Bunda Maya

Folder Bunda - Blog Cerita Dewasa Ngentot Yang Selalu Update Cerita Ngentot Terbaru Setiap Hari..

Rahim Istri Cantik Ah Long: Terlahir di Malam Badai dengan Kutukan Mematikan

Rahim Istri Cantik Ah Long: Terlahir di Malam Badai dengan Kutukan Mematikan

Di bawah langit malam yang gelap dan penuh badai di Desa Ping’an, tahun 696, sebuah kehidupan baru bersiap untuk memulai perjalanannya. Awan hitam pekat menghalangi cahaya bulan dan bintang, menciptakan suasana yang misterius dan menegangkan, diiringi gemuruh guntur yang mengguncang bumi. Alam seolah merayakan kedatangannya dengan pertunjukan dramatis yang menakjubkan.

Di sebuah rumah sederhana, diterangi cahaya redup lilin, Lan Mei, seorang wanita dengan kecantikan yang menawan, merasakan sakit yang luar biasa saat ia bersiap untuk melahirkan. Rambutnya yang hitam panjang terurai, kontras dengan kulitnya yang pucat karena rasa sakit. Napasnya tersengal-sengal, keringat dingin membasahi dahinya, dan setiap tarikan napas terasa berat. Di sisinya, Ah Long, suaminya, berdiri dengan tegar, wajahnya mencerminkan kekhawatiran dan kasih sayang yang mendalam. Wajahnya, meskipun tegar, menunjukkan keprihatinan yang tak terselubung. Suasana penuh ketegangan dan antisipasi memenuhi ruangan kecil itu, menanti kedatangan anggota keluarga baru di tengah badai alam yang mengamuk di luar. Kehadiran bayi yang akan lahir ini tampak seperti sebuah titik cahaya harapan di tengah gejolak yang melanda. Kisah ini bermula dengan momen yang sakral dan mengharukan, sebuah awal yang akan mempengaruhi nasib seorang pemuda bernama Xiang Liwei, yang akan dihadapkan pada tantangan dan misteri yang tak terduga seiring berjalannya waktu. Jalan hidupnya, yang tak terduga, akan segera terungkap, diwarnai oleh aura yang luar biasa dan sebuah kutukan yang membayangi.

uh luka bekas pertempuran, memegang tangannya dengan erat, memberikan kekuatan dan dukungan. Matanya berkaca-kaca dengan kecemasan dan rasa cinta yang mendalam.

“Lan Mei, kau kuat,” bisik Ah Long dengan suara penuh kasih sayang. “Bayi kita akan segera lahir. Tahan sebentar lagi.”

Lan Mei mengangguk, air matanya mengalir di pipinya. Ia merasakan bayinya bergerak-gerak di dalam perutnya, seolah ingin segera keluar dan bertemu dengan dunia. Rasa sakit yang ia rasakan luar biasa, namun tekadnya untuk melahirkan bayinya jauh lebih kuat.

Di balik bayang-bayang dari kejauhan, sepasang mata emas bersinar bagaikan lentera di kegelapan malam yang pekat. Sosok siluman rubah berekor sembilan, Zhou Yanmei, dengan anggun dan misterius mengamati bayi itu, merasakan getaran energi yang kuat.

Tatapannya penuh ketertarikan, seolah ingin menembus jiwa bayi tersebut. Aura kekuatan yang memancar dari sang bayi bagaikan magnet yang tak tertahankan, menariknya lebih dekat dalam kegelapan.

Rasa ingin tahu Zhou Yanmei semakin membara, tercampur dengan ambisi yang mendalam untuk memahami potensi luar biasa yang dimiliki oleh bayi itu.

“Bayi ini…” bisik Zhou Yanmei, suaranya serak dan penuh misteri. “Dia akan menjadi wadah kekuatan yang luar biasa.”

“Dia adalah kunci untuk membuka potensiku,” gumam Zhou Yanmei. “Dengan menanamkan benih gairah dalam dirinya, aku akan dapat memanfaatkan kekuatannya untuk mencapai puncak kejayaanku.”

Namun, Zhou Yanmei sadar bahwa kutukan yang akan dia berikan harus dibayar dengan masa tapa selama 200 tahun yang telah dia jalani. “Sekarang saatnya,” Zhou Yanmei berbisik, suara serak dengan tekad yang membara.

“Aku akan memastikan bahwa kutukan ini tidak sia-sia. Bayi ini adalah jalanku menuju kebangkitan, dan aku tidak akan membiarkan apapun menghalangiku.”

Tiba-tiba, kilatan petir yang paling terang menyambar langit, menerangi seluruh desa dengan cahaya putih menyilaukan. Seolah terhubung dengan petir tersebut, Lan Mei mengeluarkan jeritan terakhirnya yang melengking tinggi. Di saat yang sama, tangisan bayi terdengar memecah keheningan malam.

Ah Long memeluk Lan Mei dengan erat, merasakan tubuhnya yang lemas. Ia melihat ke bawah dan melihat bayi mungil yang baru lahir, terbungkus kain putih, terbaring di pangkuan Lan Mei.

Bayi itu memiliki mata yang jernih dan rambut hitam yang lebat. Meskipun baru lahir, aura kekuatannya sudah terasa begitu kuat.

“Dia begitu indah,” gumam Ah Long dengan penuh haru. “Xiang Liwei… Selamat datang di dunia, anakku.”

Lan Mei tersenyum lemah, matanya penuh cinta untuk bayinya. “Xiang Liwei,” ulangnya dengan suara serak. “Nama yang sempurna untukmu, anakku yang kuat dan pemberani.”

Zhou Yanmei menunggu dengan sabar sampai semua orang di rumah itu terlelap, memastikan tidak ada yang akan mengganggunya.

Ketika semuanya sunyi, dia melangkah keluar dari bayang-bayang dengan gerakan anggun. Bulunya yang putih berkilau bagaikan salju menyelimuti tubuh mungil bayi itu, memberikan kehangatan dan ketenangan.

Zhou Yanmei merasakan denyut nadi bayi itu, merasakan aliran energi luar biasa yang mengalir dalam tubuhnya. “Ini luar biasa, aku tidak pernah merasakan aura kekuatan yang begitu besar,” bisik Zhou Yanmei, suaranya bergetar penuh rasa takjub.

Setiap denyut jantung bayi yang lembut, bagaikan gelombang energi yang menyentuh inti dirinya, membangkitkan insting dan keinginan yang mendalam untuk mengklaim kekuatan tersebut.

Ia mendekat, merasakan kehangatan tubuh mungil itu, seakan-akan magnet yang menarik jiwanya, mengundangnya untuk menyatu dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya.

Dalam keheningan malam yang mencekam, sebuah perjanjian tak terucap terbentuk – antara kehidupan dan ambisi, antara harapan dan kegelapan, semakin mendekat dalam tarian yang harmonis namun berbahaya.

Mata Zhou Yanmei bersinar, dipenuhi ketegangan dan gairah, mengetahui bahwa ia telah menemukan titik balik dalam takdirnya.

