasehat Glen pada sopir.

“Baik, tuan.”

Glen menatap Celine dan tersenyum. “Hati-hati ya, banyak makan,” Celine pun mendekati ayahnya yang di kursi roda.

Celine tersenyum. Berdamai entah pura-pura atau tulus memaafkan sungguh indah. Jiwanya menjadi tenang tanpa emosi dan dendam walau luka saat itu tidak bisa dilupakan.

“Iya, ayah. Ayah juga ga boleh bandel minum obatnya. Kalau ayah mau aku maafin,” tegasnya lalu memeluk Glen.

Glen usap punggung Celine lalu mengusap perutnya sekilas. “Kalian sehat-sehat ya, ayah ga sabar liat cucu-cucu ayah.” ujarnya.

Abidzar tersenyum hangat melihat Celine yang begitu banyak kemajuan, mulai akrab lagi dengan ayah dan kakaknya.

“Ayah mohon, ayah mau beliin kalian rumah, kalian mau tinggal di mana?”

Celine menoleh pada Abidzar lalu kembali pada Glen. “Asyik, hadiah rumah. Nanti pikirin dulu, ayah.” jawabnya.

***

“Aku mau tempatnya itu di tengah-tengah, ga jauh ke ayah, ga jauh ke ibu juga.” Celine menatap rumah-rumah yang berjajar selama perjalanan.

Siapa tahu ada tanah atau rumah dijual dan akan dia beritahukan pada Glen.

“Kita sambil cari,” Abidzar nemplok di punggung Celine, memeluk perutnya sambil ikut melihat apa yang dilewati oleh mobil dengan laju normal itu.

“Kamu di sebelah sana! Aku di sini,”

“Engga mau,”

Celine sontak menoleh menatap Abidzar dengan kuluman senyum. “Modus!” bisiknya di depan wajah Abidzar.

“Biarin.” balasnya membisik juga lalu tersenyum dan kembali melihat ke depan.

Keduanya terlihat serius, kadang berhenti melihat rumah yang dijual itu. Tanah juga, semua nomor teleponnya Celine potret.

“Ga papakan terima hadiah ayah?”

Abidzar tersenyum. “Nyenengin ayah ga papa, kamu juga seneng aku ikut seneng,” jawabnya.

“Kamu maunya di mana?” Celine menatap jemari Abidzar yang kembali mengusap dan memeluk perutnya.

“Aku maunya di daerah yang ga terlalu kota tapi bisa akses internet. Yang ga jauh dari rumah sakit,” jawabnya sambil mengendus wangi di bahu Celine.

“Setuju, aku terserah kamu deh,” Celine yakin, pilihan Abidzar akan menjadi pilihan yang terbaik.

“Hm, nanti aku cariin ya,” Abidzar membelitkan lengannya, terus menghirup wanginya yang menenangkan.

“Aku mau taman luas, tapi rumahnya sederhana, ga mau kayak istana..”

“Kenapa?”

“Bersihinnya luas, aku cuma mau punya satu mba aja,” pintanya.

Keduanya asyik membicarakan soal masa depan sambil terselip candaan mesra dari keduanya.

Berpelukan atau mengecup, membuat sopir tersenyum melihat kehangatan itu.

***

“Ibu..” Celine langsung memeluk Mimah.

Mimah mengusap punggung dan mengurainya. “Gimana kabar kamu, sehat? Cucu ibu gimana?” dia usap perut Celine.

“Sehat, ibu. Ibu gimana? Maaf aku sama Abi tinggal lama sendirian,”

“Ga papa, ibu udah besar dan tetangga juga banyak kok yang sesekali temenin ibu, bantu ibu juga..”

Abidzar menyimpan semua barang dan oleh-oleh lalu memeluk Mimah.

“Ibu sehat?”

“Sehat, nak. Tapi ini Kenapa?” Mimah menatap perban di tangan dan kaki Abidzar cemas.

“Itu, Abi kecelakaan ibu,”

“Kecelakaan? Kamu ga papa?”

“Luka gores aja kok, bu. Aman, ga papa udah mengering juga..” jelasnya.

“Kenapa bisa?”

“Dia mau beli kado buat aku, ibu. Itu juga karena ga izin sama istri,” sebalnya membuat Abidzar tersenyum.

Celine lucu dengan bibirnya yang mencebik sebal.

“Aduh, kenapa ga hati-hati, untung—”

“Nak Abi udah pulang?” sapa tetangga yang baru selesai bersawah. “Nak Celine sudah keliatan ya perutnya,” lanjutnya.

Celine tersenyum, mereka menjawab semua pertanyaan dan sapaan para ibu-ibu dan kakek-kakek yang melintas.

“Kita ke dalam ngobrolnya,” ajak Mimah setelah cukup lama.

***

“Soal itu, ibu bisa kapan pun dan sebenarnya ibu juga mau ngobrol,” Mimah terlihat ragu, menatap Abidzar tak enak hati.

“Ada apa, bu?” tanya Abidzar tertular cemas. Kenapa dengan reaksi Mimah yang terlihat cemas itu.

Apa ada sesuatu yang tidak beres?

“Kamu tahu, pak Sunandar?”

Abidzar mengangguk. “Pemilik ternak sapi sama ikan yang di ujung desakan bu, ada apa?” dia semakin cemas.

Celine menatap keduanya silih berganti. Jika menyakiti Mimah, Celine yang akan maju!

“Beberapa hari lalu, ada bu Dewi saksinya.. Beliau lamar ibu,”

Tiba-tiba hening.

“Lamar?” Celine memecah keheningan. “Dia dudakan, bu?” tanyanya.

“Iya, duda. Cukup lama sendiri sama seperti ibu,”

Abidzar hanya diam, tengah berpikir.

“Ibu bilang, mau diskusi dulu sama anak-anak,” Mimah menatap Abidzar yang diam, hanyut dalam pikirannya.

“Ibu kalau dapet restu, Abi. Mau?” tanya Celine.

Abidzar yang berpikir sambil mengusap perut Celine itu memilih menarik jemarinya, berhenti mengusap dan menatap Mimah.

Ingin tahu jawabannya.

“Beliau baik, jika ibu tua bersama beliau sepertinya ga buruk, tapi ibu akan tetap ikuti mau kalian, sebagai anak ibu,” Mimah tersenyum.

Celine menghangat, padahal belum bertahun-tahun bersama tapi dia sudah dianggap anak. Ngocoks.com

“Ibu butuh teman hidup, aku akan selalu setuju dengan keputusan ibu, dan aku juga tahu, bu. Pak Sunandar baik,” Abidzar tersenyum menenangkan, tidak ingin membuat ibunya cemas.

Abidzar tidak akan egois. Dia pun sudah berumah tangga dan akan sering meninggalkan Mimah.

“Nikah aja, bu. Aku mau ibu ada yang nemenin kalau aku sama Abi ga bisa nemenin ibu,” Celine mengusap jemari Mimah yang dia raih dan genggam.

Meyakinkannya kalau Mimah boleh jika memang ingin menikah lagi.

***

Celine menatap Abidzar yang terlentang dan diam melamun. Di satu sisi Abidzar senang tapi juga Cemas. Apa ibunya akan bahagia?

Apa dengan menikah lagi ibunya tidak akan kesepian?

Abidzar menghela nafas, semoga saja ke depannya ibunya bahagia dengan pilihannya.

Abidzar menatap pergerakan selimutnya, bibirnya terangkat saat tahu kepala Celine berada di dalam selimut.

Istrinya itu pasti ingin menyapa kesukaannya, memainkannya dengan niat menghiburnya. Abidzar tidak menolak.

Dia mengintip ke dalam selimut. “Ngapain, sayang?” bisiknya.

“Lagi bangunin Dede,” jawabnya asal.

Abidzar tertawa pelan. “Sini, aku mau cium.” bisiknya lagi.

Celine sontak merangkak naik, lalu duduk dan mengusap perutnya yang mulai berat.

Abidzar ikut duduk, segera meraih tengkuk Celine. Mengabaikan celananya yang sudah melorot tidak di tempatnya.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Celine.

“Kangen bercinta tanpa suara di sini,” bisik Celine.

Bersambung… Abidzar menatap pergerakan selimutnya, bibirnya terangkat saat tahu kepala Celine berada di dalam selimut.

Istrinya itu pasti ingin menyapa kesukaannya, memainkannya dengan niat menghiburnya. Abidzar tidak menolak.

Dia mengintip ke dalam selimut. “Ngapain, sayang?” bisiknya.

“Lagi bangunin Dede,” jawabnya asal.

Abidzar tertawa pelan. “Sini, aku mau cium.” bisiknya lagi.

Celine sontak merangkak naik, lalu duduk dan mengusap perutnya yang mulai berat.

Abidzar ikut duduk, segera meraih tengkuk Celine. Mengabaikan celananya yang sudah melorot tidak di tempatnya.

Siapa lagi pelakunya kalau bukan Celine.

“Kangen bercinta tanpa suara di sini,” bisik Celine.

“Ga lelah, hm?” bisiknya begitu lembut, tidak langsung gas mengambil kesempatan.

Abidzar tidak ingin sampai Celine kelelahan dan mempengaruhi kandungannya.