“Dia akan membayar harga yang mahal untuk kekuatan ini,” Zhou Yanmei berkata pada dirinya sendiri. “Tapi aku tidak peduli. Kekuatanya lebih penting daripada apa pun.”

Dengan mantra kuno yang penuh makna, Zhou Yanmei dengan hati-hati menanamkan benih gairah dan semangat dalam diri bayi itu. Suara lembutnya melengking dalam ruang yang sunyi, menciptakan aura magis yang menyelimuti mereka.

Setiap kata yang diucapkan seolah mengalir seperti air yang menyuburkan tanah, memberi hidup baru dan harapan kepada masa depan bayi tersebut.

Api biru menyala dengan cerah di telapak tangannya, menandakan kutukan yang telah tertanam dalam dirinya. Cahaya yang berkilau itu seolah-olah hidup, bergetar dengan energi yang mengancam.

Tangisan bayi itu semakin keras, memecah keheningan malam dengan ketidakberdayaan yang menyentuh hati. Auranya menjadi semakin liar, bergetar dengan gelombang emosi, seolah merasakan beban berat yang akan dia pikul sepanjang hidupnya.

Setiap tangisan seakan mengundang perhatian dari dunia di sekitarnya, membawa kesedihan dan harapan sekaligus, menciptakan suatu ikatan yang tak terpisahkan antara nasib dan takdir.

Zhou Yanmei tersenyum tipis, puas dengan hasil karyanya. Dia mundur ke dalam bayang-bayang, meninggalkan bayi itu dalam pelukan nasibnya yang kelam.

“Kutukan telah tertanam,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya berkilau dengan kecemasan. “Bayi ini akan dihantui selamanya oleh gairah yang liar dan penuh nafsu, berjuang dalam kegelapan jiwanya tanpa henti.

Dia akan dipaksa untuk memu4skan w4nit4 demi meredakan gejolak dalam dirinya yang tak tertahankan. Kutukan ini akan menjadi belenggu yang mengikatnya, menjadikan hidupnya sebuah perjalanan yang penuh dengan kesedihan dan kerinduan.

Tawanya pun melengking, menciptakan gelombang suara yang memecah keheningan malam, seolah mengundang bayang-bayang untuk datang dan menyaksikan nasib tragis yang menanti.

Suara itu bagaikan melodi kematian yang bergema menjauh, meluncur di antara pepohonan yang rimbun dan heningnya malam. Ngocoks.com

Suara itu perlahan-lahan tergantikan oleh rintihan angin malam yang berat, seolah-olah bertanya tentang penderitaan apa yang akan menimpa Xiang Liwei dalam menghadapi gairah liar yang menguasainya di masa depan.

Dalam kegelapan, bayangan-bayangan masa lalu dan harapan-harapan yang terpendam meliuk-liuk, menimbulkan rasa cemas yang tak tertahankan.

Dia merasakan bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, dan setiap pilihan yang diambil akan membentuk nasibnya dengan cara yang tak terduga.

Bersambung… Pada waktu yang sama, di sebuah kuil kuno yang tersembunyi di puncak gunung yang sunyi, biksu Chen Jìngwu sedang bersemedi. Kuil itu dikelilingi oleh hutan lebat yang penuh dengan pepohonan tinggi yang menjulang ke langit.

Batu-batu besar dengan lumut hijau yang tebal menghiasi jalan setapak menuju kuil, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Angin gunung yang sejuk berhembus lembut, membawa aroma pinus yang menenangkan.

Suara gemericik air dari sungai kecil yang mengalir di dekat kuil memberikan irama alami yang mendamaikan jiwa. Chen Jìngwu duduk di atas sebuah alas jerami di dalam ruangan utama kuil, di mana patung Buddha besar yang terbuat dari kayu berwarna emas memancarkan aura ketenangan.

Lilin-lilin menyala lembut di sekitar ruangan, cahayanya yang berkelap-kelip menambah keheningan sakral. Dalam keadaan meditasi yang mendalam, Chen Jìngwu merasakan getaran energi yang mengalir melalui alam semesta.

Dengan mata batinnya yang tajam, ia menyelidiki keanehan yang terjadi di Desa Ping’an. Tiba-tiba, ia merasakan adanya niat jahat dari siluman rubah berekor sembilan yang mengincar seorang bayi.

“Bayangan hitam ini… begitu tebal,” gumam Chen Jìngwu dalam hati. “Niat jahatnya jelas, dan ia bermaksud menggunakan bayi itu untuk keuntungannya sendiri.”

Chen Jìngwu menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sambil mengamati jalur kehidupan bayi itu. Matanya tiba-tiba terbuka lebar, terkejut oleh apa yang dilihatnya.

“Bahaya!” pikir Chen Jìngwu, merasakan ketegangan mengalir di seluruh tubuhnya. “Anak ini akan menjadi sesuatu yang buruk jika kutukan itu tidak dihentikan. Jika dibiarkan, konsekuensinya bisa sangat mengerikan dan berbahaya bagi semua orang di sekitarnya.

Aku harus mencegahnya, dengan cara apa pun juga, bahkan jika itu berarti menghadapi risiko besar atau mengorbankan sesuatu yang berharga.”

Dengan tekad bulat yang membara dalam hatinya, Chen Jìngwu bangkit dari semedinya, mengusir semua keraguan yang menghalangi langkahnya.

Ia memutuskan untuk mencari bayi itu dengan penuh harapan, ingin mencabut kutukan siluman rubah yang telah mengancam hidupnya dan orang-orang yang dicintainya.

Setiap langkah yang diambilnya penuh keyakinan, saat ia menyusuri hutan lebat dan berbahaya, berdoa agar tidak terlambat untuk menyelamatkan jiwa yang terancam.

Enam Tahun Kemudian

Setelah bertahun-tahun mencari tanpa henti, Chen Jìngwu akhirnya menemukan Xiang Liwei, yang kini berusia enam tahun.

Anak kecil itu tinggal di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan ladang hijau. Dengan penuh hati-hati, Chen mendekati desa tersebut, berusaha untuk tidak menarik perhatian dan menyembunyikan kehadirannya dari mata orang-orang yang mungkin mengenalnya.

Dia merasakan campuran antara kegembiraan dan kecemasan saat melihat rumah-rumah sederhana dan mendengar suara anak-anak bermain di luar.

“Anak ini sudah cukup besar untuk mulai menanggung akibat kutukan itu,” pikir Chen Jìngwu. “Aku harus bertindak sekarang, sebelum semuanya terlambat.”

Ketika Chen Jìngwu dengan tekad yang kuat ingin mencabut kutukan yang telah mengikat anak itu selama bertahun-tahun, tiba-tiba Ah Long dan Lan Mei muncul dengan wajah cemas.

Mereka terkejut melihat biksu tersebut dan langsung mengira bahwa dia berniat membunuh Liwei. Dengan naluri pelindung yang kuat, mereka segera berusaha melindungi Liwei, mempertaruhkan diri demi memastikan keselamatan anak mereka dari ancaman yang mereka anggap serius.