Abidzar kembali rebahan.

“Aku malah ga ngantuk, lelah sama sekali,” Celine meletakan kepala di perut Abidzar dan Abidzar mengusap kepalanya.

“Kata ibukan nunggu seminggu dulu di sini, pak Sunandar balik tanya jawaban itu minggu, ga papa di sini dulu ya?”

Celine mengangkat kepala dan menatap Abidzar. “Aku ga masalah mau nanti mendekati lahiran ke kota juga, aku udah ga mempermasalahin tempat kok. Yang penting ada kamu,” terangnya.

Abidzar mengulum senyum dengan begitu hangat. “Kamu gombal,” bisiknya sambil mencapit sekilas hidung Celine.

“Argh.. Ini itu palsu, operasian!” amuk Celine.

“Serius?” Abidzar mendudukan tubuhnya lagi, membingkai wajah Celine dengan perhatian. “Ga bengkok kok, sakit ga?” tanyanya khawatir.

“Kamu ga marah kalau hidung aku hasil operasian?”

Abidzar tersenyum. “Karena itu udah terjadi di masa lalu, ke depannya jangan ya,” pintanya.

“Dan kamu percaya hidung aku operasian?” kesal Celine.

“Aku ga tahu bedanya,” Abidzar mengusap wajah Celine yang ditekuk marah.

“Kalau palsu ga mungkin bisa di gerakin gini!” sebalnya.

“Maaf, aku ga tahu dan percaya aja sama kamu,”

Abidzar mendekatkan wajahnya, mencium pipi Celine ringan beberapa kali. “Kamu cantik alami berarti ya, beruntung banget aku.” lalu tersenyum hangat.

Celine mendengus lalu tersenyum dan balas mengecupi pipi Abidzar hingga basah, bahkan Celine jilati sampai Abidzar merem melek geli tanpa jijik dan menyingkirkannya.

“Udah, nanti pipi aku bolong kamu jilatin terus,” canda Abidzar berbisik geli.

Celine sontak tertawa hingga tawanya berhenti karena bibir Abidzar mendarat lembut di bibirnya.

Celine terpejam dan segera balas melahap hingga suara decap dari ciuman keduanya mengisi ruangan, bertabrakan dengan suara-suara hewan malam.

***

Semalam tidak ada yang terjadi selain ciuman, berpelukan dan kembali berbincang tentang banyak hal hingga berakhir terlelap.

Celine duluan yang tertidur akibat mendengarkan Abidzar yang menjelaskan kehidupannya dulu.

Bagai diberi dongeng sebelum tidur.

Dan paginya seperti biasa, Abidzar yang duluan bangun, mandi lalu menyiapkan sarapan untuk bumil.

“Ibu udah sarapan?” tanya Abidzar yang masih membuatkan roti selai coklat dan strawberry kesukaan Celine.

“Udah, sebelum cuci pakaian. Ibu tinggal berjemur di depan, semoga cuacanya bagus.” jawabnya yang kini tengah menyimpan bekas alat cuci pakaian.

“Ibu, keputusan ibu jadinya apa? Terima lamaran?” Abidzar sungguh penasaran dan ingin bertanya lagi.

“Ibu mungkin hidup sendiri ga papa, tapi kalau ada yang mau nemenin dan orangnya baik bisa menuntun ibu lebih baik lagi kenapa engga, kamu keberatan?” tanya lembut Mimah.

“Sama sekali engga, bu. Aku berdoa yang terbaik buat, ibu. Jangan pikirin aku, bu. Ikuti hati ibu,”

Mimah mengangguk, meraih segelas teh hangat itu. “Ibu sering ke rumah bu Dewi belakangan ini karena soal pak Sunandar, kita banyak berdiskusi, kita cari tahu dan di sini bu Dewi banyak membantu.

Maaf ibu ga libatin kamu, ibu kasihan karena saat itu kamu baru nikah, Celine juga belum sebaik sekarang, ga mau bikin anak ibu ini kesulitan..” lalu dia peluk sekilas.

“Ibu berjemur di depan ya, nak.” pamitnya.

Abidzar mengangguk. “Nanti aku nyusul ya, bu.” balasnya.

Mimah mengangguk, membiarkan Abidzar menyiapkan sarapan Celine dan untuk dirinya sendiri. Dia juga menyiapkan makanan untuk kucing Celine.

Abidzar celingukan, kucing Celine tidak ada. Mungkin karena sudah besar jadi sekarang sudah tidak banyak diam.

“Simpen di sini aja.” Abidzar pun masuk ke kamar, mendekati Celine yang tidak berubah.

“Celine, bangun.” bisik lembut Abidzar sambil mengusap perut Celine. “Pagi, Anak-anak.” bisiknya lalu mengecupnya sekilas.

“Emh.. Udah siangkah?” gumam Celine serak dan menggeliat pelan.

“Hm, sarapan dulu yu, cantik.” ajaknya lembut.

“Gendong,”

Abidzar tersenyum dan mengangkatnya perlahan lalu menggendongnya ala pengantin. Dengan muka bantal, Celine tersipu dibuatnya.

“Mau nikah lagi,”

“Ha?” kaget Abidzar tanpa meninggikan suaranya, bahkan Celine melihat Abidzar tidak ada tuh raut kaget.

“Maksudnya, mau diulang. Mau nikah yang ada resepsi atau resepsinya aja,” rengek Celine.

“Manjanya mantu, ibu.” Mimah kembali masuk untuk mengambil cemilan.

“Hehe, pagi ibu..” sapa Celine sambil ndusel malu pada Abidzar.

Celine pun Abidzar dudukan di kursi, rambutnya Abidzar sisir sambil membiarkan Celine menyentuh sarapannya.

“Belum sikat gigi,” walau begitu Celine memilih jorok saja, dia sudah sangat lapar.

“Ayo kalau—” Abidzar tak melanjutkan ucapannya, membiarkan Celine sarapan dengan lahap.

Nafsu makan Celine memang naik berkali-kali lipat, mungkin karena ada dua bayi di perutnya.

Abidzar duduk menikmati teh dan bagaimana Celine makan. Terlihat lahap begitu menggiurkan..

“Abi, mau lagi.”

“Siap, sayang.” Abidzar menyiapkannya lagi dan menonton Celine lagi. Kalau melihat lahap begitu rasanya Abidzar ingin dimakan Celine juga.

Abidzar menggeleng samar. Dia semakin kotor saja pemikirannya.

“Nak, strawberrynya berbuah,” Mimah muncul di ambang pintu.

“Apa? Serius, ibu?” senang Celine, menyimpan rotinya yang sisa setengah.

“Jangan lari.. Hati-hati jalannya,” Abidzar segera mengekor.

“WAAAHHH! satu, dua, tiga, empat, lima, enam terus tujuh, delapan oh ini belum mateng ya? Asyik banyak..”

“Ibu ini ambil satu, ga papa?”

“Ga papa, ibu. Ini masih banyak,” Ngocoks.com

Abidzar tersenyum senang melihat bahagianya Celine dengan hal yang sederhana.

***

“Aku cinta kamu, Celine.” bisik Abidzar yang memeluk Celine dari samping, bergerak pelan membuat Celine menahan desahnya.

Celine menoleh ke belakang,

Abidzar menabrakan bibirnya, membuat desah Celine terbungkam. Tubuhnya yang terguncang, Abidzar peluk. Perutnya dia usap-usap tanpa berhenti memberikan nikmat untuk sang istri.

Ciuman terlepas.

Celine meremas bantal keenakan. Bercinta bagai siput lagi, membuat Celine melayang. Sampai kelepasan mendesah.

“Sstt.. Kekencengan, sayang.” bisik Abidzar.

Celine kembali menoleh dengan mata terpejam keenakan, pipinya di kecupi Abidzar. “Lagi, Abi.”

“Lagi apa?” Abidzar terengah, terus bergerak tanpa menyakiti kedua bayinya.

“Cinta, kamu ah.. Bilang cinta..” Celine merem melek.

“Aku cinta kamu,” ulang Abidzar di depan bibir Celine lalu tersenyum.

Di sela desahannya Celine pun tersenyum. “Aku lebih ah.. Cinta,” lirihnya tertahan.

Bersambung… Abidzar meregangkan otot, pegal sekali bekas semalam menggila. Rencana sekali malah berkali-kali. Enaknya punya istri, memang candu.

Abidzar menoleh lalu tersenyum hangat menatap wajah damai Celine, mulutnya rapat lucu bagai bayi marah. Entah apa yang sedang dia mimpikan kini.

Abidzar menguap, dia tidak boleh terbujuk untuk tidur lagi. Sudah lama tidak lari keliling desa, dia akan melakukannya hari ini.

“Celine, mau ikut lari?” bisik Abidzar lembut, mengusap punggung dan lengannya lembut juga..

Celine menggeliat lalu menggeleng. “Lari capek, perutnya udah makin besar gini,” gumamnya serak dengan masih terpejam.

“Kalau aku lari boleh, hm?” tanyanya.

“Sebentar boleh, jangan lama. Aku ga mau kamu diculik,” gumamnya asal dengan setengah mengantuk.

Abidzar tertawa pelan. “Ga ada yang mau culik aku, mereka semua takut duluan sama kamu,” bisiknya jenaka yang begitu lembut penuh kasih.

Celine tersenyum dengan masih terpejam.

“Aku lari dulu, nanti bawa bubur, mau?”

“Mau, Abi. Yang banyak kerupuknya,” pintanya manja.

Abidzar tersenyum, Celine belum pernah makan kerupuk dan setelah mencobanya begitu kecanduan. Lucu. Celine bagai anak kecil yang tidak tahu apa-apa yang akhirnya bertumbuh dan mulai mengetahui banyak hal.

“Siap, bumil cantiknya Abi,”

“Ihh.. Suka dengernya, Hehe..”

Abidzar mengecup kedua pipi Celine gemas, mengecup keningnya baru dia segera turun sebelum kenyamanan menjeratnya untuk kembali memeluk Celine dan tidur lagi.

***

Abidzar menyapa beberapa orang yang akan hendak pergi ke sawah atau mengantar anaknya ke sekolah.

Ada sekumpulan ibu-ibu tengah membeli sayuran di gerobak sayur, mereka menyapa Abidzar ramah juga.

“Mas Abi,”

Abidzar sontak menghentikan langkahnya. Ini baru dua kali dia berkeliling, biasanya jika berolah raga dia akan melakukannya tiga keliling.

“Ya, Jasmin?” sahutnya lalu melap wajah dengan handuk kecil di lehernya.

“Olah raga, mas? Bareng yuk, udah lama ga lari. Sayangnya yang lain belum datang ke desa, seru mungkin ya kalau lari sama-sama lagi,”

Abidzar yang memang tidak bisa menolak hanya mengiyakan, toh mereka lari di tempat terbuka dan di saksikan banyak orang.

Tapi tetap saja, Abidzar merasa tak enak. Dia sudah beristri dan dulu Jasmin sering dijodohkan dengannya.

Abidzar memilih tidak akan melakukan tiga putaran. Dua saja sudah cukup.

Abidzar menjawab sekenanya, dia jelas harus menjelaskan batas karena dia bukan Abidzar yang lajang lagi.

Abidzar takut Celine melihat dan…

“Celine?” panggil Abidzar segera memelankan lajunya.

Celine tengah berjalan santai menikmati matahari pagi bersama Mimah, saling bergandengan.

Lihat wajah cemberutnya. Abidzar sangat tahu kalau Celine tidak suka dengan apa yang dilakukannya.

“Eh, ibu dan Celine.” sapa Jasmin lemah lembut.

Celine terus menatap Abidzar tajam. Abidzar menelan ludah, sungguh tidak terpikirkan Jasmin masih di desa.

“Mau jalan-jalan kemana, sayang?” Abidzar menatap jemarinya yang di tepis Celine.

Celine dan hormon hamilnya.

“Baru ketemu kok, aku mau berhenti.” bisik Abidzar sambil kembali meraih jemari Celine yang kembali menghindar.

Jasmin dan Mimah asyik mengobrol dengan sesekali fokus Jasmin pada kedua pasangan yang terlihat berbisik dan Celinenya menepis.

Jasmin tersenyum samar.

***

“Aku ga bohong,” dengan sabar dan lembut Abidzar menjelaskan. “Jasmin kebetulan mau lari, dia nyapa terus ketemu kamu, aku selama keliling sendirian,” jujurnya.

Mimah tersenyum tipis melihat pertengkaran kenikmatans keduanya. Celine cemburu, tanda hubungan mereka sudah benar-benar serius.

Keduanya sudah di dalam rasa yang sama. Mimah semakin tenang dan senang.

“Ke depannya, ajak Celine biar ga salah paham, kalau ga bisa Celinenya, kamu olah raga di jalan depan rumah aja, pasti bisakan diakalin, nak..”

Abidzar mengangguk. “Iya, bu. Ke depannya lebih baik gitu dari pada bikin Celine marah,” dia usap lengan Celine.

Celine kembali menepisnya. “Apa ga bisa belok atau menjauh,” amuknya yang berakhir cengeng.

Dia sangat cemburu, dia takut direbut. Dia takut Abidzar muak padanya yang selalu minta jatah dan kabur pada Jasmin yang lemah lembut tidak agresif.

“Maaf ya.. Aku salah, aku salah..” Abidzar memeluk Celine yang tidak berontak lagi tapi tidak bisa menghentikan tangis kesalnya.

Mimah tersenyum tipis lalu menggeleng samar. Lucu sekali mereka. Abidzar sepanik itu melihat istrinya menangis karena cemburu. Terlihat menyesal juga.

“Kamu punya aku!” isak Celine dengan manja namun terdengar kesal.

“Iya, aku punya kamu.”

“Ga akan aku biarin kamu direbut!”

“Ga ada yang mau rebut, sayang.” Abidzar terus memeluk dan mengusap punggungnya.

“Semua orang lebih suka kamu sama Jasmin, aku ga suka! Kamu punya aku, Abi,” raungnya berderai air mata.

Mimah menahan gemasnya. Padahal sudah jelas Celine memiliki Abidzar. Mereka sudah resmi menikah juga.

***

“Mau pipis, Celine.” Abidzar tersenyum geli. Dia tidak bisa bergerak, Celine sangat menempel sampai mengambil air putih pun Celine tetap memeluknya walau terhalang perut.

“Ikut!” sebalnya. Celine masih marah ceritanya.

Abidzar pun pasrah karena sudah tidak tahan lagi, semoga ibu tidak melihat mereka berdua masuk bersama.

“Mau lepas celananya susah,”

“Aku bukain,”

Abidzar tersenyum sambil menggeleng samar. Menatap jemari lentik itu melepas kancing celana dan menurunkan resleting.

“Aku aja,” Abidzar mengambil alih.

“Ga mau, sama aku!” Ngocoks.com

Abidzar sampai tidak bisa berkata-kata. Celine sungguh ada-ada saja permintaannya tapi dia tidak bisa menahan.

Buang air kecil dibantu istri, sungguh tidak terbayangkan.

“Uuu.. Deras,” komentar Celine membuat Abidzar terpejam menahan tawanya.

Nanti ke depannya akan ada kejutan apa lagi yang akan Celine berikan padanya. Abidzar menantikannya.

Abidzar meraih tengkuk Celine yang selesai membersihkan miliknya yang menjadi keras itu.

Abdizar lahap bibirnya, dia sesap lembut sampai Celine mulai agresif. Abidzar mulai mengimbanginya.

“Udah ga marah?” bisik Abidzar dengan terengah di depan bibir Celine.

Tok.. Tok.. Tok..

“Siapa di dalam? Masih lama? Ibu mau ambil sabun cuci pakaian,”

Abidzar panik, malu jika ketahuan berduaan di toilet lagi. Abidzar membungkam mulut Celine yang mulai menatap usil itu.

“Sebentar bu, aku ambilin dulu,”

Celine menatap geli tingkah Abidzar. “Emhh..” desahnya dalam bungkaman itu.

Abidzar melotot. “Sstt.. Kita main di sini kalau kamu ga bersuara,” janjinya.

Bersambung… “Jasmin, aku udah punya istri,”

Celine menghentikan langkahnya yang hendak keluar rumah menyusul Abidzar yang katanya akan menyiram tanaman strawberry.

“Aku ga bisa cari calon yang sebaik kamu, mas Abi. Harusnya saat itu aku setuju aja waktu mau dijodohin, aku malah mentingin karier.” sesal Jasmin dengan berderai air mata.

“Ga usah dibahas lagi, dari kecil aku udah dijodohin sama Celine, kita lebih baik sahabatan, Jasmin. Dari dulukan nyaman begitu, aku harap ga ada pembahasan ini lagi, Celine lagi hamil dan dia itu cemburuan, aku ga mau buat dia banyak pikiran,”

“Aku bisa jadi yang kedua,” Jasmin terlihat putus asa. Dia sudah bertemu dengan banyak pria namun tidak ada yang sebaik Abidzar.

Celine sontak menekuk wajahnya kesal. Minta di pites memang bunga Jasmin satu itu. Batin Celine terus misuh-misuh.

“Sayangnya aku ga bisa dan ga mau, Jasmin. Celine cukup bagi aku, aku ga mau jadi salah satu luka di hidupnya. Aku belum bahagiain Celine, jadi aku ga akan mau sakitin dia,”

Celine mesem-mesem baper terharu, membuat kedua matanya berkaca-kaca.

“Jangan sampai hubungan persahabatan kita buruk, Jasmin. Aku akan menganggap hari ini kamu ga bilang apapun,”

Celine pun segera bersembunyi, dia akan memilih pura-pura tidak tahu saja.

***

“Mau ke kota,” rengek Celine di pelukan Abidzar. Keduanya tengah rebahan hendak tidur.

“Kenapa jadi kayak Celine yang dulu rengekannya, hm?” Abdizar menghirup wangi rambut Celine sambil mengusap perutnya.

“Ibu nikahnya ga bisa dipercepat ya, Abi?” keluhnya mengabaikan pertanyaan Abidzar.

“Ada apa?”

“Ak—Akh!” pekik Celine teramat kaget sambil menyentuh perutnya.

“Kenapa?” panik Abidzar.

Celine terengah kaget. “Nendang? Gerak? Bayinya gerak, Abi,” lirihnya syok.