Dalam ketegangan yang meningkat, ketiganya terlibat dalam perdebatan yang penuh emosi tentang niat sebenarnya Chen Jìngwu.

“Apa yang kau lakukan pada anakku?” teriak Ah Long, matanya penuh amarah.

Lan Mei berteriak, “Jangan sentuh dia!”

Chen Jìngwu mencoba menjelaskan, “Aku di sini untuk menyelamatkannya dari kutukan, bukan untuk menyakitinya.”

Namun, ketakutan dan kesalahpahaman telah merasuki hati Ah Long dan Lan Mei. Mereka menyerang Chen Jìngwu dengan segala kekuatan yang mereka miliki. Ah Long yang merupakan veteran perang menggunakan teknik bela dirinya, sementara Lan Mei menggunakan segala kekuatan yang dimilikinya.

Chen Jìngwu, dengan tenaga dalam yang sangat dahsyat, berusaha menghindar namun terpaksa melawan untuk melindungi diri. Dalam pertempuran yang singkat tapi intens, Ah Long dan Lan Mei tewas di tangan Chen Jìngwu. Tubuh mereka terbaring di tanah, sementara Liwei kecil terlempar dan pingsan.

“Maafkan aku,” kata Chen Jìngwu dengan perasaan bersalah. “Aku hanya ingin menyelamatkan anakmu.”

Saat itulah Zhou Yanmei muncul dari balik bayang-bayang, menatap Chen Jìngwu dengan mata penuh kemarahan yang menyala. “Kau tak akan bisa menyentuh anak ini,” serunya dengan suara yang menggema, membuat udara di sekelilingnya terasa berat.

Pertarungan antara Chen Jìngwu dan Zhou Yanmei pun tak terelakkan, seperti dua kekuatan yang bertabrakan dalam sebuah badai.

Dengan kekuatannya yang besar, Zhou Yanmei memanfaatkan seluruh tenaga dan kemarahan yang ada, berhasil melukai Chen Jìngwu parah.

Darah segar mengalir deras dari luka-lukanya, membasahi tanah di bawahnya saat ia terjatuh, tak mampu melawan lebih lama lagi dengan rasa sakit yang mengoyak tubuhnya.

“Liwei… nasibmu kini di tanganmu sendiri,” bisik Chen Jìngwu dengan suara yang semakin melemah, sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Matanya yang penuh harapan kini mulai meredup, seolah menyalakan sebuah lilin yang tak lama lagi akan padam.

Zhou Yanmei mendekati Liwei yang masih tergeletak pingsan di tanah, menatap anak itu dengan campuran perasaan antara kasih sayang dan ketegangan.

“Kutukan ini akan menjadi ujianmu, Liwei,” katanya pelan, suaranya bergetar namun penuh tekad. “Kau akan menemukan jalanmu sendiri, atau tenggelam dalam kegelapan yang mengintai.”

Dalam hati Zhou Yanmei, ia tahu bahwa masa depan Liwei kini dipenuhi dengan tantangan dan keputusan yang harus diambil, dan ia hanya bisa berharap anak itu memiliki kekuatan untuk bangkit.

Setelah pertarungan yang melelahkan, Zhou Yanmei merasakan luka dalam yang cukup parah. Darah yang merembes dari lukanya seperti air mata bumi yang jatuh ke tanah.

Dengan langkah lemah, ia kembali ke pertapaannya di hutan, tempat di mana pohon-pohon besar berdiri sebagai penjaga setianya, dan angin malam berbisik pelan, seakan memberikan semangat untuk penyembuhan. Di sana, Zhou Yanmei beristirahat, merajut kembali kekuatannya yang terkoyak.

***

Di tengah keheningan yang menyelimuti Liwei yang pingsan, terdengar langkah kaki mendekat. Sepasang kaki misterius muncul di hadapan anak itu.

Sepatu kain tua berdebu dengan bordiran rumit menyembul dari bawah jubah panjang yang terbuat dari kain kasar berwarna abu-abu. Perlahan, bayangan sosok itu semakin jelas di bawah sinar bulan yang temaram, seakan bulan pun ingin ikut mengungkap rahasia malam itu.

Seorang pendeta tua dengan wajah yang penuh rahasia berdiri di sana, menatap Liwei dengan mata yang penuh makna.

Rambutnya yang sudah memutih dan berjanggut panjang memberikan kesan bijak, namun sorot matanya menyimpan misteri yang dalam. Kerutan-kerutan di wajahnya seolah mengisahkan cerita-cerita masa lalu yang penuh dengan kebijaksanaan dan penderitaan.

Pendeta tua itu berlutut di samping Liwei, mengamati anak yang masih pingsan dengan tatapan penuh belas kasih. “Bocah malang,” bisiknya pelan, suaranya seperti angin yang berbisik di antara daun-daun. Ngocoks.com

Dengan gerakan yang hati-hati, pendeta tua itu menyentuh dahi Liwei. Energi hangat mengalir dari tangannya, menyelimuti tubuh kecil Liwei yang terbaring tak berdaya. Hutan di sekitarnya tampak bernapas bersama, ranting-ranting pohon berderak pelan, memberikan semangat pada pendeta tua itu.

Dengan tekad yang semakin kuat, pendeta tua itu mengangkat tangan kanannya, memancarkan cahaya lembut yang menyelimuti Liwei. Cahaya itu berpendar, menerangi wajah kecil Liwei yang tampak damai dalam ketidaksadarannya. Pepohonan di sekeliling tampak membungkuk hormat, seakan turut serta dalam doa tersebut.

Ketika cahaya mulai memudar, pendeta tua itu menarik napas panjang dan membuka matanya kembali. Dia menatap Liwei dengan penuh harapan dan kekhawatiran. “Perjalananmu masih panjang, anak muda,” bisiknya.

Namun, di tengah keheningan itu, angin malam berhembus kencang, membawa bisikan-bisikan yang penuh misteri.

Tiba-tiba, pendeta tua itu menoleh, seakan mendengar sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terhubung dengan alam. Wajahnya semakin serius, menandakan bahwa tugasnya belum selesai.

Bersambung… Angin dingin menusuk tulang, menyusup ke setiap relung tubuh dan menusuk relung hati Xiang Liwei yang masih diliputi duka mendalam.

Setiap hembusan angin seolah membawa bisikan kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan. Langit kelabu membentang luas, bagaikan tirai duka yang menyelimuti bumi, seakan ikut merasakan kesedihan pemuda itu yang terasa begitu berat.

Suasana sekelilingnya sepi, hanya terdengar suara daun-daun yang bergesekan akibat desiran angin. Gunung-gunung berdiri kokoh, bagaikan saksi bisu tragedi yang menimpa Xiang Liwei, menyaksikan setiap tetes air mata yang jatuh dan setiap langkahnya yang penuh beban.

Dalam keheningan itu, harapan terasa jauh, namun keindahan alam di sekelilingnya menarik hati untuk terus berjuang meskipun rasa sakit masih menggerogoti jiwa.