“Nendang?” Abidzar mengusap perut Celine dengan senyuman senang, membuka piyama tidurnya.

“Iya, gerak. Apa mungkin ini minggu ke 25, ya? Kok cepet banget waktunya,” Celine terisak haru.

Waktu itu denyut jantung mereka, sekarang pergerakannya yang ketara sekali. Anak-anaknya mulai tumbuh bergerak.

Abidzar segera memeluk Celine. “Seneng ya, ssstt.. Nanti anak kita ikutan nangis,” bisiknya.

“Ga sabar rasanya pengen liat mereka,” isaknya lalu tiba-tiba berhenti. “Abi, mau pisang goreng satu aja, ada ga ya?” dia mendongak.

Abidzar menyeka air matanya. “Bu Hanum udah tutup jam segini, mau bikin aja? Ibu di kasih pisang sama bu Rahmi,” tawarnya.

“Maunya, bu Hanum.”

“Kalau gitu aku usahain dulu, kamu tungguin ya,” Abidzar mengecup dua kali perut Celine, memandangnya sejenak namun belum ada pergerakan lagi.

“Di luar dingin, Abi. Jaketnya pakai,” Celine duduk menatap Abidzar yang patuh segera menuju lemari kayu sederhana miliknya untuk mengambil dan segera memakai jaketnya.

***

“Belum tidur, bu?” tanya Abidzar setelah menutup pintu kamar.

Mimah yang berpapasan baru keluar toilet sontak menoleh. “Kebangun, mau kemana, nak?” tanya Mimah.

“Celine ngidam lagi, bu. Mau pisang goreng bu Hanum,” jawabnya.

“Bu Hanum baik, ketuk aja ke rumahnya. Pasti maklum karena Celine sedang hamil,”

Abidzar pun pamit, memakai sepedanya dan segera mengetuk pintu rumah bu Hanum setelah sampai.

“Eh, nak Abi.”

“Bu, baru tutup ya..” Abidzar tersenyum ramah.

“Iya, baru aja. Ada apa? Perlu sesuatu? Nak Celine ngidam lagi?” tanyanya.

“Iya, bu. Maaf mengganggu waktu istirahatnya,” ujar Abidzar tidak enak hati.

“Engga sama sekali, nak Abi. Ayo masuk, tunggu di dalem. Ngidamnya apa?” tanya Hanum.

“Mau pisang goreng bu Hanum, katanya satu maunya, harus satu, bu Hanum, bisa ga ya? Apa bahannya masih ada?”

“Ada, tenang saja. Bu Hanum buatkan sekarang,” Hanum beranjak. “Emang ya, ngidam itu aneh. Dulu anaknya bu Warni ngidamnya mau coklat dibalut tepung buat gorengan,”

Abidzar mendengarkan celotehannya, sesekali menyaut. Untungnya bu Hanum tidak keberatan membuat satu goreng pisang.

***

“Enak,” Celine mengemuti seluruh jemari tangan kirinya satu persatu. Satu gorengan habis dengan rasa puas.

“Abi,”

“Ya?” sahutnya lembut lalu menutup lemari.

“Udah, mau gendong dong, sikat gigi, cuci muka belum,” Celine merentangkan dua lengannya dengan senyum yang cantik.

Abidzar usap rambut pirangnya yang memanjang, membuat rambut aslinya yang berwarna hitam mulai semakin terlihat jelas.

Abidzar segera menggendongnya. “Euaghh.. Istri aku makin berisi, jadi seneng.” lalu tersenyum.

“Kamu suka kalau aku ga slim lagi? Ga akan bisa begituan sambil digendong loh,” ceplos Celine.

Abidzar menurunkan Celine dulu agar bisa membuka pintu kamarnya. Dia tertawa pelan mendengar celetukannya.

“Masih banyak kok gaya yang bisa kita lakuin,” Abidzar tersenyum geli dengan ucapan mesumnya.

Dia jadi tahu banyak gaya memang. Abidzar sudah tidak bisa untuk tidak berpikir ke sana. Selalu saja ada waktu membahas soal itu bersama Celine bahkan mempraktekannya.

“Asyik, mauuu..” bisik Celine sambil mengendus leher Abidzar, mengeratkan belitannya di leher Abidzar.

“Kata kamu mau tidur,”

“Tidur enak juga boleh, jenguk debay dong, Abi.”

“Yaudah, sikat gigi dulu,” Abidzar menurunkannya dengan perlahan. “Udah bulet, cantik.” pujinya pada perut Celine.

***

Abidzar menyimpan semua pakaian Celine di tempat bersih, baru mengukungnya lagi. Abidzar kecupi perut buncit itu berkali-kali sambil meminta izin.

Abidzar tersenyum melihat kenakalan Celine yang melebarkan kedua kakinya tanpa diminta, tanpa malu.

Keduanya mulai saling membelai, saling menatap barulah berciuman mesra. Mengasah suasana hingga menghangat. Ngocoks.com

Abidzar terus berusaha untuk Membuat Celine basah. Dia tusukan jemarinya, memutar dan menarik lalu mendorongnya.

Celine mengusap rambut Abidzar, menatap wajah yang terbenam dengan mulut menghisap puncaknya bergantian.

“Em, ini basah apa?” Abidzar menjilat puncak mengeras bekas hisapannya itu. “Tuh, ada ASInya ya?” Abidzar jilat lagi.

“Eh iya, kok jadi basah.” Celine mengusapnya.

Abidzar menghisap keduanya lagi lalu menelan ludah. “ASI, sayang. Aku coba sedot sedikit,” Abidzar mencecapnya.

“Tuh, masih keluar.” komentar Celine.

Keduanya jadi asyik pada kemunculan ASI.

Bersambung… “Abi, basah..” keluh Celine sambil menatap jejak rembes tepat di kedua bobanya.

Abidzar menoleh, urung memakai pakaian. Dengan hanya di handuk saja dia mendekati Celine.

“Iya, rembes ya?” Abidzar mengusap jejak basah itu. Dia kecup pipi Celine ringan. “Aku tanyain ibu dulu ya,” ujarnya lembut.

Celine menggeleng. “Aku keluar, tanya ibu langsung. Kamu lanjut aja,” ujarnya sambil bergerak turun dari kasur.

Abidzar tersenyum dan mengangguk. Dia menatap kepergian Celine barulah mulai melepas handuk dan memakai pakaian.

Celine di luar kamar mulai mendekati Mimah yang sedang membersihkan dapur.

“Ibu, ASI tiba-tiba keluar dari sekarang, liat rembes.” adunya.

“Rembes? Ibu masih ada bantalan ASI, bahannya kain. Ikut ibu,” ajaknya ke kamar Mimah yang sama bersih.

Celine melihat Mimah yang mengeluarkan tas yang sepertinya pakaian-pakaian tidak terpakai namun masih di jaga Mimah.

Mimah selalu mencucinya sebulan sekali, sebagai bentuk menghargai barang-barang yang penuh dengan kenangan.

“Ini, kamu pakai ini.. Ada 6 pasang, langsung cuci biar ga kehabisan stok, hebat ASInya udah keluar, cucu-cucu ibu pasti sehat-sehat nanti,”

***

“Aku mau nangis,” Celine bersembunyi pada Abidzar. Mereka semua tengah berkumpul setelah Mimah resmi menikah.

Abidzar tersenyum samar, mengusap kepala Celine dengan sayang. Sebenarnya Abidzar juga menahannya.

Dia tidak menyangka ibunya akan bersanding dengan selain mendiang ayahnya. Walau begitu dia bahagia melihat Mimah tidak akan sendirian lagi.

Setelah hari bahagia sekaligus sedih itu berlalu. Celine dan Abidzar lebih dulu pulang ke kota, Mimah akan menyusul saat usia kandungan Celine sudah mendekati lahiran dan membantu mengurusnya selama di kota sampai Celine bisa mengurus kedua buah hatinya.

“Ga nyangka, kita di sini jadi sebulan lebih.” Celine berusaha menalikan tali sepatu namun kesulitan. Membuatnya misuh-misuh lucu.

Abidzar tersenyum, mendekati Celine lalu mencubit manja bibir bebeknya.

“Ih! Kaget, Abi!” rengeknya.

“Aku iketin ya, sayang.” Abidzar segera bersimpuh, memastikan kedua tali sepatu Celine terikat dengan baik.

“Makasih, Abi.” Celine memanyunkan bibirnya.

Abidzar melirik sekitar terlebih dahulu lalu balas mengecupnya. “Aku jadi nakal.” bisiknya di depan wajah Celine lalu berdiri.

“Ga papa, sama istri ini.” Celine segera merapat, membelit sebelah lengan Abidzar.

Sepertinya sekarang bukan istri nakal lagi, tapi istri bucinnya Abidzar. Celine mengulum senyum kasmaran memikirkan itu.

“Kita izin ke ibu lagi,” ajak Abidzar sambil menyimpan koper ke pinggir.

“Ibu, aku sama Celine udah siap mau pergi.”

Mimah menyimpan teh hangat untuk suaminya.

“Pergi sekarang, nak?” tanya ayah tiri Abidzar dengan ramah.

Abidzar mencoba menerimanya walau sedih karena dulu yang duduk di sana mendiang ayahnya.

“Iya, pak. Biar ga terlalu malam sampai di kota. Nanti susul ya, ikut ibu ke sana kalau bapak ga sibuk,” Abidzar menerima pelukan sekilas dari ayah tirinya.

Berpindah pada ibunya yang memeluknya erat, seolah berterima kasih karena mau membiarkan orang lain masuk ke dalam kehidupannya. Mengizinkan apa yang menjadi keputusannya.

“Ibu sehat-sehat, nanti tanggal yang udah di tentuin jemputan ke sini,”

“Iya, kalian juga sehat-sehat.” Mimah berpindah memeluk Celine. “Jaga cucu ibu ya, nak. Sehat-sehat di sana, jangan banyak pikiran,”

“Iya, ibu.”

Mereka pun benar-benar pergi menumpang pada mobil sayuran yang pemiliknya Abidzar kenal.

“Abi, boleh buka jaket, gerah.”

“Jangan, lebih baik keringetan.” Abidzar menyeka peluh di pelipis dan leher Celine.

“Yaudah.”

Abidzar mengulum senyum. Celine begitu patuh, menggemaskan dengan perut bulatnya mengintip di balik jaket.

“Abi, jujur sama aku, kamu kenapa murung? Ga seneng ibu nikah ya?”

Abidzar menggenggam jemari Celine. “Bukan gitu, cantik.” Abidzar seka lagi keringat Celine.

“Terus?”

“Sedih keinget ayah aja, bahagia kok ibu memilih nikah, dia ga akan kesepian di rumah,”

“Eum.. Sini peluk, kamu tahan nangiskan, nanti di kamar aku lepasin rindunya ya, jangan sedih suaminya Celine,” lirih Celine.

Abidzar tersenyum tipis, menghela nafas panjang guna menahan kedua matanya yang merebak basah.

“Iya, nanti kita bahas di rumah ya.. Aku keluarin semuanya,”

“Sama keluar di dalem tapi jangan, diluar aja.”

Abidzar tertawa pelan, cukup terhibur dengan peralihan Celine.

“Ke sana ya arahnya,”

“Iya, pasti. Akukan harus hibur kamu, biar seneng. Katanya kamu suka liat aku perutnya buncit,”

“Suka banget,”

“Oke, maksimal 5 aja.”

“Apanya? Ronde?”

“Bukan, tapi anak.”

Abidzar kembali tertawa pelan. Celine dengan celetukannya yang ringan.

“Anak kita ini kelaminnya apa ya? Mau tanya ke dokter nanti ah jenis kelaminnya,” riang Celine dengan masih bersandar di bahu Abidzar dan tangannya di usap-usap Abidzar.

“Apapun yang penting sehat,”

“Dan kayak kamu,”

“Kayak kamu juga,”

“Jangan! Ih nanti nakal, Abi!” rengeknya.

“Nakal karena keadaan, kamu baik kok. Kita—”

“Ga mau! Kayak kamu aja!” kesalnya lucu.

“Iya, kayak aku.” Abidzar mengalah dengan lembut. “Mau minum? Ngemil?” tawarnya sebagai peralihan.

“Mau dong,” Celine menelan ludah lucu, dia jadi doyan makan. Apa karena membawa dua bayi sekaligus ya?

***

Keduanya sudah sampai di rumah Glen. Gustav masih di kantor, lembur katanya. Celine dan Abidzar pun memilih membiarkan Glen istirahat setelah di periksa dokter.

Keduanya kini tengah rebahan, selesai mandi, mencuci muka, gosok gigi dan berganti pakaian.

“Jadi, kamu kangen ayah?”

“Pasti, selalu, sayang..” Abidzar tersenyum getir, dia tidak menutupinya lagi. Jujur saja, setelah kehilangan sosok ayah, Abidzar agak hilang arah dan memilih pergi ke negara lain dengan nekad.

Berada di desa terus membuatnya selalu tidak bisa makan saking rindu sosok ayah yang mengajarkan banyak hal tentang hidup dengan penuh kebaikan.

Celine segera memeluk kepala Abidzar, membirakan bersandar di dadanya. Terus dia usap sayang.

“Liat ibu sama yang lain jelas sedih, ayah ga bisa temenin ibu sampai tua,”

Celine menekuk bibirnya ke bawah. “Aku jadi takut, aku ga bisa loh kehilangan kamu,” isaknya.

Abidzar sontak mengurai pelukan, dia menatap Celine yang menatap bekas luka kecelakaaan di tangannya.

“Aku jadi takut, Abi.”

Abidzar segera memeluk dan menenangkannya. Abidzar menjelaskan dengan lembut, hidup memang tidak ada yang tahu. Makanya kita harus menghargai hal-hal kecil dalam hidup.

Sesibuk apapun, selelah apapun, jangan jadikan alasan untuk mengabaikan keluarga. Segala sesuatu yang hilang baru akan terasa, makanya selagi ada jangan disia-siakan keberadaannya.

Celine mengangguk.

Abidzar mengurai pelukan, mengusap jejak air mata di wajah Celine.

“Jadi aku sedih ada, tapi seneng kok. Seneng liat ibu ada temen cerita, ga sendirian kalau aku tinggal, itu juga pilihan ibu, aku ikut bahagia kalau ibu bahagia,”

“Kamu baik, aku kayak di kasih kejutan hadiah yang luar biasa, Abi. Aku kayak hidup lagi semenjak putusin buat berubah, kamu banyak bantu perubahan itu,” dengan berkaca-kaca Celine mengusap pipi basah Abidzar.

Ini malam pertama mereka curhat selama dan tentang banyak hal.

Benar-benar terbuka tidak hanya soal pakaian saja.

“Semua yang terjadi atas pilihan kamu, kamu yang ciptain damai di diri kamu, kamu yang berjuang keras, aku cuma tuntun kamu, selebihnya kamu yang jalan sendiri sampai di titik ini.” Ngocoks.com

Celine ndusel dan terisak haru. “Pokoknya bahagia punya kamu,” isaknya teredam di dada Abidzar.

“Aku lebih bahagia, sayang. Tapi, tunggu. Kamu rembes lagi?” Abidzar mengurai pelukan, melihat piyama yang dibelikan Celine kini basah tak hanya oleh air mata.

“Iya, kamu mau mimi?” tawar Celine dengan ceplosan polos. “Mimi dulu sini,” Celine menurunkan tali gaun tidurnya.

Celine yang tidak memakai apapun jelas membuat Abidzar segera bisa mengeksekusinya.

Celine menatap sedotan Abidzar dengan sayu dan nafas memberat.

“Ah..”

“Aku lagi mimi,” goda Abidzar. “kenapa kamu malah mendesah?” lanjutnya.

“Enak, lagi.” lalu tersenyum.

Abidzar menyeka air mata Celine dan begitu pun sebaliknya.

“Udah ya, jangan nangis,”

Celine mengangguk. “Ayo mimi lagi,” Celine tekan sebelah bobanya ke mulut Abdizar.

Abidzar tertawa pelan, dia mengabulkannya sambil mengusap perut Celine. Berharap merasakan pergerakan bayi di dalamnya.

Bersambung… Sudah lebih dari seminggu mereka berada di kota. Sempat piknik bersama Gustav dan Glen. Hubungan mereka semua tiba-tiba membaik walau luka tidak sepenuhnya sembuh, tetap membekas.

Setidaknya Celine tidak akan merasakan penyesalan kelak. Di sini Glen satu-satunya orang tua yang dia punya sekarang.

Celine sungguh berterima kasih pada Abidzar yang membuatnya yakin untuk berdamai dengan diri sendiri.

“Abi, kita foto studio yuk? Baby bump,” Celine mengusap perutnya.

“Sekarang?” Abidzar menyimpan cemilan sehat Celine di rak yang tertata rapih.

“Iya, dari pada duduk nonton, bosen, mau ya?” rengeknya.

Abidzar tersenyum dan mengangguk. “Boleh, ayo.” balasnya.

“Asyik, makasih Abi,” Celine kecup pipinya lalu bergegas turun.

“Ga jadi kalau kamunya buru-buru gitu,” tegurnya lembut.

“Oke,” Celine berhenti senang, dia harus hati-hati. Perutnya dia usap.

Abidzar menatap Celine yang malah cosplay menjadi siput itu.

“Kamu sengaja, hm?” dengan gemas Abidzar mendekati Celine dan menyerang pipinya dengan kecupan.

“Serba salah tahu gak!” kesalnya namun diakhiri tawa geli karena Abidzar terus mengecupnya.

“Pelan tapi ga sesiput itu, kamu jadi lagi kayak pantomim.” Abidzar hirup gemas wangi pipi Celine dan ndusel di lehernya.

Keduanya cekikikan saling berpelukan dan berciuman mesra beberapa saat, barulah Abidzar lepas Celine untuk melanjutkan tujuannya yaitu bersiap.

***

“Temanya seksi!” Celine ingin terlihat wanita dewasa percaya diri dengan Abidzar pria dewasa yang panas.

Membayangkannya saja sampai berdenyut basah. Walau otot Abidzar tidak seperti pria gym, tetap saja terlihat dan sering dia sentuh.