Di puncak gunung terpencil itulah, Xiang Liwei terbangun dari pingsannya. Rasa pusing masih menyelimuti kepalanya, namun rasa penasaran mengalahkan rasa sakit itu. Di mana dia? Siapakah pria tua berjubah putih yang duduk di hadapannya?

“Anak muda,” suara pria tua itu bergema, bagaikan alunan musik yang menenangkan jiwa Xiang Liwei yang gundah. “Namaku Lin Héshàn. Kau telah pingsan selama beberapa hari di sebuah desa. Aku menemukanmu dan membawamu ke tempat ini.”

Xiang Liwei terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Lin Héshàn. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Siapa yang telah membunuh kedua orang tuanya? Di mana dia sekarang? Dan mengapa dia diselamatkan oleh pria tua ini?

Lin Héshàn, bagaikan peramal yang mampu membaca isi hati Xiang Liwei, berkata, “Aku tahu kau memiliki banyak pertanyaan. Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah kau beristirahat dan memulihkan diri.”

Xiang Liwei mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Dia merasa seperti anak ayam yang kehilangan induknya, terombang-ambing di tengah badai kehidupan. Lin Héshàn memberinya secangkir teh hangat, aromanya yang menenangkan sedikit meredakan kegelisahan di hatinya.

Hari-hari berikutnya dilewati Xiang Liwei dengan penuh kepedihan dan kebingungan. Dia sering termenung, memikirkan kedua orang tuanya dan masa depannya yang tidak pasti. Lin Héshàn selalu menemaninya, mendengarkan ceritanya dengan penuh kesabaran.

Suatu hari, ketika Xiang Liwei melihat Lin Héshàn berlatih bela diri, dia terpesona oleh kekuatan dan kelincahan sang guru. Api semangat berkobar di dalam dirinya. Dia ingin menjadi kuat, ingin melindungi diri dan orang-orang yang dia sayangi.

Dengan penuh tekad, Xiang Liwei menghampiri Lin Héshàn dan memohon untuk menjadi muridnya. Lin Héshàn memandangnya dengan tatapan penuh selidik.

Dia menyadari akan aura kekuatan yang luar biasa yang dimiliki oleh Xiang Liwei, namun di balik kekuatan itu, dia juga melihat keraguan dan kegelapan.

“Aku tidak bisa menjamin bahwa aku bisa mengajarimu bela diri,” kata Lin Héshàn dengan suara lembut. “Sebelum aku mengajarimu teknik, aku ingin kau belajar terlebih dahulu tentang moral dan kebaikan hati.”

Xiang Liwei tidak mengerti maksud Lin Héshàn yang tampak misterius dan dalam. Dia ingin menjadi kuat, bukan sekadar belajar tentang moralitas yang sering dianggap membosankan.

Namun, ketika dia menatap mata sang guru, dia melihat kesungguhan dan ketulusan yang dalam, seolah-olah Lin Héshàn telah mengalami banyak hal dalam hidupnya.

Melihat dedikasi dan komitmen guru tersebut, Xiang Liwei merasa tergerak dan memutuskan untuk mempercayainya, berharap bahwa mungkin ada lebih banyak dalam pembelajaran ini daripada yang dia sadari.

Bulan demi bulan berlalu. Xiang Liwei tidak hanya diajari seni bela diri, tetapi juga tentang nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, keberanian, dan kasih sayang.

Dia belajar untuk mengendalikan emosinya, untuk menggunakan kekuatannya untuk kebaikan, dan untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran.

Perlahan tapi pasti, Xiang Liwei berubah menjadi pemuda yang bermoral dan berkarakter mulia. Aura kekuatannya yang dulunya penuh dengan keraguan, kini terpancar dengan penuh kebijaksanaan dan kedamaian.

Lin Héshàn merasa lega melihat perkembangan Xiang Liwei. Dia yakin bahwa muridnya ini akan menjadi pendekar yang adil dan bijaksana. Akhirnya, dia memutuskan untuk menurunkan ilmu tingkat tinggi yang dimilikinya kepada Xiang Liwei.

Di balik pepohonan yang rimbun, tersembunyi sepasang mata licik yang mengamati setiap gerakan Xiang Liwei dan Lin Héshàn.

Zhou Yanmei, siluman rubah berekor sembilan yang penuh pesona sekaligus berbahaya, tersenyum puas melihat perkembangan Xiang Liwei. Senyumnya bagaikan bulan sabit yang memancarkan aura misterius, menyembunyikan niat tersembunyi di balik kecantikannya.

Zhou Yanmei yakin bahwa Xiang Liwei, dengan kekuatan dan hatinya yang murni, adalah kunci untuk mencapai tujuannya. Dia akan menarik Xiang Liwei ke dalam jaring pesonanya, membuatnya tergoda oleh kecantikannya dan kekuatannya yang menggoda.

Zhou Yanmei tahu bahwa Xiang Liwei memiliki tekad yang kuat dan hati yang penuh kasih sayang. Tapi dia yakin bahwa dia bisa mematahkan tekad itu, merenggut kemurniannya, dan mengubahnya menjadi alat untuk memuaskan hasratnya.

“Belum, belum waktunya, Yangmei,” bisik Zhou Yanmei dalam hatinya. Dia menunggu dengan sabar, bagaikan predator yang mengincar mangsanya yang sempurna.

“Ketika waktunya tiba,” lanjutnya dalam tawa licik yang menggema di antara pepohonan, “kau akan menjadi milikku, Liwei, Hahahahahahaaaa………..”

Tawa Zhou Yanmei yang menyeramkan memecah keheningan hutan, bagaikan bisikan kematian yang menandakan awal dari sebuah rencana jahat.

Dengan gerakan anggun dan senyap, siluman rubah itu pun membaur dengan desiran angin, menghilang tanpa jejak, meninggalkan jejak misteri dan ketakutan di udara.

Lin Héshàn saat itu sedang mengawasi Liwei yang sedang berlatih keras di lapangan, fokus pada setiap gerakan dan teknik yang dia pelajari.

Namun, saat matanya menyapu area sekitar, dia merasakan adanya aura gelap yang mengintai dari kejauhan, seolah-olah ada seseorang yang mengawasi mereka dengan niat jahat.

Rasa cemas semakin menyelimuti Lin Héshàn, karena dia tahu betul betapa berbahayanya jika ada ancaman yang mengintai muridnya.

Lin Héshàn terhenyak ketika melihat kemajuan Xiang Liwei yang begitu pesat. Setiap kali mereka berlatih bersama, kemajuan muridnya itu begitu mencolok, membuatnya hampir tidak percaya.

Kekuatan dan kemampuan bertarung Xiang Liwei melampaui harapan, bahkan melebihi apa yang pernah dia bayangkan ketika pertama kali mengambilnya sebagai murid.

Namun, di balik kekagumannya, ada kekhawatiran yang menggelayut di benaknya, seperti bayangan yang tak kunjung hilang. Ngocoks.com

“Apakah aku benar-benar bisa membimbingnya?” pikirnya, merenungkan tidak hanya potensi luar biasa Xiang Liwei tetapi juga dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kekuatan besar ini. Dia tahu bahwa dengan kekuatan besar, datang pula tanggung jawab yang besar.