“Yang lucu aja,”

“Eumm.. Abi, sekali aja.” mohonnya dengan menatap Abidzar memelas.

“Yaudah, jangan terlalu terbuka aja ya, cantik.” ujarnya pelan sambil mengusap sekilas kepala Celine.

“Iya, tertutup cuma ketat aja kok,” Celine terlihat bersemangat.

Dia mempercayakan semuanya pana penata rias. Dan Abidzar yang pertama selesai. Celine sampai menganga terpesona.

Abidzar jidatan, rambut dan riasannya membuat Abidzar bagai bad boy yang menggiurkan. Bagai mafia tampan.

Panas.. Celine panas.. Abidzar jika di poles, rambutnya di tata sungguh tidak manusiawi. Dia pria dewasa yang hot sesuai bayangannya.

“Kenapa?” Abidzar terkekeh malu agak gugup. “Jangan gitu dong, sayang.” bisiknya.

Celine segera mengerjap dan menetralkan muka pengennya. “Kamu Abinya aku? Ihh.. Ganteng banget, so hottt!” serunya yang mengundang tawa lucu.

Abidzar mengkode Celine untuk berhenti, dia malu dan salah tingkah dibuatnya. Celine mengulum senyum geli melihat Abidzar salah tingkah.

Keduanya pun segera berpose di set serba merah maroon itu. Abidzar hanya diam datar sesuai perintah, dan hasilnya sampai membuat Celine ingin cepat pulang dan menyerang Abidzar.

Abidzarnya seksi dan nakal! Bahkan hanya diam.

Celine semakin tidak sabar dengan hasil finalnya.

Abidzar memeluk perut Celine dari belakang dengan bibir hinggap di leher bagai vampire, Celine juga berpose mengernyit seksi bagai tergigit.

“Kok jadi dewasa gini, kalau anak kita liat gimana?”

“Ini koleksi aja, di album. Yang di pajang yang— eum..” Celine memilih. “Nah ini, bahagianya kita,” lalu tersenyum senang.

Abidzar melihat hasil yang ditunjuk Celine. Keduanya tertawa bahagia dengan Abidzar memeluk perut Celine yang bulat.

“Mau foto yang keliatan baby bumpnya boleh? Keliatan perut gitu,”

“Mau banget?”

“Iya, Abi.”

“Yaudah, jangan lama ya.” Abidzar terpaksa mengabulkannya. Celine hanya ingin mengabadikan perutnya yang berisi dua bayi.

“Terus nanti kita balik ke sini lagi, kalau baby kita udah lahir,” Celine terlihat bersemangat.

“Iya, ayo.”

“Si paling ga bisa nolak,” sindir Celine.

“Jadi aku boleh tolak gitu?” goda Abidzar dengan tetap lembut.

“Jangan, Abi.” Celine segera merengek.

***

Foto besar kini datang ke rumah Glen. Glen dan Gustav memujinya bagus. Foto pun di bawa ke kamar tanpa di gantung dulu.

Di permanen saat nanti sudah resmi memiliki rumah.

“Bagus hasilnya, aku suka kamu jidatan, Abi. Keren banget,” Celine mengusap wajah Abidzar di foto itu.

Celine berharap jika anaknya laki-laki maka akan mirip dengan Abidzar, semuanya. Jangan sampai ada yang nakal seperti dirinya.

“Kamu ga berubah, selalu cantik.”

“Ihhh!” Celine terlihat jijik pada dirinya sendiri setelahnya, kenapa jadi sering merengek manja pada Abidzar.

“Loh, aku bicara fakta, sayang.” Abidzar mengusap perut Celine. “Hari ini gimana, mereka aktif?”

Keduanya banyak melakukan sesuatu, entah belanja keperluan melahirkan, mulai memilih beberapa rumah yang akan sebagian di hadiahkan Glen.

Waktu berlalu begitu cepat. Celine sampai tidak bisa leluasa bergerak lagi, tidur pun hanya bisa menyamping ke kiri atau ke kanan, jika terlentang rasanya sesak katanya.

Tidurnya sudah tidak bisa pulas, mulai kesulitan dengan perut yang besar berisi dua bayi itu.

Abidzar juga semakin menjaganya ketat. Gustav pun sesekali sering membantu, bahkan sering membawa oleh-oleh apapun untuk si kembar yang belum lahir.

Mereka sungguh menunggu kehadiran dua bayi kembar yang baru di ketahui satu jenis kelaminnya.

Laki-laki.

“Yang satunya suka ngumpet, pemalu.” komentar Abidzar pada saat memeriksa kandungan.

Sungguh tidak terasa, hanya tinggal beberapa minggu lagi kedua buah hatinya akan lahir. Sungguh dinantikan.

***

“Ibu, ternyata sesakit ini ya lahiran,” Celine terlihat sayu berkeringat, padahal AC menyala. Pasti sangat sakit.

Mimah terus mengusap jemari Celine yang tidak di infus.

“Kamu pasti bisa, nak. Sakitnya ga seberapa kalau lihat buah hati udah lahir nanti,” Mimah tersenyum hangat.

Abidzar begitu lembut menyeka peluh, keringat di leher dan mengusap kepalanya sambil terus berdoa dalam hati.

Celine menikmati rasa sakitnya, ditekenikmatan dengan ucapan-ucapan penyemangat dari Abidzar yang begitu lembut menenangkan.

Celine juga patuh saat Abidzar menyuruhnya minum, mengajaknya berjalan-jalan sebentar atas perintah dokternya.

Celine tidak terlalu banyak mengeluh, dia hanya akan mengeluh jika sakitnya sudah parah.

Gustav menyewa satu kameramen perempuan yang sebelumnya Celine inginkan. Katanya ingin mengabadikan semuanya.

Dokter segera bersiap, semua orang menunggu di ruang tunggu kecuali Abidzar yang selalu menekenikmatan di samping Celine, mendoakan dan menyemangatinya.

Hingga bayi pertama lahir, laki-laki dengan begitu putih bersih. Abidzar tersenyum haru, melihat jeritan nyaring dari bayi pertamanya.

“Haa.. Anak kita, Abi.” lemas Celine lega.

Hingga tak lama Celine berjuang lagi dan lahirlah bayi kedua yang membuat Abidzar agak panik karena bayi keduanya dibelit tali pusar dan tidak bersuara.

Namun pada akhirnya anak kedua mereka menangis nyaring setelah di pastikan bersih dari segala hal yang membalurinya.

Abidzar menyeka air mata Celine dan keringatnya. Dia tersenyum dengan kedua mata berkaca-kaca. Sungguh sangat berterima kasih pada Celine. Ngocoks.com

Dia akan semakin berjuang lagi untuk membahagiakan ketiganya.

Celine pun ditangani dengan baik, kedua bayinya pun sedang di bersihkan dan dipakaikan pakaian agar hangat.

“Satu perempuan, satu laki-laki. Kembar tidak identik,”

Celine menatap Abidzar yang tengah asyik menatap dua bayi di keranjang bayi,

“Abi, sini.” Mumpung suster sudah keluar, Glen dan Gustav pun tengah keluar.

Abidzar mendekat. “Hm? Apa, sayang?” sahutnya lembut.

Celine menarik tengkuk Abidzar, dia melumat bibir Abidzar.

“Aku jadi ibu, Abi.” isaknya pelan. Terharu bahagia, melihat kedua bayinya kini terlelap setelah berjuang mencari sumber ASI.

“Hm, kita belajar sama-sama ya, kamu pasti jadi ibu yang hebat kelak, buat Lizia dan Lanon,”

“Bantu aku ya, Abi.” suara Celine bergetar serak penuh haru.

“Pasti, aku juga bantu ya, kita saling tegur kalau ada yang salah,”

Celine mengangguk.

“Istriku hebat,” Abidzar kembali mencium bibir Celine dengan penuh kasih lalu menyudahinya, takutnya keluarga memergokinya.

Celine sangat bahagia dengan apa yang dimilikinya.

Bersambung… Sudah satu bulan mereka menumpang di rumah Glen. Bukan soal nyaman atau tidaknya, tapi Celine tidak sabar ingin segera mengisi rumah barunya yang tidak jauh dari Glen dan desa juga.

Dan hari ini tiba saatnya mereka pindah setelah Gustav dan Abidzar sibuk mempersiapkan semuanya hingga benar-benar siap di huni.

“Abi, kamu kelelahan ya?” Celine mengusap pipi Abidzar sekilas. Tubuh Abidzar juga hangat.

“Sedikit, sayang.” Abidzar kembali menatap bayi yang tenang di gendongannya. Baby Lizia dan Celine tengah menggendong baby Lanon.

“Kenapa? Abi demam, nak?” Mimah segera menyentuh kening Abidzar. “Kamu demam, sini Lizia sama ibu, takutnya sakit yang menular,” Mimah segera mengambil alih cucunya.

Abidzar tidak menolak, jelas dia tidak mau anaknya sakit.

“Aku lelah aja kayaknya, bu.”

“Kamu tidur dulu,” dengan perhatian, bahkan hanya bisa menggunakan sebelah tangan. Celine membenarkan bantal.

“Tapi,—”

“Tidur aja, aku bisa sendiri kalau mau liat-liat semua isi rumah,” potong Celine.

Abidzar tersenyum senang menerima perhatiannya.

“Minum obat, makan dulu nasi,” Mimah menahan Abidzar yang hendak menyentuh kasur yang akan menjadi kasurnya dan Celine.

Kasur milik Celine yang katanya pemberian dari mendiang ibunya itu.

“Iya ya, ayo.” Celine menggenggam jemari Abidzar dan menariknya menuju keluar dari kamar.

***

Hanya dua hari, dan hari ini Abidzar merasa sudah sangat membaik. Tubuhnya yang lelah karena begadang membantu Celine mengurus si kembar dan menyiapkan rumah, kini sudah tidak pegal lagi.

Celine terlihat fokus mempumping ASI, sedangkan Abidzar tengah sarapan sambil sesekali melihat Celine dan ibunya.

“Abi, sofa lainnya belum datang ya?”

Abidzar meneguk sedikit air putih di gelas lalu menjawab. “Katanya siang,” lalu mengangsurkan sepotong apel.

Celine menerimanya sambil kembali melihat ASI miliknya yang cukup deras.

“Ibu ke belakang dulu, liat mereka yang masih di berjemur sama mba,” pamit Mimah yang Celine dan Abidzar angguki.

“Abi,”

“Hm? Apa, sayang?” sahutnya lembut sambil pindah duduknya di samping Celine, membantunya untuk menutup tempat yang sudah terisi penuh ASI.. Ngocoks.com

“Kita hidup di sini, cukup kota, kamu ga keberatan serius? Jujur aja,”

Abidzar mengusap rambut panjang Celine. “Ga sama sekali, yang buat aku tenang juga ibu udah nikah lagi,” jawabnya.

Mau dimana pun, mau bagaimana pun. Dia harus bersama Celine, itu yang penting. Di desa maupun di kota, dia tetap bisa mendidik Celine dan menuntunnya lebih baik lagi.

“Aku ga akan hidup kayak Celine yang dulu lagi, Abi. Janji. Ga akan main ke tempat yang kurang baik, ga akan sembarangan minum, ga akan liar di jalan salah, paling liar sama kamu,” sejenak Abidzar menjeda ucapan Celine, dia mengecup pipinya gemas lalu tersenyum lembut. “Bukan karena aku mau di kota, suka hidup di kota..

Aku cuma butuh kamu, mau dimana pun, kalau pun kamu sukanya hidup di desa, ayo aja. Aku mau sama-sama sama kamu,” aku Celine dengan tatapan yang terlihat tulus terkesan lugu saking serius dan ingin di percaya.

Abidzar tertawa pelan begitu lembut, mengusap wajah Celine dengan tatapan dan senyuman lembut yang tidak pernah berubah.

Mau Celine memiliki anak 5 pun sepertinya Abidzar akan memperlakukannya bagai anak kecil yang sangat harus di jaga.

“Iya, aku percaya kamu udah semakin baik, istri aku ini baik, aku ga keberatan sama sekali, sama kayak kamu. Hidup di mana pun asal kita bareng-bareng ya,” lembutnya dengan usapan di rambut Celine yang menenangkan.

Celine mengangguk lalu melihat proses ASInya yang sungguh banyak sekali.

“Ga mau mimi, Abi?”

Dasar merusak suasana, padahal Abidzar masih ingin mengucapkan hal-hal romantis yang tulus dari lubuk hatinya. Malah di tabrak ucapan m*sum Celine yang menggemaskan.

“Sama kamu bawaannya aku, Hyper.” bisik Celine lalu mengedip genit.

“Bagus, sama suami soalnya.” Abidzar mengecup sekilas pelipisnya. “Boleh dong, satu dada aja.” bisiknya yang sesaat membuat Celine terkejut.

Namun pada akhirnya tertawa, sama-sama geli dengan tingkah mes*m masing-masing.

***

Abidzar mengusap kedua kepala bayinya, satu anteng tapi Lizia tidak berhenti menangis. Anehnya tidak ada air mata.

“Sebagai ibu zaman dulu, mungkin Lizia ada yang ngajak main,” Mimah segera menyiapkan bahan sesuai kepercayaan nenek moyangnya dulu. bawang putih dan beberapa hal lainnya.

Abidzar tidak tahu manfaat dan sebagainya, dia hanya menghargai usaha Mimah dan nenek moyang terdahulu.

Dan anehnya, Lizia lebih tenang. Apa mungkin memang ada makhluk halus?

Celine memepet Abidzar. “Kita emang hidup berdampingan sama dunia lain, takut Abi,” bisiknya.

“Kita banyakin do’a ya, Lizia juga udah ga papa sekarang.” Abidzar merebahkan Celine, menyelimutinya.

Malam ini Abidzar yang akan jaga malam, Mimah dan Celine lebih dulu istirahat, terus saja bergantian.

“Loh, bangun anak papa?” Abidzar tersenyum pada Lanon yang begitu lekat menatapnya. “Dedenya jagain ya, kakak ga nangis, pinter.. Kasihan sama mama ya?” Abidzar usap pipi merahnya.

Abidzar menatap kedua bayi yang satu terlelap dan satu membuka mata itu. Keduanya belum terlihat mirip siapa. Tapi, orang-orang bilang Lizia mirip dengannya dan Lanon mirip Celine.

“Haa..” Abidzar menghela nafas panjang lalu tersenyum. Dia masih tidak menyangka, tak hanya istri, kini ada anak di hidupnya.

Abidzar sungguh bahagia memiliki Celine di hidupnya. Jodoh yang sudah disiapkan dari dirinya kecil. Sungguh membawa kebahagiaan.

Celine mau berubah, membuat Abidzar yakin. Celine akan menjadi istri yang baik, patuh dengan perintah suami. Tanpa perlu berjuang lama, Celine mau berubah dengan sendirinya.

Abidzar menatap Lizia yang tersentak dan kembali menangis tiba-tiba. Anaknya itu kasihan, sebenarnya ada apa. Kenapa terlihat seperti terus di ganggu.

“Ada apa? Suara Celine nyaring gitu, Abi.” Celine jelas kembali bangun, menggendongnya yang perlahan mulai berhenti.

Abidzar menggendong Lanon yang ikut menangis.

***

Setelah di periksa oleh ahli di bidang mistis, entah itu ilmu hitam dan putih jawabannya sama.

Ada yang spesial dengan si kembar.

Abidzar dan Celine yang tidak paham hal begitu jelas memilih untuk meminta tolong. Bagaimana caranya agar sang anak tidak terus mendapat gangguan.

Dan katanya mata batin keduanya akan tertutup sementara, entah kapan akan kembali terbuka mengingat salah satunya ada anak yang sangat spesial di bidang ilmu putih.

Abidzar tidak tahu, ternyata garis keturunannya terdahulu ada yang mewariskan hal itu.

Dan Mimah pun mulai bercerita tentang kakek dari ayahnya memang memiliki ilmu putih, sering mengobati, membantu beberapa masalah tentang hal diluar medis.

Celine hanya menangis, kasihan dengan anaknya dan khawatir tentu saja. Walau kelak mungkin anaknya akan membantu orang.

***

Waktu berlalu cepat. Dua anak kembar beda jenis kelamin itu sudah bisa berjalan dan berceloteh walau yang bawel itu Lanon.

Lizia seperti Abidzar, diam dan menangis dengan lembut saat kakaknya usil. Sungguh anak perempuan yang manja.

Dan Celine sungguh menjadi ibu-ibu yang lucu, kadang naik darah jika Lanon berani melawannya. Saat ditegur tidak boleh mengacak mainan lagi, maka Lanon seolah paham dia malah mengacaknya.

“Dia aku banget, ga bisa aku, Abi! Kamu yang urus, aku malah jadi emosi, padahal masih bocil!” geramnya lucu.

Abidzar tertawa pelan. “Sabar, sayang. Cium dulu sini,” lalu mengecup bibirnya sekilas.

“Hibur aku nanti, oke. 3 ronde kalau ga ada yang rewel, aku lapar pengen makan kamu. Hah! Kesel banget, ga bisa di tegur, malah ngamuk,” dumelnya sambil menggendong Lizia yang adem ayem.

Abidzar hanya tersenyum, terbiasa dengan celotehan Celine yang aslinya dia tahu, Celine tidak mungkin marah sungguhan.

Dia tahu seberapa sayang Celine pada si kembar. Mungkin lebih sayang pada kedua anaknya.

Bersambung… Celine mengusap setiap sisi wajah Abidzar yang ada di atasnya, menguasai permainan singkat ini.

“Makasih, hm.. Kamu lelah tapi masih mau bantu aku,” bisik Abidzar dengan lembut khasnya.

Mana bisa Celine marah atau mengeluh jika diperlakukan begitu oleh suami, begitu pengertian, perhatian dan selalu berusaha membahagiakannya.

“Di dalem aja, aku udah suntik KB yang 3 bulan,” bisik Celine seraya mengeratkan pelukan di leher Abidzar.

Abidzar bergumam lalu menggeram halus di sisi wajah Celine, dia balas memeluknya erat dan menggerakan miliknya cepat.

Hingga keduanya melenguh dan lemas dibalut nikmat dunia.