Dengan segala resiko yang mengancam di dunia persilatan yang penuh dengan intrik dan bahaya, Lin Héshàn mulai merasa bimbang.

Dia mempertimbangkan semua kemungkinan; apakah menjadikan Xiang Liwei sebagai murid adalah keputusan yang tepat, atau justru akan berakibat buruk bagi dunia yang penuh dengan konflik dan persaingan seperti ini?

Suasana tegang menyelimuti perasaan Lin Héshàn, bagaikan badai yang siap mengguncang ketenangan yang telah dibangun selama ini. Dia berusaha keras untuk menyingkirkan keraguan dari pikirannya, tetapi benak dan hatinya berperang.

Setiap momen yang dihabiskan bersama Xiang Liwei semakin memperkuat rasa tanggung jawabnya, dan dia tahu bahwa pilihannya bisa menentukan masa depan bukan hanya untuk muridnya, tetapi juga untuk semua orang di sekitarnya.

Cerita Dewasa Ngentot - Rahim Istri Cantik Ah Long: Terlahir di Malam Badai dengan Kutukan Mematikan
Bersambung… Sepuluh tahun telah berlalu sejak Xiang Liwei melangkahkan kakinya ke pertapaan Master Lin, sebuah tempat yang dikelilingi oleh pegunungan hijau dan udara yang segar.

Kini, remaja itu telah menjelma menjadi pemuda berusia 16 tahun yang sangat tampan dan gagah perkasa, dengan postur tubuh yang tegap dan wajah yang tampak penuh percaya diri.

Dia memancarkan aura kekuatan tersembunyi di balik senyum ramahnya, yang mampu menenangkan hati siapapun yang dilihatnya.

Setiap langkahnya menunjukkan kebijaksanaan yang diperoleh dari tahun-tahun latihan keras dan pengorbanan, serta tekad untuk mengejar impian dan tujuan yang lebih besar dalam hidupnya.

Ilmu bela diri dan tenaga dalamnya kian terasah, melampaui batas manusia biasa. Latihan yang keras dan disiplin yang tinggi telah membentuk kemampuannya, memungkinkan Liwei untuk melakukan gerakan yang luar biasa dan menunjukkan kekuatan yang tak tertandingi.

Namun, meskipun dia memiliki kemampuan luar biasa, Liwei selalu ingat pesan gurunya yang bijak: “Jangan pamerkan kekuatanmu di depan orang banyak kecuali saat keadaan mendesak.”

Prinsip itu dipegang teguhnya, menjadikannya sosok yang rendah hati dan penuh kasih sayang. Dia lebih memilih untuk menggunakan kemampuannya untuk melindungi yang lemah dan membantu mereka yang membutuhkan, daripada mencari pengakuan atau pujian dari orang lain.

Di desa Qingyun yang terletak di kaki gunung yang megah, Liwei dikenal sebagai pemuda yang ceria dan selalu siap menolong siapa pun yang membutuhkan.

Kebaikan hatinya tak hanya menarik perhatian warga desa, tetapi juga para gadis muda yang mengagumi ketampanannya dan sifatnya yang ramah.

Setiap kali Liwei melintasi jalan desa, senyum lebar dan sapaan hangatnya selalu membuat hari orang-orang di sekitarnya terasa lebih cerah.

Suatu hari yang cerah, saat Liwei asyik bermain bersama teman-teman wanitanya di lapangan desa, dia melihat seorang gadis kecil kurus kering dengan mata yang penuh harapan sedang memohon-mohon makanan di depan restoran yang ramai.

Gadis itu tampak sangat lemah, pakaiannya compang-camping. Pemilik restoran yang kasar dan tanpa belas kasihan mengusirnya dengan kata-kata pedas, membuat gadis kecil itu menundukkan kepala dengan penuh rasa malu dan kesedihan.

Tiba-tiba, segerombolan prajurit berkuda muncul dari belakang gadis kecil itu, menunggangi kuda-kuda yang besar dan kuat. Kuda-kuda mereka berlari kencang, siap menabrak gadis malang yang tak berdaya itu.

Dalam sekejap, Liwei merasa ketakutan dan kepanikan menyelimuti hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dengan kecepatan luar biasa, ia melompat maju untuk menyelamatkan gadis kecil itu dari bahaya yang mengancam.

Salah satu prajurit yang marah turun dari kudanya dan meneriaki gadis itu. Liwei, dengan sikap sopan dan penuh hormat, meminta maaf atas kejadian tersebut dan memohon agar prajurit itu tidak menyakiti gadis kecil itu.

Situasi semakin tegang saat lebih banyak prajurit datang dan mengepung mereka. Tiba-tiba, lima prajurit berkuda lainnya muncul, dipimpin oleh seorang gadis cantik berpakaian mewah.

Dia adalah Xiang Rong, putri pejabat tertinggi di prefektur dan gadis yang diam-diam mengagumi Xiang Liwei.

“Apa yang terjadi di sini?” tanya Xiang Rong dengan suara anggun.

Prajurit yang marah itu menjelaskan bahwa Xiang Liwei telah menghalangi jalan mereka dan hampir menabrak kuda mereka. Xiang Rong, setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, memutuskan untuk menyelesaikan masalah dengan damai.

Dia memberikan uang kepada pemilik restoran untuk membelikan makanan bagi gadis kecil itu dan memerintahkan prajuritnya untuk pergi.

Xiang Rong kemudian berbalik kepada Xiang Liwei dan berkata dengan senyuman, “Terima kasih telah menyelamatkan gadis kecil itu. Aku adalah Xiang Rong, putri Prefek Zhang. Senang bertemu denganmu.”

Xiang Liwei, sedikit terkejut dengan kecantikan dan aura wibawanya, lalu berkata, “Aku Xiang Liwei. Senang bertemu denganmu juga, Nona Xiang.”

Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Xiang Liwei dan Xiang Rong. Di balik tatapan dingin dan sombongnya, Xiang Rong sebenarnya melihat kebaikan dan keberanian yang tersembunyi dalam diri Xiang Liwei.

Meskipun Xiang Rong berusaha untuk terlihat tak peduli, ada sesuatu dalam cara Xiang Liwei berdiri tegak dan menatapnya dengan percaya diri yang membuatnya terkesan.

Di balik senyuman riang yang selalu menghiasi wajah Xiang Liwei, Xiang Rong merasakan ketulusan dan kehangatan dari hati yang tulus, seolah-olah setiap senyum mengandung harapan dan kejujuran.

Saat perpisahan tiba, Xiang Rong meninggalkan Xiang Liwei dan Jin Xiaoling dengan senyuman menggoda di bibirnya, seolah-olah dia menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu.

Dia memacu kudanya dengan semangat, meninggalkan jejak debu yang berterbangan di udara dan bayangan samar yang melintas di jalanan desa yang tenang.