“Haa.. Lega, Abi?” tanya Celine sambil mengecupi sisi kepala Abidzar.

“Lega. Makasih, hm. Love you,” bisiknya sangat teramat lembut. Abidzar dekatkan bibirnya hingga menyatu dengan bibir Celine.

“BABA!” teriakan Lanon di luar kamar sontak membuat keduanya saling menjauh dan membenarkan penampilan masing-masing.

“Ya? Sebentar, kak.” sahut Abidzar lalu membantu merapihkan rambut Celine. “Aku keluar dulu, sayang.” tanpa menunggu dia segera turun dan keluar dari kamar.

Lanon menekuk wajahnya serius dengan lengan di lipat di perut. Persis dengan ekspresi Celine, lucu.

“Kenapa?” tanya Abidzar lembut sambil berjongkok agar sejajar.

“Lagi-lagi hantu! Lizia nangis, baba!” Lanon tidak bisa melihat adiknya selalu nangis dan ketakutan. Saking sayang. Membuat Lanon tidak takut hantu seseram apapun demi menjaga adiknya.

Abidzar segera beranjak, berlari kecil mencari keberadaan Lizia.

Lanon berjalan santai menuju tempat kembarannya berada. Sambil terus bergumam kesal.

“Hantu nakal! Udah aku usir tetep ga takut, dasar muka jelek!” dumelnya lucu dengan pipi bulat memerah saking putih.

Celine maupun Abidzar sebenarnya tidak tahu, jika kini Lanon pun kembali bisa melihat wujud mereka lagi, melihat berbagai peristiwa di masa depan juga.

Yang Celine dan Abidzar tahu, hanya Lizia anak yang memiliki kelebihan.

Padahal sesekali Lanon sering berucap soal hantu, tapi Celine dan Abidzar tidak ngeh, sungguh belum ngeh.

Bahwa mata batin Lanon pun sama kembali terbuka setelah sekian lama.

***

“Mama, kalau Ia sekolah, nanti lihat hantu gimana? Ia itu penakut,” celoteh Lanon yang tengah menikmati pelukan dari ibunya.

Lizia yang tidak terima jelas menggeliat dari pelukan Abidzar lalu menjambak rambut Lanon. Tanpa kata.

Celine segera melepaskannya. “Eh ga boleh, kakak sakit nanti. Anak mama itu semua pemberani!” balasnya.

Abidzar juga segera memeluk Lizia yang menekuk bibirnya menahan tangis.

“Aku mau di peluk, Baba.” keluh Lanon begitu tidak bisa diam.

Celine tersenyum, dari kecil mereka terbiasa memanggil Abidzar yang awalnya papa jadi baba sampai sekarang.

Abidzar tidak terlihat ingin mengubahnya dan Celine juga merasa gemas mendengarnya.

“Jadi ga mau sama mama?” Celine pura-pura sedih.

“Mau,” Lanon segera mengeratkan pelukannya.

“Sini, peluk semuanya.” Abidzar menyambut istri dan anak laki-lakinya yang segera merapat itu.

Hangat sekali, kedua anaknya mulai cekikikan walau lebih aktif Lanon. Si kembar kini ikut berpelukan.

Ini adalah obat terbaik bagi Abidzar. Obat dari lelahnya kehidupan orang dewasa dengan pekerjaan maupun hubungan dengan antar manusianya. Ngocoks.com

“Ahhh babaaa!” jerit Lizia manja nan pelan yang segera merapat pada Abidzar sampai begitu keras.

“Ada apa?” kaget Celine dan Abidzar. Lanon hanya menatap, menatap sesuatu dengan berani.

Lanon kecil itu terus berperang lewat tatapan dengan perempuan jelek dengan rambut panjang bergaun putih itu hingga hilang dengan tawanya yang seram.

Lanon memeluk kembarannya dengan protektif. Lizia pun mulai tenang karena sudah tidak ada sesuatu lagi.

“Tidur ya,” Abidzar mengusap dua anaknya. Celine pun sama, mengusap keduanya yang terlihat akur lagi.

Celine tersenyum, selalu masih merasa mimpi dengan melihat kedua anak yang dulu di perutnya kini sudah bisa saling menyayangi satu sama lain.

“Mama juga tidur,” Abidzar berpindah mengusap kepala Celine.

Celine tersenyum dan mengangguk. Dia peluk kedua bayi kembar kesayangannya. Keduanya akan selalu menjadi bayi di mata Celine, bahkan Abidzar sekali pun.

Begitu pun Abidzar. Dia menatap ketiganya, begitu kenikmatans, mungil, dia harus semakin bekerja keras untuk menjaga dan membahagiakan mereka.

Abidzar kecup ketiganya, dia selimuti lalu memandang lekat mereka dengan senyum lembut penuh kasih sayang.

“Tidur yang nyenyak, sayang.” Abidzar usap lengan Celine, berpindah ke kedua anaknya yang menggeliat mulai menyamankan posisi tidur.

***

Abidzar membuka matanya saat merasakan basah di wajahnya, suara kecupan pun mengelitik telinga. Siapa yang terus menghujami kecupan?

Abidsar tersenyum setengah mengantuk saat tahu Lizia yang mengecupinya, sedangkan Celine dan Lanon tengah berebut pipi kirinya.

Lucu sekali pemandangan paginya di hari libur ini.

“Mama seling tuh cium baba!” Lanon keras kepala persis Celine.

“Kita bisa gantian, kamu tuh!” dengan gemas Celine mencubit kedua pipi Lanon.

“Kening ga ada yang cium, mama aja, Lanon pipi.” Abidzar mengurai keduanya yang terlihat sama seperti anak kecil.

Lizia terlihat anteng saja setelah puas menciumi Abidzar. Duduk sambil celingukan lalu ndusel pada Abidzar. Tempat ternyaman dan aman.

Abidzar menatap ketiganya dengan penuh cinta, tidak peduli wajahnya basah oleh kecupan mereka.

“Sekarang kita cium, mama!” perintah Abidzar riang.

Kedua anaknya segera berpindah, Lizia terlihat asyik mengecup sedangkan Lanon sibuk mengecup dan bawel, entah sedang menyuarakan apa.

Abidzar mengecup lama kening Celine. Menatap dua anaknya yang lucu mengecupi Celine yang meringis geli, mana basah, pipinya jadi seperti di jilat dua bayinya.

Abidzar merekam semuanya, waktu yang pasti akan terasa singkat. Kelak mungkin mereka tidak akan seperti saat ini.

Lanon dan Lizia yang tumbuh besar mulai menjalani kehidupannya masing-masing.

Maka dari itu, Abidzar memilih bekerja sewajarnya. Toh Celine bukan istri sosialita yang bisanya membeli barang tidak berguna demi membeli pandangan orang lain.

Abidzar bersyukur hidupnya sederhana dan sangat cukup bersama keluarga kecilnya.

Celinenya semakin baik. Dia hanya akan nakal di atas ranjang saja. Abidzar berhasil membuatnya begitu. Hanya nakal bersamanya. Nakal yang lebih baik karena bersama suami.

Suara tawa mereka di pagi hari sungguh melodi terindah sepanjang dirinya hidup. Candaan, kasur yang berantakan, muka bantal serta rambut acak-acakan menjadi pemandangan yang kenikmatans.

Abidzar yang memiliki hati lembut jelas berkaca-kaca melihat semua interaksi pagi hari yang selalu sama jika besoknya libur.

Bercanda ria di atas kasur sebelum sarapan, kemudian Abidzar memandikan si kembar dengan banyak drama, membiarkan Celine menyiapkan sarapan andalannya.

Abidzar sungguh teramat puas dengan kehidupan rumah tangganya walau tak bisa di pungkiri, dia maupun Celine masih banyak kurangnya.

Mereka akan terus merasa puas, saling memaafkan dan memperbaiki. Kunci agar hubungan semakin baik lagi.

Bahagia itu diri kita sendiri yang membentuknya. Jika saja Abidzar terus memilih bergelung dalam ketidak puasan, sepertinya dia akan meninggalkan Celine dari lama.

Tapi Abidzar percaya, mencoba memahami, sabar, menghadapinya dengan kelembutan dan perhatian. Sekeras apapun akan luluh, jalan yang awalnya gelap pasti terbuka perlahan.

Semua akan berjalan dengan baik jika tidak mendahulukan emosi. Semua yang Abidzar lakukan tentu saja dia belajar dari orang tuanya.

Sepertinya faktor kebahagian mereka juga lahir bukan dari hanya soal Abidzar memperlakukan Celine dengan baik.

Tapi karena di sini Celine juga ingin berubah. Di sini mereka yang memang ingin bersama-sama menciptakan kebahagiaan itu sendiri.

Hubungan suami istri memang seharusnya begitukan?

Cerita Sex Demi Keluarga

Bukan soal benar dan salah, tapi keinginan. Jika pun salah satu harus mengalah walau sekali pun benar, demi mewujudkan kebahagiaan kenapa tidak.

Begitu pikir Abidzar.

Abidzar percaya, rumah tangga yang baik akan tercipta jika prianya baik terhadap istrinya. Maka dari itu, Abidzar akan selalu berusaha lebih keras lagi ke depannya.

Untuk istri dan anak-anaknya.