Xiang Liwei masih tertegun, menatap kepergian Xiang Rong dengan perasaan campur aduk dalam hatinya. Bajunya ditarik lembut oleh Jin Xiaoling yang mengulurkan sepotong bakpao hangat yang baru saja dikukus, aromanya yang menggugah selera memenuhi udara.

“Ayo makan, Kak Liwei!” kata Jin Xiaoling dengan suara ceria, matanya bersinar penuh semangat. Dengan senyum lembut, Xiang Liwei menerima bakpao itu, merasakan kehangatan dari makanan dan perhatian Jin Xiaoling.

Xiang Liwei tersenyum dan menerima bakpao itu. Dia menggigitnya perlahan, merasakan rasa gurih dan hangat di mulutnya. Perhatiannya teralihkan pada Jin Xiaoling, gadis kecil yang selalu ceria dan penuh kasih sayang.

“Terima kasih, Xiaoling,” kata Xiang Liwei. “Kau selalu baik padaku.”

Jin Xiaoling mengangguk. “Tentu saja! Kak Liwei kan pahlawan yang menyelamatkan aku dari kuda prajurit.”

Xiang Liwei tertawa kecil. “Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”

Xiang Liwei masih asyik berbincang dengan Jin Xiaoling di sebuah kafe kecil yang ramai, menceritakan dengan antusias tentang pertemuannya yang tak terduga dengan Xiang Rong di festival musim semi.

Suara ceria Jin Xiaoling yang penuh semangat memenuhi udara, mengusir rasa penasaran dan kebingungan Xiang Liwei tentang tatapan intens yang dirasakannya saat pertama kali melihat Xiang Rong.

Mereka berdua tertawa bersama, menikmati momen kebersamaan sambil menyeruput teh hangat yang menghangatkan suasana hati. Ngocoks.com

Namun, sesekali, Xiang Liwei merasakan ada yang janggal. Seolah-olah ada bayangan yang mengikutinya, aura yang tak kasat mata tapi terasa nyata. Dia menoleh ke sekelilingnya, tapi tak ada yang terlihat.

Percakapan mereka terhenti sejenak saat Xiang Liwei mendengar suara gemerisik yang aneh dari balik jendela rumah besar di seberang jalan. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang menggesek permukaan, mengusik ketenangan sore hari.

Dia mengerutkan kening, matanya tertuju pada tirai yang bergerak-gerak dengan lambat, seolah ada sesuatu yang berusaha mengintip dari baliknya. Rasa penasaran mulai menguasainya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi di dalam rumah itu.

Sebuah insting aneh muncul dalam dirinya, firasat yang tak bisa diabaikan. Perlahan, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela itu.

Jin Xiaoling mengikutinya dengan langkah kecil, matanya yang besar penuh dengan rasa ingin tahu. “Ada apa, Kak Liwei?” bisiknya.

Bersambung… Xiang Liwei ingin menjawab, namun dia merasakan sesuatu yang ganjil. Dia menelan ludah dan berkata, “Ayo, kita pergi dari sini.”

Jin Xiaoling mengerutkan kening. “Tapi, Kak Liwei…”

Xiang Liwei menarik tangan Jin Xiaoling dan berjalan dengan langkah cepat. Dia tidak menjelaskan alasannya, tapi Jin Xiaoling bisa merasakan ketegangan dalam dirinya.

Di balik tirai jendela rumah besar itu, sepasang mata cokelat madu masih menatap mereka dengan intens. Tatapan itu penuh dengan rasa ingin tahu, tapi ada juga sesuatu yang lebih dalam di dalamnya, sesuatu yang tak terdefinisi.

Tatapan itu terpancar dari seorang wanita tercantik di desa Qingyun yang berusia 38 tahun, Tang Lihua. Istri orang terkaya di desa itu langsung terpesona oleh ketampanan Xiang Liwei sejak pertama kali melihatnya. Jantungnya berdebar kencang dan pipinya memerah. Dia tidak pernah bertemu pemuda setampan dan semenawan Xiang Liwei.

Tang Lihua tak bisa memungkiri ketertarikannya pada Xiang Liwei. Ada aura maskulin dan pesona misterius yang terpancar dari pemuda itu, membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan. Gaun sutra yang dikenakannya terasa panas dan sesak, seolah melambangkan gairah yang membara dalam dirinya.

“Siapa pemuda itu? Dia sangat tampan dan menarik!” bisik Tang Lihua kepada pelayannya, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.

“Itu Xiang Liwei, anak didik Master Lin. Dia terkenal di desa ini karena kebaikan hatinya dan keahliannya dalam seni bela diri,” jawab pelayan itu dengan hormat.

Tang Lihua semakin penasaran dengan Xiang Liwei. Semakin lama dia memperhatikan pemuda itu, semakin dalam rasa ingin tahunnya. Dia ingin mengenal Xiang Liwei lebih dekat, namun dia merasa malu untuk memulai percakapan terlebih dahulu.

Tang Lihua ingin merasakan sentuhan Xiang Liwei, merasakan kehangatan tubuhnya, dan mendengar bisikan suaranya yang menenangkan. Dia ingin merasakan sensasi yang tak pernah dia alami sebelumnya.

Tang Lihua pun memutar otak untuk mencari cara agar bisa berinteraksi dengan Xiang Liwei. Dia ingin menciptakan situasi yang memungkinkan mereka untuk bertemu dan saling mengenal.

Akhirnya, Tang Lihua menemukan ide yang sempurna. Dia akan mengatur sebuah “kecelakaan” agar mereka bertabrakan di jalan. Dengan begitu, Tang Lihua bisa berpura-pura terjatuh dan Xiang Liwei akan membantunya.

Tang Lihua membayangkan momen itu dengan penuh gairah, membiarkan imajinasinya melayang dalam detail yang membangkitkan semangat.

Dia membayangkan bagaimana Xiang Liwei, dengan senyuman hangat di wajahnya, akan memeluknya erat saat membantunya berdiri, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang dan hanya ada mereka berdua.

Dia membayangkan bagaimana aroma maskulinnya, yang kaya akan kehangatan dan kekuatan, akan menyelimuti dirinya dan membuatnya merasa aman dan nyaman. Setiap sentuhan lembutnya akan mengirimkan aliran listrik yang memicu rasa berdebar-debar di seluruh tubuhnya, membuatnya merasa hidup dan penuh semangat.

o0o

Keesokan harinya, Tang Lihua berjalan-jalan di desa dengan hati-hati, menunggu momen yang tepat untuk melancarkan rencananya. Dia mengenakan gaun sutra merah yang menawan, sengaja memperlihatkan lekuk tubuhnya yang indah. Dia ingin Xiang Liwei terpesona saat melihatnya.

Dan tak lama kemudian, dia melihat Xiang Liwei berjalan di arah yang berlawanan. Tang Lihua sengaja mempercepat langkahnya, jantungnya berdebar kencang.

Tang Lihua pura-pura tidak melihat Xiang Liwei dan terus berjalan. Tiba-tiba, dia “tersandung” dan terjatuh di depan Xiang Liwei. Gaunnya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha mulusnya yang putih.

“Aduh!” Tang Lihua berteriak kesakitan, berusaha terlihat meyakinkan.

Xiang Liwei yang sigap langsung membantu Tang Lihua untuk berdiri. Dia terpesona oleh kecantikan Tang Lihua dan aroma harum yang terpancar dari tubuhnya. Dia merasakan sensasi aneh menjalar di perutnya.

“Maafkan saya, Nyonya,” kata Xiang Liwei dengan panik. “Apakah Anda baik-baik saja?”

Tang Lihua tersenyum manis, matanya menggoda Xiang Liwei. “Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara lembut. “Terima kasih atas bantuanmu.”

Xiang Liwei terpaku sejenak, matanya terkunci dengan mata Tang Lihua. Dia merasakan tarikan magnetik yang kuat, seolah tak ingin melepaskan pandangan darinya.

Tang Lihua memanfaatkan kesempatan ini untuk memulai percakapan dengan Xiang Liwei. Mereka mengobrol dengan akrab tentang banyak hal, dan Tang Lihua semakin terpesona oleh kebaikan hati, ketampanan, dan kecerdasan Xiang Liwei.

Tang Lihua senang dengan “kecelakaan” yang dia rencanakan. Dia berhasil mengenal Xiang Liwei lebih dekat dan merasa semakin tertarik pada pemuda itu. Dia ingin merasakan lebih banyak lagi dari Xiang Liwei, merasakan gairah dan sensasi yang tak pernah dia alami sebelumnya.

Tang Lihua, dengan senyum menggoda dan mata penuh gairah, mengajak Xiang Liwei untuk pergi ke sebuah vila terpencil di dekat desa. Dia berbisik di telinga Xiang Liwei, “Aku punya tempat rahasia yang ingin aku tunjukkan padamu.”

Xiang Liwei, terpesona oleh pesona Tang Lihua dan penasaran dengan “tempat rahasia”nya, langsung menerima ajakan Tang Lihua. Dia ingin mengenal Tang Lihua lebih dekat dan merasakan sensasi yang tak pernah dia alami sebelumnya.

Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalan setapak yang tersembunyi di balik pepohonan rindang. Suasana sunyi dan damai menyelimuti mereka, hanya terdengar suara kicauan burung dan gemerisik dedaunan.

Tang Lihua semakin dekat dengan Xiang Liwei, aroma harum parfumnya menyelimuti Xiang Liwei. Dia merasakan sensasi aneh menjalar di perutnya, dan dia ingin merasakan lebih banyak lagi dari Tang Lihua.

Setelah beberapa saat berjalan, mereka akhirnya tiba di vila yang dimaksud Tang Lihua. Vila itu terbuat dari kayu dan batu, dikelilingi oleh taman yang indah dengan berbagai macam bunga dan tanaman.

Tang Lihua membuka pintu vila dengan kunci yang dia bawa, dan mereka masuk ke dalam. Vila itu terasa hangat dan nyaman, dengan interior yang elegan dan penuh gaya.

Xiang Liwei terpesona dengan keindahan vila itu, dan dia semakin penasaran dengan apa yang akan dilakukan Tang Lihua di sini. Ngocoks.com

Tang Lihua mengajak Xiang Liwei untuk duduk di sofa yang empuk di ruang tamu. Dia menuangkan segelas anggur merah untuk Xiang Liwei dan dirinya.

“Silakan dinikmati,” kata Tang Lihua dengan senyum manis.

Xiang Liwei menyesap anggurnya, rasa manis dan asamnya terasa menyegarkan. Dia melihat Tang Lihua dengan tatapan penuh tanya.

“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” tanya Xiang Liwei dengan suara lembut.

Tang Lihua mencondongkan tubuhnya ke arah Xiang Liwei, matanya berbinar-binar. Dia berbisik, “Aku ingin menunjukkan sesuatu yang spesial padamu.”

Tang Lihua menarik tangan Xiang Liwei dan membawanya ke kamar tidur yang indah di lantai atas. Kamar itu dihiasi dengan warna-warna pastel dan aroma lavender yang menenangkan.

Tang Lihua menutup pintu kamar dan menguncinya. Dia menatap Xiang Liwei dengan tatapan penuh g4irah, dan Xiang Liwei merasakan jantungnya berdebar kencang.

“Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu,” bisik Tang Lihua. “Aku ingin merasakan kehangatan tubuhmu dan mendengar bisikan suaramu.”

Tang Lihua perlahan mendekati Xiang Liwei, bibirnya hampir menyentuh bibir Xiang Liwei. Xiang Liwei merasakan aliran listrik menjalar di seluruh tubuhnya, dan dia tak bisa menahan diri lagi.

Bersambung… Tang Lihua perlahan mendekati Xiang Liwei, bibirnya hampir menyentuh bibir Xiang Liwei. Xiang Liwei merasakan aliran listrik menjalar di seluruh tubuhnya, dan dia tak bisa menahan diri lagi.

Dia ingin mencium Tang Lihua, membalas gairah yang terpancar dari matanya. Tapi, sesuatu di dalam dirinya menahannya. Dia teringat akan ajaran gurunya, tentang kesucian dan pengendalian diri. Dia tak ingin melakukan sesuatu yang akan mencoreng nama baiknya dan gurunya.

Dengan berat hati, Xiang Liwei menolak Tang Lihua secara halus. “Tang Lihua,” bisiknya, “aku tersanjung dengan perhatianmu. Tapi, sebagai murid Master Lin, aku harus menjaga kesucian diriku. Aku tak boleh terjerumus dalam godaan duniawi.”

Tang Lihua terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Dia kecewa dengan penolakan Xiang Liwei, tapi dia juga menghormatinya.

“Baiklah,” kata Tang Lihua dengan suara lirih. “Aku mengerti.”

Meskipun hasrat mereka tertahan, Tang Lihua dan Xiang Liwei tetap menghabiskan waktu bersama dengan romantis di vila itu. Mereka mengobrol tentang banyak hal, berbagi mimpi dan harapan mereka. Mereka tertawa bersama, menikmati keindahan alam di sekitar vila.

o0o

Keesokan harinya, Tang Lihua masih tak bisa melupakan Xiang Liwei. Rasa ingin membuatnya jatuh cinta memenuhi pikirannya. Tang Lihua mulai merencanakan cara baru untuk mendekati Xiang Liwei.

Dia tahu Xiang Liwei sering belanja di pasar desa setiap pagi. Tang Lihua memutuskan pergi ke sana, berpura-pura mencari bunga untuk hiasan rumahnya.

Saat Xiang Liwei melihat Tang Lihua di pasar, dia terkejut namun juga senang bertemu lagi. Tang Lihua tersenyum manis dan menyapa Xiang Liwei dengan ramah.

“Oh, Xiang Liwei! Kamu juga di sini,” kata Tang Lihua sambil menggandeng lengan Xiang Liwei ringan. “Aku sedang mencari bunga indah untuk hiasan rumah. Bisa tolong bantu aku?”

Xiang Liwei, tak bisa menolak permintaan dari wanita cantik seperti Tang Lihua, setuju dengan senang hati. Mereka berdua menjelajahi pasar bersama, mencari bunga yang cerah dan harum.

Selama perjalanan itu, Tang Lihua terus membangun percakapan intim dengan Xiang Liwei, kadang menyentuhnya dengan lembut. Setiap sentuhan membuat jantung Xiang Liwei berdegup kencang, meski mencoba tetap fokus.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara suami Tang Lihua. Tang Lihua tersentak kaget dan langsung menarik Xiang Liwei untuk berlindung di balik tumpukan kain yang tak jauh dari mereka.

Dengan gerakan terburu-buru, mereka terjatuh dan Tang Lihua tertimpa di atas Xiang Liwei. Segera, Tang Lihua menutupi seluruh tubuh mereka dengan tumpukan kain, menyembunyikan mereka dari pandangan siapapun.

Hening menyelimuti mereka berdua, diiringi rasa cemas yang membayangi terbongkarnya rahasia mereka. Suara suami Tang Lihua semakin dekat, suaminya terdengar sedang bercakap-cakap dengan para pemilik toko di sekitar itu.

Di bawah tumpukan kain, Tang Liwei diam-diam mengamati wajah Xiang Liwei. Wajah yang biasanya tenang dan berani, kini tampak menegangkan. Namun, bukan rasa takut yang terlihat, melainkan sebuah ekspresi yang sulit diartikan oleh Tang Liwei.

Tang Lihua mengamati wajah Xiang Liwei dengan seksama. Dia berusaha memahami arti di balik senyum yang terukir di bibirnya. Apakah itu rasa geli, senang, atau bahkan… mesum? Pikiran terakhir itu membuatnya merinding.

Bagaimana mungkin Xiang Liwei terlihat begitu tenang dan bahkan senang di situasi yang berbahaya seperti ini? Kecurigaan mulai muncul di benak Tang Lihua.

Tang Lihua akhirnya menyadari setelah melihat bahwa payu*daranya menempel erat pada dada Liwei, membuat libi*do Liwei bergejolak, dipicu oleh situasi terlarang ini. Dia pun tergelitik dan ingin menggoda Xiang Liwei lebih jauh.

Dengan gerakan yang menggoda, tangan Tang Lihua mulai menyusuri tubuh Xiang Liwei, mencari-cari sensasi yang lebih membara. Suara suaminya yang masih berbicara dengan para pedagang di luar sana bagaikan musik latar yang menambah ketegangan di antara mereka berdua.

Xiang Liwei, meskipun sedikit terkejut dengan tindakan Tang Lihua, mencoba untuk tetap tenang. Dia tahu bahwa situasi ini berbahaya, tapi dia tidak bisa menahan godaan yang ditawarkan oleh wanita cantik di hadapannya.

Saat tangan Tang Lihua menyentuh lembut pusakanyanya yang mengeras, Xiang Liwei tersentak. Nafasnya memburu dan tubuhnya menegang.

“Tang Lihua,” bisiknya dengan suara serak, berusaha untuk mengendalikan diri. Tang Lihua hanya tersenyum menggoda, matanya berbinar-binar dengan gairah.

“Jangan khawatir,” bisiknya dengan suara genit, “Aku hanya ingin merasakanmu sedikit.”

Suami Tang Lihua sudah menjauh, memberikan mereka kesempatan untuk melepaskan gairah yang terpendam. Tang Lihua merapatkan tubuhnya ke Xiang Liwei, merasakan kehangatan dan kekuatan yang terpancar dari pemuda itu.

Di balik tumpukan kain yang menyelimuti mereka, Tang Lihua memberanikan diri. Dia mendekatkan wajahnya ke Xiang Liwei, dan bibir mereka bertemu dalam ciuman yang penuh gairah.

Ciuman itu bagaikan aliran api yang membakar keraguan dan ketakutan mereka. Xiang Liwei memeluk Tang Lihua dengan erat, merasakan gairah yang membara dalam tubuhnya. Ngocoks.com

“Liwei,” Tang Lihua merintih pelan, suaranya dipenuhi dengan gairah. “Aku ingin merasakan lebih banyak.”

Dengan gerakan yang penuh nafsu, Xiang Liwei memeluk Tang Lihua erat-erat. Hasrat dan rasa ingin tahu yang menggebu dalam hatinya membuatnya tak bisa menahan diri. Ciuman pertama mereka pecah dengan kelembutan yang menggetarkan hati, bagaikan kilatan petir yang menerangi malam yang kelam.

Tang Lihua merespon ciuman itu dengan penuh gairah. Bibirnya yang lembut dan penuh nafsu beradu dengan bibir Xiang Liwei, menciptakan sensasi yang luar biasa. Dia merasakan bagaimana Xiang Liwei melepaskan semua ketegangan dalam tubuhnya, mencari ketenangan di tengah kekacauan ini.

“Ah, Xiang Liwei,” erang Tang Lihua, suaranya penuh gairah. “Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.”

Di bawah tumpukan kain yang menutupi mereka, Tang Lihua merasakan sesuatu yang luar biasa. Ketika tangannya memegang pusaka Xiang Liwei yang mengeras, dia terkejut oleh ukuran yang berada di genggamannya.

Dia tidak pernah bayangkan sebelumnya bahwa Xiang Liwei memiliki pusaka yang begitu besar dan kokoh. Jantungnya berdebar kencang, diliputi rasa gairah yang tak tertahankan.

Tang Lihua, wanita yang sudah cukup berpengalaman dalam hal se*ks, merasakan sensasi baru yang membangkitkan gairahnya. Dia ingin menjelajahi lebih jauh, merasakan setiap inci tubuh Xiang Liwei yang semakin menegang di bawah sentuhan tangannya.

Dengan gerakan yang pelan namun penuh nafsu, dia menggoda Xiang Liwei, sambil tetap waspada terhadap suara di luar yang masih bisa mengganggu keintiman mereka.

Tanpa disadari, api gairah yang ditanamkan Zhou Yanmei, siluman rubah berekor sembilan, di dalam tubuh Xiang Liwei mulai bereaksi. Api itu seakan menghisap gairah yang dihasilkan oleh Liwei dan Tang Lihua, mengumpulkan energi untuk mengaktifkan kutukan yang telah lama tertanam.

Cerita Sex Pejabat Negara

Dada Xiang Liwei semakin memanas, menimbulkan hasrat yang semakin menggebu-gebu. Liwei merasakan keanehan ini dan mulai dilanda kebingungan, menyadari bahwa jika diteruskan, hal-hal yang tidak terduga bisa saja terjadi.

Keringat mulai membasahi dahinya, bukan karena panas, tetapi karena pergolakan batin yang sedang dialaminya. Liwei paham betul bahaya yang mengintai jika mereka ditemukan dalam situasi seperti ini.

Bersambung…

Maaf gaes kelanjutannya akan disambung nanti yah…

Jangan lupa klik salah satu iklannya untuk mendukung situs Ngosoks ya, terima kasih.